Sang calon bupati petahana pun menyengir, lalu menjawab dengan sikap santai. “Ya, setiap orang memang berhak melontarkan penilaian. Tetapi tentu semua itu bersifat subjektif. Ukuran objektif atas keberhasilan kepemimpinanku pada periode ini, hanya bisa dilihat pada hasil pilkada yang akan datang. Kalau masyarakat kembali mempercayakan aku menjadi bupati, ya berarti aku telah berhasil memenuhi harapan mereka.” Ia lalu mendengkus. “Kita lihat saja nanti.”
Aku pun menjadi kesal setelah kembali mendengar pernyataan retoris dari sang bupati itu. Ia seolah menantang masyarakat yang telah banyak mengetahui boroknya sebagai pemimpin. “Aku yakin, ia tidak akan terpilih untuk periode kedua.”
Aris, seorang sahabat baikku selama berkuliah yang kini menjadi pengurus organisasi kepemudaan di tingkat kabupaten, malah tertawa pendek mendengar komentarku. “Jangan pakai keyakinan dalam persoalan politik, Kawan. Semua kemungkinan bisa terjadi.”
“Aku tahu,” sergahku. “Tetapi melihat secara kasat mata bahwa target pembangunan selama kepemimpinannya telah gagal, siapa-siapa pula yang dengan bodoh menyumbangkan suara untuknya?"
Ia lalu melirikku dengan tajam. “Setiap politisi punya cara untuk menentukan takdirnya, Kawan, dan kita semua hanya peramal yang buta.”
Mendengar kiasannya, aku pun tertawa. “Paling tidak, aku masih menggunakan akal sehat dan hati nuraniku untuk menerawang dan menyikapi intrik politiknya.”
Ia hanya tersenyum kecut.
Tentu saja, prediksiku tentang nasib sang bupati petahan pada gelaran pilkada, bukan tanpa dasar. Sebagai pengurus lembaga independen yang meneliti transparansi pemerintahan, aku tahu betul kalau sang bupati adalah pemimpin yang korup. Dengan kekuasaannya, ia telah membangun jejaring pemerintahan berdasarkan unsur kekeluargaaan dan kekerabatan, agar ia leluasa mempreteli anggaran pembangunan fasilitas publik.
Lebih dari itu, prediksiku juga berdasarkan pada sejumlah hasil survei yang menyatakan bahwa elektabilitas paket calon petahana telah dikalahkan oleh elektabilitas paket calon lawannya. Aku pun meyakini bahwa hasil survei itu valid berdasarkan tanggapan yang aku dapatkan dari sejumlah masyarakat saat aku melakukan penelitian sosial. Mereka merasa kecewa karena menilai pemerintahan sang bupati sangat tertutup dan sarat permainan uang.
Bahkan secara langsung, aku pun menyaksikan kekecewaan serupa dari sejumlah warga di sekitar tempat tinggalku. Mereka menilai bahwa sang bupati telah gagal melakukan pembangunan daerah secara baik dan transparan. Paling tidak, itu terlihat nyata dari permintaan para warga untuk perbaikan dan pembangunan jalan yang tak juga diwujudkan oleh pemerintah kabupaten.
Atas semua kenyataan itu, aku berani menyimpulkan bahwa sang bupati petahana akan tumbang di pertarungan pilkada. Aku memprediksi bahwa perolehan suaranya akan kalah dengan dua calon yang lain, terutama di kawasan desa tempat tinggalku.
Sampai akhirnya, di hari ini, aku mendapatkan kenyataan yang memilukan. Aku harus mematahkan keyakinanku sendiri setelah menyaksikan hasil hitung cepat sejumlah lembaga survei yang menyatakan bahwa sang calon petahana kembali memenangkan pilkada. Aku pun semakin tak habis pikir tentang proses pertarungan politik setelah mengetahui bahwa sang calon petahana memenangkan perebutan suara dari masyarakat sedesaku.
“Kok bisa begitu, ya, Pak?” tanyaku pada seorang warga desa yang kutahu betul sesuara denganku.
Warga itu pun tertawa pendek. “Calon yang punya banyak uang, memang akan selalu selalu memenangkan suara masyarakat miskin.”
“Memangnya, si petahana itu main uang di desa ini?” tilikku, penasaran.
Wajahnnya pun tampak heran. “Jadi, Bapak tidak tahu? Bapak tidak dapat amplop?”
Aku menggeleng.
“Sebagian besar warga di sini dapat uang suara, Pak. Aku pun dapat, dan aku ambil saja. Tetapi aku tak memberikan suaraku untuk si korup itu,” tuturnya, kemudian tertawa lepas.
Aku pun jadi tak mengerti, bagaimana bisa aku sama sekali tak mengendus tentang permainan uang di desaku sendiri.
Namun tak lama berselang, pada layar televisi, aku menyaksikan sang calon petahana menyampaikan pidato atas kemenangan keduanya berdasarkan hasil hitung cepat. Dan di belakang sang bupati itu, aku pun melihat Aris berdiri dengan wajah yang penuh kesenangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar