Minggu, 07 Februari 2021

20. Hari Baru

Bagian ke-20 dari cerita bersambung Setapak Berliku

Matahari sudah di tepi barat. Langit berwarna-warni. Naya duduk di sebuah bangku, di bawah pepohonan yang rindang, di teras samping rumah, sambil memandang hamparan tetumbuhan hijau di lembah. Ia tampak merenung saja, seolah-olah larut ke dalam dunia yang berada di luar batas pandangannya sendiri.

Perlahan-lahan, aku mendekat ke sisinya tanpa aba-aba. Aku melangkah pelan untuk menjaga kekhidmatan jiwanya yang tampak mendalam. Aku lantas duduk di samping kirinya dengan sedikit canggung, bak seorang tamu yang tak diinginkan. Hingga akhirnya, detik demi detik bergulir, sedang aku hanya turut memandangi penampakan alam, tanpa bersuara.

Beberapa waktu kemudian, ia pun memecah keheningan dengan pertanyaan yang seharusnya kutanyakan kepadanya sedari tadi, “Apa yang kau pikirkan?”

Aku pun tersenyum mendengkus ke arahnya. “Aku hanya membayang-bayangkan, bagaimana bisa kita bertemu dengan jalan cerita yang sangat rumit. Aku bahkan masih merasa keadaan kita saat ini seperti mimpi.”

Ia tertawa pendek. “Hanya karena kita tidak mengetahui alurnya, bukan berarti kisah nyata kita mengalir begitu saja. Bagaimana pun, kita telah mengambil langkah yang membawa kita pada keadaan saat ini, atau kita bahkan telah merencanakannya.”

Seketika, rasa penasaranku terpancing untuk menelisik, “Jadi, apa kau telah merencanakan alur kisah kita sejak awal? Maksudku, apa kau sengaja mencariku dan mengontakku lewat media sosial demi akhir cerita kita yang seperti ini?”

Ia pun tergelak. “Kisah kita memang berawal atas rencanaku, tetapi kau punya andil yang besar dalam membawa kita pada akhir yang seperti ini. Atau kau mungkin telah merencanakannya?”

Aku sontak tergelak.

Ia pun tertawa.

Tiba-tiba ayahku datang, lantas duduk di samping kiri kami. “Kau sungguh secantik Ibumu,” puji ayahku kemudian.

Nori pun tersipu.

“Aku harap kau betah tinggal di sini,” tutur ayahku, lalu menuturkan lagi kalimat yang sering ia tuturkan padaku sewaktu kecil. “Ini adalah negeri yang aman. Tak akan ada huru-hara di sini. Tak ada yang perlu ditakutkan.”

Naya mengangguk-angguk saja sambil tersenyum, kemudian melontarkan pertanyaan yang terkesan sekadarnya untuk memperpanjang percakapan, “Tetapi bagaimana bisa keadaan di negeri ini berbeda dengan keadaan di tanah air kita?”

Ayahku malah tampak serius. Ia lalu menguraikan pandangannya dengan sangat antusias, “Itu karena orang-orang di negeri ini bersatu dan saling mencintai sebagai sesama anak bangsa. Segala perbedaan yang ada, tidak menjadi alasan untuk saling memusuhi,” katanya, sebagaimana inti dari apa yang sedari dulu ia utarakan padaku.

Aku diam saja dan membiarkan keduanya terus bercakap-cakap untuk mengakrabkan diri.

“Di sini, semua orang berhak untuk hidup dan menjalani kehidupannya sesuai dengan identitasnya masing-masing. Negara wajib melindungi kepentingan mereka secara adil. Negara tidak memiliki keberpihakan kepada kelompok tertentu atas dasar suku, agama, ras, atau golongan,” lanjut ayahku.

“Tetapi tidakkah kelompok tertentu merasa lebih berhak atas negara dan mencoba mendapatkan kedudukan yang ekslusif? Tidakkah kelompok tertentu hendak membajak kekuasaan negara untuk kepentingan kelompok mereka sendiri?”

“Sama sekali tidak ada,” jawab ayahku. “Di sini, segenap anak bangsa patuh pada konsensus kebangsaan para pendiri negara yang telah berjuang bersama-sama dalam mencapai kemerdekaan untuk semua anak bangsa pula, bahwa kepentingan segenap bangsa berada di atas kepentingan individu atau kelompok.”

“Jadi, di negeri ini, identitas parsial tidak akan dipolitisasi demi merebut kekuasaan negara?

Ayahku mengangguk. “Benar! Di sini, segenap komponen bangsa, khususnya para politikus, tidak akan memolitisasi isu-isu identitas untuk kepentingan politik. Kalau pun mereka nekat melakukan itu, maka masyarakat yang sudah terdidik secara politik akan bersikap antipati, sehingga merugikan kepentingan politik mereka sendiri.”

“Tetapi bagaimana dengan identitas keagamaan yang begitu mengikat setiap individu? Tidakkah kelompok keagamaan menuntut eksklusivitas dari negara, bahkan menginginkan tafsir hukum keagamaannya menjadi landasan bernegara?”

“Kehendak semacam itu hanya riak kecil di tengah konsistensi segenap warga untuk menegakkan konsep negara kebangsaan yang tidak mempertentangkan antara agama dan negara,” terang ayahku. “Negara ini adalah negara yang beragama, meski tak ada agama resmi negara. Setiap orang berhak menganut dan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing, di bawah perlindungan hukum negara yang adil.”

“Lalu, kenapa di negeri kita identitas agama begitu mudah menyulut perpecahan antaranak bangsa? Bukankah negeri kita adalah negeri kebangsaan yang beragama juga?

“Di negeri kita, orang-orang beragama dengan perspektif yang eksklusif,” kata ayahku, lalu tersenyum singkat. “Di sini, orang-orang beragama dengan perspektif inklusif. Martabat manusia dijunjung, persatuan bangsa dijaga, permusyawaratan diutamakan, dan keadilan sosial diwujudkan. Semua itu merupakan ajaran agama yang terangkum dalam arti kemanusiaan.”

Nori mengangguk-angguk. “Tetapi apa yang salah di negeri kita, bukankah di sana nilai-nilai yang Bapak sebutkan tadi juga menjadi acuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara?”

Ayahku tertawa pendek. “Itu karena di negeri kita, orang-orang mengabaikan kemanusiaan sebagai inti dari ajaran agama. Mereka mengabaikan kemanusiaan demi segala hal yang mereka anggap berhubungan dengan ketuhanan. Sampai akhirnya, mereka tega menindas dan membunuh anak manusia yang lain atas nama Tuhan.”

Nori tampak terkagum. “Semoga suatu saat anak-anak bangsa di negeri kita berketuhanan dengan menjunjung tinggi kemanusiaan.”

Ayahku tersenyum penuh harap. “Semoga, sebab hanya dengan begitu, tidak akan ada lagi orang yang terusir dari negaranya sendiri, seperti kita.”

Obrolan mereka pun tandas. Kami lalu terdiam beberapa saat.

Akhirnya, Bibi Nori datang, lalu duduk di samping kiri kami, sebangku dengan ayahku.

“Aku benar-benar tak menyangka bahwa kita akan bertemu kembali setelah sekian lama aku tak mengetahui kabarmu,” kata ayahku, sambil menatap Bibi Nori, teman semasa kecilnya.

Bibi Nori mengangguk-angguk. “Aku juga. Aku kira, malam mencekam itu adalah saat-saat kebersamaan kita yang terakhir kalinya.”

Ayahku pun menghela-embuskan napas yang panjang dengan raut penuh keharuan, kemudian kembali mengulik cerita masa lalu, “Tetapi sudah sekian lama aku menyimpan tanya, bagaimana bisa kau datang dan menyelamatkan nyawaku di malam itu?”

Bibi Nori lalu memandangi ayahku dengan tatapan yang sayu. “Sebelum kejadian, Suto, Ayahku, dan teman-temannya mengadakan rapat di rumah kami. Aku menguping pembicaraan mereka di dinding kamarku, dan aku pun tahu kalau kalian dalam bahaya.”

“Apa yang mereka bicarakan?”

Bibi Nori lantas menunduk dengan raut muram. “Seperti yang kau alami pada akhirnya, mereka berencana menghabisi kalian dengan tuduhan komunis.”

“Termasuk dengan merekayasa penemuan bendera parti di rumahku?”

Bibi Nori mengangguk lesu. “Ayahku berkata bahwa ia telah menyusupkan bendera partai terlarang di rumah kalian. Dengan begitu, mereka hanya perlu melakukan adegan penemuan bendera partai itu untuk meyakinkan para warga.”

Ayahku pun tampak pilu. “Apa yang mereka inginkan?”

“Yang kutahu pada waktu itu, mereka tak ingin aksi mabuk dan judi mereka diganggu, terutama oleh Ayahmu yang alim. Mereka pun ingin menguasai pemerintahan kampung agar mereka bebas melampiaskan nafsu mereka. Apalagi, mereka tahu kalau para pembasmi komunis akan dianggap sebagai pahlawan dan diberikan kekuasaan.”

“Lantas, kenapa mereka menyasar aku yang masih kecil dan tak tahu apa-apa?”

“Mereka takut kalau suatu saat kau akan jadi masalah bagi mereka. Apalagi, mereka paham kalau sebagian masyarakat memang memandang komunisme seperti gen yang dapat menurun kepada anak-cucu.”

Ayahku pun terenyuh.

Senyap sejenak.

Ayahku kemudian berdeham dan kembali bertanya pada Bibi Nori, “Apa yang membuatmu terdorong untuk menyelamatkanku di malam itu?”

Bibi Nori tersenyum mendengus. “Aku sendiri tak tahu. Mungkin karena kau adalah teman sepermainanku yang baik, dan aku tak ingin kehilangan teman bermain.”

“Apa kau tak takut pada Ayahmu yang selalu tak suka setiap kali mendapati kita bermain bersama?”

“Entahlah. Ketakutanku seperti menghilang saja di waktu itu,” katanya, lantas tersenyum haru.

“Lalu, kenapa kau terpikir saja untuk membawaku ke rumah Ibu Dumi?”

“Aku mendengar instruksi dari Ayaku kalau Ibu Dumi tak boleh dilibatkan dalam operasi. Aku tak tahu alasannya pada saat itu, tetapi kukira kita bisa memahaminya saat ini.”

Ayahku mengangguk-angguk paham.

Obrolan mereka pun berakhir.

Kami lalu terdiam saja. Hening.

Warna-warna langit kemudian tampak semakin memudar. Malam menjelang. Kami lantas beranjak ke dalam rumah.

Waktu bergulir cepat.

Akhirnya, di awal malam, kami pun berhimpun di kursi-kursi yang melingkar di samping meja makan. Kami duduk sambil menyantap hidangan yang tersaji lengkap, seolah-olah makan malam kali ini adalah sebuah pesta besar untuk kebersamaan kami.

“Apa kalian berdua sudah punya rencana?” tanya Ibu Dumi, sambil menatap aku dan Naya silih berganti.

Aku dan Naya pun saling melirik, kemudian lekas saling berpaling.

“Maksud Nenek, rencana apa?”

Ibu Dumi lalu berkisah, “Dahulu, aku dan Tian, Kakek sambungmu, sangat dekat,” katanya, lalu meneguk air minum sekali. “Aku memendam perasaan padanya, dan belakangan waktu, aku pun tahu kalau ia memendam perasaan padaku. Namun kami tak pernah jujur tentang perasaan kami masing-masing. Sampai akhirnya, aku pun menikah dengan Suto, dan ia mesti melajang sekian lama demi perasaannya padaku.”

Aku sontak merasakan keanehan. Sekian lama aku hidup dengannya, tetapi baru kali ini ia menceritakan kisah itu padaku.

Ibu Dumi lalu mengarahkan pandangannya padaku. “Akhirnya, ketika peristiwa kelam itu terjadi, dan aku menemuinya untuk membawa kita ke negeri pelarian ini, aku telah putus harapan bahwa hubungan kami akan kembali seperti sedia kala. namun ia ternyata masih menjaga perasaannya yang lambat terucap.”

Perlahan-lahan, aku mulai mengerti maksud Ibu Dumi.

“Aku ingin kalian belajar bahwa sesungguhnya kitalah yang menciptakan momentum. Jangan melewatkan kesempatan hingga kalian menyesal setelah terlambat,” tuturnya, sembari melirik-lirik aku dan Nori. “Kita mungkin akan bersama pada akhirnya, tetapi itu tidak lebih baik daripada kita bersama pada awalnya.”

Aku memahami maksud Ibu Dumi. Kuterka, Naya pun begitu.

“Segerakanlah!” tutur Bibi Nori.

“Ya, sebaiknya begitu,” timpal ayahku.

Nenekku lalu mengangguk-angguk, sambil tersenyum. “Kami telah merestui kalian,” katanya.

Seketika, Aku dan Nori kambali saling melirik, seolah-olah mata kami telah mengutarakan jawaban kami masing-masing.

Mereka pun tampak menahan tawa.

Beberapa menit kemudian, kami kembali menjeda obrolan untuk menandaskan makanan dengan perasaan dan pikiran masing-masing.

Waktu bergulir.

Kami lantas bergeser ke ruang keluarga. Kami duduk di sofa sambil berbincang-bincang dan menonton televisi

Tiba-tiba, perhatian kami tertuju pada siaran berita yang mengabarkan perhitungan cepat sejumlah lembaga survai tentang hasil pemilihan umum di tanah air kami hari ini. Dan seperti yang kami harapkan, calon presiden yang menjanjikan pengusutan kasus pelanggaran HAM masa lalu dan senantiasa dituding sebagai antek komunis, berhasil mengungguli pihak lawannya yang punya keterkaitan dengan sejarah rezim otoriter dan senantiasa mencitrakan dirinya sebagai kelompok agamais.

“Syukurlah. Ini hasil yang kita harapkan,” seru ayahku, dengan raut penuh kesenangan.

Pada wajah Nenekku, Ibu Dumi, Bibi Nori, dan Naya, aku pun melihat raut kesyukuran yang sama seperti ayahku.

Layar televisi kemudian menampilkan tanggapan sejumlah politisi dalam menyikapi hasil sementara dari penyelenggaraan pemilu. Ada yang merayakan indikasi kemenangan calon presiden sokongannya dengan seru-seruan gembira, ada pula yang menolak indikasi kekalahan calon presidennya dengan melontarkan sangkaan-sangkaan adanya kecurangan dalam penyelenggaraan pemilu.

Sesaat kemudian, layar televisi lalu menayangkan sejumlah kekacauan akibat pertikaian di antara para pendukung calon presiden di beberapa wilayah tanah air. Di berbagai lokasi yang meliputi seluruh wilayah tanah air, juga telah terdeteksi adanya potensi kekacauan pascapemilu.

Keadaan menjadi sangat genting.

“Semoga situasi di tanah air segera terkendali,” harap ayahku.

“Semoga,” timpalku.

Sampai akhirnya, layar televisi menyiarkan pertemuan dua paket calon presiden dan wakil presiden untuk menyikapi prediksi hasil pemilu dan gejolak di sejumlah wilayah tanah air.

Calon presiden yang diprediksi sebagai pemenang pemilu kemudian memberikan pernyataannya, “Aku mengucapkan terima kasih banyak kepada seluruh masyarakat yang telah terlibat dalam pesta demokrasi di negara kita, baik yang memberikan suara bagi kami atau tidak,” katanya, dengan wajah berseri-seri. “Jika prediksi hasil pemilu hari ini sesuai dengan yang ditetapkan di kemudian hari, maka kemenangan kami ini adalah kemenangan bagi semua anak bangsa. Karena itu, upaya rekonsiliasi politik untuk meredakan ketegangan dan kerenggangan di tengah masyarakat akibat proses pemilu, akan kami tempuh dengan lapang dada. Semua akan kami lakukan demi masa depan bangsa ini.”

Setelah itu, calon presiden yang diprediksi kalah dalam pemilu kemudian memberikan pernyataannya “Aku mengharapkan seluruh masyarakat untuk tenang dan menghormati proses pemilu. Kalah dan menang adalah keniscayaan dalam demokrasi, tetapi kita harus tetap bersatu demi kemajuan bangsa dan negara kita,” katanya, dengan sikap tenang. “Oleh karena itu, jika hasil perhitungan cepat saat ini sesuai dengan hasil yang ditetapkan di kemudian hari, kami siap membantu pemerintah jika dibutuhkan untuk terlibat langsung di dalam kabinet.”

Setelah sesi konferensi pers itu selesai, kedua paket calon presiden dan wakil presiden itu lalu berfoto bersama dengan sikap yang begitu mesra.

Kekalutan sontak melanda batinku. Perasaanku, tiba-tiba menjadi muram. Harapanku mati seketika. Kemenanganku telah menemukan kekalahan. Perjuanganku berhasil hanya untuk sampai pada kegagalan. Bagaimana bisa mereka membicarakan masa depan dengan melupakan masa lalu kami? Bagaimana bisa mereka menyepakati perdamaian dengan mengabaikan keadilan bagi kami? Bagaimana bisa mereka mengatasnamakan bangsa dengan menghapus nama kami?

Aku melihat Ayahku, Nenekku, Ibu Dumi, Bibi Nori, dan Naya, masih menatap layar tanpa banyak bicara, seolah-olah mereka sedang menimbang-nimpang hubungan apa yang tengah dan apa yang akan terjadi dengan perasaan dan pikiran mereka masing-masing.

Dengan perasaan yang kelabu, aku lalu beranjak ke dalam kamar. Aku lantas menyalakan laptop dan melanjutkan ketikan novelku yang telah tertunda beberapa waktu. Aku kembali merangkai bagian akhir cerita itu setelah aku menemukan bahan penutup yang tragis.

Beberapa lama kemudian, aku pun berhasil menandaskan cerita novelku sebagai satu kisah yang utuh dan berkesinambungan. Dengan perasaan lega, aku lantas masuk ke dalam akun surelku untuk segera mengirim naskah itu ke sebuah penerbit.

Namun tiba-tiba, aku menemukan sebuah pesan misterius yang masuk di hari kemarin: Berhentilah menulis. Kalau tidak, berarti kau menginginkan kematian!

Tanpa peduli, aku lekas saja mengirimkan naskah novelku, sembari berharap kisah kehidupanku yang porak-poranda akibat sejarah yang kelam, dapat menjadi penunjuk jalan bagi segenap anak bangsa untuk menuju ke masa depan.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar