Para
petani di Desa Makmur bersedih hati. Hamparan tanah pegunungan seperti telah menguburkan harapan mereka di awal waktu. Tanaman-tanaman yang selalu tumbuh
lebat di musim-musim yang lalu, kini hidup setengah mati. Sayur-sayuran,
umbi-umbian, dan buah-buahan, hanya menampakkan rona kelabu yang
mengecilkan hati.
Baru
kali ini kondisi pertanian mereka begitu mengkhawatirkan, meski mereka telah melakukan
pola penanaman dan pemeliharaan yang baik seperti sebelumnya. Kondisi tanah
sepertinya memang tak lagi menghidupi. Teksturnya kering, sedang debit air dari
anak-anak sungai semakin merosot, sampai mereka harus melakukan upaya ekstra
yang tampaknya sia-sia juga.
Akhirnya,
segenap kerja keras mereka sepertinya memang tak mungkin terbayar dengan hasil
yang akan mereka dapatkan di masa panen. Kalau tidak sekalian merugi, bisa
dipastikan, keuntungannya cuma secuil. Jadi mau tak mau, segenap kebutuhan
hidup di masa mendatang, harus mereka sesuaikan dengan keadaan yang akan terjadi.
Tetapi
nasib buruk tak sepenuhnya menghancurkan pengorbanan mereka. Setidaknya, ongkos
pembelian pupuk dan racun yang terlanjur mereka keluarkan, telah ditanggulangi pemerintah
desa dengan dana bantuan sosial sebuah perusahaan yang beroperasi di desa
mereka. Bahkan kabarnya, mereka akan mendapatkan bantuan tambahan selepas musim
panen yang buruk nantinya.
Kemurahan
hati pihak perusahaan melalui aparat desa, tentu terasa membantu bagi masyarakat
desa. Mereka tampak senang. Namun tidak bagi Marbas, seorang warga desa yang
sedari awal menolak operasi perusahaan tersebut di tanah desa. Baginya, bantuan
dari perusahaan tak akan pernah bisa menutupi kerugian mereka atas kerusakan
alam.
Marbas
tak sekadar berpendapat. Dalam tindak-tandukknya, ia bahkan tak pernah
kooperatif dengan pemerintah desa yang diangapnya budak-budak perusahaan. Karena
itu, ia tak pernah mau menerima bantuan perusahaan yang disalurkan pemerintah
desa. Baginya, berkompromi dengan para perusak alam adalah awal dari hancurnya kehidupan.
Atas
kepeduliannya terhadap alam, Marbas pun memberanikan diri untuk maju dalam
pemilihan kepala desa. Pada masa kampanye, ia lalu berjanji akan menghentikan
aktivitas pertambangan di desanya. Namun akibatnya, masyarakat yang tak ingin
kehilangan segela macam bantuan dari perusahaan, malah jadi antipati terhadap
dirinya.
Sudah
bisa ditebak hasilnya. Marbas yang urakan, akhirnya kalah telak dalam
pemilihan. Tak cukup sepuluh orang yang sudi memilihnya. Tetapi kenyataan itu
tak membuatnya mengubah sikap. Ia bahkan semakin beringas menunjukkan tindakan
nonkooperatifnya. Ia memilih mengasingkan diri, hingga warga menuding kalau ia telah
kehilangan akal sehat.
Atas
sikap Marbas yang tampak semakin aneh, dua bulan lalu, datanglah kepala desa
terpilih dan seorang pemuka agama ke rumahnya untuk berbincang-bincang.
“Semua
sudah selesai, Pak,” kata sang kepala desa, sembari menatap Masbar, setelah
kata pengantar yang penuh basa-basi. “Aku harap, Bapak bisa menerima keputusan
masyarakat yang demokratis. Bagaimana pun, mereka telah memilih aku sebegai
pemimpin di desa ini, dan aku harap Bapak pun demikian.”
Marbas mendengus, lalu tertawa pendek. “Aku tak peduli soal itu. Yang aku pedulikan
lebih dari soal jabatan kepala desa. Yang aku pedulikan adalah keberpihakan
jabatan itu kepada kepentingan desa ini, bukan pada kepentingan perusahaan
tambang itu!”
“Ah,
itu terus pendapat Bapak,” keluh sang kepala desa, lantas menggeleng-geleng, tak
habis pikir. Ia tampak kalut menyaksikan kekerasan hati Marbas. “Kepentingan
bagaimana maksud Bapak? Bukankah bantuan-bantuan perusahaan sangat berguna bagi
kehidupan masyarakat? Bukankah kakayaan alam desa kita memang harus dikelola
untuk memberikan keuntungan kepada masyarakat?”
Marbas kembali mendengus. Tekesan meremehkan. “Kekayaan alam desa memang untuk kehidupan
masyarakat desa, Pak. Untuk kita semua. Tapi yang kita ambil, selayaknya hanya
untuk kebutuhan kita, bukan untuk kekayaan kita, apalagi untuk kekayaan
segelintir penguasa dan pengusaha,” katanya, lantas menghisap-hembuskan asap
rokoknya.
Sang
kepala desa menggeleng-geleng saja. Tampak tidak setuju dengan pendapat Marbas.
“Kita
perlu menjaga alam desa untuk kebutuhan anak-cucu kita kelak, Pak,” lanjut
Marbas, terkesan menasehati. “Tindakan perusahaan terhadap alam desa ini adalah
bentuk keserakahan, dan Bapak merestuinya begitu saja. Itu tindakan yang
bodoh.”
Seketika,
emosi kepala desa pun melonjak, “Bapak yang bodoh!”
Sang
pemuka agama sigap menenangkan sang kepala desa, kemudian mengambil alih
pembicaraan, “Aku rasa, apa yang dikatakan Bapak Kepala Desa, banyak benarnya,
Pak Marbas. Bagaimana pun, perusahaan itu telah membuat banyak perubahan di
desa kita. Selain membantu petani, mereka juga memperbaiki jalan desa kita.
Bahkan yang lebih penting, mereka membangun rumah ibadah di tengah-tengah desa
kita. Bukankah itu hal yang baik?”
Lagi-lagi,
Marbas mendengus-meremehkan, seolah-olah ia sedang berbicara dengan seorang
anak kecil yang lugu. “Kalau rumah ibadah dibangun dengan mengorbankan
kelestarian alam, itu tak ada gunanya, Pak. Itu sama saja dengan menggadaikan
agama.”
Sang
pemuka agama pun tersentak. Ia lalu mengisap-usap dadanya untuk meredakan emosi,
kemudian mengutarakan sebuah petuahnya, “Ada baiknya, Bapak ini lebih
memperdalam ilmu agama, agar Bapak tahu mana yang baik dan mana yang buruk.
Setelah itu, sedikit demi sedikit, jalankanlah perintah agama itu, agar bapak
lebih dekat kepada Tuhan; agar bapak lebih tenang dan menjadi orang yang bijak.”
Masbar
menyengir saja, kemudian tertawa pendek.
Sesaat
kemudian, tanpa kata pamit yang bertele-tele, sang kepala desa dan sang pemuka
agama pun beranjak pergi.
Setelah
percakapan itu, isi kepala Marbas pun tersebar di tengah-tengah desa. Masbar dianggap
orang yang teguh dalam kesesatannya.
Belakangan
kemudian, muncullah terkaan dari beberapa warga desa. Mereka menuding bahwa
Marbas adalah pembawa petaka bagi pertanian di desa. Apalagi, sedari dulu, ia
memang tak pernah melangkahkan kakinya ke tempat peribadatan. Bahkan kebiasaan
rutinnya untuk menyendiri di pegunungan, di sebentangan lahan peninggalan ayahnya
yang masih berupa hutan, diduga warga ada kaitannya dengan urusan-urusan
terkutuk.
Perlahan-lahan,
tersimpullah tuduhan dari sebagian warga bahwa Marbas yang dianggap jauh dari
Tuhan, kini mulai berurusan dengan alam gaib. Ia diduga keras sedang melakukan
ritual pesugihan demi keluar dari jeratan kemiskinan akibat kemalasannya
sendiri yang tak kunjung menggarap lahan miliknya menjadi lahan pertanian.
Sedangkan sebagian yang lain menuding kalau Marbas memang sengaja bersekutu
dengan makhluk halus untuk mendatangkan kesengsaraan di tanah desa mereka,
karena kedengkiannya saja.
Akhirnya,
masyarakat desa berbondong-bondong menggeruduk Marbas di rumahnya. Dengan
komando sang kepala desa dan sang pemuka agama, mereka pun melontarkan vonis-vonis
beserta perintah agar Masbar segera keluar dari kawasan tanah desa. Dan tanpa ada
siapa-siapa yang membela, Marbas pun mengalah. Ia lantas beranjak menuju ke
lahan hutan peninggalan ayahnya, kemudian tinggal menyendiri di sebuah balai
kecil.
Pada
malam harinya, hujan deras pun turun. Di leher pegunungan, Marbas tertidur pulas.
Begitu pula warga desa di kaki pegunungan. Hingga akhirnya, di tengah gemuruh
yang senyap di bawah detak-detik hujan, permukaan pegunungan yang gundul dan
curam setelah dikeruk para penambang, akhirnya longsor dan menimbun beberapa
rumah warga, termasuk sebuah rumah ibadah yang dibangun oleh pihak perusahaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar