“Apa yang terjadi di antara mereka,” tanya Ruman kemudian, setelah mengurai pelukan.
“Aku tak tahu, Pak. Tiba-tiba saja, aku menemukan mereka berdua dalam keadaan…” Mari terisak lagi, lalu kembali memasrahkan tubuhnya ke dalam pelukan Ruman.
Ruman membalas pelukan itu. “Tenang, Bu. Bersabarlah.”
Mari hanya terus menangis dengan rahasia besar yang ia sembunyikan di balik air matanya. Sebuah rahasia yang mungkin tak akan pernah diketahui oleh Ruman.
Jauh sebelum peristiwa nahas itu, pada masa lalu, Mari sangat mengimpikan pesangan hidup yang bermateri. Sebagai seorang perempuan dari keluarga yang miskin, ia ingin menikah dengan seorang hartawan. Sampai akhirnya, ia berhasil mempersuamikan Jurman, pengusaha karaoke yang kaya raya. Seorang lelaki yang jauh lebih tua darinya, yang ia anggap mampu memenuhi segala keinginannya dari ujung kuku sampai ujung rambut.
Namun sering waktu, Mari malah merasa kehilangan arti hidup di tengah keadaannya yang bergelimangan harta. Raganya dipenuhi pernak-pernik kemewahan, tetapi jiwanya terasa hampa. Pengindraannya terhadap wujud materi telah membunuh rasa hatinya. Nafsunya seolah aus terhadap cinta atas dasar harta benda.
Akhirnya, Mari mengamini bahwa cinta yang materialistis akan lekang juga oleh waktu. Ia telah menyadari bahwa kekayaan tak bisa menjamin kebahagiaan, kecuali hanya membeli kegembiraan sesaat. Ia telah merasakan bahwa segala bentuk kemewahan yang diberikan oleh suaminya, sudah tak mampu lagi menyenangkan perasaannya, kecuali sementara waktu.
Kehampaan yang Mari rasakan, bukanlah karena kebosanannya saja, tetapi juga karena suaminya sama sekali tidak memerhatikan kebutuhannya pada perihal nonmateri. Sedari dulu, ia merasa kalau suaminya itu tak pernah benar-benar mencintainya dengan hati. Ia merasa kalau menikah dengan sang suami hanya berarti mempertukarkan tubuhnnya dengan harta benda semata.
Hubungan tanpa cinta yang sejati, akhirnya mengerangkeng Mari dalam kehidupan rumah tangga yang dingin. Segala bentuk materi memang bisa ia dapatkan dari sang suami, tetapi tidak dengan kasih tulus yang menyentuh hati. Ia hanya serupa penjual yang menawar dengan sikap manis, dan suaminya adalah seorang pembeli yang royal.
Perlahan-lahan, hubungan Mari dan suaminya menjadi semakin beku. Mereka sekadar saling menjaga dan menghargai status sebagai suami-istri, meski tanpa ketulusan. Mereka hanya berusaha menampakkan raut sayang yang dibuat-buat, sembari memendam perasaan tak acuh. Mereka berhubungan secara fisik, tetapi tanpa pertautan hati.
Di tengah komunikasi yang kacau, suaminya pun mulai memperlakukannya dengan kasar. Kebersamaan mereka sering kali diisi dengan percekcokan karena cacian sang suami, atau pertikaian akibat permainan tangan sang suami. Sampai akhirnya, ia ingin pergi dan melepaskan diri. Tetapi ia masih saja tinggal, sebab tak tahu harus ke mana.
Namun di tengah usaha untuk bertahan, Mari tak benar-benar merasa terpenjara dalam kesengsaraan. Ia menemukan Amri, seorang laki-laki rupawan yang kemudian menjadi tempat pelarian yang menyenangkan untuknya. Seseorang yang sepantaran dengannya, yang tak lain adalah orang kepercayaan Jurman untuk mengurus bisnis karaoke mereka.
Pada Amri, Mari akhirnya bisa merasakan cinta yang lebih dari sekadar materi. Meski lelaki itu memiliki harta benda yang jelas tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan kepunyaan sang suami, namun Mari merasakan kasih sayang darinya melalui kata-kata dan tindakan-tindakan kecil yang sarat perhatian, yang membuat naluri keperempuanannya membara.
Lambat laun, kehadiran Amri membuat Mari semakin nyaman. Lelaki itu telah hadir untuk memberikan perihal yang tidak bisa ia dapatkan dari sang suami. Bahkan, lelaki itu telah menjadi malaikat penolong untuknya. Setiap kali mendapat perlakuan menyakitkan dari sang suami, Amri selalu hadir sebagai penyembuh yang mujarab untuknya.
Sampai akhirnya, ia semakin hanyut dalam hubungan yang sesat bersama Amri. Ia telah membagikan segalanya pada lelaki itu di dalam ikatan yang terlarang. Ia telah berselingkuh, dan ia mesti berjuang menyembunyikan aib. Apalagi, ia jelas tak ingin suaminya tahu, sebab itu bisa membuatnya kehilangan hak atas harta benda yang masih sangat ia butuhkan.
Hari demi hari, Mari pun terkungkung dalam perkara yang rumit dan menegangkan. Hubungan segitiga itu membuatnya semakin ketakutan. Terlebih lagi, Amri sering bertamu untuk persoalan bisnis, sekaligus bersantai ria dengan sang suami sambil menenggak minuman keras di dalam sebuah ruang karaoke keuarganya, di tengah rumahnya, sehingga ia takut kalau ketidakwarasan mereka berdua akan menguak rahasia besar itu.
Diam-diam, Mari pun bertekad untuk mengakhiri kemelut hidupnya. Ia ingin mengakhiri kehidupannya yang penuh masalah, kemudian memulai kehidupan yang baru. Hingga akhirnya, ia teringat pada sosok Ruman, seorang polisi yang bertugas sebagai personel bhabinkamtibmas, yang juga merupakan pelanggan tempat karaokenya, yang ia yakini bisa membawanya menuju kehidupan masa depan yang membahagiakan.
Akhirnya, Mari pun menyusun siasat. Ketika mengetahui suami dan selingkuhannya akan kembali berpesta, ia segera menyusun rencana. Ia menata seisi ruang karaoke privat di rumahnya agar bisa merangkai akhir hidup kedua lelaki itu. Ia meletakkan dua pisau yang telah diasah tajam di atas dua mangkuk apel yang terpisah meja, kemudian menyetel layar monitor dengan adegan pribadinya bersama sang selingkuhan yang telah ia rekam diam-diam.
Detik-detik kemudian berlalu dengan adegan berdarah.
Setelah semua berjalan sesuai rencana, Mari lantas menghapus jejak siasatnya, dan mulai menyusun rencana baru untuk Ruman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar