“Negara Indonesia adalah
Negara hukum”, ditegasan dalam UUD 1945 Pasal 1 ayat (2). Berdasarkan ayat
tersebut, Indonesia menganut sistem pembatasan kekuasaan secara konstitusional,
sehingga kekuasaan sah haruslah memiliki landasan yuridis. Fungsi negara untuk
melindungi segenap bangsa membutuhkan instrument hukum yang jelas, agar
rakyat terhindar dari penindasan penyalahgunaan kekuasaan negara. Kebutuhan
warga negara akan perlindungan haknya tidak mungkin terwujud pada tata
kehidupan yang anomi, sehingga dibutuhkan penegasan norma untuk mewujudkan
ketertiban hidup. Norma agama, kesusilaan maupun kesopanan sangat sulit
dikukuhkan di negara ini,sebab rakyat memiliki latar belakang budaya yang
berbeda-beda. Sadar akan konsep NKRI yang menjunjung tingggi semboyan Bhinneka
Tinggal Ika, dibutuhkan keterlibatan negara dengan sifat (memaksa,monopoli dan
mencakup semua) yang melekat padanya,untuk mewujudkan norma yang berlaku bagi
seluruh warga negara, yaitu norma hukum.
Sistem pemerintahan yang otoriter
akan memberikan batasan terhadap kebebasan berekpresi dan rakyat akan
diperalat negara oleh alat-alat kekuasaanya. Kebebasan untuk memenuhi hak dan
kewajiban harusnya tercipta di dalam kehidupan bernegara yang demokratis,
di mana negara hadir sebagai alat penjamin. Supremsi hukum untuk
perlindungan hak asasi manusia (HAM), akan membuat seluruh warga negara
bebas berperan aktif dalam pembangunan negara. Di negara hukum, bukanlah
negara yang punya kekuasaan, tetapi negara hanya sebagai alat warga negara
untuk mewujudkan keadilan HAM mereka, yang kewenangannya pun diberikan oleh
hukum. Hal itu juga ditegaskan dalam dalam UUD 1945 bahwa rakyatlah yang
berdaulat berdasarkan hukum. Oleh karena itu, negara tidak punya wewenang untuk
mengekang kebebasan warganya,selama sejalan dengan aturan hukum. ”Setiap orang
berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat” (UUD
1945 Pasal 28E ayat (3) )
Kemajuan sebuah negara membutuhkan
instrumen hukum yang baik dan benar-benar diaplikasikan oleh warganya, bukan
hukum yang tidur. Perkembangan hukum terus-menerus sesuai kebutuhan
perkembangan zaman, sehingga dibutuhkan rumusan hukum yang tetap sesuai dengan
nilai budaya bangsa, agar rakyat mampu menjiwai dan pengalikasikanya
dengan tulus. Demi terciptanya keadaan tersebut, dibutuhkan adanya sarana
komunikasi hukum yang menyebarkan pengetahuan hukum, hingga bermunculan kritik
dan saran untuk perumusan hukum yang lebih ideal. Peran inilah yang diemban
pers mahasiswa (persma), yaitu sebagai pelopor dan kritikus wacana hukum
secara akademis.
Kehadiran persma harus menjadi
lentera permasalahan hukum di negeri ini, bukan sekadar menyampaikan
“pelecehan” hukum dan akibatnya, tetapi menelisik akar permasalahan, mengapa
pelanggaran hukum dapat terjadi dan apa langkah preventifnya? Berada di
lingkungan akademis, dengan pemikir yang bertebaran, harusnya dimanfaatkan
untuk mendiskusikan kemudian memberitakan setiap fenomena hukum dengan
pendekatan intelektual. Demonstrasi anarkis yang mengedepankan emosi dan
berujung pada konflik horizontal, dapat diminimalisir jika optimalisasi peran
persma dengan menyediakan ruang aspirasi yang seimbang antara pihak yang
bersilang pendapat dalam dimensi vertikal. Ketika penguasa negara acuh tak acuh
terhadap permasalahan rakyat, rakyat seharusnya tidak mengutamakan perlawanan
fisik melawan kekuatan senjata negara, tetapi melumpuhkan wewenang yang
diberikan hukum kepadanya melalui analisis hukum, sebab negara kita adalah
negara hukum.
Pada awalnya, Indische Vereeniging
sebagai cikal-bakal pers yang dibentuk tahun 1908 oleh pelajar indonesia di Belanda,
bertujuan menciptakan kesadaran dan semangat perjuangan bangsa untuk
melepaskan diri dari belenggu kolonialis. Pasca kemerdekaan, persma berfungsi
sebagai agen perubahan dan kontrol sosial dalam memperbaiki tatanan kehidupan
bernegara. Sebagai agen perubahan,persma diharapkan mampu memberitakan
persoalan faktual dan aktual dalam kehidupan berbangsa, sehingga
masyarakat berpikir dan merespons untuk menuju perubahan yang lebih baik. Jadi
dalam hal ini, persma menjadi “penggali” informasi permasalahan hukum yang
terkadang tertutupi atau kurang dilirik, namun sangat berpengaruh secara luas.
Sebagai agen kontrol sosial, persma berusaha mengawal jalannya pemerintahan, kemudian mempertanyakan dan menginformasikan apabila ada kebijakan yang tidak sesuai
dengan aturan atau kehendak rakyat, sehingga pihak yang berwenang beserta masyarakat tersadar untuk
ikut serta dalam mengawal kebijakan pada jalur yang benar.
Terpadunya kekuatan pers dan mahasiswa dalam persma memberikan jaminan bahwa persma tidak hanya menitipberatkan aspek kuantitas penyampaian informasi, tetapi menyediakan pengetahuan yang betul-betul mendalam terhadap permasalahan kehidupan bernegara. Mahasiswa yang dipandang sebagai gelar tertinggi pencari ilmu, tidak seharusnya menumpuk ilmunya untuk kepentingan pribadi semata, dan melupakan tanggung jawab pengabdiannya kepada masyarakat, melainkan mengaplikasikan itu dalam kehidupan bermasyarakat. Pers sebagai wadah berpendapat tanpa diskriminasi dalam melakukan pressure kebijakan pemerintah, harusnya dimanfaatkan oleh mahasiswa untuk menyampaikan ide-ide cemerlangnya, sehingga yang diserap oleh masyarakat bukan hanya kesemrawutan hukum semata, tetapi disertai solusi perbaikan.
Pasal
3 ayat (1) UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers menyatakan fungi pers ialah sebagai
media informasi, pendidikan, hiburan dan kontrol sosial. Hal itu menegaskan
pentingnya pers sebagai samudera wawasan dan hiburan yang bermanfaat bagi
masyarakat, serta pengendali terhadap kebijakan pemerintah. Oleh karena
itu, tidak berlebihan jika lembaga pers sering disebut sebagai pilar keempat
demokrasi (the fourth estate), sebab
pers memiliki kewenangan untuk mengoreksi jalannya pemerintahan negara oleh
tiga pilar demokrasi yang lain (legislative, eksekutif, dan yudikatif). Tanpa
pers, dapat dibayangkan kemungkinan terjadinya pengabaian terhadap asas-asas demokrasi.
Dalam mencapai tujuan persma sebagai
agen perubahan dan kontrol sosial, harus tercipta kondisi persma yang
independen. Kekhawatiran akan aib, membuat individu dan kelompok menganggap pers
sebagai musuh yang perlu untuk dijinakkan, sehingga kezalimannya pun tertutupi
dengan narasi pers yang “menjilat”. Semakin gencar pengaruh untuk menghancurkan
ideologi persma, harusnya dianggap sebagai bukti bahwa pers masih
ditakuti, bukannya rela menjadi budak para penguasa dan pengusaha. Pers yang
bertugas bekerja untuk kepentingan masyarakat banyak akan kokoh dengan topangan
rakyat yang merasa pemberitaan persma merupakan hal yang baik untuk
perkembangan bangsa. Ideologi kerakyatan yang mengilhami tindakan persma, harusnya
memberikan semangat untuk terus mengkritisi kebijakan birokrat yang menindas
rakyat atas nama hukum, sebab hukum diciptakan untuk rakyat. Permasalahan
klasik persma adalah keterbatasan dana untuk melakukan aktivitasnya, hingga
mengharuskannya terikat dengan sumber-sumber pendanaan yang memberikan
implikasi psikologis bahwa persma harus “berterima kasih”. Selain itu,
keberadaan persma sebagai unit kegiatan maasiswa yang dibawahi oleh lembaga
perguruan tinggi, membuatnya penuh dengan kontrol yang menumpulkan
kekritisan informasinya.
Dalam kehidupan akademis kritikan
dan saran dinggap sebagai anugerah. Sebab itu, harus tercipta independensi persma
demi transparansi untuk perubahan menuju kehidupan bernegara yang
konstutusional. Perguruan tinggi sebagai replika kehidupan berbangsa yang
menjunjung kebebasan perpendapat, haruslah membuat persma bebas menyebarkan
informasi, sehingga mahasiswa yang intelektual tidak sekadar merumuskan
konsep, tetapi menyarankan konsep tatanan negara hukum yang ideal melalui persma,
atau setidaknya saran perbaikan untuk institusi pendidikan itu sendiri. Oleh
karena itu, perlu dirumuskan kebijakan untuk membuat persma independen.
Jalannya bisa dengan memutuskan ikatan pendanaan dengan institusi yang termasuk
ruang ligkup pemberitaannya dan mencari sumber pendanaan yang tidak
berpengaruh terhadap pemberitaan, menciptakan persma yang terlepas dari kontrol
institusi pendidikan melalui kesepakatan dengan birokrat untuk independensi
persma, ataupun menguatkan lembaga persma lingkup nasional untuk mendiri dalam
segala aspek. Albert Camus, novelis terkenal dari Perancis pernah mengatakan
bahwa pers bebas dapat baik dan dapat buruk, namun tanpa pers bebas, yang ada
hanya celaka.