Bagian ke-13 dari cerita bersambung Setapak Berliku
Pagi baru datang, tetapi aku telah rindu pada malam. Aku kehilangan separuh semangat hidupku setelah tahu bahwa segala tentang kakek-nenekku sudah berakhir.
“Apa rencanamu selanjutnya?” tanya Rano, setelah beberapa lama kami hanya terdiam tanpa ada yang sanggup memulai kata.
Aku menggeleng penuh kekalutan. “Aku tak ada rencana lagi. Harapanku telah habis. Ibuku, juga Kakek-Nenekku, telah pergi secara mengenaskan.”
“Kau jangan putus asa begitu,” sela Fatih. “Soal Kakek-Nenekmu, kita harus mendapatkan keterangan dari saksi yang lain.” Ia lalu berdeham. “Dua hari yang lalu, aku telah mendapatkan identitas seorang saksi mata yang lain, yang kabarnya menyaksikan peristiwa kelam tentang Kakek-Nenekmu, dan aku masih terus meyakinkannya untuk bersedia bercerita tentang peristiwa kelam itu.”
“Tetapi apa gunanya lagi upaya penelusuran itu jika hanya untuk menegaskan kenyataan bahwa mereka memang telah tiada dan tak akan pernah mendapatkan keadilan?” tanggapku, tanpa daya.
“Kau jangan percaya begitu saja keterangan si kakek gila. Apa yang dikatakan orang gila sangat mungkin salah. Keterangannya cuma sebatas petunjuk yang harus kita terlusuri lebih lanjut,” pesan Fatih.
Aku hanya memaknai kata-katanya sebagai basa-basi yang tak sedikit pun membangkitkan semangat dan harapanku. “Aku yakin kakek gila itu berkata benar. Ayahku menyaksikan sendiri ketika Kakek-Nenekku digiring menuju sungai. Ia memang tak menyaksikan kematian mereka, tetapi kita semua tahu apa akhir bagi orang yang dicap pengkhianat ideologi pada waktu itu.”
“Tetapi segala yang tidak kita saksikan, masih mengandung kemungkinan. Siapa tahu, pada titik kritis yang tidak kau saksikan itu, sebuah keajaiban telah terjadi pada Kakek-Nenekmu,” sanggah Rano.
Anggapan Rano pun tak bisa juga meruntuhkan pembenaranku.
“Kau sebaiknya bersabar sambil berdoa untuk kemungkinan terbaik. Jangan memastikan apa-apa sebelum kau menyaksikannya sendiri,” saran Rano.
Aku mengangguk saja, sekadar untuk menghargai pendapatnya.
Hening kemudian.
Rano dan Fatih menuju ke ruang belakang. Luny di sampingku, di atas sofa, sambil menyelonjorkan kakinya yang terluka parah di atas meja. Kami berdua hanya terdiam dengan isi pikiran masing-masing, sembari menatap layar televisi yang menayangkan film kartun.
Berselang beberapa saat, Rano datang kembali sambil mengusap-usap rambutnya dengan handuk, kemudian duduk di samping kiriku. Fatih lalu menyusul, seraya membawa sebuah nampan berisi tiga gelas kopi susu, segelas teh, dan sepiring pisang goreng, kemudian duduk di samping kanan Luny.
“Ini untuk kamu, Sayang,” kata Fatih, dengan sikap tak biasa, sambil meletakkan segelas teh di hadapan Luny. “Minumlah. Semoga lukamu cepat sembuh.”
“Kau meledekku lagi?” kesal Luny. “Kau pasti senang karena aku tak bebas lagi melakukan apa-apa selain berdiam diri sebagai pecundang sepertimu, kan?”
Rano tampak menahan tawa.
Fatih malah tersenyum dan kembali menggoda, “Bagaimana aku tidak senang? Sekarang, aku tak perlu lagi mengkhawatirkan kalau kau akan membahayakan dirimu sendiri.”
Luny melengos. “Akui sajalah kalau kau memang pengecut yang senang karena aku tak bisa lagi mempermalukanmu. Sikap seperti itu lebih terhormat.”
“Bukannya aku pengecut. Aku hanya penuh pertimbangan, Sayang!”
Luny tampak judes. “Ah, dasar laki-laki pengecut!”
Rano menyela. “Aku pikir Fatih benar, Lun. Apa yang kau lakukan kemarin adalah tindakan yang berbahaya.”
Luny mendengus. “Ya, tambah satu lagi,” katanya. “Kalian bertiga memang sama saja! Sama-sama penakut!”
Rano jadi tampak serius. “Ini bukan soal takut atau tidak. Ini soal cara terbaik yang harus kita tempuh untuk mengubah keadaan,” tentangnya. “Kupikir, tindakanmu kemarin rentan membuat korban propaganda isu kebangkitan komunis menjadi terprovokasi dan menggila.”
“Jadi menurutmu kita seharusnya diam saja dan membiarkan para propagandis itu terus berkoar-koar dan meracuni kepala orang-orang?”
“Tentu saja kita harus melakukan perlawanan. Tetapi dalam keadaan genting seperi sekarang, perlawanan itu semestinya diwujudkan dengan gerakan penyadaran,” sanggah Rano. “Aksi unjuk rasa, seperti yang kau lakukan kemarin, malah bisa menjadi dasar bagi orang-orang yang telah dirasuki hantu komunis untuk menegaskan bahwa komunis memang punya simpatisan dan hendak bangkit kembali.”
Luny hanya menggeleng-geleng tak setuju.
“Di dalam situasi perpolitikan yang panas menjelang pemilu seperti sekarang, kita seharusnya tidak melakukan tindakan yang merugikan kepentingan politik pihak yang memiliki visi yang baik terhadap penegakan HAM. Kita semestinya mengupayakan agar pesta demokrasi nanti melahirkan kepemimpinan negara yang memiliki pandangan yang adil terhadap korban sejarah,” sambung Rano.
“Aku sepakat dengan itu,” timpal Fatih.
Luny memberengut.
Rano melajutkan, “Makanya, kita seharusnya tidak reaktif terhadap isu-isu yang sengaja dibuat oleh para politikus licik sebagai jebakan. Kalau kita terpancing, kita akan masuk ke dalam alur narasi mereka sebagai pihak yang kontra, yang mereka perlawankan dengan pendapat umum masyarakat yang masih memercayai kebenaran isu buatan itu.”
Fatih menimpali, “Ya, pendapat Rano benar. Pihak politikus culas memang sengaja menggiring isu komunis untuk menjadi wacana umum karena mereka yakin berada di posisi yang menguntungkan dalam persaingan merebut simpati masyarakat menjelang pemilu.”
“Yang sebaiknya kita lakukan adalah menyikapi isu politik yang sensitif itu secara bijak, sembari membangun narasi politik yang lebih substansial,” simpul Rano.
Diam-diam, aku sependapat dengan Rano.
Luny bergeming saja.
Tiba-tiba, terdengar kegaduhan di sisi dapur, disusul suara ngeong. Fatih lekas mengambil tindakan.
Perdebatan mereka pun selesai.
Akhirnya, kami kembali melakoni urusan kami masing-masing. Fatih berada di halaman belakang dan terdengar berbicara dengan seseorang lewat sambungan telepon. Luny membaca buku. Aku dan Rano menonton televisi.
Tiba-tiba, Fatih menghampiriku dengan tingkah kegirangan. “Ayo, bersiap-siaplah!”
Aku jadi penasaran. “Ada apa?”
“Aku baru saja mendapatkan telepon dari seorang anak calon narasumber penelitianku. Ia mengatakan bahwa ayahnya telah bersedia untuk aku wawancarai tentang peristiwa kelam yang terkait dengan Kakek-Nenekmu,” urainya, dengan penuh semangat.
Aku menangapinya dengan setangah malas. Tetapi melihat rautnya yang tampak memohon, aku pun turut saja.
Akhirnya, kami kembali menyusuri jalan raya yang padat menuju ke sisi kota yang lain, ke rumah seorang lelaki yang menurut Fatih akan memberikan kesaksian yang terpercaya tentang kakek-nenekku.
Setibanya di satu alamat yang telah disasar Fatih, kami pun disambut oleh seorang lelaki yang tampak sudah sangat berumur.
Lelaki itu seketika bertanya, “Siapa di antara kalian yang telah menghajar seorang lelaki gila di rumah sakit jiwa?”
Aku sontak terkejut. “Aku, Pak,” jawabku, dengan dugaan-dugaan yang membuat jantungku berdegup kencang.
Ia lalu memandangi wajahku lekat-lakat, sembari menggenggam kedua lenganku. “Kau sungguh setampan Kakek dan Ayahmu,” pujinya, kemudian memelukku.
Aku jadi semakin bingung.
Sesaat kemudian, ia lalu mengurai pelukannya, kemudian menyalami dan menepak-nepak tanganku. “Siapa namamu?”
“Rumi, Pak.”
“Kau pasti tidak mengenalku. Tetapi aku mengenal baik Kakek-Nenenkmu, juga Ayahmu.”
“Bapak siapa?”
“Aku Malik,” jawabnya, sembari melayangkan senyuman.
Seketika, aku merasa menemukan keajaiban di tengah harapanku yang sekarat.
Ia kemudian menoleh pada Fatih.
Fatih segera menyalaminya dan memperkenalkan diri, “Aku Fatih, Pak, teman Rumi. Akulah mahasiswa yang hendak melakukan penelitian dan butuh kesaksian dari Bapak.”.
“Oh, kalau begitu, sekalian saja,” tanggapnya, dengan sikap hangat, lalu mempersilahkan kami untuk masuk ke dalam rumahnya.
Kami lalu duduk pada posisi yang berhadapan.
“Aku telah mendapatkan kabar bahwa kau telah menemui dan memperoleh informasi dari Suto, orang tua yang gila itu,” tuturnya, dengan raut prihatin.
“Suto?” terkaku seketika. “Jadi, kakek gila itu yang namanya Suto?”
“Ya. Kau mungkin telah mendapatkan keterangan dari Ayahmu bahwa Suto adalah ayah dari Nori, teman masa kecilnya, yang telah menyelamatkan nyawanya di malam pembantaian itu.”
Aku mengangguk dengan kebingunan yang semakin menjalar.
“Aku harap kau bersabar atas apa yang telah kau ketahui,” pesannya kemudian.
“Jadi, apa benar keterangan Suto bahwa Kakek dan Nenekku telah...?” Aku tak sanggup menandaskan pertanyaanku.
Ia menghela-embuskan napas yang panjang, seolah tengah dilanda nestapa yang sama sepertiku. “Yang aku tahu dan aku yakini, Nenekmu lolos dari maut di malam itu.”
Aku tersentak dengan rasa beruntung. “Apa? Bagaimana bisa?” sergahku, mempertanyakan keraguanku sendiri.
“Di malam itu, di tengah kegaduhan, aku dan beberapa orang telah bersekongkol menyelamatkan Kakek dan Nenekmu.” Ia jada melepas batuk. “Kami meminta kepada Suto agar diberikan kepercayaan untuk menangani Nenekmu, dan ia memercayai kami begitu saja. Kami lantas membawa Nenekmu ke sisi lain, lalu memintanya untuk menjerit dan terjun ke sungai.”
“Lalu, bagaimana dengan Kakekku?”
Ia sontak menunduk dan menghela-embuskan napas yang panjang. “Suto yang menanganinya secara langsung.”
Seketika, aku merasakan kepiluan yang mendalam atas nasib Kakekku.
Fatih lalu menepuk-nepuk pundakku. “Bersabarlah!”
Hening sejenak.
“Kenapa Bapak rela mempertaruh nyawa Bapak sendiri untuk melakukan itu?” tanyaku kemudian.
Ia tersenyum haru. “Aku tahu benar tentang Kakek-Nenekmu, juga Ayahmu. Mereka adalah orang yang alim. Mereka berbudi luhur dan penuh keteladanan.”
“Lalu kenapa itu bisa terjadi pada mereka?”
“Motifnya bisa beragam,” katanya. “Namun satu yang kutahu, Suto yang merupakan pejuang kemerdekaan dari satu partai yang kemudian dicap terlarang di tengah revolusi, tak ingin menjadi sasaran pembantaian. Karena itu, ia mengatur siasat untuk mempertahankan hidup dan kehidupannya dengan memfitnah dan mengorbankan Kakekmu sekeluarga.”
Seketika, aku pun mengutuk Suto di dalam hati. “Tetapi bagaimana bisa massa warga jadi turut mendukung aksi Suto?”
“Beberapa dari massa adalah teman judi atau teman mabuk Suto. Sebagian lainnya memang warga biasa yang terperdaya oleh muslihat Suto dan kawan-kawnanya.”
“Lalu, kenapa kaluarga Kakekku yang jadi saasaran mereka?”
“Ya, sebagaimana berandal, mereka tak suka kenakalan dan kebejatan mereka diusik oleh siapapun, terutama oleh tokoh agama seperti Kakekmu.”
Aku pun berusaha menenangkan emosiku atas kebenaran yang telah kuketahui.
Jeda beberapa saat.
Seketika, aku jadi tak sabar bersua dengan Nenekku. “Apa Bapak tahu ke mana aku harus mencari Nenekku?”
Ia mengangguk pelan. “Aku kira, Malik, seorang laki-laki yang terhitung sebagai kakekmu, tahu soal keberadaan Nenekmu. Dari desas-desus yang kudengar, nenekmu sempat tinggal di rumahnya.”
“Malik? Kakekku?”
“Iya. Nenekmu punya seorang saudara laki-laki bernama Malik dari pernikahan kedua ayah mereka. Ia tinggal di tengah kota, di belakang balai kota. Pergilah ke sana dan bertanyalah pada warga yang kau temui. Aku yakin para warga mengenalnya sebab ia adalah seorang politikus.”
Aku mengangguk dengan asa yang perlahan bersemi kembali untuk nenekku. “Terima kasih atas apa yang telah Bapak lakukan. Aku tahu, Bapak telah terusir dari kampung karena aksi Bapak itu, kan?”
Ia mengangguk dengan raut haru. “Ya. Beberapa tahun setelah kejadian itu, Suto dan warga tahu kalau Nenekmu masih hidup, dan mereka tahu kalau akulah otak di balik keadaan itu. Akhirnya, aku yang masih sepupuan dengan Suto pun, diusir dari kampung sejak puluhan tahun yang lalu, dan dilarang untuk kembali.”
Aku terenyuh mendengar penuturannya. “Maafkan kami.”
“Jangan risaukan soal itu,” pesannya.
Aku lalu mempertanyakan persoalan penting yang lain, “Apa Bapak punya pengetahuan tentang keadaan dan keberadaan Nori, anak Suto, teman masa kecil ayahku itu?”
“Terakhir kulihat, ia baik-baik saja. Masih sangat sehat,” terangnya. “Tetapi soal keberadaannya, aku pun tak tahu. Ia merahasiakan alamatnya dari pengetahuan orang-orang, termasuk kepadaku. Mungkin karena ia merasa berdosa pada warga kampung akibat perbuatan Suto, ayahnya. Yang pasti, ia pun tinggal di kota ini sejak belasan tahun yang lalu untuk merawat Suto yang mulai tak waras karena trauma atas kejahatannya sendiri. Ia hidup bersama seorang anak perempuannya, sedang suaminya telah meninggal.”
Aku pun maklum atas kenyataan itu.
Sesaat kemudian, kami pun pamit dan bergegas menuju kediaman Malik.
Setelah sampai di sekitaran balai kota, kami lantas mencari informasi tentang alamat Malik dari orang-orang yang kami jumpai. Satu-dua orang, menggeleng tak tahu. Sampai akhirnya, orang kelima yang kami tanyai mengetahui alamat itu, lalu memberi petunjuk menuju ke sana.
Dalam sejekap, ketika hari sudah sore, kami akhirnya tiba di sebuah rumah yang megah. Di halaman depannya yang luas, tampak sejumlah orang sedang berkumpul mengikuti sarasehan politik. Mereka duduk rapi pada jejeran kursi yang banyak, sambil menghadap pada seseorang yang sedang berpidato di teras depan rumah yang disetel menjadi panggung. Orator yang tampak tua tetapi masih energik itu adalah Malik, sebagaimana keterangan dari seseorang yang hadir.
Duduklah aku bersama Fatih di sisi belakang massa, sembari mendengarkan Malik berpidato tentang permasalahan bangsa, khususnya tentang bahaya komunisme. Ia terdengar menggembar-gemborkan tanda-tanda kebangkitan komunis yang menurutnya sebuah ancaman yang nyata. Ia pun meminta segenap orang yang hadir untuk berjuang memenangkan calon presiden yang getol menyuarakan antikomunis pada gelaran pesta demokrasi, demi masa depan bangsa, katanya.
Suara-suara terdengar sangat riuh di udara. Berselang-seling antara suara pidato para orator yang menggelegar dengan sorakan para hadirin yang gegap gempita. Orator-orator tegas mencaci lawan politiknya yang dicap bersangkut-paut dengan komunis, sembari membangga-banggakan kelompoknya sebagai penyelamat bangsa.
Setelah hampir satu jam kami mendengarkan narasi politik yang picik itu, doa penutup pun dibacakan. Satu per satu orang lalu pergi dan menghilang ke arah yang berbeda-beda, sampai hanya tersisa beberapa orang saja di sekeliling Malik.
Sesat kemudian, beberapa orang yang tampak memiliki peran yang penting itu, pulang dengan mobil mewahnya masing-masing.
Malik lantas masuk ke dalam rumah mewahnya.
Aku pun bergegas mengetuk pintu.
Malik keluar dengan raut keheranan, “Kalian siapa?”
“Aku Rumi,” jawabku, datar.
Ia sontak memerhatikan wajahku. “Rumi? Siapa?”
“Anak Muslim, cucu Sumiah!” terangku, sembari meredam perasaan kesal atas pidatonya.
Ia tampak terkejut. Ia lantas meminta kami masuk ke dalam rumah dan lekas menutup pintu rapat-rapat.
Kami lalu duduk di sofa yang empuk.
“Sudah beberapa hari ini aku mencarimu!”
“Untuk apa mencariku?”
“Untuk keselamatanmu,” katanya, dengan sikap awas. “Beberapa orang mencari-cari keberadaanmu. Mereka memendam kemarahan atas tulisan-tulisanmu. Mereka hendak mencelakaimu.”
“Apa peduli Kakek soal keselamatanku?”
“Jelas saja aku peduli. Kau ini cucuku.”
“Lalu apa yang baru saja aku saksikan? Bukankah itu bukti bahwa Kakek tak peduli pada keselamatanku sedikit pun?” sergahku, dengan emosi yang memuncak menyaksikan kemunafikannya. “Kakek dengan sengaja telah membahayakan nyawaku dan nyawa orang-orang yang Kakek cap sebagai keturunan iblis.”
“Soal keluarga, beda dengan soal politik. Apa yang aku tampilkan tadi, bukanlah diriku yang sesungguhnya. Aku hanya berusaha menyesuaikan diri dengan ritme politik.”
“Itu sama saja,” tegasku. “Kakek ini adalah politikus yang oportunis. Seorang politikus yang dengan mudah menggoreng isu-isu sensitif demi kekuasaan, tanpa peduli bahwa cara-cara picik itu membuat sebagian orang semakin terdiskriminasi!”
“Tetapi aku hanya berusaha menjadi politikus sebagaimana lazimnya.”
“Meskipun Kakek harus membohongi hati nurani Kakek sendiri? Meskipun Kakek harus mengutuk aku, Ayahku, dan Nenekku, saudara Kakek sendiri? Meskipun Kakek harus mengadu domba bangsa Kakek sendiri?”
Ia pun kelimpungan. “Bukan begitu.”
“Kakek benar-benar zalim!” tukasku, dengan kegeraman yang semakin menjadi-jadi. “Aku yakin Kakek sudah tahu cerita yang sebenarnya tentang Kakek-Nenekku. Aku yakin Kakek tahu bahwa mereka hanyalah korban di tengah keadaan kaos akibat nafsu kekuasaan. Namun sekarang, Kakek malah menggunakan taktik licik semacam itu demi kekuasaan juga.”
“Kau seharusnya mengerti bahwa poitik memang begitu.”
“Sudahlah! Berhentilah mengajariku soal politik!”
Ia pun bungkam.
“Katakan saja di mana Nenekku berada?”
Ia menggeleng. “Aku tak tahu.”
“Apa?” sergahku. “Apa hanya karena soal politik Kakek rela mengabaikan saudara Kakek sendiri?”
Ia hanya membisu. Tampak terpojok.
“Keji! Sungguh keji!” kataku. “Aku sungguh menyesal bertemu dengan Kakek dalam keadaan seperti ini!”
Ia terdiam saja, seperti mati kutu.
“Aku harap ini pertemuan kita yang pertama dan terakhir!”
Ia tak berkutik.
“Ayo kita pergi,” kataku pada Fatih.
Kami lalu beranjak tanpa kata-kata permisi.
Setelah melalui perjalanan yang panjang, kami pun tiba kembali di rumah pada awal malam.
Aku memutuskan untuk segera berbenah diri, menyelesaikan ketikan opiniku, lalu mengistirahatkan jiwaku dalam lelap.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar