Bagian pertama dari cerita bersambung Setapak Berliku
Setiap hidup adalah kisah, dan setiap orang adalah pemeran utama.
Waktu sepanjang usia adalah alur yang merajut benang-benang cerita dari detik pertama hingga detik terakhir. Ruang sejauh langkah adalah latar yang mewarnai setiap adegan dari jejak kepergian hingga jejak kepulangan. Sedang setiap anak manusia adalah pelakon yang berjuang menjalani takdirnya dari halaman pembuka hingga halaman penutup.
Bagi beberapa orang, waktu adalah alur acak dan ruang adalah latar yang suram. Mereka hidup untuk merangkai cerita dengan konflik-konflik cacat yang tak sepangkal dan seujung. Begitu pula tentang kisah hidup ayahku, Muslim, dan nenek angkatku, Dumi, setelah mereka terusir dari tanah air mereka sekitar 54 tahun yang lalu.
Selama bertahun-tahun, aku telah mendengar kisah lengkap mereka secara langsung. Aku bisa membayangkan ketakutan mereka di saat itu, di tengah bahaya yang mengancam nyawa. Aku bisa merasakan suasana yang mencekam sepanjang peristiwa kelam yang penuh darah itu. Sampai akhirnya, detail-detail kisah itu tersusun rapi di dalam benakku:
Kala itu, menjelang tengah malam di bawah langit yang mendung, ayahku dan kakek-nenekku, tengah tertidur di bilik kamar yang terpisah. Namun urine yang mendesak di kantong kemihnya, telah memaksa ayahku terbangun. Lalu entah bagaimana, di tengah kesunyian dan kepengapan udara, ayahku terjaga lama dan sukar terlelap kembali.
Hingga perlahan-lahan, ayahku mendengar desisan dari arah pepohonan di samping kamarnya. Seperti suara tapakan makhluk yang menyusuri dedaunan dan menginjak ranting-ranting kering. Suara itu kemudian lenyap, lalu disusul suara detakan berkali-kali pada daun jendela kamarnya.
Sontak, ia terperanjat dan ketakutan. Segala rupa hantu dan binatang buas menyeruak di dalam benaknya. Lekas ia berbalik badan dan bergeser ke tepi kiri kasurnya, lalu meringkuk dan menyelubungi tubuhnya dengan selimut.
Terdengarlah suara bisikan penuh tekanan. “Ke sini! Cepat!”
Ayahku bergidik, lantas menyumpal telinganya dengan telapak tangan.
Bisikan itu kembali berulang. Sayup-sayup, suara itu terdengar melafalkan sebuah nama, “Hai, ini aku, Nori!”
Ketakutan ayahku kemudian berubah menjadi rasa penasaran. Ia lalu mengintip pada sela-sela daun jendela dan melihat sekerat wajah bercahaya yang seketika membuat ketakutannya memuncak lagi. Ia pun lekas bersembunyi kembali di dalam selimutnya.
“Hai, Muslim, kenapa takut?” bisik suara itu lagi.
Berkas-berkas cahaya kemudian menerobos ke dalam dinding kamar ayahku, seperti sorotan lampu senter. Keberaniannya pun kembali pulih untuk menilik lagi ke arah jendela. Lamat-lamat, ia pun menerka wajah seorang perempuan, teman sepermainannya, teman sekelasnya di kelas 2 sekolah dasar, Nori.
“Kau mengagetkan aku saja!” kesal ayahku. “Ada apa kau datang malam-malam begini?”
Nori lalu menegakkan jari telunjuk di depan bibirnya. Sebuah isyarat agar ayahku tak berisik. “Kau dan orang tuamu dalam bahaya!” katanya, dengan napas yang memburu.
Ayahku sontak jadi bingung. “Ada apa?” tanyanya, dengan nada suara yang pelan.
“Bangunkanlah Ayah dan Ibumu, lalu cepat pergi dari rumah ini!”
“Jangan menakut-nakuti aku! Ada apa?”
“Cepatlah! Orang-orang akan datang menyerbu kalian!”
“Siapa?” Ayahku semakin tak mengerti.
“Kau dengar itu?”
Mereka pun terdiam.
Ayahku lalu mendengar suara kerisik yang terdengar semakin berisik. Seperti suara kaki banyak orang yang bergegas menuju ke depan rumahnya.
Kekhawatirannya pun timbul dan berkembang.
“Cepat! Bangunkan Ayah-Ibumu!” perintah Nori.
Dengan pikiran dan perasaan yang sengkarut, Ayahku pun bergegas menuju kamar kakek-nenekku dengan langkah senyap. Ia lalu memandangi sisi depan rumah lewat tirai lorong yang memisahkan kamarnya dengan kamar kakek-nenekku. Ia mesti melewati tirai itu untuk masuk ke pintu kamar kakek-nenekku yang menghadap ke sisi depan rumah.
Namun seketika pula, berkas-berkas cahaya senter dari halaman, menyorot masuk ke dalam rumah lewat celah dinding papan yang berjarak-jarak. Ayahku pun lekas menepi dan bersembunyi di sudut tirai. Ia lalu mendengar kesu-kesi segerombolan orang yang kemudian menggedor-gedor daun pintu dengan sangat keras.
Gertakan-gertakan memerintah pun terdengar berulang-ulang. “Keparat! Keluar kalian!”
Rasa takut akhirnya membuat tubuh ayahku mematung.
Gedoran semakin keras.
Ayahku lantas memaksa diri untuk melangkah mundur.
Dentuman gaduh kemudian terdengar, seolah daun pintu telah tumbang dan menimpa lantai.
Ayahku pun membalik badan dan bergegas keluar melewati pintu belakang rumah yang kemudian ia tutup kembali. Tiba-tiba, ayahku terperangah melihat siluet sosok yang bergerak jongkok mendekat ke arahnya. Namun ayahku lekas menerka sosok itu sebagai teman kecilnya.
“Ke sini! Cepat!” titah Nori.
Mereka berdua lalu bersembunyi di dalam selubung terpal, di bawah tangga turunan yang pendek.
Di dalam gelap itu, ayahku pun meringkuk ketakutan, sembari mendengar suara-suara dari dalam rumah.
“Amankan mereka berdua!” perintah seseorang di antara gerombolan. “Ikat!”
“Ada apa ini?” tanya kakekku yang tidak tahu alasan atas kejadian yang dialaminya.
“Geledah! Cepat!” titah seseorang itu lagi, yang seolah bertindak sebagai komandan.
Sesaat kemudian, engsel pintu belakang pun berderit. Tiga orang kemudian menuruni tangga dan menyenter segenap penjuru di sisi depan ayahku.
“Sialan! Ke mana perginya anak itu?” gerutu seseorang di antaranya.
Suara berat sang komandan pun kembali menggelegar. “Ini apa, Bangsat? Berani-beraninya kau menyimpan bendera terkutuk semacam ini di lingkungan kita!”
Tangis nenekku pun pecah di antara sumpah serapah yang bertubi-tubi.
“Bendera itu bukan milik kami, Pak,” sangkal kakekku.
“Diam!” bentak si komandan. “Kalau ini bukan punyamu, kenapa bisa ada di rumahmu, Bangsat!”
Orang-orang lalu mengutuki kakek dan nenekku silih berganti.
Suara sang komandan kembali menyela, “Bawa anaknya ke sini! Sekalian kita selesaikan malam ini juga!”
Ayahku pun jadi sangat ketakutan.
“Kita harus mendapatkan anak kecil itu! Kalau tidak, dewasanya nanti, pasti berbahaya untuk kita semua,” kata seseorang di antara tiga orang yang berseliweran di depan ayahku.
Seorang yang lain lalu mengungkapkan keputusasaannya, “Tetapi sepertinya, anak itu sudah tidak ada di sekitar sini.”
“Kita lapor saja dulu, kemudian menunggu perintah selanjutnya,” timpal orang yang ketiga.
Ketiga orang itu lalu kembali masuk ke dalam rumah.
Lamat-lamat, ayahku mendengar seseorang memberi laporan, “Anak itu sepertinya sudah tak ada di sekitar sini. Kami telah memeriksa semua sisi, tetapi kami tak menemukan keberadaannya.”
“Cari lagi, sampai dapat!” sergah sang bos.
Ketakutan ayahku pun semakin menjadi-jadi.
“Cepat! Ikut aku!” bisik Nori, lalu menarik tangan ayahku menuju ke arah serong kanan, ke tempat penampungan air yang tak terawat di tengah kebun.
Ayahku turut saja padanya.
Lekas kemudian, Nori masuk ke dalam sebuah drum. “Kau masuklah cepat!”
Ayahku pun menyusul masuk ke dalam tong besi yang berisi air hingga sepertiga bagian itu, sampai sepahanya, lalu menutup kembali bukaan atasnya dengan dua buah papan.
Mereka lalu berdiam diri sambil mengamati keadaan luar melalui lubang-lubang drum yang tercipta akibat korosi.
Sesaat kemudian, ayahku pun membisikkan tanya atas rasa penasarannya. “Apa yang terjadi?”
“Warga menuduh kalian sebagai komunis!”
Ayahku pun terperanjat. Ia tak habis pikir bagaimana bisa mereka termasuk ke dalam golongan orang-orang beringas dan biadab, sebagaimana gambaran umum di dalam kepalanya berdasarkan cerita-cerita yang merebak di tengah masyarakat waktu itu. “Kenapa mereka menuduh kami seperti itu?”
Nori menghus.”Ceritanya panjang. Suatu saat, aku akan menceritakannya kepadamu.”
Tiba-tiba, gerombolan tamu tak diundang itu keluar melalui pintu belakang rumah. Kilasan cahaya senter di antara mereka, membuat ayahku bisa menaksir sedikit wajah. Beberapa ia kenali, beberapa juga tidak.
“Ayo cepat! Berkumpullah!” kata pemilik suara yang sedari tadi memerintah, seorang lelaki dengan kain serban yang terurai menutup kepalanya, yang lalu ia sampirkan menutup sisi bibir dan hidungnya.
Mereka lalu melingkar di bawah pohon mangga, sedang kakek-nenekku meringkuk di tengah-tengah mereka dengan kedua tangan terikat di pinggul belakang.
“Malam ini juga, kita harus menyelesaikan segala perkara tentang keluarga terkutuk ini,” kata sang komandan. “Kita sebaiknya membagi kelompok. Cukuplah aku dan sepuluh orang yang mengurusi dua orang bangsat ini. Selebihnya, berpencarlah untuk mencari anak sialan itu.”
“Selamatkan dirimu, Nak!” seru Kakekku seketika, hingga sepakan kaki menghantam perutnya.
“Anakku…!” seru Nenekku pula, sambil menangis, hingga tamparan mendarat di pipinya.
Ayahku pun menilik kakek-nenekku yang tak berdaya di tengah hardikan puluhan orang yang kesetanan. Tangis ayahku pun lepas di tengah kekhawatiran atas keadaan mereka berdua. Tapi Nori seketika mendesis, dan ayahku lantas meredam kesedihan, kemarahan, dan ketakutannya sendiri.
“Anak itu harus ditemukan!” titah sang komandan. “Bagaimana pun, dia punya darah komunis. Besarnya nanti, akan sangat berbahaya bagi anak cucu kita.”
Tanpa interupsi, perintah itu pun terlaksana. Bebebapa orang menuruni jalan setapak yang mengarah ke sungai, sambil menyeret kakek-nenekku seperti hewan liar yang dipaksa menuju medan penjagalan. Beberapa lainnya, mungkin belasan orang, berpencar menelusuri semak belukar dan pepohonan untuk mencari keberadaan ayahku.
Selang beberapa menit, satu per satu dari para pencari ayahku kembali ke titik kumpul. Mereka lantas menuturkan kekesalan sebab tak kunjung menemukan keberadaan ayahku, atau setidaknya menemukan jejaknya.
Tiba-tiba, seseorang di antara mereka berjalan ke arah persembunyian Nori dan ayahku, dan seketika membuat keduanya keder. Namun beruntung, lelaki itu berhenti di sebuah pohon yang berjarak sekitar lima meter dari drum persembunyian itu.
Terdengarlah desisan, seperti bunyi air yang menimpa dedauanan. “Anak sialan itu bikin repot saja!” kesal sang lelaki yang tampak menangani kancing celananya.
Seseorang yang lain lalu datang menyusul. “Kalau buang air, ceboklah baik-baik! Di situ ada air.” pesannya, sambil menuding drum tempat persembunyian Nori dan ayahku.
“Apa gunanya air dibasuh dengan air?” balas seseorang yang diberi nasihat, lalu melangkah kembali ke titik kumpul.
Lelaki berjaket kupluk itu hanya berdecak-decak sambil terus melangkah ke arah Nori dan ayahku. Sampai akhirnya, ia berhenti tepat di samping drum.
Mereka berdua pun jadi sangat ketakutan.
Sesaat kemudian, lelaki itu bermaksud menyeruk air untuk urusan hajatnya, sampai gayung yang ia ayunkan membentur kepala ayahku. Lelaki itu sontak menyenter isi drum dan mendapati Nori dan ayahku sedang mendekam ketakutan.
“Kalian?” kata lelaki itu, berbisik kaget.
Ayahku pun menengadah, hingga ia melihat satu wajah seorang pemuda desa yang ia kenal baik, Kahar. Seorang pemuda yang aktif dalam kegiatan keagamaan.
Kahar lalu mendesis, kemudian berbisik pelan, “Jangan takut. Kalian aman.”
Ayahku pun mengembuskan napas lega. Begitu pula Nori.
“Aku akan mengarahkan orang-orang itu untuk segera pergi dari sini,” bisiknya, kemudian menyela dengan batuk yang dibuat-buat. “Setelah keadaan aman, segeralah menyelamatkan diri.”
“Ke mana?” tanggap ayahku, lirih.
Kahar terdiam.
“Kami akan ke rumah Ibu Dumi,” kata Nori, merujuk pada seorang perempuan berumur kisaran kepala tiga yang tinggal seorang diri di satu rumah yang menyepi.
“Kenapa kau berpikir begitu?” tanya Kahar.
“Dia selalu baik kepada kami,” terang Nori. “Dia pasti mau membantu.”
“Baiklah!” respons Kahar. “Berhati-hatilah!” Ia lalu berbalik dan melaksanakan urusan gentingnya.
Tak lama berselang, Kahar pun beranjak, kemudian berkata di tengah-tengah langkahnya, “Aku rasa, anak itu sudah tak ada lagi di sekitar sini. Kalau pun ada, sedari tadi, dia pasti melakukan tindakan ceroboh yang membuat kita menemukannya.”
“Ya. Barangkali ia sudah dimangsa binatang buas,” balas seseorang di antara para pencari.
“Kita sebaiknya menyusul ke sungai dan meminta petunjuk selanjutnya,” kata Kahar.
“Sebaiknya begitu,” respons seseorang yang lain. “Semoga kita belum melewatkan prosesi penting untuk kedua orang sialan itu.”
Perlahan-lahan, mereka pun menjauh, hingga suara mereka lenyap.
Ayahku lantas melepas tangis yang pelan dan tertahan-tahan atas kecemasan yang tak terkira tentang nasib kekek-nenekku.
“Tenang! Kau baik-baik saja sekarang!” kata Nori, berusaha menenangkan perasaan Ayahku.
“Tetapi bagaimana dengan Ayah dan Ibuku? Bukankah seharusnya kita melakukan sesuatu untuk menolong mereka?” tanya Ayahku, dengan suara gagu dari mulut yang menggigil.
“Bagaimana caranya? Kalau cuma kita berdua, tak mungkin bisa,”balas Nori. “Kalau kau bertindak bodoh, kau malah membahayakan dirimu sendiri, juga diriku.”
Ayahku pun mengamini pendapatnya.
Sesaat kemudian, keduanya pun keluar dari drum air dengan badan yang nyaris basah seluruhnya. Mereka lalu menjejaki jalur yang meyimpang dari jalan setapak menuju ke rumah Ibu Dumi. Mereka menapaki alur yang penuh dengan rerumputan liar dan patahan-patahan kayu. Sampai akhirnya, kaki ayahku tersandung. Ia terjatuh dan lututnya teriris batu cadas.
“Hati-hati!” kata Nori.
Ayahku lantas menyodorkan tangannya. “Sepertinya berdarah.”
Nori pun menyorot tangan ayahku dengan senter yang sedari tadi tak ia nyalakan. Kemudian di tengah kegelapan, ia lalu membalut luka ayahku dengan kain tudung yang sedari tadi ia kenakan.
“Ayo cepat!” titah Nori kemudian.
Mereka melangkah lagi. Menerobos halang-rintang tanpa bersuara.
Sampai akhirnya, mereka tiba di rumah Ibu Dumi.
Nori lalu mengetuk pintu. “Ibu…,” sahutnya, beberapa kali, dengan suara pelan.
Sesaat kemudian, pintu pun tersibak. Ibu Dumi lantas menerawang wajah mereka. “Kalian?” terkanya, dengan suara tergagap. “Masuklah!”
Mereka pun turut, lalu mengamankan diri di sebuah bilik dengan cahaya pelita yang temaram
“Apa yang terjadi?” tanya Ibu Dumi.
“Orang-orang menyergap rumahnya,” jelas Nori, sembari menuding ke arah ayahku. “Mereka menangkap Ayah dan Ibunya, dan ia pun dalam pencarian.”
“Kenapa bisa?”
“Orang-orang menuduh mereka sebagai komunis.”
Ibu Dumi terperanjat. “Siapa orang-orang itu?”
Nori menunduk dan terdiam.
“Termasuk Ayahmu?” tebak Ibu Dumi.
Nori pun mengangguk lemah dengan raut muram.
Ibu Dumi lantas merangkul dan mengusap-usap lengan ayahku. “Tenanglah, Nak. Kau aman sekarang.”
Ayahku mengangguk-angguk dengan perasaan takut yang perlahan mereda.
Hening beberapa saat.
“Aku harus pulang,” kata Nori kemudian. “Aku takut sampai di rumah setelah Ayahku sampai di sana. Itu bisa membuatnya curiga.”
Ibu Dumi mengusap-usap rambut dan mengecup dahi Nori. “Semestinya, kau bersama aku saja, Nak.”
Nori menggeleng. “Itu terlalu berbahaya. Bisa-bisa Ayahku tahu kalau aku terlibat dalam pelarian Muslim.”
Ibu Dumi mengangguk lemah, tanpa berkata-kata. Ia lalu menyeka air matanya.
Sesaat berselang, Nori pun melangkah meninggalkan rumah Ibu Dumi.
“Hati-hati, Nak,” pesan Ibu Dumi, sambil mengelus-elus pipi Nori.
“Ibu tak usah khawatir.”
Ibu Dumi pun mencium dahinya.
“Jaga dirimu,” pesan ayahku.
Nori mengangguk tegas. “Kau juga!”
Tanpa berkata apa-apa lagi, Nori pun melangkah pergi, sembari meninggalkan tudungnya yang masih melingkar di lutut ayahku.
Beberapa saat kemudian, hujan pun turun, sangat deras.
Waktu terus bergulir.
Ketika langit masih gelap, kala bumi masih basah, Ayahku dan Ibu Dumi akhirnya menuju ke kota untuk menemui Tian, seorang lelaki, teman dekat Ibu Dumi, yang bekerja di negeri seberang dan sedang menikmati masa liburnya di tanah air. Dan pada hari itu juga, mereka pun beranjak ke sebuah negeri pelarian, di satu negeri yang damai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar