Jumat, 02 Desember 2022

Kami Membunuhnya

Pelajaran terbaik memang berasal dari pengalaman, bukan dari buku-buku. Aku meyakini kebenaran itu setelah melihat kehidupan Rendi. Lima tahun ia habiskan untuk berkuliah demi mendapatkan gelar sarjana, tetapi ia sama sekali tak becus mengurus kebun. Kalau dibandingkan, aku yang tamatan SMA, jelas lebih andal mengurus tanaman jagung ketimbang dirinya. 

Kulihat-lihat, Rendi sepertinya memang tidak cocok menjadi petani. Selain tidak bertenaga, ia juga tidak punya pengalaman atau sekadar pengetahuan yang memadai perihal bertani. Pasalnya, ia hanya seorang sarjana ilmu politik, bukan sarjana pertanian. Akibatnya, ia sama sekali tak paham soal pemeliharan tanaman jagung, termasuk soal teknik pemupukan dan pembasmian hama. 

Karena prihatin melihat tanaman jagungnya yang memprihatinkan, aku pun mencoba mengakrabinya untuk berbagi tips. Aku berupaya aktif mendekatinya ketika ia berada di kebunnya yang berbatasan langsung dengan kebunku, sebab ia tampak pendiam dan tertutup. Hingga akhirnya, setelah kerap bertegur sapa dan berbasa-basi, kami pun kehilangan keseganan.

Perlahan-lahan, aku mulai menyarankan kiat-kiat pemeliharaan jagung kepadanya. Aku berinisiatif, sebab aku kira ia gengsi untuk bertanya kepada diriku yang tak pernah mengenyam bangku kuliah di kota. Dengan sesopan mungkin, aku memberitahunya cara mengaplikasikan pupuk dan racun untuk tanaman jagungnya yang telah bertumbuh dengan banyak masalah.

"Pakai racun ini. Aku yakin, jagungmu akan bebas dari persoalan hama," tawarku, pada satu hari, lebih dua bulan yang lalu, saat aku menghampirinya di rumah-rumah kebunnya. "Aku sendiri sudah membuktikannya. Buah jagungku jadi sehat dan padat. Tongkolnya memanjang dan bijinya tidak ompong-ompong."

Ia lantas menerima sebotol racun hama yang kusodorkan. Ia lalu membaca petunjuk penggunaannya dengan seksama. "Akan aku coba. Aku bisa beli di mana?”

“Pakai saja racunku itu. Anggap saja bahan uji coba,” tanggapku, bermaksud benar-benar membantunya. “Nanti kalau habis, kau bisa membeli di pasar. Di toko pertanian, pasti ada, kok,”

“Oke. Terima kasih kalau begitu,” tanggapnya, lantas melayangkan senyuman.

Aku pun mengangguk-angguk dengan perasaan senang telah memberikan tips yang jitu untuknya. Selepas menjeda sejenak, aku kembali membuka perbincangan, "Kulihat-lihat, kalau kau berhasil mengelola kebunmu ini, kau bisa jadi orang yang kaya raya," singgungku, bermaksud memompa semangatnya, sembari memandangi lahan kebunnya yang hampir seluas lahan kebunku. 

Tetapi ia malah menggeleng-geleng dengan bibir manyun. "Tidak akan kesampaian. Ini bukan kebunku. Ini kebun peninggalan orang tuaku. Karena itu, kebun ini juga milik dua orang saudara."

"Lah, kan kau sendiri yang menggarapnya?" sergahku, heran.

Ia lantas tergelak pendek. "Iya. Tetapi kan tetap saja kalau ini bukan kebun pribadiku, dan hasilnya mesti kubagi rata dengan dua orang kakakku itu."

Seketika, aku merasa miris mendengar penuturannya. Aku bisa membaca kemuraman perasaannya. Aku tak menyangka kalau kedua saudaranya yang telah sukses di kota, yang masing-masing bekerja sebagai pegawai negeri dan pegawai swasta, masih juga berhasrat mengambil bagian dari hasil kerjanya nanti. 

Awalnya, kukira, kepulangan Rendi ke kampung sepeninggal ayahnya menyusul ibunya, adalah wujud belas kasih kedua kakaknya, agar Rendi bisa punya penghasilan sendiri. Tetapi ternyata, ia datang untuk menjadi setengah buruh dengan mengerjakan kebun milik bersama  itu seorang diri. Dan kutaksir, mungkin keadaan itulah yang membuat Rendi tidak cukup serius menggarap kebunnya. 

Namun aku tentu merasa tak sepatutnya merecoki persoalan keluarganya tersebut. Karena itu, aku menanggapinya dengan sedikit melencengkan topik perbincangan. “Tetapi sebenarnya, kau tidak seharusnya terlalu memusingkan soal pendapatan, karena kau belum menikah. Kau belum punya keluarga sebagai tanggungan."

Sontak, ia mendengkus. "Soal berkeluarga, kan tergantung pendapatan juga. Kalau saja aku punya cukup uang dan hidup mapan, ya, aku pasti sudah menikah," sanggahnya, terdengar gusar.

Karena sependapat, aku pun mengangguk-angguk, kemudian melontarkan pertanyaan menggelitik, "Memangnya kau sudah punya calon istri?" 

Ia pun tersenyum simpul, lantas mengangguk.

"Temanmu di kota?" selisikku. 

"Kau tak perlu tahu," katanya.

Aku tertawa saja, dan berhenti menanyakan perihal pernikahan.

Tetapi kemudian, ia malah balik bertanya, "Kau sendiri, apa belum punya rencana untuk menikah?"

Dengan begitu saja, aku terbayang pada Rini. Dia adalah gadis di desa sebelah desaku, yang telah lama kuidam-idamkan untuk menjadi istriku. Tetapi karena merasa telalu dini untuk membocorkannya, aku pun sekadar memberikan jawaban yang kabur, "Belum ada target sih. Tetapi kalau ketemu orang yang cocok pada keadaan yang tepat, ya, aku akan menikah juga.”

Ia hanya tergelak. 

Obrolan kami perihal pasangan hidup, akhirnya berakhir. 

Hari demi hari setelah itu, aku pun makin akrab dengan Rendi. Aku dan dia bak sepasang sahabat baik sebagai sama-sama petani muda. Karena itu pula, pada hari-hari selanjutnya, aku makin kasihan melihat keadaannya yang tampak makin tak becus bertani. Semua pelajaran dan bantuan yang kuberikan kepadanya, tidak juga membuat tanaman jagungnya subur dan menjanjikan. 

Diam-diam, aku kembali menerka akar penyebab yang membuat Rendi menyongsong kegagalan dalam bertani. Aku lantas menyalahkan sikapnya yang manja, sampai ia jadi setengah hati mengencangkan otot dan memanggang kulitnya di bawah terik. Ia masih telalu memedulikan penampilannya sebagai seorang pekerja fisik. Hingga akhirnya, aku kembali merasa kalau ia sebaiknya balik ke kota dan mencari pekerjaan yang sepadan dengan ijazah sarjananya, lalu menikah dengan gadis cantik di sana. 

Tetapi masalahnya, berdasarkan cerita-ceritanya sendiri, ia tak lagi punya keyakinan untuk mengadu nasib di kota. Tiga tahun mencari pekerjaan bergengsi di sana, ia selalu gagal dalam persaingan. Ia hanya sempat bekerja sebagai pramuniaga selama satu setengah tahun di sebuah supermarket, sampai ia mengundurkan diri akibat tekanan target kerja dan sistem pemotongan gaji jikalau terjadi kerugian.

Meski demikian, kukira, Rendi bukanlah sarjana yang bodoh sampai gagal mendapatkan pekerjaan yang menjanjikan di kota. Pada bidangnya, dalam soal bersilat lidah, ia sangatlah ahli. Setiap kali ia bercerita tentang persoalan politik di dalam dan di luar negeri, beserta saling keterpengaruhanya, aku selalu terpikat. Kecakapannya itu jelas akan bermanfaat kalau ia menjadi politikus, bukan petani.

Karena itulah, aku beberapa kali mengusulkan kepadanya untuk terjun ke dalam dunia politik. Bergabung dengan partai, kemudian bertarung pada pesta demokrasi. Tetapi ia menggeleng dan menampik. Ia beranggapan kalau tidak ada cara untuk menjadi politikus yang sukses selain dengan modal uang yang banyak. Tanpa uang, seseorang akan selamanya menjadi kacung. 

Peliknya, mungkin, ia memang tidak akan pernah menjadi politikus, sebab kutaksir, ia tak akan pernah kaya dari hasil bertaninya. Ia bahkan bisa melarat jikalau tidak juga mahir bertani. Kerena itu pula, ia tak sanggup untuk sekadar bertarung dalam pemilihan kepala desa. Selain karena persoalan modal, juga karena kesadarannya perihal ketidakdekatannya dengan warga. 

Aku jelas menyayangkan potensi Rendi itu, sebab kukira, ia adalah orang yang baik dan jujur. Aku merasa ia akan menjadi pemimpin yang amanah jikalau menjadi pejabat. Tetapi ironis, memang, karena sebagaimanya pengamatannnya sendiri, orang-orang koruplah yang punya peluang besar menjadi pejabat di negeri ini, di tengah banyaknya masyarakat miskin yang mudah teperdaya uang dalam proses pemilihan.

Demikianlah, sampai akhirnya, Rendi menguburkan mimpi besarnya dan pasrah menjadi petani. Sebagai kawan, aku tentu menghargai pandangan dan keputusannya untuk jalan hidupnya sendiri. Sebisa mungkin, aku membantu dan menguatkannya untuk serius menjadi petani. Aku berharap, kelak, ia sukses dan mapan, agar ia bisa segera meminang pujaan hatinya. 

Sedang akhir-akhir ini, aku sendiri makin bersemangat mengurus kebunku. Pasalnya, aku sudah mendapatkan jawaban atas perasaan cintaku. Dua puluh hari yang lalu, aku telah bertandang ke rumah Rini, pujaanku, untuk melamarnya. Lamaranku pun diterima, dan kami akan segera melangsungkan pernikahan. Semua tampak berjalan baik, sebab kami sekeluarga sudah sangat akrab. 

Tentu saja, aku tak sabar menyampaikan kabar kebahagiaanku itu kepada Rendi. Maksudku bukan untuk membuatnya iri, tetapi membuatnya bersemangat supaya ia makin bersungguh-sungguh menjadi petani agar bisa segera menikah juga. 

Hingga akhirnya, lima belas hari yang lalu, aku dan Rini berangkat ke sebuah kios percetakan di samping pasar untuk memesan desain dan pencetakan undangan pernikahan kami. Sepulang dari situ, kami lalu makan di sebuah warung. Dengan sangat kebetulan, Rendi muncul dan menghampiri aku yang duduk menghadap ke pintu masuk. Aku pun merasa sudah saatnya memperkenalkan Rini kepadanya. 

"Hai, kebetulan sekali kamu di sini. Mari, duduk di sini, kita makan sama-sama," tawarku, seramah mungkin. 

Ia lantas duduk di sampingku, menghadap ke Rini.

"Perkenalkan, ini Rini," kataku, memperkenalkan sang calon istriku. 

Mereka pun bersalaman. Namun seketika, aku membaca kalau ada kecanggungan di antara mereka. 

"Dua minggu ke depan, kami akan menikah," sambungku, antusias. "Kamu harus datang."

Rendi pun mengangguk dengan senyuman simpul, sedang Rini memalingkan wajah dan terdiam saja.

Rendi lalu menatap layar ponselnya. "Oh, maaf, aku dapat pesan dari pamanku. Ia memintaku untuk segera ke rumahnya. Ada urusan penting," tuturnya, kemudian melayangkan senyuman singkat, dan berlalu pergi.

Merasa ada keanehan pada sikap Rendi dan Rini, aku pun jadi curiga. Tanpa menunda waktu, aku lalu menyelidik, "Aku lihat, kok kalian saling canggung. Ada apa?"

Rini lalu menatapku dengan wajah muram, lantas menerangkan, “Kami sudah saling mengenal. Kami sama-sama pengurus organisasi daerah saat masih sama-sama berkuliah. Lalu, sekitar satu setengah bulan yang lalu, ia datang ke rumahku. Ia hendak melamarku. Tetapi orang tuaku menolaknya karena meragukan kedewasaannya untuk menjadi kepala keluarga. Belum lagi, orang tuaku juga ragu kalau ia akan bisa menghidupi dan membahagiakanku. Kau tahu sendiri, sudah menjadi omongan orang-orang kalau ia adalah sarjana yang tidak pandai mengurus kebun.”

Aku jelas terkejut mendengar keterangannya. Perasaanku jadi campur aduk.

“Lagi pula, terus terang, aku tidak punya perasaan apa-apa kepadanya. Sedari dahulu, aku hanya mengharapkanmu,” sambung Rini.

Sontak saja, aku senang mendengar pernyataan Rini. Aku merasa menjadi lelaki paling beruntung di dunia. Tetapi diam-diam, aku jadi galau membayangkan perasaan Rendi.

Akhirnya, sejak saat itu, aku jadi tak tahu bagaimana harus bersikap terhadap Rendi. Hari-hari kemudian, ketika kami sama-sama berada di kebun, kami terus saling mengabaikan. Kami tak lagi saling menyapa dan tak saling mengunjungi rumah-rumah kebun. Aku merasa tak enak hati kepadanya, sebab aku yakin, ia pasti bisa menebak kalau aku sudah tahu perihal lamarannya yang tertolak dari Rini. 

Dan akhirnya, pagi ini, sehari sebelum pernikahanku, ketika aku memetik buah jagung di kebunku untuk menjadi bahan makanan di acara resepsiku, aku pun melihat selonjoran kaki Rendi dari balik pintu rumah kebunnya yang terbuka. Lama-lama, aku jadi bertanya-tanya, sebab kedua kakinya itu tidak bergerak sama sekali. Perlahan-lahan, aku jadi penasaran dan mencoba untuk memeriksa keadaannya lebih dekat. Hingga akhirnya, setelah melongok ke dalam, aku terkejut hebat mendapatinya terbujur kaku dengan mulut yang mengeluarkan busa. Di sampingnya, aku pun melihat sebuah botol racun yang kuberikan kepadanya lebih dari dua bulan lalu, yang kini sudah tak berisi. 

 

Seatap Luka

Kehidupan mati sebelum kematian hidup
Jasad-jasad berjalan setelah semaputnya jiwa
Karena hati tak lagi membedakan cinta dan benci
Setelah rumah menjadi pabrik dan gudang luka-luka
Sebab orang tua melalaikan kasih sayang
Sebab saudara mengkhianati kesatuan
Sebab kekasih menodai kesucian
Sebab anak melupakan budi
 
Tiap penghuni lalu terpencar
Bertamu ke pintu-puntu yang lain
Berbagi tawa bak datang dari bahagia
Menutupi tangisan kepedihan di sudut hati
Demi kegembiraan yang menyala di wajah tuan rumah
Sebab sayang untuk memadamkannya dengan sedih
Biarpun harus membekam emosi yang menyiksa
Sebelum akhirnya pulang dan saling membakar
 

Sebuah Ancangan

Kelak, aku akan menghanyutkanmu menyusuri bentangan lautan dan melepaskanmu dari sesak perkara manusia, jikalau tidak tenggelam
Aku akan mengantarkanmu menelusuri hamparan daratan dan melarikanmu dari penjara sepi kamarmu, jikalau tidak tertimbun
Aku akan mendampingimu menjelajahi puncak pegunungan dan meloloskanmu dari jerat penat perkotaan, jikalau tidak tergelincir
Aku akan menerbangkanmu melanglangi lapang angkasa dan membebaskanmu dari beban berat dunia, jikalau tidak terjatuh
Atau aku hanya akan begini-begini saja dan mendiamkan rencanaku di dalam angan-angan yang terlalu menakutkan untuk kuutarakan
Sebab kau begitu-begitu saja dan sama sekali tak menunjukkan pertanda bahwa kau tidak akan menolak keinginanku untuk membahagiakanmu
 

Untuk Pergi

Dendam mengikatkan hatiku padamu
Sejak kau pergi dengan sesimpul senyuman
Menggenggam erat jemari pasangan pelampiasanmu
Setelah diamku melewatkan waktu yang tepat untuk berjanji
Hingga cinta kita tertinggal dan terus menggantung di tubir kata-kata
 
Sampai kini, aku tetap begini
Masih bertahan dengan pertanyaan yang sama:
“Jikalau mungkin, masihkah ada keinginanmu untuk menyambungkan cinta kita?”
 
Kemarin telah kusampaikan maaf kepadamu
Untuk salahku telah menderamu dalam penantian
Semoga sanggup hatiku melepaskan cintamu dari harapanku
Setelah sekian lama aku tersiksa mendoakan kesengsaraan untukmu
 

Kediaman

Aku adalah musafir yang putus asa di tengah sesat
Angin mengamuk, langit menghitam, malam menjelang
Aku takut memeluk dingin sendiri sampai pagi menghangat
Setelah mengikhlaskan semua yang tertinggal sebagai persinggahan
Setelah banyak kenangan yang menyakitkan atau menyesalkanku
Menggoyahkan keyakinan untuk menetap dan mendulang kasih
 
Tetapi engkau puan rumah yang tak mengerti artinya petualangan
Sepanjang usia, kau hanya menunggu orang yang entah siapa
Lalu aku bertamu dan kau menjamuku dengan teh hangat
Seakan-akan aku adalah jemlaan pangeran dari mimpimu
Sampai aku merasa telah menemukan persemayaman resahku
Sampai kakiku lumpuh melanjutkan kembara seterbitnya mentari
 
Telah kutemukan segenap yang kucari pada jiwa dan ragamu
Dan seterusnya, kisah kita akan terangkai dalam lembaran hari baru
Perihal terik yang tak lagi mencekik, dan kelam yang tak lagi mencekam
Karena kau adalah mentari hangat dan bulan sejuk bagiku
Sebagai bumi yang akan kehilangan hidup tanpa adamu
Setakdir kehadiranku sebagai sebab penciptaanmu
 

Terbunuh Jawaban

Aku meniti sehelai rambut menuju sisimu
Di bawah, tebing terjal sedang menunggu
Tetapi ketelanjuran menekatkan tekadku
Berhasrat menuntaskan segenap keresahan
Sebelum ragu melumpuhkan, aku berucap:
“Aku mencintaimu dengan sepenuh hatiku!”
 
Seketika, aku terjerembab ke dalam tanya
Kegamangan makin kuat mencengkeram
Kehidupan akhirat seolah telah menjelang
Aku berharap jiwaku terbang ke alam surga
Tetapi jawabanmu menghempaskanku ke neraka:
 “Aku tak akan pernah bisa mencintaimu!”
 

Hantu Kenangan

Tak ada jera untuk hasrat anak kecil
Terjatuh, lalu tegak mengulang bahaya
Mencoba, sampai langkah bisa berlari
Meskipun luka akan kembali terluka
 
Betapa pengecut kaki dewasa
Takut maju, tetapi enggan menyerah
Meragu, dan mengamankan ketakutan
Karena bekas mengenangkan luka
 
Rumit sudah hitungan peluang
Usai kekalahan mengulang derita
Setelah pengalaman menjadi hantu
Dan keyakinan sekadar kemungkinan
 

Suara Perasaan

Kau tak mengenalnya dalam pelukan
Yang kau dekap hanya cinta yang pasrah
Yang kau ikat hanya setia yang terpaksa
Yang kau genggam hanya harapan yang sesal
 
Menjauhlah untuk menemukan jawaban
Apakah cintanya masih akan mencarimu?
Apakah setianya masih akan merindukanmu?
Apakah harapannya masih akan menginginkanmu?
 
Perpisahan memang akan menyakitkan
Entah untuk sementara atau akan selamanya
Tetapi relamu sepantasnya dalam ketulusannya
Atau ikhlaskanlah untuk melepaskannya pergi
 

Bintang Keajaiban

Kau menatap langit yang lapang dalam kesempitanmu
Memandang kerlap-kerlip cahaya di ruang gelapmu
Berharap keindahan datang dan melipur sepimu
Namun bintang jatuh tak akan mendarat di pangkuanmu
Walau kau menanti selama cahaya mentari padam
Harapanmu hanyalah doa yang tidak berguna
Usahamu cuma upaya yang tak berdaya
 
Berhentilah menuntut datangnya keajaiban
Sebab langit bukanlah tempat pengaduanmu saja
Di sana, semua manusia menggantungkan impiannya
Berserah menunggu untuk yang mungkin atau tidak akan
Karena keadilan bisa berarti tidak untukmu selamanya
Setelah waktu gagal menyampaikan nasib baik kepadamu
Sebab anugerah hanya pergiliran kehilangan dengan yang lain
 
Tak ada yang lebih pasti ketimbang menggenggam isi bumi
Tangkaplah kunang-kunang atau nyalakan sumbu pelita
Setidaknya, separuh harapan telah mewujud rupanya
Merengkuh cahaya meski bukan bintang di langit
Menghargai yang ada dan berhenti mengada-ada
Mensyukuri kesederhanaan dan melupakan kesempurnaan
Sebab kenyatan yang pahit lebih baik daripada mimpi yang indah