Minggu, 07 Februari 2021

Hampanya Kata-kata

Aku masih tak mengerti bagaimana takdir bekerja. Aku merasa telah mencoba dengan sungguh-sungguh untuk mendapatkan penghidupan yang kuharapkan, namun hasilnya tetap saja nihil. Maka mau tak mau, demi bertahan hidup dengan hasil kerja sendiri, aku harus tetap bersabar untuk bertahan sebagai seorang pramuniaga di toko bangunan milik pamanku, sampai aku berhasil mendapatkan pekerjaan dengan level yang sebanding dengan ijazah sarjanaku.

Sungguh, aku merasa tak punya kedudukan yang bisa untuk kubanggakan kepada orang-orang.  Sebagai seorang karyawan level bawah, aku hanyalah seorang pesuruh yang harus rela diperintah oleh seorang bos, pamanku sendiri, yang hanya seorang tamatan SMA. Aku mesti bersabar menerima kesimpulan yang mencuat di tengah keluarga besarku sendiri, bahwa kuliahku selama bertahun-tahun, adalah kesia-siaan belaka.

Akibat dari keadaan finansialku yang pas-pasan, dan gengsi pekerjaanku yang rendahan, aku pun menjadi sangat tidak percaya diri untuk mendapatkan seorang pendamping hidup. Apalagi, terhitung sudah tiga kali aku mengutarakan maksud perasaanku kepada perempuan untuk menjalin hubungan yang serius, namun selalu saja berbalas penolakan. Dan aku bisa mengerti, bahwa keadaanku yang mengenaskan untuk masa depan, adalah alasan yang masuk akal bagi mereka.

Menjadi bukan siapa-siapa di usia yang hampir menginjak kepala tiga, bukanlah keadaan yang mudah aku terima. Setiap hari, aku mesti menjalani rutinitas yang membosankan di tengah pikiranku yang menginginkan keadaan hidup yang lain. Meski kadang-kadang aku merasa bahwa aku kurang bersyukur saja, tetapi pencapaianku yang jauh tertinggal dari teman-tamanku, akan kembali menegaskan kenyataan hidupku yang memang menggetirkan.

Dalam kerendahan diri, tanpa penghargaan dari orang-orang, aku masih menggantungkan harapan untuk kehidupan yang lebih baik. Dan untuk menjaga asaku itu tetap menyala, pesan-pesan dari para motivator menjadi bahan bakar hidupku setiap hari. Karena itu, aku menata ruang-ruang pelarianku di dunia maya, sehingga aku hanya menyimak pesan-pesan penyemangat hidup dan mengabaikan unggahan orang-orang yang rentan membuatku iri hati dan berputus asa.

Sampai akhirnya, kebiasaanku membaca pesan-pesan positif, berhasil mengubah cara pandangku saat ini. Aku tersadar untuk mulai menikmati keadaan hidupku, sembari berusaha menjadi lebih baik. Aku tersadar untuk berhenti memaksakan diri menjadi seperti orang lain. Aku tersadar untuk hanya menjadi diriku sendiri. Dan semua kesadaran itu, adalah buah dari pesan bijak yang aku dapatkan dari akun motivasi hidup di Twitter, bernama Makna Hidup.

Sesuai namanya, akun Makna Hidup itu memang senantiasa mengunggah nasihat-nasihat tentang cara memandang hidup. Tentang bagaimana setiap orang mesti menemukan arti hidupnya sendiri, tanpa merisaukan kenyataan hidup orang lain. Tentang bagaimana setiap orang mesti bersabar dan bersyukur seiring waktu menyingkap takdir hidupnya, sebab tak ada kepasrahan atau kesungguhan  upaya yang dapat menggelincirkan takdir dari garis yang telah ditetapkan.

Takdir telah digariskan dengan seadil-adilnya. Setiap orang tak akan mati sebelum mendapatkan keseluruhan jatah takdirnya.

Penyingkapan takdir hanya soal waktu. Ada yang cepat, ada yang lambat. Ada yang kehilangan dan ada yang mendapatkan. Ada yang mesti bersabar, ada yang mesti bersyukur.

Jadi, janganlah terlalu senang atau sedih untuk perihal yang pasti akan tergapai atau terlepas dari kita.

Seperti itulah unggahan nasihat dari akun Makna Hidup yang berhasil membuatku semakin menerima keadaan hidupku dengan apa adanya. Seuntaian pesan motivasi yang dahulu kuanggap serupa petuah kosong belaka, namun akhirnya malah membuatku bisa bertahan hidup sampai kini.

Tetapi, lima hari berlalu sejak mengunggah nasihat perihal takdir itu, akun Makna Hidup tak lagi membuat unggahan baru. Entah apa yang terjadi pada diri seseorang atau mungkin orang-orang di balik akun itu. Sama sekali tak ada informasi. Aku hanya berharap, dia atau mereka yang entah siapa itu, hanya sibuk untuk urusannya di kehidupan nyata, dan baik-baik saja untuk terus menyampaikan pesan-pesan positif untuk orang yang sedang mencari makna hidup.

Sampai akhirnya, di tiga per empat malam ini, seorang sahabatku tiba-tiba menelepon ketika aku baru saja mengecek laman akun Makna Hidup untuk ke sekian kalinya, dan masih tak menemukan nasihat yang baru.

“Aku di-PHK pihak perusahaan, dan aku tak punya sumber penghasilan lagi,” tutur Misran, teman baikku semasa kuliah itu, setelah basa-basi yang singkat.

Aku yang selama ini mengira bahwa kehidupannya akan baik-baik saja setelah ia diterima bekerja di sebuah perusahan besar yang bergerak di bidang pemasaran otomotif, tentu saja kaget mendengar penuturannya. “Kenapa bisa?’ tanyaku.

“Perusahaan itu mengalami masalah keuangan. Target penjualannya menurun drastis,” terangnya, dengan nada lesu. “Ya, sebagai karyawan baru yang masih level bawah, akhirnya, aku jadi korban.”

Aku pun terenyuh, kemudian lekas meramu balasan yang kiranya tepat. “Ya, sebagai teman, aku hanya berharap kau bisa bersabar. Setidaknya, kau masih baik-baik saja. Dan masalah pekerjaan, hanya perlu kau usahakan lagi,” balasku, sekenanya.

“Kalau aku sih, bisa saja bersabar. Tetapi kekasihku, calon istriku, pasti tidak akan terima dengan keadaanku yang seperti ini,” timpalnya seketika, penuh kekhawatiran. “Aku takut ia memutuskan hubungan kami.”

Aku pun semakin kasihan mendengar kekalutan hati atas kejatuhan hidupnya. Dan diam-diam, aku merasa semakin patut mensyukuri hidupku yang tenyata baik-baik saja, meski begini-begini saja.

 “Aku harus bagaimana?” tanyanya kemudian, seolah telah kehilangan harapan.

Sebagai seorang yang tak sepengalaman dalam soal level pekerjaan dan hubungan asmara, aku pun kebingungan meramu saran untuknya. Hingga akhirnya, aku teringat pada nasihat-nasihat kehidupan terkait permasalahan hidupnya dari akun Makna Hidup, “Jangan berputus asa soal kehidupan, apalagi soal percintaan. Kalau kekasihmu itu tidak bisa menerimamu dalam keadaanmu yang tidak baik-baik saja, itu berarti ia belum sungguh-sungguh mencintaimu,” kataku, mengutip inti dari unggahan Makna Hidup dengan kata-kata yang berbeda.

Deru napasnya pun terdengar memburu.

“Kehidupan ini ada naik-turunnya. Bagaimana pun, cepat atau lambat, setiap orang yang berada di posisi atas, pasti akan jatuh. Makanya, pasangan hidup yang baik adalah yang selalu setia mendampingi dalam keadaan apa pun, karena hidup memang tak selamanya akan baik-baik saja,” sambungku, sembari berharap ia bisa mengerti. “Jadi keadaanmu sekarang adalah pertaruhan baginya. Kalau ia bertahan, berarti ia memang baik untukmu. Tetapi kalau ia mengalah, berarti ia memang tidak baik untukmu.”

Hening beberapa detik.

Ia terdengar mengambil napas, lalu membalas dengan intonasi yang tenang. “Ya, kata-katamu benar. Aku akan merenungkannya baik-baik,” katanya, seolah telah terilhami pemahaman baru untuk menghadapi kepelikan hidupnya. “Terima kasih untuk pesan-pesanmu, Kawan.”

“Sama-sama,” pungkasku.

Sambungan telepon pun terputus.

Seketika, aku merasa hidupku begitu berarti sebab telah berhasil membagikan pandangan hidup yang berarti untuk orang lain, untuk sabahatku sendiri.

Setelah kembali merenung-renungkan kehidupanku sendiri dalam beberapa saat, aku pun bersiap-siap untuk tertidur dan menyambut hari yang lebih baik. Namun seperti biasa, aku kembali membuka beranda Twitter untuk mengecek kabar-kabar penting yang mungkin aku lewatkan di hari ini. Hingga akhirnya, sebuah berita mengejutkan terpampang di layar ponselku. Kabarnya, seorang lelaki telah mengakhiri hidupnya sendiri dengan cara gantung diri. Pada secarik surat peninggalannya, ia mengaku kehilangan semangat hidup setelah bertahun-tahun menganggur selepas sarjana. Apalagi, ia baru saja dicampakkan kekasihnya untuk menikah dengan lelaki yang mapan. Ironisnya, ia adalah seorang motivator yang senantiasa mengunggah nasihat-nasihat kehidupan di akun Twitternya: Makna Kehidupan.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar