Jumat, 01 Mei 2020

Pengabdi Alam

Para petani di Desa Makmur bersedih hati. Hamparan tanah pegunungan seperti telah menguburkan harapan mereka di awal waktu. Tanaman-tanaman yang selalu tumbuh lebat di musim-musim yang lalu, kini hidup setengah mati. Sayur-sayuran, umbi-umbian, dan buah-buahan, hanya menampakkan rona kelabu yang mengecilkan hati.
 
Baru kali ini kondisi pertanian mereka begitu mengkhawatirkan, meski mereka telah melakukan pola penanaman dan pemeliharaan yang baik seperti sebelumnya. Kondisi tanah sepertinya memang tak lagi menghidupi. Teksturnya kering, sedang debit air dari anak-anak sungai semakin merosot, sampai mereka harus melakukan upaya ekstra yang tampaknya sia-sia juga.

Akhirnya, segenap kerja keras mereka sepertinya memang tak mungkin terbayar dengan hasil yang akan mereka dapatkan di masa panen. Kalau tidak sekalian merugi, bisa dipastikan, keuntungannya cuma secuil. Jadi mau tak mau, segenap kebutuhan hidup di masa mendatang, harus mereka sesuaikan dengan keadaan yang akan terjadi.

Tetapi nasib buruk tak sepenuhnya menghancurkan pengorbanan mereka. Setidaknya, ongkos pembelian pupuk dan racun yang terlanjur mereka keluarkan, telah ditanggulangi pemerintah desa dengan dana bantuan sosial sebuah perusahaan yang beroperasi di desa mereka. Bahkan kabarnya, mereka akan mendapatkan bantuan tambahan selepas musim panen yang buruk nantinya.

Kemurahan hati pihak perusahaan melalui aparat desa, tentu terasa membantu bagi masyarakat desa. Mereka tampak senang. Namun tidak bagi Marbas, seorang warga desa yang sedari awal menolak operasi perusahaan tersebut di tanah desa. Baginya, bantuan dari perusahaan tak akan pernah bisa menutupi kerugian mereka atas kerusakan alam.

Marbas tak sekadar berpendapat. Dalam tindak-tandukknya, ia bahkan tak pernah kooperatif dengan pemerintah desa yang diangapnya budak-budak perusahaan. Karena itu, ia tak pernah mau menerima bantuan perusahaan yang disalurkan pemerintah desa. Baginya, berkompromi dengan para perusak alam adalah awal dari hancurnya kehidupan. 

Atas kepeduliannya terhadap alam, Marbas pun memberanikan diri untuk maju dalam pemilihan kepala desa. Pada masa kampanye, ia lalu berjanji akan menghentikan aktivitas pertambangan di desanya. Namun akibatnya, masyarakat yang tak ingin kehilangan segela macam bantuan dari perusahaan, malah jadi antipati terhadap dirinya.

Sudah bisa ditebak hasilnya. Marbas yang urakan, akhirnya kalah telak dalam pemilihan. Tak cukup sepuluh orang yang sudi memilihnya. Tetapi kenyataan itu tak membuatnya mengubah sikap. Ia bahkan semakin beringas menunjukkan tindakan nonkooperatifnya. Ia memilih mengasingkan diri, hingga warga menuding kalau ia telah kehilangan akal sehat.

Atas sikap Marbas yang tampak semakin aneh, dua bulan lalu, datanglah kepala desa terpilih dan seorang pemuka agama ke rumahnya untuk berbincang-bincang.

“Semua sudah selesai, Pak,” kata sang kepala desa, sembari menatap Masbar, setelah kata pengantar yang penuh basa-basi. “Aku harap, Bapak bisa menerima keputusan masyarakat yang demokratis. Bagaimana pun, mereka telah memilih aku sebegai pemimpin di desa ini, dan aku harap Bapak pun demikian.”

Marbas mendengus, lalu tertawa pendek. “Aku tak peduli soal itu. Yang aku pedulikan lebih dari soal jabatan kepala desa. Yang aku pedulikan adalah keberpihakan jabatan itu kepada kepentingan desa ini, bukan pada kepentingan perusahaan tambang itu!”

“Ah, itu terus pendapat Bapak,” keluh sang kepala desa, lantas menggeleng-geleng, tak habis pikir. Ia tampak kalut menyaksikan kekerasan hati Marbas. “Kepentingan bagaimana maksud Bapak? Bukankah bantuan-bantuan perusahaan sangat berguna bagi kehidupan masyarakat? Bukankah kakayaan alam desa kita memang harus dikelola untuk memberikan keuntungan kepada masyarakat?”

Marbas kembali mendengus. Tekesan meremehkan. “Kekayaan alam desa memang untuk kehidupan masyarakat desa, Pak. Untuk kita semua. Tapi yang kita ambil, selayaknya hanya untuk kebutuhan kita, bukan untuk kekayaan kita, apalagi untuk kekayaan segelintir penguasa dan pengusaha,” katanya, lantas menghisap-hembuskan asap rokoknya.

Sang kepala desa menggeleng-geleng saja. Tampak tidak setuju dengan pendapat Marbas.

“Kita perlu menjaga alam desa untuk kebutuhan anak-cucu kita kelak, Pak,” lanjut Marbas, terkesan menasehati. “Tindakan perusahaan terhadap alam desa ini adalah bentuk keserakahan, dan Bapak merestuinya begitu saja. Itu tindakan yang bodoh.”

Seketika, emosi kepala desa pun melonjak, “Bapak yang bodoh!”

Sang pemuka agama sigap menenangkan sang kepala desa, kemudian mengambil alih pembicaraan, “Aku rasa, apa yang dikatakan Bapak Kepala Desa, banyak benarnya, Pak Marbas. Bagaimana pun, perusahaan itu telah membuat banyak perubahan di desa kita. Selain membantu petani, mereka juga memperbaiki jalan desa kita. Bahkan yang lebih penting, mereka membangun rumah ibadah di tengah-tengah desa kita. Bukankah itu hal yang baik?”

Lagi-lagi, Marbas mendengus-meremehkan, seolah-olah ia sedang berbicara dengan seorang anak kecil yang lugu. “Kalau rumah ibadah dibangun dengan mengorbankan kelestarian alam, itu tak ada gunanya, Pak. Itu sama saja dengan menggadaikan agama.”

Sang pemuka agama pun tersentak. Ia lalu mengisap-usap dadanya untuk meredakan emosi, kemudian mengutarakan sebuah petuahnya, “Ada baiknya, Bapak ini lebih memperdalam ilmu agama, agar Bapak tahu mana yang baik dan mana yang buruk. Setelah itu, sedikit demi sedikit, jalankanlah perintah agama itu, agar bapak lebih dekat kepada Tuhan; agar bapak lebih tenang dan menjadi orang yang bijak.” 

Masbar menyengir saja, kemudian tertawa pendek.

Sesaat kemudian, tanpa kata pamit yang bertele-tele, sang kepala desa dan sang pemuka agama pun beranjak pergi.

Setelah percakapan itu, isi kepala Marbas pun tersebar di tengah-tengah desa. Masbar dianggap orang yang teguh dalam kesesatannya. 

Belakangan kemudian, muncullah terkaan dari beberapa warga desa. Mereka menuding bahwa Marbas adalah pembawa petaka bagi pertanian di desa. Apalagi, sedari dulu, ia memang tak pernah melangkahkan kakinya ke tempat peribadatan. Bahkan kebiasaan rutinnya untuk menyendiri di pegunungan, di sebentangan lahan peninggalan ayahnya yang masih berupa hutan, diduga warga ada kaitannya dengan urusan-urusan terkutuk. 

Perlahan-lahan, tersimpullah tuduhan dari sebagian warga bahwa Marbas yang dianggap jauh dari Tuhan, kini mulai berurusan dengan alam gaib. Ia diduga keras sedang melakukan ritual pesugihan demi keluar dari jeratan kemiskinan akibat kemalasannya sendiri yang tak kunjung menggarap lahan miliknya menjadi lahan pertanian. Sedangkan sebagian yang lain menuding kalau Marbas memang sengaja bersekutu dengan makhluk halus untuk mendatangkan kesengsaraan di tanah desa mereka, karena kedengkiannya saja.

Akhirnya, masyarakat desa berbondong-bondong menggeruduk Marbas di rumahnya. Dengan komando sang kepala desa dan sang pemuka agama, mereka pun melontarkan vonis-vonis beserta perintah agar Masbar segera keluar dari kawasan tanah desa. Dan tanpa ada siapa-siapa yang membela, Marbas pun mengalah. Ia lantas beranjak menuju ke lahan hutan peninggalan ayahnya, kemudian tinggal menyendiri di sebuah balai kecil.

Pada malam harinya, hujan deras pun turun. Di leher pegunungan, Marbas tertidur pulas. Begitu pula warga desa di kaki pegunungan. Hingga akhirnya, di tengah gemuruh yang senyap di bawah detak-detik hujan, permukaan pegunungan yang gundul dan curam setelah dikeruk para penambang, akhirnya longsor dan menimbun beberapa rumah warga, termasuk sebuah rumah ibadah yang dibangun oleh pihak perusahaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar