Kamis, 30 November 2023

Pinjaman Mati

Lima hari sudah lewat dari waktu jatuh tempo. Ani terus menunggu kedatangan Maskur. Ia yakin kalau tetangganya itu mengingat bahwa ia telah meminjam uangnya sebesar Rp500 ribu. Ia tahu betul kalau orang yang berpiutang tidak akan pernah bisa melupakan uang yang diutangkannya. 

Benar saja. Menjelang sore, saat suaminya kembali ke kebun untuk memeriksa pagar tanaman, Maskur pun bertandang ke rumahnya. Lelaki itu datang dengan raut datar. Ia tampak memendam kekesalan karena Ani tidak sadar diri untuk mendatanginya dan mengembalikan utangnya.

Setelah duduk di ruang tamu dan melakoni basa-basi yang singkat, Maskur lantas menuturkan maksudnya, "Sebenarnya, aku ke sini untuk menagih utang Ibu dua bulan yang lalu. Aku membutuhkannya untuk mengongkosi keperluanku."

Ani pun mengembuskan napasnya keras-keras. Ia lalu menyinggung perkara yang sedari dahulu tidak pernah sanggup ia utarakan kepada Maskur, "Kukira, sudah seharusnya utangku itu dianggap impas, Pak," tuturnya, begitu saja, seolah-olah Maskur akan memahami alasannya.

"Maksud Ibu?" sidik Maskur, heran.

Dengan setengah tega, Ani pun menerangkan, "Istri Bapak punya utang sebanyak Rp500 ribu kepadaku. Karena nilainya sama, ya, kita anggap impas saja.”

"Apa benar begitu?" sergah Maskur. 

Ani mengangguk tegas. "Benar, Pak. Apa ia tak pernah cerita soal itu kepada Bapak?" tanyanya, pura-pura tidak tahu perihal permintaan istri Maskur saat memohon utang kepadanya agar ia tak melibatkan Maskur dalam soal tersebut.

"Tidak pernah," jawab Maskur.

Ani hanya mendengkus. 

Akhirnya, sejenak berselang, dengan raut kecewa, Maskur pamit dan pulang ke rumahnya yang berada tepat di samping kiri rumah Ani. 

Sesaat kemudian, Tono, suami Ani, datang dari kebun. Tono pun menyidik, "Ada apa Maskur bertamu?"

"Dia hendak menagih utangku kepadanya sebanyak Rp500 ribu, Pak. Tetapi aku tidak mau membayarnya dan memintanya untuk mengimpaskan saja utangku itu, sebab Marni punya utang yang sejumlah itu kepadaku," ungkap Ani, apa adanya, untuk yang pertama kalinya.

Tono hanya mengangguk-angguk, lalu melangkah ke ruang dapur membawa kayu bakar pikulannya, seolah-olah perkara yang baru diketahuinya itu bukanlah sebuah masalah yang patut ia kulik.

Marni, istri Maskur, memang telah meminjam uang Ani sebanyak Rp500 ribu. Pertama-tama, tujuh bulan yang lalu, Marni meminjam sebesar Rp250 ribu. Lalu, dua bulan setelahnya, saat pengutangan tersebut jatuh tempo dan mestinya dikembalikan, Marni malah kembali datang untuk meminjam uangnya sebesar Rp250 ribu. 

Pada setiap peminjaman itu, Marni berdalih kalau ia membutuhkan uang untuk mengongkosi keperluan sekolah putranya yang duduk di kelas 3 SD, juga membeli susu untuk putri batitanya. Ia beralasan kalau suaminya yang bekerja sebagai sopir mobil penumpang antarkabupaten milik orang lain, hanya memiliki uang yang cukup untuk kebutuhan pokok mereka sekeluarga.

Karena merasa kasihan, Ani pun bersedia meminjamkan uang kepada Marni. Ia berprasangka baik saja kalau Marni memang membutuhkannya untuk kepentingan-kepentingan tersebut. Sebagai tetangga terdekat, ia merasa berkewajiban untuk membantu. Ia yakin saja kalau Marni akan mengembalikannya pada waktu yang telah mereka perjanjikan. 

Sampai akhirnya, tiga bulan yang lalu, pada hari jatuh tempo, Marni kembali bertandang ke rumahnya. Tetapi itu bukan juga untuk mengembalikan semua utangnya, melainkan meminta perpanjangan waktu pengembalian. Marni mengaku belum mendapatkan uang yang cukup dari suaminya untuk melunasi utangnya. Maka, rela tidak rela, Ani harus bersabar. 

Tetapi dua minggu setelahnya, saat jatuh tempo waktu perpanjangan, Marni ternyata tak datang ke rumah Ani untuk membayar utangnya. Karena itu, Ani berinisiatif balik bertandang dan melakukan penagihan. Namun lagi-lagi, Marni mengaku belum punya uang. Ia lalu kambali menagih seminggu setelahnya, dan Marni masih mengaku belum punya uang. 

Lima hari selanjutnya, dua bulan yang lalu, Ani pun jadi kalut karena ia butuh uang untuk membayar iuran arisan dan ongkos pembuatan baju persatuan ibu-ibu pengajian, tetapi ia sadar kalau ia tak akan mendapatkan piutangnya dari Marni. Kerena itu, dengan terpaksa, ia mencoba meminta perongkosan khusus kepada Tono, suaminya. 

"Aku perlu uang untuk membayar arisan dan biaya pembuatan seragam pengajian, Pak," tutur Ani, dengan raut memelas. 

"Ibu butuh berapa?" tanya Tono. 

"Rp.500 ribu, Pak." 

"Ah, simpananku tak sebanyak itu, Bu. Paling, adanya cuma Rp150 ribu," tanggap Tono, dengan raut menyesal, sebab ia senantiasa menyimpan uang di rumahnya yang jauh lebih banyak dari itu untuk berjaga-jaga kalau ada keperluan yang mesti dibayar. “Kalau bisa ditunda, ya, nantilah, hari pasar, aku tarik uang di bank.”

Ani pun pasrah saja dengan menerima uang yang tak mencukupi keperluannya yang sudah mendesak itu.

Akhirnya, demi menyelamatkan harga dirinya di mata ibu-ibu yang lain, Ani bertekad keras untuk melunasi tanggungannya hari itu juga. Bagaimanapun, hari itu merupakan tenggat waktu kedua yang telah ditetapkan untuknya setelah ia tak kunjung membayarnya. Karena itu, ia akan merasa sangat malu kalau ia kembali menangguhkan kewajibannya.

Untuk itu, Ani menempuh cara satu-satunya. Saat Marni sedang di kampung orang tuanya, Ani pun menandangi Maskur yang sedang mengaso sebelum kembali mencari rezeki di jalan. Dengan sikap memelas, Ani lalu menyampaikan maksudnya meminjam uang sebanyak Rp500 ribu, dengan alasan untuk keperluan anaknya di pesantren. Merasa iba, Maskur pun bersedia. 

Demikianlah alur ceritanya, sampai kemudian Maskur datang ke rumah Ani untuk menagih utang, dan Ani menjadikan utangnya sebagai pengimpasan atas utang Marni kepadanya. 

Detik demi detik bergulir. Akhirnya, saat ini, menjelang malam, saat sedang memasak, Ani mendengar keributan dari sisi samping rumahnya. Ia mendengar suara hardikan Maskur dan suara tangisan Marni. Ia lantas menguping baik-baik, hingga ia mengetahui kalau perkara itu terjadi karena soal utang Marni kepadanya. 

Tak lama kemudian, Tono datang dan turut menyimak. "Apa yang terjadi, Bu?" tanyanya, dengan nada rendah.

"Kedengarannya, Maskur marah kepada Marni karena Marni telah meminjam uang padaku tanpa sepengetahuannya," tutur Ani, setengah berbisik.

Tono pun mendengkus prihatin. "Kasihan Marni. Ia jarang mendapatkan uang belanja dari Maskur yang lebih memprioritaskan pendapatannya untuk selingkuhannya di kota, tetapi ia malah kena marah kalau ia terpaksa meminjam uang ke mana-mana untuk keperluannya dan anak-anaknya."

Seketika pula, Ani terkejut heran atas pengetahuan barunya itu, "Apa benar begitu? Bapak tahu dari mana?"

Tono mengangguk. "Aku dengar dari obrolan dengan bapak-bapak yang lain. Apalagi, kan, sudah menjadi rahasia umum kalau Tono suka main perempuan di tengah pekerjaannya.” 

"Maksudku, kenapa Bapak bisa tahu kalau Tono jarang memberikan uang kepada Marni, sampai Marni harus meminjam uang ke mana-mana?" sidik Ani, tampak merasa aneh.

Tak pelak, Tono jadi kelabakan. "Aku hanya menebak-nebak. Kalau Maskur punya perempuan yang lain, mana bisa ia memberikan nafkah yang memadai untuk Marni. Karena itu, kupikir, Marni hanya bisa memenuhi kebutuhannya dengan berutang," kilahnya, sembari menyembunyikan rahasianya kalau Marni pun telah tiga kali meminjam uang kepadanya dengan total Rp900 ribu. Sejumlah piutang yang barangkali hanya akan ia ikhlaskan sebagai pinjaman mati. Sejumlah piutang yang sebelumnya membuat ia tidak mampu memberikan uang kepada sang istri untuk membayar iuran arisan dan ongkos pembuatan seragam pengajian. 

Ani pun mengangguk-angguk mendengar jawaban sang suami, seperti percaya begitu saja. Ia kemudian mengungkapkan rasa kasihannya kepada Marni atas apa yang sedang terjadi, "Ah, seandainya aku tahu akan begini jadinya, aku mungkin akan mengikhlaskan saja uang yang kupinjamkan kepada Marni."

Tono pun tersenyum pendek. Diam-diam, ia merasa senang mendapatkan persetujuan secara tersirat dari istrinya untuk makin merelakan uang pengutangannya kepada Marni. "Ya. Karena Maskur tak benar-benar menafkahinya, kita memang patut untuk membantunya."

Ani mengangguk-angguk setuju.

 

Cara Bertahan

Dengan laku yang melawan firman nurani
Kejahatan tetaplah sebagai kejahatan
Meski berbalas senyuman manis
Atau sekadar ketenangan
Atau cuma kebisuan
Sebab tak perlu air mata untuk membuktikan kesedihan
Tak perlu darah untuk membuktikan kesakitan
Tak perlu diam untuk membuktikan kematian

Setiap orang hidup dengan daya pertahanannya
Memeluk luka dengan cara yang berbeda
Dengan kegeraman untuk melampiaskan dendam
Atau dengan ketabahan untuk menyembuhkan kepedihan
Atau dengan kekuatan untuk membalaskan cinta
Dan waktu akan membuktikannya


Satu Derita

Betapa terkejutnya aku setelah membuka pintu rumahku dan mendapati seorang wanita tampak tertidur pulas di sofa, di ruang tamu. Aku jelas tak menitipkan kunci serepku dan tak menugaskan siapa-siapa untuk menjaga kediamanku selama seminggu aku berada di kampung kelahiranku, di tengah libur kerjaku. 

"He, kamu siapa?" sergahku. 

Ia sontak terjaga dan berdiri dengan raut kalang kabut. 

Secara refleks, aku mengambil sapu ijuk di sampingku dan mengancamkannya. "He, jangan macam-macam! Kau mau apa di sini?"

Ia lekas menegakkan jari telunjuk di depan bibirnya, lalu mendesis. "Tenanglah. Aku tak bermaksud jahat," tuturnya, lantas mengangkat kedua tangannya.

Aku tak percaya dan tetap mengancamnya. "Lalu, kenapa kau ada di dalam rumahku, he?” sidikku, dengan nada tinggi. 

"Tenanglah. Aku mohon!" pintanya, dengan raut memelas. "Aku bisa menjelaskannya, tetapi tenanglah."

Dengan begitu saja, ketakutanku mereda melihat rupa wajahnya yang menyiratkan kekalutan, juga sikap tubuhnya yang sama sekali tak membahayakan. “Jelaskanlah!”

"Aku kabur dari pencarian pacarku. Ia seorang lelaki yang manulatif, arogan, dan ringan tangan. Sampai akhirnya, tiga hari yang lalu, aku menemukan rumahmu yang tampak kosong ini. Aku pun memutuskan untuk masuk dan bersembunyi di sini," jelasnya, dengan raut pilu.

Seketika pula, aku tersentuh mendengar keterangannya. Apalagi, aku bisa melihat dengan jelas bekas luka goresan yang telah mengering di pipi kanan dan dahinya. 

Akhirnya, dengan perasaan iba, aku lalu meletakkan sapu ijuk di tanganku, kemudian mendekatinya dan menggenggam tangannya. "Aku percaya padaku." 

"Terima kasih," balasnya, kemudian meneteskan air mata.

Aku mengangguk dan jadi makin kasihan. "Tenanglah. Kau akan baik-baik saja di sini."

Ia pun tersenyum simpul, lantas menyeka air matanya.

"Oh, ya, aku bawa roti dan kue.” Aku kemudian membuka sebuah kantong belanjaanku, lalu mengajukan kepadanya. “Makanlah. Kau pasti kelaparan," tawarku, atas kesadaran bahwa aku hanya menyimpan sedikit persediaan makanan di kulkas. 

Ia pun tersenyum kecil. "Terima kasih," tanggapnya, lantas mengambil penganan yang kusodorkan. "Oh, ya, aku minta maaf karena aku telah menyantap persediaan makanmu di sini. Aku bahkan telah menghabiskan air minummu."

"Tidak apa-apa. Nanti aku beli lagi," kataku, lalu balas tersenyum.

Dengan ruat yang tampak tenang, ia kemudian duduk dan menyantap penganan pemberianku. 

"Tenangkanlah dirimu di sini. Aku mau keluar untuk membeli makanan dan minuman untuk kita," kataku.

Ia mengangguk-angguk saja, sembari mengunyah roti.

Akhirnya, aku melangkah keluar rumah, menuju ke warung makan dan toko kelontong yang tak jauh rumahku.

Tanpa kekhawatiran, aku memang telah memercayainya sepenuh hati. Itu karena aku memahami keadaannya berdasarkan pengalamanku sendiri, bahwa betapa menyeramkannya hidup di dalam hubungan yang toksik. Pasalnya, dahulu, aku pun pernah menjalin hubungan dengan seorang lelaki yang posesif dan suka berlaku kasar. 

Kisah kelamku berawal pada satu malam, enam bulan yang lalu, di sebuah kafe. Seusai aku merampungkan urusan kerja akuntanku pada laptop, seorang lelaki yang duduk di meja depanku, tiba-tiba beralih ke kursi depanku, kemudian mengajakku berkenalan. Aku pun meresponsnya. Dan setelahnya, karena pembawaannya asyik, kami lalu mengobrol panjang, hingga ia mengaku sebagai pengacara dari kota seberang dan sedang ada pekara di kotaku. 

Setelah aku mengungkapkan kehendakku untuk pergi, dengan sikap perhatian, ia pun menanggung perongkosanku. Ia bahkan sedia menemaniku pulang dengan taksi daring sewaannya. Karena itu, aku jadi sangat terkesan. Maka sebelum aku sampai di rumahku dan ia melanjutkan perjalanan ke tempatnya menginap, kami pun bertukar nomor kontak.

Setelah momen pertemuan dan perkenalan itu, kami pun terus menjaga komunikasi lewat ponsel. Kalau ia mengaku sedang berada di kotaku di tengah mobilitasnya, dan kami sama-sama punya waktu lowong, kami akan bertemu di kafe atau restoran untuk mengobrolkan apa saja. Bahkan sesekali, kami jalan-jalan di mal dengan kesediannya untuk membayarkan belanjaanku.

Pada waktu kemudian, atas keakraban kami yang makin lekat, kami makin saling percaya. Kami jadi tak hitung-hitungan lagi, seolah-olah milikku adalah miliknya juga. Begitu pun sebaliknya. Karena itu, ia kerap membalanjaiku, dan aku juga sering membelanjainya, terutama kalau ia mengaku belum mendapatkan honornya dalam pengurusan sebuah kasus, sedang uang pegangannya terkuras setelah ia kirimkan untuk kebutuhan adik dan ibunya.

Dengan hubungan yang lekat, kami seolah telah menjadi sepasang kekasih, meski tanpa kata perikatan yang tegas. Kami mulai merasa punya hak terhadap satu sama lain. Ia pun jadi sering bertandang dan nongkrong di rumahku untuk beragam persoalan. Dan pada tahap itulah, aku mulai membaca sifatnya yang pencemburu dan temperamental. Buktinya, ia pernah menghardikku dan menghajarku hanya karena aku melakukan obrolan video dengan teman kantorku untuk urusan pekerjaan, atau juga karena aku pulang dengan pengantaran teman kantorku yang lain. 

Namun setiap kali setelah ia menyakitiku dan membuatku menangis, ia akan bersimpuh di hadapanku dan meminta maaf. Dan selalu saja, aku akan bersedia memaafkannya dan mempertahankan hubungan kami. Aku merasa tak kuasa mencampakkannya, sebab ia pasti akan membuatku khawatir dengan mengancam akan melukai dirinnya sendiri. Ia bahkan pernah mengiris telapak tangannya di hadapanku sebagai bukti penyesalannya karena telah menamparku. 

Tetapi untuk satu kejadian, tiga bulan yang lalu, aku mengambil keputusan yang tegas untuk tidak memedulikannya lagi. Pada satu malam, ia datang ke rumahku dalam keadaan mabuk. Pada malam itu juga, ia membujukku untuk melakukan hubungan badan. Aku sontak menolak. 

Seketika pula, emosinya melonjak. Ia pun menamparku, lalu menindihku, kemudian mencoba memerkosaku. Dengan sekuat tenaga, aku memberontak keras. Akhirnya, ia meninju hidungku, hingga berdarah. Tetapi di tengah ketidakberdayaan, aku sempat juga menggapai vas bunga di meja, di sisi sampingku, dan menghantamkannya ke pelipisnya. hingga ia rebah lunglai.

Aku kemudian bergegas keluar rumah dan meminta pertolongan kepada tetanggaku. Beberapa orang kemudian meringkusnya dan membawanya ke rumah ketua RT. Dan lagi-lagi, di sana, aku memilih untuk tidak memerkarakannya. Selain karena aku khawatir kalau-kalau ia makin kesetanan dan menyimpan dendam terhadapku, juga karena aku tak ingin merepotkan diriku dengan persoalan hukum, apalagi melawan dirinya yang mengaku seorang pengacara. 

Akhirnya, yang kuminta hanyalah kesediannya untuk menandatangani surat perjanjian bahwa ia tidak akan lagi mengganguku, apalagi datang ke rumahku. Kalau ia melanggar, maka perkara penganiayaan dan percobaan pemerkosaannya terhadap diriku, akan dilimpahkan ke jalur hukum. Beruntung, ia menyanggupi, hingga aku tak pernah lagi melihatnya, sampai saat ini.

Setelah kejadian menakutkan itu, aku lalu mencari informasi tentang dirinya di intenet. Aku melakukan penelusuran dengan kata kunci namanya, sebagaimana yang tercantum pada kartu nama advokatnya. Tetapi sayang, aku tak menemukan artikel ataupun akun media sosial yang menampilkan wajahnya atau identitas dirinya sesuai dengan apa yang ia sampaikan kepadaku. 

Karena penasaran, aku lantas menelusuri situs web sebuah kantor hukum yang ia akui sebagai tempatnya berkerja. Aku pun menemukan nama yang sama dengan nama yang ia sebutkan sebagai namanya, tetapi dengan foto sertaan yang bukankah foto wajahnya. Aku kemudian mengirimkan pertanyaan beserta foto wajahnya ke alamat email kantor itu, dan aku mendapatkan balasan bahwa pihak kantor tidak pernah memperkerjakan lelaki dengan wajah yang serupa dengan lelaki tersebut. 

Akhirnya, aku sadar telah terjebak dalam hubungan toksik yang penuh dusta. 

Hari demi hari, aku terus berupaya untuk kembali hidup tenang. Aku ingin terlepas dari bayangan kelam masa laluku yang membuatku belum sanggup membuka hatiku untuk lelaki yang lain. Karena itulah, di tengah kesendirianku, setiap kali cuti atau libur kantor, aku hanya akan pulang ke kampungku untuk membersamai ibuku yang cuma tinggal sendiri. 

Tetapi kini, dengan begitu saja, aku kedatangan seorang teman baru yang senasib denganku dalam persoalan cinta. Aku pun berharap ia mampu mengatasi rasa traumanya atas hubungan spesialnya yang menyeramkan. 

Dan saat ini, setelah membeli nasi kotak, minuman, serta camilan, aku kembali berada di rumahku. Dengan sikap ramah, aku lalu menghidangkan sajian itu di atas meja, dan kami pun menyantapnya bersama-sama.

Setelah bersantap, aku lalu menyelisikinya soal kisah asmaranya yang buruk itu. Perlahan-lahan, atas penuturannya, aku pun merasa seolah menyusuri kembali kisah asmaraku sendiri. Apalagi, ia juga mengakhiri hubungan toksiknya tersebut setelah kekasihnya mencoba memerkosanya. 

"Ternyata, kita senasib. Cerita kita serupa," timpalku, setelah mendengar ceritanya yang memilukan. 

Ia pun mengangguk-angguk. "Aku tahu."

Seketika, aku merasa aneh, sebab aku belum mengungkapkan apa-apa perihal kisahku. "Maksudmu?" sidikku.

Ia lalu membuka sebuah dompet dan mengeluarkan beberapa lembar foto dari dalamnya. Ia lantas memperlihatkanku satu foto yang merupakan fotoku di profil akun Instagram-ku. Ia kemudian membalik foto itu dan menampakkan tulisan alamat lengkap rumahku, juga tulisan data waktu saat kami berkenalan dan saat kami berpisah. "Kita adalah korban dari lelaki yang sama. Ini dompet lelaki bajingan itu," terangnya, lantas menyodorkan lembaran-lembaran foto yang lain. "Selain kita, kuyakin, perempuan-perempuan di foto itu, juga telah menjadi korbannya. Kukira, ia adalah predator seksual yang mencari korbannya secara acak di media sosial."

Aku sontak terenyuh. "Jadi, karena petunjuk fotoku ini, kau akhirnya sampai di rumahku?"

Ia pun mengangguk. "Kurasa, aku akan aman di sini. Kukira, pasti sudah ada perkara besar yang membuat ia pergi darimu dan menjadikan aku sebagai target barunya, Karena itu, kupikir, ia tak akan ke sini lagi. Ya, kalau pun ia ke sini, kita bisa menghadapinya bersama-sama."

Akhirnya, aku jadi paham perihal alur kedatangannya.

"Kupikir, kita harus menemui semua perempuan yang telah menjadi korbannya ini. Kita mesti mengambil tindakan bersama-sama untuk memperkarakannya di jalur hukum, sebelum ada korban lagi," sarannya. 

Aku mengangguk saja.

 

Selamanya Perjalanan

Kau telah sampai pada titik yang kemarin engkau harapkan
Tetapi kau tak dapat jua ketenangan yang engkau angankan
Karena nafsumu malah kembali menatap ke titik yang jauh
Pada impian yang begitu ingin engkau wujudkan esok hari

Dahulu, kau hanya ingin pulang sekolah dan bermain
Dan setelahnya, kau hanya ingin tamat dan berkerja
Dan setelahnya, kau hanya ingin mapan dan berkeluarga
Dan setelahnya, kau hanya ingin beranak cucu dan hidup tenang
Tetapi setelah semuanya, kau malah mengkhawatirkan semua yang akan engkau tinggalkan atau yang akan meninggalkanmu

Nikmat semu memang telah menjeratmu dari harapan demi harapan
Mengejar keinginan untuk kembali mengejar keinginan
Dengan sikap serius dan pantang menyerah
Sampai kau lupa kalau dunia hanyalah panggung permainan
Sampai kau kehabisan waktu atau dihabiskan waktu

Ilmu Baca

Humam kembali melintasi jalan di sebuah kawasan perumahan dosen. Dengan semangat, ia memeriksa tempat sampah di depan rumah-rumah warga. Tanpa perasaan jijik, ia lalu mengambil benda-benda yang bisa ia jual ke pengepul barang bekas. Sebagai seorang pemulung, ia melakukannya dengan serius, demi kelangsungan hidupnya sekeluarga. 

Hingga akhirnya, di depan sebuah rumah yang megah, ia melihat dua kardus di samping tong sampah. Kardus itu berisi tumpukan buku dan lembaran-lembaran kertas. Dengan perasaan gembira, ia pun lekas mengambil barang tersebut dan menaikkannya ke atas gerobaknya. Ia sungguh senang berhasil mendapatkan pulungan berbobot berat dalam sekali waktu. 

Setelah mendapatkan dua kardus besar itu, saat sudah lewat jam 12 siang, Human memutuskan pulang ke rumahnya. Ia pulang dengan tanya-tanya di kepalanya, perihal apa sebenarnya yang dikerjakan para dosen, sampai mereka bisa kaya raya. Kalau mereka memang pendidik yang membagikan ilmu, kenapa mereka malah membuang buku bacaan dan kertas bertulis? 

Tetapi Humam segera mengalihkan pikirannya. Ia merasa bukan siapa-siapa yang patut untuk memusingkan soal pengajaran dan ilmu pengetahuan. Ia sama sekali tak memiliki latar belakang pendidikan yang membuatnya bisa mengerti bagaimana proses pendidikan dijalankan oleh para dosen. Karena itu, ia terus saja mengayun langkahnya sembari mendorong gerobaknya.

Namun tak berselang lama, perasaannya kalut. Ia kembali memikirkan istrinya yang sedang sakit, tetapi ia tak punya cukup uang untuk membawanya ke rumah sakit. Nahas, sebab kartu KIS-nya telah dinonaktifkan, entah karena ia memang masih lebih sejahtera daripada warga yang lain, ataukah karena ketidakcematan bahkan ketidakadilan aparat pemerintah dalam pendataan. 

"Bagaimana keadaan Ibu?" tanya Humam kepada istrinya, selepas mereka sarapan. Ia kemudian bertanya bimbang atas ketidakberdayaannya, "Apakah Ibu merasa harus dibawa ke rumah sakit?"

Sang istri menggeleng. "Tak perlu, Pak,” jawabnya, lantas tersenyum tanggung. “Setiap hari, aku merasa kalau keadaanku makin membaik, kok. Kukira, istirahat di rumah dan meminum obat, akan membuatku sembuh juga.” 

Begitulah selalu tanggapan istrinya, dan Humam hanya akan membenarkannya dengan perasaan tidak tega. Ia bisa menerka kalau sang istri sengaja memilih untuk tidak dibawa ke rumah sakit karena mengerti keadaan keuangan mereka yang memprihatinkan. 

Hari demi hari, Humam memang hanya melakukan penanganan seadanya untuk istrinya yang batuk-batuk selama hampir sebulan, yang tampak makin parah. Ia sekadar membelikannya obat di apotek, seolah penyakitnya tersebut hanyalah penyakit biasa. Padahal, diam-diam, ia menduga keras kalau penyakit sang istri adalah penyakit yang membahayakan. Dipikirnya, barangkali, itulah penyakit TBC yang ditakutkan orang-orang.

Karena ketidakmampuan ekonomi, Humam hanya berpasrah pada keadaan. Ia bahkan memilih tidak untuk sekadar memeriksakan istrinya pada layanan kesehatan. Ia takut kalau diagnosa dokter akan lebih parah dari yang ia duga. Ia tak mau membebani pikirannya dengan keadaan yang tak bisa ia tanggung. Karena itu, ia hanya berharap semoga penyakit sang istri memang cuma batuk biasa dan akan sembuh dengan pengobatan yang biasa. 

Kemiskinan memang telah membuat Humam tak bisa melakukan yang terbaik untuk kesembuhan istrinya. Ia barangkali masih mampu menanggung biaya perawatan istrinya di rumah sakit, tetapi itu jelas akan menguras habis tabungannya. Sedang selain untuk penanganan penyakit sang istri, ia juga butuh persediaan dana untuk keperluan hidupnya sehari-hari, juga untuk keperluan sekolah putri semata wayangnya yang merupakan siswi kelas VI SD. 

Kadang-kadang, timbul juga pikiran Humam untuk memutuskan saja sekolah sang putri agar fokus membantunya memulung barang-barang bekas. Ia pikir, itu tidak hanya akan membuat keuangan keluarganya aman, tetapi juga membaik. Apalagi, seturut dengan status keluarganya yang kembali dianggap sejahtera, putrinya itu bersekolah tanpa mendapatkan bantuan dari pemerintah. Akibatnya, ia harus menanggung semua biaya keperluan sekolahnya. 

Tetapi rencana itu, tak pernah sanggup ia lakukan. Ia masih juga tak tega membuat putrinya bersedih dengan harus menguburkan impiannya. Apalagi, sang putri terhitung pintar, bahkan senantiasa masuk peringkat lima besar dalam perolehan nilai terbaik di kelasnya. Karena itu, ia membiarkan saja sang putri terus bersekolah, meski hari demi hari, ia makin pusing memikirkan ongkos pemenuhan kebutuhan hidupnya sekeluarga.

Sebenarnya, dahulu, perekonomian Humam cukup mapan. Ia dan istrinya memperoleh pendapatan yang memadai dengan bekerja sebagai petugas kebersihan di lingkungannya. Ia sekeluarga juga mendapatkan jaminan kesehatan gratis dari pemerintah. Bahkan putrinya terbebas dari biaya sekolah karena memperoleh bantuan pendidikan. Pada saat itu, ia mampu menyisihkan sebagian penghasilannya untuk ditabung.

Namun tak lama setelah pemilihan ketua RT, satu setengah tahun yang lalu, ia jadi kehilangan seluruh topangan hidupnya. Ia dan istrinya digantikan oleh orang baru sebagai petugas kebersihan. Ia sekeluarga juga kehilangan status sebagai penerima bantuan dari pemerintah. Dan ia menduga kuat kalau itu terjadi karena ketua RT terpilih memendam sentimen negatif kepada dirinya yang telah menjadi juru kampanye calon ketua RT yang akhirnya kalah.

Di tengah ketidakberdayaannya, Humam hanya terus bersabar memikul beban kehidupannya yang berat. Apalagi, ia masih terus menanggung biaya pembelian obat untuk istrinya di apotek. Karena itu, ia tetap mencari cara agar ia sekeluarga kembali dimasukkan ke dalam daftar penerima bantuan pemerintah. Kalau suatu saat berhasil, ia pasti akan segera membawa istrinya ke rumah sakit, dan ia pun tak lagi terpikir untuk memberhentikan anaknya bersekolah. 

Akhirnya, demi keberlangsungan hidupnya sekeluarga, Humam memutuskan untuk kembali menjadi pemulung. Setiap hari, ia akan mencari-cari barang buangan warga, entah kertas, plastik, kaca, dan logam, lalu menjualnya ke pengepul. Dengan tekun, ia melakoni rutinitasnya tersebut, meski hasilnya tak benar-benar menggembirakan. Selain pekerjaan itu, ia merasa tak punya opsi lain, sebab ia hanya tamatan SD yang bahkan tak lancar membaca, sebagaimana istrinya.

Sekian lama berselang, Humam akhirnya sampai di rumahnya yang sederhana. Seperti biasa, ia lalu menempatkan hasil pulungannya sesuai jenisnya di halaman depan rumahnya. Setelah itu, ia lantas menuju ke ruang dapur untuk mengisi perutnya yang keroncongan. Dan lagi-lagi, ia kembali menyantap hidangan ala kadarnya berupa nasi putih, sayur kangkung, dan tempe goreng. Serangkaian hidangan yang membuatnya tetap bersyukur bisa melanjutkan hidup. 

Beberapa lama kemudian, setelah ia selesai makan dan bersiap-siap untuk mandi, putrinya lalu muncul dengan masih mengenakan seragam sekolah. Sang putri lantas menghampirinya dan bertutur antusias, "Pak, ini, aku dapat resep pengobatan tradisional untuk sakit batuk-batuk yang akut," katanya, sembari menunjukkan lembaran-lembaran kertas yang tampak seperti makalah. 

"Kau dapat dari mana?" tanya Humam, heran.

"Aku dapat di antara kertas-kertas pulungan Bapak di teras," jawab sang putri dengan raut semringah, seolah telah mendapatkan penemuan penting. "Aku lihat-lihat, bahan-bahannya cukup sederhana. Ini bisa kita buat sendiri untuk Ibu, agar tak perlu lagi membeli obat-obatan di apotek. Apalagi, kata orang-orang, obat tradisional lebih baik karena tak ada efek sampingnya."

Dengan setengah yakin, Humam mengangguk setuju. 

Sejak hari itu, dengan bantuan dan keterangan putrinya, Humam terus membuatkan obat tradisional untuk istrinya. Ia melakukannya secara rutin dengan mengikuti petunjuk pada makalah hasil pulungannya tersebut. Ia meramunya dengan merjerang rajangan temu lawak dan jahe, lalu menambahkannya dengan asam jawa, jeruk nipis, dan madu. Ia lantas menghidangkannya kepada sang istri untuk diminum.

Hari demi hari, setelah diaplikasikannya resep tradisional itu pada diri istrinya, harapan besar Humam kemudian tampak terwujud. Keadaan istrinya makin membaik, sampai batuknya terdengar makin menjarang. Bahkan dengan daya tubuh yang perlahan menguat, istrinya memutuskan untuk bekerja sebagai pegawai di sebuah kios penatu dengan penghasilan yang lumayan untuk membantu perekonomian keluarga.

Sampai akhirnya, sejak seminggu yang lalu, pada bulan ketiga pengaplikasian obat tradisional yang membuat keadaan fisik istrinya makin bugar, Humam sekeluarga memutuskan untuk merintis usaha sendiri. Mereka bekerja sama meracik dan menjual keripik singkong dan keripik pisang dengan berbagai rasa, sampai mereka mendapatkan keuntungan yang cukup menggiurkan. Dan untuk itu, Humam kembali bersyukur atas pengetahuan putrinya, sebab perkara pembuatan keripik tersebut, juga diusulkan putrinya setelah sang putri menemukan dan membaca sebuah buku resep camilan di antara kertas-kertas hasil pulungannya.

Atas keadaan hidupnya yang berubah drastis ke arah yang lebih baik berkat pengetahuan putrinya dari kertas-kertas bacaan, Humam pun berubah pikiran soal arti pendidikan. Diam-diam, ia bahkan mulai mengancang-ancangkan untuk menyekolahkan putrinya sampai sarjana. Itu karena ia telah memiliki kesadaran baru, bahwa pengetahuan adalah pintu rezeki. Ia yakin jikalau pengetahuan yang tinggi akan membuat seseorang menjadi kaya raya. 

“Kalau usaha keripik kita ini terus berkembang, kau harus sekolah setinggi-tingginya, Nak!" tutur Humam, pagi ini, di hari minggu yang cerah, di tengah pekerjaan mereka memotong-motong pisang dan singkong. 

"Tentu, Ayah! Aku ingin jadi dokter, agar bisa mengobati orang-orang, dan bisa menjadi orang yang kaya," tanggap sang putri. 

Mendengar penuturan putrinya itu, Humam pun tersenyum senang. Begitu pula istrinya.

 

Selama Mungkin

Ada yang berdoa untuk kegagalanmu
Demi keinginannya mewujudkan takdir kalian
Karena kau terlalu cepat berlari, dan ia lelah menyusul
Sedang dunia penuh tipuan yang bisa melencengkan tujuan niat

Harapannya sesederhana rencananya dan serumit keinginanmu
Kau terbanglah setinggi langit, selama kau melayang di awang-awangnya
Atau terjunlah sedalam samudra, selama kau tenggelam di pangkuan palungnya
Sebab kemungkinan yang paling menakutkan baginya adalah terpisah di alam yang sama
 

Pepaya-Pepaya Burung

"Kulihat, ada lagi pohon pepaya yang tumbuh di sudut kebun sana," sahut suamiku, sembari menunjuk ke arah selatan, di tengah langkahnya menghampiriku di rumah kebun kami.

"Baguslah kalau begitu,” tanggapku, lantas menenggak air putih untuk menghilangkan dahagaku selepas memungut buah pala yang berjatuhan.

"Sepertinya, tanah kita ini memang sangat cocok untuk pepaya. Bisa-bisanya pohon-pohon pepaya tumbuh begitu saja," timpal suamiku, kemudian duduk di sampingku.

"Itu karunia dari Tuhan, Pak. Mungkin Tuhan ingin kita berbuat baik dengan buah pepaya-pepaya itu," balasku, sekenanya. 

Ia mengangguk-angguk saja. 

Diam-diam, aku merasa bersyukur. 

Pohon-pohon pepaya memang telah tumbuh di lahan kebun kami. Pohon-pohon itu muncul di seluruh sisi kebun, meski kami tak pernah menanamnya. Kalau kupikir-pikir, itu barangkali terjadi setelah ada orang yang lewat di kebun kami sembari memakan buah pepaya. Orang tersebut lalu membuang bijinya di lahan kami, dan bertumbuh. Anakan-anakannya lantas menyebar setelah kami mengonsumsi buahnya dan membuang bijinya ke sembarang tempat.

Entah bagaimana jalan cerita yang sesungguhnya. Yang pasti, dengan misteri alam, pohon pepaya terus saja bermunculan di kebun kami dengan jenis buah yang tampak beragam. Ada buah dengan daging yang berwarna kuning, berwarna oranye, atau berwarna merah. Semua jenis itu memiliki cita rasa yang berbeda dengan kenikmatan masing-masing. Aku suka menyantap semuanya dan sangat merasakan manfaatnya untuk diriku, terutama untuk pencernaanku. 

Namun jika harus memilih, aku paling menyukai pepaya dengan daging yang berwarna mewah, sebagaimana buah sepohon pepaya yang tepat berada di depan rumah kebunku. Sepohon pepaya yang terhitung tua dan paling tinggi di antara pohon pepaya yang lain tersebut, terlihat masih menggantungkan banyak buah yang montok-montok di bagian lehernya. Tiga buahnya bahkan sudah tampak menguning dan menggoda untuk disantap. 

Tetapi aku memilih untuk tidak memanen buah masak itu dengan menggalahnya dan  menimangnya menggunakan karung atau sarung. Kubiarkan saja begitu, meski salah satu di antaranya telah digerayangi kawanan burung hingga bolong. Kurasa, tak ada salahnya berbagi dengan makhluk hidup yang lain. Kupikir, barangkali Tuhan mengaruniai kami pohon-pohon pepaya agar kami pun berbagi dengan makhluk ciptaan-Nya yang lain. 

Aku memang tidak perhitungan kepada binatang-binatang soal peruntukan buah pepayaku. Buah pepaya yang masak bahkan kerap kubawa pulang untuk kujadikan pakan bagi ayam-ayamku. Selain karena peruntukan untuk konsumsiku sekeluarga memang sudah berlebih, dan para tetanggaku sudah tampak puas menyantapnya, juga karena kupikir tidaklah mubazir jikalau membagikannya kepada binatang. 

Pepaya di kebunku memang cukup banyak. Terhitung ada 6 pohon yang sudah berbuah banyak, 3 pohon yang baru belajar berbuah, serta 3 pohon yang belum berbuah. Karena itulah, aku mesti pandai merancang peruntukan agar buah-buah pepaya yang masak, tidak jatuh dan membusuk sia-sia, entah dengan membagikannya kepada para tetangga, atau dengan memberikannya kepada hewan-hewan. 

Sebab itu pula, agar tidak merepotkanku karena buahnya masak secara bersamaan dalam jumlah yang berlebihan, aku senantiasa mengolahnya dalam keadaan muda. Aku kerap memotong-motong daging mudanya pipih-pipih, lalu memasaknya sebagai sayur dengan campuran daun kelor dan kacang panjang. Aku juga sering memarutnya julur-julur, lantas memasaknya menjadi lauk-pauk dengan campuran santan dan ikan teri asin. 

Selain itu, suamiku senantiasa mengambil buah pepaya kami yang masak dan menjadikannya sebagai pakan untuk enam ekor burung miliknya. Ia suka buah-buah itu menjadi salah satu pakan peliharaannya di antara pakan-pakan yang lain, sebab ia berkeyakinan kalau buah pepaya cukup baik untuk kesehatan burung-burungnya, sebagaimana baiknya untuk kesehatan manusia. 

Kebiasaan suamiku memberikan buah pepaya kepada kawanan burungnya, kurasa cukup menguntungkan. Keadaan itu lumayan menekan pengeluaran uang belanja kami untuk sekadar membeli pakan burung. Uang hasil penghematan pun, bisa dialihkan untuk hal-hal yang lebih bermanfaat. Apalagi, aku memang merasa tidak ada gunanya mengandangkan burung dan mengongkosi pakannya. Bagiku, burung seharusnya bebas mencari makanan di alam. 

Aku memang tidak menyetujui kegemaran suamiku memelihara burung. Selain karena butuh pendanaan khusus, pemeliharaan burung juga menyita waktu yang semestinya digunakan untuk aktivitas yang produktif. Tetapi aku tak punya daya untuk menentangnya. Aku malah pernah kena marah karena mempersoalkannya. Sebab itu, aku membiarkannya saja. Aku hanya berharap semoga ia segera menyadari kalau burung-burung seharusnya bebas untuk terbang ke mana saja. 

Hingga akhirnya, kini, setelah menyantap sebelah bagian buah pepaya yang kupanen dari belakang rumah kebun, suamiku pun memandangi sepohon pepaya di depan kami. Ia lalu memperhatikan buahnya lamat-lamat dengan mata rabun jauhnya yang tanpa kacamata, kemudian berujar, "Sepertinya, satu buah pepaya itu telah bolong dipatuk burung-burung."

"Iya. Dari tadi aku melihatnya," balasku.

"Ah, sial. Kita seharusnya mengambilnya sebelum disantap burung-burung.” Ia lalu memakai kacamatanya, lantas menimpali, “Tetapi paling tidak, kita masih bisa menyelamatkan dua buahnya yang sudah menguning itu."

"Tidak usah kesal begitu, Pak. Toh, di rumah, Bapak juga sering memberikan buah pepaya kita untuk burung-burung peliharaan Bapak. Kenapa mesti pilih kasih?" tanggapku, menyindirnya. 

Sontak, ia mendengkus. Tampak tersinggung. 

Aku lantas menambahkan, "Apalagi, kupikir, kita memang seharusnya berbagi buah pepaya dengan burung-burung itu sebagai sesama makhluk hidup, juga sebagai tanda syukur kita atas karunia Tuhan yang kita dapatkan secara instan.” 

"Apa Ibu sudah tidak waras?” sergahnya. “Kalau mau berbagi, jangan juga berbagi dengan burung-burung itu. Jelas kalau binatang liar adalah hama yang malah bisa menghabiskan semua buah pepaya kita kalau kita biarkan begitu saja."

"Tidak akan begitu, Pak. Yang mungkin terjadi malah sebaliknya, sebab yang sebenarnya serakah adalah kita, manusia," tangkisku, lantas menyambung dengan singgungan atas terkaan kasarku perihal asal-usul pohon pepaya yang bertebaran di kebun kami, "Bahkan kukira, burung-burung itu lebih berhak atas buah-buah pepaya kita. Barangkali, burung-burung itulah yang telah membawa dan menjatuhkan biji-biji pepaya di kebun kita, hingga menyebar seperti sekarang."

"Ah, tidak mungkin," balasnya, tampak tidak terima. 

"Lalu, kalau bukan burung-burung, pelakunya siapa?” sergapku. “Kita jelas sudah sama-sama mengakui kalau sejak awal, kita memang tidak pernah menanam pepaya di kebun kita.”

Seolah kebingungan, ia manyun saja dan tak membalas.

Sejenak berselang, aku lalu menandaskan dengan pendapatku perihal hakikat penciptaan burung, "Kurasa, burung-burung memang diciptakan Tuhan untuk terbang bebas, Pak, dan mereka akan lebih bermanfaat bagi kehidupan manusia jikalau begitu. Karena itu, ada baiknya kalau Bapak melepaskan saja burung-burung yang Bapak kurung di rumah."

Ia bungkam saja dengan raut cuek. 

Akhirnya, percakapan kami soal burung dan pepaya, selesai tanpa kata sepaham. Kami lantas pulang setelah lewat tengah hari dengan sama-sama tanpa kehendak untuk memanen dan membawa pulang dua buah pepaya yang telah menguning di samping satu buah pepaya yang telah dijamah burung-burung. 

Namun setelah sampai di rumah, selepas mandi dan menjemur handuk di teras depan, aku pun terkejut setelah melihat enam ekor burung miliknya yang sebagian merupakan hasil perburuannya sendiri, telah lenyap dari dalam sangkarnya masing-masing. 

Aku lantas bergegas menghampirinya di ruang dapur dengan rasa penasaran. "Burung-burung Bapak di mana?" 

"Sudah kulepaskan," jawabnya, dengan sikap santai.

"Kenapa?" sidikku.

"Bukankah itu lebih baik menurut Ibu?"

Aku terdiam saja dengan perasaan terheran.

Ia lantas berpaling menuju ke kamar mandi.

Perlahan-lahan, aku senang atas keinsafannya.

 

Laku Rupa

Bukalah hati untuk menerima kebajikan dari mulut para pendosa
Karena barangkali kejahatan adalah kejujuran
Dengan keterpaksaan yang mencurigakan
Dengan tujuan menyelamatkan

Bukalah hati untuk menolak kebejatan dari mulut para alim
Karena barangkali kebaikan adalah kedustaan
Dengan kesengajaan yang meyakinkan
Dengan maksud membahayakan

Tak akan celaka diri yang senantiasa mewaspadai rupa-rupa
Karena kehati-hatian adalah jalan keselamatan
Selama kebenaran masih dibenarkan
Selama manusia dimanusiakan

Modal Keinginan

Pohon cengkih itu setinggi tujuh meter. Sebuah tangga bambu bersandar pada tangkai luarnya dengan ikatan tali nilon yang membentang di setiap sisinya. Pada anak tangga tertinggi, Nino menapak tanpa rasa takut. Dengan cekatan, tangannya memetik bunga atau buah cengkih setangkai demi setangkai. Ia lalu masukkan petikannya ke dalam keranjang karung yang menggantung di depannya. Ia baru akan menurunkan keranjang itu setelah terisi penuh.

Nino sungguh semangat memanjat pohon cengkih itu. Buahnya yang banyak, membuat ia terpacu untuk cepat-cepat memetik dan mengisi penuh karung penampungannya. Ia ingin memikul karungnya itu dalam keadaan yang membusung, agar orang-orang terkesima melihat ketangkasannya. Ia sangat ingin mendapatkan hasil petikan yang banyak, agar ia mendapatkan elu-eluan, juga agar keinginannya memiliki sepeda baru, benar-benar terkabul. 

Dua hari yang lalu, Nino memang telah mendapatkan tawaran dari ayahnya. Kata sang ayah, ia akan dibelikan sepeda setelah selesai memetik cengkih petikan terakhirnya. Ongkos pembelian sepeda akan diambil dari hasil penjualan petikannya tersebut. Karena itulah, ia yang sangat mendambakan sepeda sebagaimana tunggangan teman-temannya di kelas V SD, jadi sangat bersemangat untuk segera memetik habis buah sepohon cengkih yang menjadi tanggungannya.

Meski demikian, Nino tetap disiplin untuk menjaga keselamatannya. Ia tetap mematuhi peringatan dari orang tua dan kakaknya untuk tetap berhati-hati. Sebab itu, ketika sebelah tangannya memetik buah, sebelah tangannya akan memeluk erat tangga. Ia pun tak memaksakan dirinya untuk menggapai buah yang berada di luar jangkauannya, sebab ayah atau kakaknya selalu siap untuk menggeser tangganya ke sisi ranting dan cabang yang lain. 

Di sisi lain, Asman, kakak Nino, tak kalah semangatnya. Dengan gesit ia memetik buah sepohon cengkih yang tingginya lebih sembilan meter. Sebagai seorang yang lebih senior, ia jelas lebih lihai dan cepat memetik buah cengkih ketimbang adiknya. Ia bisa memetik menggunakan dua tangannya sekaligus dengan dada dan pangkal paha sebelah kakinya mengait pada tangga. Ia pun bisa menggapai ranting yang melebar dengan jangkauan tangannya yang jauh. 

Sebagaimana Nino, Asman pun makin terpacu karena janji hadiah dari sang ayah. Ia telah dijanjikan akan diberikan ongkos untuk membeli ponsel baru yang ia inginkan setelah memetik buah pohon panjatan terakhirnya. Ongkos itu akan diambil dari hasil penjualan petikannya tersebut. Ia yang tengah duduk di bangku kelas III SMP, jelas sangat ingin mendapatkan ponsel yang canggih seperti milik teman-temannya. 

Menang sudah menjadi kebiasaan ayah Asman dan Nino sedari dahulu, bahwa setiap kali di masa akhir panen cengkih, mereka akan dijanjikan imbalan yang merupakan keinginan mereka. Tetapi syaratnya, mereka harus membersihkan buah pohon cengkih yang ditinggalkan para pemetik upahan karena tampak tidak menarik dan tidak akan menghasilkan banyak jumlah literan. Cara itu cukup ampuh untuk membuat buah cengkih mereka benar-benar terpetik habis.

Kini, memang hanya tersisa dua pohon saja yang belum terpetik dan menjadi tanggungan Nino dan Asman. Pohon-pohon lain telah dipanjati oleh para pemetik pencari upah, juga mereka sekeluarga, pada hari-hari sebelumnya. Karena itu, pagi tadi, sesampainya mereka di kebun setelah mendaki bukit selama sekitar setengah jam, mereka pun terlibat pembicaraan perihal yang mana di antara kedua pohon itu yang akan menjadi panjatan mereka masing-masing. 

"Panjatlah pohon yang kau suka," tawar Asman, atas status dirinya sebagai seorang kakak.

Dengan raut senang, Nino lalu mengamat-amati buah kedua pohon cengkih di depan mereka itu. Hingga akhirnya, ia menunjuk satu pohon. "Aku panjat yang itu."

Asman membalas dengan anggukan dan senyuman. Ia setuju saja. Ia merasa memang sebaiknya demikian.

Sejak awal, Asman memang bisa menebak kalau akan begitulah pilihan Nino. Ia tahu kalau adiknya akan memilih pohon cengkih dengan buah yang kelihatannya lebih banyak. Tetapi Asman yang lebih berpengalaman, paham kalau sebenarnya buah panjatan sang adik tidaklah sebanyak kelihatannya. Itu karena pohon tersebut memiliki buah dengan jari-jari tangkai yang panjang dan jengkang, juga biji-biji buah yang kecil, sehingga volume buahnya sedikit.

Sebaliknya, buah pohon panjatan Asman memang tampak lebih sedikit. Tetapi pada kenyataannya, akan menghasilkan volume buah yang lebih banyak. Itu karena jari-jari tangkai buahnya pendek dan rapat, serta biji-biji buahnya yang lebih besar. 

Namun Asman merasa tak perlu menjelaskan keadaan itu kepada Nino. Baginya, pohon panjatan mereka, sudah cocok untuk diri mereka masing-masing. Paling tidak, ia memanjat pohon yang lebih tinggi, dan adiknya memanjat pohon yang lebih pendek. Apalagi, sang adik memang sudah tampak senang dengan pilihannya atas ketidakpahamannya soal kualitas buah cengkih, sampai sang adik pun tak curiga kenapa para pemetik upahan meninggalkan satu pohon dengan buah yang tampak banyak itu.

Hingga akhirnya, saat sore, kenyataan yang selayaknya pun terlihat pada karung penampungan petikan mereka yang berukuran sama. Karung Nino tampak penuh, sedangkan karung Asman hanya tampak terisi tiga per empat bagian. Padahal, pada hari-hari sebelumnya, petikan Asman senantiasa tampak lebih banyak daripada petikan Nino. Tetapi kenyataan itu sama sekali tak membuat Asman kecewa, dan berhasil membuat Nino senang. 

Sesaat kemudian, mereka lalu pulang dengan memikul hasil petikan mereka masing-masing. Asman jelas merasa tak perlu menawarkan diri untuk bertukar bawaan, sebab ia tahu kalau petikan adiknya lebih ringan daripada petikannya. Pun, dengan demikian, ia ingin sang adik gembira dan bangga membawa hasil petikannya yang tampak lebih banyak, sebab orang-orang yang melihatnya akan mengelukannya. Dan pada kenyataannya, begitulah yang terjadi.

Sekian lama berselang, sampailah Asman dan Nino di rumah mereka. Dengan sikap berlagak, Nino pun menjatuhkan sekarung hasil petikannya ke lantai papan rumah dengan keras, seolah ingin menunjukkan kepada orang tuanya kalau ia telah memetik buah cengkih yang banyak. Dan sebagaimana harapannya, ia pun mendapatkan pujian dari ayah dan ibunya. 

Atas perasaan senangnya yang tak berkesudahan, pada saat malam, Nino jadi begitu bersemangat memipil setangkai demi setangkai buah petikannya dengan tangan. Ia melakukannya dengan cekatan, seolah tak sabar untuk menuntaskannya dan segera mengetahui jumlah literan biji petikannya. Karena itu, ia sanggup memipil lebih lama. Ia baru turut tidur saat hampir jam 2 dini hari. Padahal, sebelum-sebelumnya ia senantiasa berhenti memipil dan tidur sebelum jam 12 malam.

Tetapi tidur selarut itu, tak berhasil juga membuat buah petikan Nino habis terpipil. Masih tersisa sebanyak dua per tiga bagian, meski ibunya telah turut membantunya. Itu terjadi karena keadaan buah cengkih itu yang memang alot untuk dipipil. Jari-jari tangkai buahnya jengkang, sehingga membutuhkan upaya khusus untuk menggenggamnya sebelum menggerusnya dengan telapak tangan. Selain itu, biji buah cengkih itu melekat keras pada jari-jari tangkainya, sehingga butuh kekuatan lebih untuk menguraikannya.

Meski begitu, atas bantuan Asman dan kedua orang tuanya yang melanjutkan pipilan pada saat subuh, hasil petikan Nino pun tuntas terpipil pada saat pagi. Nino yang terbangun saat matahari mulai meninggi, kemudian menyaksikan kenyataan itu dengan senang hati. Apalagi, sebagaimana keyakinannya sejak awal, ia pun melihat kalau gundukan biji-biji cengkih hasil petikannya, tampak lebih banyak daripada petikan Asman. 

Dan akhirnya, sampailah Nino dan Asman pada saat yang mereka nanti-nanti, yaitu proses peliteran hasil petikan. Dengan mengucapkan doa terlebih dahulu, sang ibu pun melakukannya. Petikan Asman diliter terlebih dahulu, dan jumlahnya 23 liter. Petikan Nino diliter kemudian, dan jumlah 37 liter.

Sontak saja, Nino bangga atas pencapaiannya. Ia pun kembali mendapatkan pujian dari orang tua dan kakaknya. Ia lalu makin senang setengah ayahnya mengatakan kalau lima hari ke depan, pada hari pasar, ia akan dibelikan sepeda baru dengan berbekal hasil penjualan petikannya tersebut.

Pada sisi yang lain, Asman sama sekali tak cemburu menyaksikan kenyataan itu. Ia bahkan turut senang melihat adiknya senang. Apalagi, sang ayah pun telah menjanjikannya ongkos untuk membeli ponsel yang ia inginkan pada hari pasar juga.

Beberapa saat berselang, dengan kesenangan yang tak surut-surut, Asman dan Nino kemudian bergerak untuk melakukan proses penjemuran. Asman lalu memasukkan seluruh biji petikannya ke dalam karung dan membawanya ke atas loteng. Sebaliknya, Nino memilih untuk melimpahkan setengah biji petikannya terlebih dahulu ke dalam karung untuk ia bawa, sebab ia tak sanggup mengangkutnya dalam sekali pikulan. 

Sampai akhirnya, setelah menumpahkan biji petikannya pada penjemuran di atas loteng, Nino berujar polos, "Ternyata, biji-biji hasil petikanku ini unik, ya. Ukuran bijinya berbeda-beda. Ada yang besar, ada yang kecil," katanya, seolah sekadar mengungkapkan kekagumannya. 

Asman pun tersenyum, lalu tertawa pendek. "Oh. Itu hal yang biasa," tanggapnya, sekenanya, sembari memendam rahasianya bersama ayah dan ibunya, kalau mereka telah melimpahkan sebagian hasil petikannya ke hasil petikan Nino, sebelum adiknya itu bangun pagi, demi membuat sang adik senang dan bangga atas hasil kerjanya. 

Matahari makin meninggi dan makin terik. Mereka pun cepat-cepat menebarkan biji-biji cengkih petikan mereka pada karpet yang menghampar.