Minggu, 24 Juli 2016

Arus Waktu

Musim silih berganti. Kini, hujan turun lagi. Ingatan Seno masih samar-samar tentang kejadian delapan tahun lalu. Saat itu, umurnya masih tiga tahun. Terjadilah banjir besar yang melululantakkan perkampungan di desanya. Beberapa rumah di tepi sungai, hanyut terbawa arus. Syukurlah, rumahnya berada di dataran yang agak tinggi. Ia selamat bersama bibinya, Midun.
 
Di balik pergantian musim itu, alam lekas menyembuhkan dirinya. Namun tidak bagi Samidin, tetangga Seno yang berperilaku aneh. Orang kebanyakan mencapnya gila. Sekitar sebelas tahun lalu, sepeninggal istrinya, ia mulai suka menyendiri. Malas bersosialisasi dengan warga kampung. Waktu-waktunya habis di pelataran rumah, merenung, sambil memandangi aliran sungai yang keruh lagi.

Suasana kampung semakin sepi kala musim hujan. Meski para warga berdiam diri di rumah, tetap saja tak semarak. Apalagi, rumah-rumah warga memang berjarak. Sulit kerap saling bertamu. Setiap orang membangun rumah di dekat lahan pertaniannya sendiri. Rumah Seno pun hanya berdekatan dengan rumah Samidin. Dua ratus meter dari situ, dan selanjutnya, baru akan dijumpai kumpulan rumah, yang terdiri kurang dari lima buah. 

Kala tak ada kegiatan berarti, Seno sering kali memerhatikan perilaku Samidin. Biasanya, ia akan mengintip lelaki berusia lebih dari empat puluh tahun itu di celah dinding rumahnya. Ia takut membuat Samidin tersinggung, lalu bertindak nekat padanya. Walaupun sebenarnya, tak sekali pun Samidin membentak, apalagi memukulnya. Hanya saja, raut muka Samidin selalu tak bersahabat padanya. Seakan menegaskan bahwa ia tak suka melihat Seno.

Di sore yang hampir gelap, lagi-lagi Seno melihat Samidin bertindak aneh. Jika sebelumnya ia pernah menendang-nendang boneka sambil memeluk bantal guling, kali ini, lebih parah lagi. Di sela-sela butiran hujan, Seno melihat Samidin menggali tanah di samping rumahnya. Seperti tengah menggali liang besar. Dalamnya mungkin semeter. Samidin lalu memasukkan kotak ke dalam lubang itu, lalu menimbunnya. Tidak lama, Samidin terlihat meratap.

Kejadian itu, tak jelas membuat Seno penasaran. Tapi ia tak berpikir macam-macam. Apalagi, membayangkan kalau Samidin telah membunuh seseorang, memutilasi mayatnya, lalu menguburkannya untuk menghilangkan jejak, seperti yang sering diberitakan di televisi. Jelas, tak ada seorang pun yang serumah dengan Samidin. Pun, tak ada sejarahnya ia melukai orang lain.

Lama-lama, Seno merasa bodoh sendiri serius memerhatikan seseorang yang kurang waras. Ia pun berhenti menjadi mata-mata, tapi mungkin hanya untuk saat ini.

Dan, sebagaimana siklusnya, malam-malam, tepat di tanggal yang sama pada delapan tahun lalu, banjir besar menerjang perkampungan. Desas-desus di kampung mewanti-wanti kalau banjir besar akan datang lagi, sesuai teori siklus delapan tahunan. Entah bagaimana bisa begitu. Bisa jadi, pembalakan liar marak setiap delapan tahun sekali di hulu sungai yang jauh. Mereka yang tinggal di hilir pun, hanya bisa menerima akibat dari penderitaan alam itu.

Biar pun siklus delapan tahunan itu terbukti sesuai sejarah, masih banyak juga warga yang tidak memercayainya. Mereka hanya menganggapnya mitos. Meski sebenarnya was-was juga, mereka tetap abai. Pindah rumah ke pegunungan jelas merepotkan. Selain itu, juga menjauhkan mereka dari sumber air dan jalan umum desa.

Semakin larut, hujan semakin deras saja. Sudah sejak empat hari lalu, hujan terus mengguyur. Matahari pun tak pernah benar-benar mengeringkan bumi. Gerimislah yang menjadi jeda tangisan alam yang seharusnya jadi berkah. 

Air sungai semakin mengeruh. Tingginya pun, sudah mencapai tiga meter lebih. Bertambah ganas. Deras membawa tumpukan kayu kering dari hulu. Tapi itu belum dianggap mengkwatirkan. Banjir biasanya, memang setinggi itu. 

Sampai akhirnya, dugaan warga kembali menjadi kenyataan. Limpahan air hujan yang tak tertahan di pegunungan, meluncur ke sungai. Semakin menumpuk, dan menumpuk. Dan, banjir besar terjadi lagi. Lebih besar dari sebelumnya.

Di tengah deru suara butiran hujan dan gemuruh aliran sungai itu, Seno terjaga. Rumah panggungnya terasa mulai bergetar. Ia pun segera membangunkan Bibinya, Midun. Tanpa pikir panjang, mereka berdua pun bergegas menuruni tangga, dan berlari ke bukit. Menuju tempat aman. Mereka selamat. 

Tapi nahas bagi Samidin. Mungkin karena ia tengah tidur pulas di kamar privatnya seperti biasa, ia tak merasakan apa-apa. Sampai akhirnya, rumahnya yang lebih dekat ke tepi sungai dibanding rumah Seno, hanyut terbawa arus. Tak ada sepuing pun yang tertinggal. Semua hanyut bersama dirinya.

Meninggalnya Samidin, menjadi kedukaan bagi Seno dan Bibinya. Meski selama hidup, lelaki kurus kerempeng itu tak memberi manfaat apa-apa, sisi kemanusiaannya tetap tergugah. Setidaknya Samidin tak menyusahkan.

Berhari-hari dicari, Samidin akhirnya ditemukan warga, tersangkut di tepi sungai desa seberang. Ia kemudian dikuburkan.

Setelah penguburannya usai, dalam suasana duka, rasa penasaran Seno memuncak. Ia tak bisa menahan dirinya untuk segera mengetahui apa gerangan yang telah dikubur Samidin, lelaki aneh, sebelum banjir besar itu datang dan merenggut nyawanya. Dengan senyap-senyap, ia menggali kembali timbunan yang sudah tak jelas itu. Ia tahu, lokasi persisnya di samping kiri pohon durian yang masih berdiri kokoh.

Lama-lama menggali, tampaklah sebuah kotak kayu. Seno pun segera menyibaknya. Di dalam, ada kota besi. Disibaknya lagi. Dan, betapa kagetnya ia menjumpai foto dalam album dan beberapa bingkai. Ia terperanjat melihat sosok-sosok yang terpampang di sana. 

Teringat lagi olehnya satu wajah wanita di sebuah foto yang menggantung di dinding rumahnya. Itu mirip dengan wajah wanita di foto milik Samidin. Bibinya pernah menjelaskan, kalau wanita cantik itu, adalah ibu kandung Seno. Ya, ibunya.

Tidak hanya itu. Pada satu foto, juga terlihat Samidin berdiri berdampingan dengan ibu Seno, di pelaminan. Ada juga foto yang memperlihatkan mereka berdua duduk sambil mengapir seorang anak laki-laki yang tak bisa diperupa Seno. Yang Seno tahu, Bibinya pernah bercerita kalau ia tak punya saudara.

Dengan gelisah hati, Seno pun segera mendatangi Bibinya yang tengah membersihkan tumpukan sampah yang terbawa banjir, di bawah kolong rumahnya. 

“Kenapa Bibi merahasiakan semua ini dariku? Kenapa Bi…?” tanya Seno, mengadu sambil menangis sejadi-jadinya. Ia memperlihatkan sejumlah foto pada Bibinya.

“Maafkan aku Nak. Aku tak bermaksud merahasiakan apa-apa. Hanya saja…” Suara Midun tertahan. Ia jadi tak kuasa menahan air mata. “Ayahmu itu tak menerima kehadiranmu di dunia ini Nak. Dia tak mencintaimu.”

“Bibi jangan mengarang lagi. Aku mohon, ceritakan yang sejujurnya Bi,” pinta Seno dengan sungguh-sunguh. Emosinya meninggi kala mendengar penuturan Bibinya.

“Aku tak membohongimu Nak. Karena kamulah, istri yang sangat dicintainya, meninggal. Dia menyalahkanmu Nak. Dia menyalahkanmu atas kematian Ibumu sendiri saat melahirkanmu Nak. Dia membencimu,” jelas Midun, sambil menangis tersedu-sedu.

Tangis Seno semakin menjadi-jadi. Semua sisi perasaannya tercampur aduk.

Midun mencoba menenangkan Seno yang tampak begitu terpukul.

“Semua telah berlalu. Iklaskan dia Nak. Maafkan dia,” tutur Midun.

Seno tak berkata apa-apa lagi. Perasaannya berkecamuk. Ia tak sanggup menyalahkan Ayahnya, sebab ia menyalahkan dirinya sendiri atas meninggalnya sang Ibu. Ia hanya terdiam.

Hujan pun telah reda. Mentari sore akhirnya membias di perbukitan. Warnanya jingga. Dan, waktu akan memaksa Seno menerima semua yang telah terjadi. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar