Bagian ke-16 dari cerita bersambung Setapak Berliku
Aku terjaga saat matahari mulai meninggi. Mataku lantas menatap langit-langit markas yang bercat putih, lalu mengintip sepenggal langit di balik sekerat atap plastik transparan di tengah puncak atap. Sejenak kemudian, mataku bergeser dan tertuju pada berkas cahaya berbentuk persegi tinggi yang terpancar di dinding, yang tampak berasal dari sisi depan markas.
Perlahan-lahan, aku lalu bangkit dan menengok, hingga kulihatlah sebelah daun jendela yang sedikit tersibak. Aku lantas mendekat untuk mengecek, hingga kakiku menapaki butiran-butiran kasar yang mengalur dari depan sebuah rak, tempat buku-buku yang tampak acak-acakan, juga asal dua buku yang jatuh dan tergeletak di lantai, hingga berujung pada pangkal dinding jendela.
Tanpa menunda-nunda waktu, aku lekas menyapu kotoran dan merapikan buku-buku yang kutaksir sebagai hasil ulah kucing dan tikus. Seperti biasa, aku selalu membuat keadaan ruangan bersih dan rapi sebelum menulis supaya pikiranku nyaman merangkai kata-kata. Apalagi, hari ini, aku bertekad untuk menuntaskan tulisanku, lalu mengirimkannya kepada Naya.
Sesaat kemudian, aku pun kembali bergumul dengan huruf-huruf. Selama satu setengah jam, aku terus melakukan pengetikan, sampai akhirnya selesai. Sejenak waktu, aku lalu berseliweran untuk meregangkan otot dan mengistirahatkan pikiran. Lantas setelahnya, aku berhadapan lagi dengan layar laptop untuk melakukan perbaikan gramatika dan substansi secara teliti.
Satu jam kembali berlalu. Tulisan opiniku pun rampung. Segera saja aku mengirimkannya kepada Naya melalui surat elektronik. Setelah itu, aku lalu menyampaikan pemberitahuan kepadanya melalui pesan singkat: Tulisan opiniku sudah terkirim lewat e-mail.
Namun tiba-tiba, aku kembali berhasrat untuk bertemu dengannya malam nanti. Akhirnya, aku pun mengirimkan sebuah pesan susulan kepadanya: Aku akan menunggumu di Kafe Niro jam 7 malam ini, entah kau akan datang atau tidak.
Mobil Fatih yang semalam bermasalah, terdengar berderum dan berhenti di halaman depan rumah.
Aku lalu beranjak ke ruang bawah.
Seketika, aku melihat Fatih membasuh wajahnya di westafel, Rano membaca koran di teras depan rumah, dan Luny menonton televisi di ruang utama. Aku lalu duduk di samping Luny dan turut menyaksikan berita tentang situasi politik yang semakin gaduh jelang hari pemilihan.
“Keadaan semakin kacau saja,” kataku, bermaksud memancing perbincangan setelah melihat ekspresi yang cuek. “Para politikus tampak semakin bodoh.”
Ia pun mendengkus. “Mereka tidak bodoh. Mereka malah terlalu pintar. Mereka tahu isu apa yang tepat dipermainkan untuk mendapatkan simpati masyarakat. Lebih tepat kalau mereka disebut bejat, karena hanya demi kepentingan kelompok, mereka tak peduli pada nurani dan kemanusiaan.”
Aku tergelak. “Pelabelanmu sepertinya lebih tepat.”
Fatih lalu datang membawa nampan berisi empat gelas kopi susu dan sepiring roti. “Sarapanlah, kawan-kawan. Kita harus menjaga kesehatan. Negara hanya bisa dibangun oleh orang-orang yang sehat.”
Aku tertawa.
Luny bergeming.
Rano datang dan bergabung dengan kami.
Siaran televisi lalu menayangkan berita dan analisis tentang biaya politik yang begitu besar.
“Permainan uang memang menjadi akar masalah politik di negeri ini. Pertarungan pemilu hanya soal pertarungan modal para kapitalis,” komentar Rano kemudian. “Selama sistem politik masih transaksional, para pemodal akan melakukan apa saja untuk melindungi kepentingan modalnya, yaitu dengan menjadi penyokong para politikus. Mereka ingin agar kelak, ketika sokongan mereka menjabat, bisnis mereka mendapatkan perlakuan yang istimewa.”
“Politik di negeri ini benar-benar sangat kapitalistik,” timpal Luny.
“Masalahnya, di negeri ini, besaran dana politik memang masih menjadi penentu kemenangan di dalam pemilu,” sambung Rano. “Berbekal dana yang berlimpah, para politikus bisa menggalakkan publikasi untuk meningkatkan popularitas, menyewa lembaga survei dan konsultan politik untuk mengukur dan mengatur kemenangan, bahkan melakukan politik uang yang untuk membeli suara pemilih pragmatis yang tak sedikit.”
“Siapa pemodal yang kau maksud itu?” tanyaku.
“Bisa siapa saja. Entah atas nama individu atau korporasi dalam negeri,” jawab Rano, lalu menjeda untuk menyesap kopi susunya. “Namun karena semakin besar dana politik berarti semakin besar pula peluang untuk memenangkan pemilu, tentu saja tidak menutup kemungkinan para politikus mendapatkan sokongan dana dari pihak asing yang telah disamarkan sedemikian rupa agar tidak terlacak.”
Fatih mendengus sinis, lalu meletakkan segelas kopi susu yang baru saja ia cicipi. “Politikus semacam itu benar-benar telah menggadaikan negara. Kelak ketika mereka berkuasa, mereka akan membayar utang politiknya kepada pihak asing dengan menjual tanah air sendiri.”
“Apakah ada indikasi yang mengarah ke sana?” tanyaku lagi.
Rano mengangguk-angguk cepat. “Pihak pewaris rezim otoriter yang punya hubungan ekonomi yang baik dengan pihak asing, tampaknya mulai merasa kepentingan ekonomi mereka terancam. Aset negara yang mereka kerjasamakan dengan pihak asing di masa dahulu, mulai menyusut akibat upaya nasionalisasi yang dilakukan oleh pemerintah di era Reformasi.”
“Jadi, mereka berusaha melakukan serangan balik?” sangkaku.
“Ya,” jawab Rano. “Tak ada jalan lain bagi pewaris rezim otoriter dan kroni-kroni asingnya untuk menjaga pundi-pundi ekonomi mereka selain kembali bekerja sama untuk menyokong dan memenangkan para politikus yang berpihak pada kepentingan mereka.”
Fatih kembali mendengus sinis. “Tak mengherankan jika jargon-jargon untuk kembali ke zaman pemerintahan otoriter sebagai zaman keemasan bangsa ini, kembali marak.”
“Itu memang taktik yang mereka gunakan,” timpal Rano, lalu kembali menyesap kopi susunya.
“Dan mirisnya, sampai sekarang, sebagian masyarakat belum juga memandang sejarah secara jernih. Mereka mengamini saja cerita kejayaan rezim otoriter yang merupakah hasil rekayasa sistematis yang diwariskan secara turun-temurun, entah sampai kapan.”
“Seharusnya tidak sampai besok kalau kita melakukan perlawanan yang nyata,” ketus Luny.
“Kau mau unjuk rasa lagi?” sergah Fatih, dengan segelas kopi susu yang terhenti di antara meja dan mulutnya.
Luny terdiam dan cuek saja.
Fatih menggeleng-geleng. “Kau seharusnya bisa memahami bahwa reaksi berlebihan akan membuat para pewaris rezim otoriter semakin getol melakukan serangan baik dan mendulang simpati masyarakat menjelang pemilu.”
“Sebagai kambing hitam, kita memang seharusnya tidak bermain-main di kandang macan,” timpal Rano. “Di tengah pemerintahan yang memiliki perspektif yang adil terhadap sejarah yang kelam dan para korbannya, tugas kita adalah merawat dan menjaga keberlanjutannya. Karena itu, janganlah kita melakukan tindakan bodoh yang malah membuat pewaris rezim otoriter semakin nyaman melancarkan intriknya untuk merebut kekuasaan negara.”
“Aku sepakat dengan Rano,” respons Fatih, lalu mengedipkan sebelah matanya ke arahku.
“Aku juga,” kataku.
Luny tampak kesal.
Fatih tertawa mengejek.
Luny tampak semakin kesal.
Fatih lalu beranjak ke dapur, dan Rano segera menyusulnya.
Seketika, terdengarlah bunyi-bunyi perabotan, seolah-olah mereka tengah mengurus bahan makanan yang dibawa Fatih sedatangnya tadi.
Aku pun turut membantu.
Beberapa lama kemudian, makanan hasil racikan kami pun tersaji lengkap. Kami lalu duduk melingkar di samping meja makan untuk bersantap sambil mengobrolkan hal-hal yang remeh.
Setelah pesta makan beres, kami lalu melakoni urusan masing-masing. Luny kembali menonton televisi di ruang utama, sedang kami bertiga beranjak ke atas markas. Rano lantas membaca buku, Fatih membenahi ketikan penelitiannya, sedang aku kembali menyambung naskah novelku hingga tersesat di bagian akhir.
Hari semakin siang. Sesuai rencana, aku hendak mencari keberadaan Nenekku. Maka setelah berdandan rapi, aku lalu beranjak dengan membawa tas ransel yang berisi dokumen-dokumen yang mungkin perlu untuk pencocokan data. Aku juga membawa beberapa foto ayahku yang barangkali perlu untuk mengingatkan dan meyakinkan Nenekku tentang jadi diriku.
Setelah berjibaku melintasi jalanan kota yang macet dengan mobil yang dikemudikan Rano, aku akhirnya sampai di panti pertama dari lima panti yang kami sasar, tetapi nama sumiah tak ada di antara warga binaan. Pada panti kedua, kami kembali tak menemukan nama sumiah. Pada panti ketiga, kami berhasil menemukan dua nama sumiah, namun mereka bukanlah sumiah yang kucari.
Sampai akhirnya, kami mendapatkan keterangan yang berbeda dari pengurus panti keempat. Ada nama sumiah, dan identitasnya menjurus kepada Nenekku. Arsip foto di berkas panti lantas meyakinkan aku bahwa orang itu memang Nenekku.
“Aku ingin bertemu dengannya sekarang!” pintaku dengan penuh harapan.
“Tetapi baru saja seorang perempuan datang menjemput dan membawanya pergi,” terang si wanita pengurus panti.
Aku pun terperanjat.
“Ibu tahu perempuan itu siapa?” tanya Rano.
“Yang aku tahu, namanya Rima. Ia seorang wanita yang baik dan kerap ke sini untuk menjenguk Ibu Sumiah.”
Jelas tak ada nama Rima dalam memoriku. Rano juga begitu.
“Ibu tahu alamat orang itu?” tanya Rano lagi.
Sang pegawai menggeleng-geleng. “Ia tak pernah menitipkan alamatnya di sini.”
Di tengah kekecewaan yang mendalam, aku lantas duduk di sebuah bangku tunggu. Aku lalu menerka-nerka siapa diri sang penjemput Nenekku, dan apa hubungan di antara mereka. Namun terkaanku yang tak berdasar jelas hanya terkaan yang tak berarah.
Akhirnya, aku hanya bisa berharap semoga ada kabar baik tentang Nenekku sesegera mungkin.
“Tenanglah! Setidaknya, perempuan itu orang yang baik sebagaimana keterangan pengurus panti,” nasihat Rano.
Aku pun mengangguk pasrah.
Waktu bergulir cepat. Sudah hampir jam 7 malam. Kami akhirnya pulang.
Namun tiba-tiba, di awal perjalanan pulang, ponselku berdering. Nomor telepon yang tak kukenal, tampak di layar. Sambil berharap pada hal-hal yang baik, aku pun menjawab.
“Halo? Ini aku, Malik,” kata seseorang di ujung telepon. “Aku Malik, Kakekmu.”
Seketika, kekesalan menyembul dari hatiku. “Ada apa meneleponku?”
“Kamu dalam bahaya! Teman-temanmu juga!” tegasnya, dengan terburu-buru.
“Apakah menakut-nakuti orang, seperti ini, adalah jurus politik Kakek juga?
“Aku serius, Rum. Sekelompok orang sedang mencari keberadaan kalian!” katanya, penuh penekanan.
“Bagaimana aku bisa percaya?”
“Entahlah. Aku hanya ingin kau percaya.”
Aku lantas menutup telepon.
“Siapa?” tanya Rano.
“Kakekku, Malik, si politikus hipokritis!”
Rano mendengus.
Ia kembali menelepon, dan aku tak menjawab.
Di tengah kemacetan dan waktu yang memburu, aku lantas teringat janjiku pada Naya. Kukira, aku tak akan bisa berada di Kafe Niro sebelum jam 7 malam ini. Aku pun tak ingin ia bertandang ke kafe dan kecewa sebab aku tak berada di sana.
Aku lantas meneleponnya, namun ia tak menjawab. Aku lalu mengirimkannya sebuah pesan singkat: Maaf, aku tak bisa datang tepat waktu di Kafe Niro. Kau di mana sekarang?
Roda-roda pun terus berputar, dan aku terus menunggu balasan pesan dari Naya.
Tiba-tiba, ponselku berdering. Naya memanggil, dan aku segera menjawab.
Sekonyong-konyong, ia berkata dengan suara yang lirih, “Rumi, aku takut!”
Aku pun terkejut. “Ada apa? Kau di mana sekarang?”
“Aku di kafe Niro,” katanya, pelan-pelan. “Aku sedang bersembunyi di toilet. Beberapa orang di luar pintu sedang mencariku. Mereka hendak mencelakaiku.”
Aku sontak mengkhawatirkan keadaannya. “Tetaplah di situ. Aku akan segera datang,” pesanku, sekadar untuk membuatnya tenang dan tidak bertindak ceroboh sebelum aku datang menjemputnya.
“Aku takut, Rum,” katanya, disusul suara tangisan bergumam.
Di tengah kebingunganku sendiri, aku pun kembali menguatkan perasaannya. “Kau akan baik-baik saja. Percayalah!”
Terdengar suara berdebam, dan ia pun memutuskan sambungan telepon.
“Siapa?” tanya Rano.
“Naya, temanku.”
“Ada apa dengannya?”
“Ia terjebak di Kafe Niro. Beberapa orang sedang mencarinya. Seperti hendak mencelakainya.”
“Sial!”
Rano sontak mempercepat laju mobil. Dengan gesit ia menyeruak di cela-cela kendaraan yang padat untuk sampai sesegera mungkin. Tetapi kekhawatiran tetap membuatku merasa seolah waktu merangkak lambat. Aku seolah ingin keajaiban datang dan seketika membawaku ke Kafe Niro secepat kilat. Aku ingin sampai di sana sebelum segala keburukan yang aku takutkan terjadi.
Dengan perasaan yang campur-aduk, aku dan Rano akhirnya sampai di depan Kafe Niro dan melihat beberapa orang berkumpul takut di beranda depan. Kami lantas memasuki ruang kafe dengan langkah cepat, dan melihat perabotan yang berserakan. Kami kemudian menuju ke ruang belakang, dan menemukan lima orang tengah berada di depan sebuah toilet sambil menggedor-gedor pintu.
“Berhenti,” seruku.
Mereka lantas menyudahi gedorannya dan serentak menoleh pada kami.
Seseorang di antaranya lalu mendekat dan memandangi wajahku lekat-lekat. “Akhirnya kau datang juga,” katanya, dengan ekspresi buas.
“Siapa kau? Apa yang kau ingingkan?” tanyaku, dengan rasa penasaran yang bercampur dengan kemarahan.
“Aku ingin kau dan teman-temanmu berhenti berbuat onar, Rumi,” katanya, lantas tertawa pendek.
Aku semakin tak mengerti atas dirinya yang mengenal diriku.
“Tetapi kalian sepertinya memang keras kepala,” kata lelaki itu lagi, lalu mendengkus meremahkan. “Hajar mereka!”
Empat orang di belakangnya kemudian maju ke arah kami. Mereka lalu terbagi dua untuk masing-masing kami.
Tanpa aba-aba, seseorang lalu melayangkan tinjunya ke arah wajahku, berkali-kali. Dengan refleks, aku berhasil menangkis banyak di antaranya. Sampai akhirnya, aku berhasil mengayunkan sebuah sepakan ke sisi perutnya, hingga ia terhuyung dan jatuh setelah kepalanya terbentur di dinding.
Seketika, seseorang yang lain menepak dadaku, dan aku terjungkal ke lantai. Tetapi dengan keberanian yang membara, aku segera bangkit dan beradu fisik. Pertarungan pun berlangsung cepat, hingga aku mengakirinya dengan mendaratkan bogem mentah tepat di pelipis kanannya.
Aku lantas menoleh pada Rano dan melihat ia tengah terbaring dan terpojok oleh seorang lawannya yang hendak kembali menghajarnya. Aku pun mendekatinya untuk memberikan pertolongan sebelum ia dimangsa pukulan. Tetapi tiba-tiba, sebuah tendangan keras mendarat di sisi punggungku. Sebuah tendangan dari sang bos komplotan yang seketika membuatku jatuh tertelungkup.
Dengan wajah beringas, sang bos lalu menghampiriku saat aku tengah berusaha bangkit untuk melawan. Lekas ia menginjak bagian dadaku, hingga aku terlentang kembali dan tak berdaya. Ia lalu menyepak lenganku beberapa kali, dan aku hanya meringkuk menahan sakit.
Ia lalu mencengkeram kerah bajuku, kemudian mendaratkan sebuah tamparan di pipiku. “Rupanya, kau telah bertumbuh menjadi lelaki yang menjengkelkan.”
Aku pun berusaha membaca wajahnya, namun aku tak punya bayangan apa-apa. “Siapa kau sebenarnya?”
Ia tertawa pendek dengan raut merendahkan. “Apa kau sungguh tak mengenalku?” tantangnya, dengan sikap mempermainkan.
Aku jadi sangat kesal atas sikapnya. Aku lalu berusaha menolak cengkeramannya. Sampai akhirnya, aku melihat sebuah tato kalajengking di pergelangan tangan kanannya itu. Sebuah tanda yang seketika membangkitkan kenangan piluku tentang kematian ibuku.
Dengan segenap dendam yang selama ini kupendam, aku pun meninju pelipisnya dengan kekuatanku yang telah bertambah berkali-kali lipat. Aku lalu bangkit dengan amarah yang penuh, lalu menghantam kepalanya dengan sepakan yang keras. “Gopar biadab!”
Sontak, ia tampak kalang kabut, seperti pencuri yang ketahuan beraksi. Dengan cepat-cepat, ia mencoba menjauhiku dengan langkah mengesot. Tetapi atas kemarahanku yang membara, aku sigap melumpuhkan dan menghantamnya tanpa ampun.
Untuk menyeselaikan urusan pribadiku dengannya, aku lalu menyeratnya masuk ke dalam sebuah toilet. Aku kemudian mencengkeram kerah bajunya, lalu mendaratkan tamparan keras di pipinya. “Apa yang telah kau lakukan terhadap Ibuku?”
Ia tak menjawab. Hanya menatapku dengan raut yang datar dan tatapan yang kosong.
Aku lantas meninju wajahnya. “Apa yang telah kau lakukan terhadap Ibuku?”
Ia masih saja bungkam.
Aku lalu membenamkan wajahnya ke dalam air, lalu kembali mengulang pertanyaan, “Apa yang telah kau lakukan terhadap Ibuku?”
Matanya pun berkedip-kedip. Bibirnya bergetar. “Aku…” Ia tampak tak kuasa bertutur. Ia lalu menelan ludah di tenggorokannya.
“Cepat, katakan!” desakku.
“Aku telah…” Napas lemahnya memburu. “Kami telah memperkosa dan membunuh Ibumu.”
Aku sontak geram sembari menangis pedih. Aku lantas kembali menghantam wajahnya dengan tinju. “Kenapa kau melakukan itu? Siapa yang menyuruhmu?”
“Pak Timan,” jawabnya, lemas. “Ia tak suka melihat toko orang tuamu berkembang.”
Seketika, segenap kecurigaanku selama ini, kuyakini sudah sebagai kebenaran. “Apa kau datang ke sini juga karena perintah Pak Timan?”
Ia tak menjawab.
Aku kembali meninju wajahnya.
Ia mengangguk lemas. “Iya. Kami suruhan Pak Timan.”
“Untuk apa?” sergahku
“Hanya untuk memberikanmu palajaran agar kau berhenti mengusiknya, dan pergi dari negeri ini,” jawabnya, dengan sorot mata yang meredup.
Tiba-tiba, gedoran keras menghantam daun pintu, dan seketika tiga orang masuk dan menghajarku. Mereka lalu menyeretku keluar, ke sisi Rano yang tampak tak berdaya, kemudian kembali menghantam kami silih berganti.
Di tengah rasa sakit yang tak lagi kurasakan atas kepedihan hatiku mengenang kematian ibuku yang mengenaskan, Gopar pun kembali datang dengan sikap tubuh yang lemah, namun dengan raut wajah yang kembali bengis.
“Habisi mereka!” perintah Gopar.
Tiba-tiba, seorang lelaki muncul dan menghantam dua orang yang tengah menyiksa kami. Dan entah kenapa, kedua orang itu tak berani membalas. Yang lain pun tidak bersikap. Gopar bahkan terdiam saja.
“Kalian memang biadab!” bentak lelaki itu.
Kelima orang itu perlahan melangkah mundur. Ketiganya tampak kagok, seolah bingung atau takut mengambil tindakan.
“Kami hanya melaksanakan perintah dari bos kami,” balas Gopar.
“Sekarang, aku bos kalian!” titah lelaki itu, geram. “Aku perintahkan kepada kalian untuk tidak lagi berbuat onar. Kalau tidak, semua kebejatannya Bapak Tua itu akan aku ungkap ke publik!”
Ketiga orang itu kemudian pergi dengan langkah buru-buru.
Sesaat kemudian, Naya muncul di balik gerbang dan menghampiriku dengan penuh kecemasan. Lekas kemudian, ia menoleh pada seorang lelaki itu, lalu berucap, “Terima kasih, Pak Topan.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar