Minggu, 07 Februari 2021

6. Dunia Nyata

 Bagian ke-6 dari cerita bersambung Setapak Berliku

Baru saja malam. Langit menggelap dan hujan menderas.

Fatih pulang ke rumah orang tuanya. Tiga orang temannya yang kini telah resmi menjadi temanku juga, masih berada di dalam rumah.

Sedari tadi, aku hanya berdiri dan berlalu-lalang di teras depan rumah, sembari menunggu taksi daring pesananku yang tak kunjung datang. Aku jadi sangat risau dan khawatir kalau-kalau telat menunaikan janji pada Naya.

Tiba-tiba, Kira mengagetkanku dari arah belakang. “Mau ke mana?”

Aku menoleh dan menatapnya setengah percaya diri. Mau tak mau, aku pun menuturkan rahasia kecilku. “Aku ada janji dengan seseorang di Kafe Niro. Jam 7,” kataku, lalu mengalihkan pandangan pada bulir-bulir hujan yang berjatuhan di depanku. “Tetapi ya…!”

“Hendak bertemu siapa? Perempuan?”

Aku jadi kelimpungan. “Hanya seorang teman.”

“Aku tak mempertanyakan hubungan kalian,” ketusnya.

Mulutku pun tersekat.

Sejenak kemudian, ia kembali menyelidik, “Bukankah kau baru tiba siang tadi? Bagaimana bisa kau sudah mengenal orang lain selain kami di sini?”

Aku pun merasa terdesak, hingga akhirnya aku memutuskan untuk berterus terang saja. “Aku punya teman berbagi kabar saat aku berada di negeri seberang. Dia seorang wartawan. Kami sering berkomunikasi di dunia maya.”

Ia mengangguk-angguk dengan senyuman yang merekah perlahan. “Teman khalayan rupanya.”

Aku jadi kikuk dan lekas memalingkan wajah darinya.

“Biar aku mengantarmu,” katanya, sambil menuding pada sebuah mobil mewah berwarna hitam.

Aku pun terkaget. Tawarannya terkesan lancang bagiku. “Tidak usah. Aku sudah memesan taksi daring.”

“Batalkan saja. Aku sudah akan pulang. Aku melintasi kafe itu,” kilahnya lagi, seolah berkeras dengan tawarannya. “Rano juga nebeng.”

Seketika, aku merasa tenang mendengar pungkasannya. “Baiklah. Kau sepertinya memaksa,” candaku, bermaksud mencairkan kekakuan.

Ia sontak tertawa kecil.

Akhirnya, di bawah derai hujan, kami pun mengarungi jalan kota yang basah. Aku duduk di samping Kira yang tampak lihai mengemudikan mobil, sedang Rano duduk di kabin tengah seorang diri.

“Berceritalah tentang aktivitasmu di sana!” pinta Kira. “Bagaimana kau menikmati hidupmu?”

“Sebagai penulis lepas, aku menjalani hari-hari yang menantang. Aku senantiasa berurusan dengan peristiwa, buku, dan orang-orang baru,” kataku, sambil menatap kerumunan mobil yang berjalan lambat. “Aku menikmati rutinitas itu. Setidaknya, aku jadi paham banyak hal, terutama soal kehidupan orang-orang pelarian, sepertiku.”

“Aku suka membaca tulisanmu, dan aku salut atas dedikasimu,” kata Rano.”Sadar atau tidak, tulisan-tulisanmu turut memengaruhi kehidupan pepolitikan dan kebijakan pemerintahan di negara ini, khususnya terkait nasib orang-orang pelarian dan masa depan penyeselaian kejahatan HAM.”

Aku merasa tersanjung. “Aku lebih salut kepada orang-prang sepertimu,” balasku, sebagaimana tata krama pada umumnya. “Selama ini, aku menulis karena aku memang harus menulis sebagai bagian dari korban sejarah masa lalu. Namun orang-orang yang tidak terkait dengan peristiwa itu tetapi mau mengerti dan turut berkontribusi nyata, sepertimu, seperti kalian, sungguh telah melakukan pengorbanan yang besar.”

Kira tertawa. “Jangan membalas pujian dengan pujian. Terimalah!“

“Tetapi kalian memang luar biasa. Di saat sebagian anak bangsa telah lupa atau memang tak peduli tentang sejarah kelam kami, kalian malah mengambil sikap yang sebaliknya.”

“Kalaupun kami memang telah melakukan tindakan yang kau anggap luar biasa, itu memang sudah seharusnya,” tangkis Rano. “Kami yang kini menjalani kehidupan yang lebih baik di negeri ini, seharusnya menyadari bahwa keadaan sekarang terbentuk dari sejarah yang panjang, yang telah menumbalkan banyak orang, seperti kau dan keluargamu.”

”Anggap saja kami sedang membalas budi, sembari menghapus dosa-dosa pendahulu kami,” timpal Kira.

Aku tersenyum mendengus. “Kami sesungguhnya tidak menginginkan konsep balas-membalas. Kami hanya menginginkan pengungkapan sejarah yang sebenar-benarnya, agar kami bisa menyatu kembali dengan tanah air kami, sebagaimana warga negara yang lain,” kataku, merujuk pada harapan ayahku dan nenek angkatku selama ini.

Kira mengangguk-angguk. “Tetapi harapan kalian itu, sepertinya masih jauh dari kenyataan. Bahkan semakin jauh menjelang pemilu seperti sekarang, ketika para politikus pewaris rezim otoriter kembali memanfaatkan sentimen masyarakat terhadap keturunan orang pelarian sepertimu.”

“Ya. Dan harapan itu akan jadi sesuatu yang mustahil jika para pelaku sejarah kelam itu menjadi penguasa di negara ini,” simpulku.

“Kita mesti berupaya agar keadaan itu tidak terjadi,” timpal Rano. “Kami bersama kalian.”

“Terima kasih,” balasku.

Mobil kemudian berjalan pelan, lalu berhenti tepat di depan plang dengan tulisan: Kafe Niro.

“Ada saatnya kau harus rihat dari masalah. Bersenang-senanglah!” ketus Rano, lalu mengedipkan sebelah matanya.

Kira tersenyum ke arahku. “Ya. Bersenang-senanglah!”

Aku pun tertawa pendek, lantas turun dari mobil.

Putaran roda kemudian membawa mereka menghilang dari pandangan mataku.

Berdirilah aku di depan sebuah kafe yang telah kuperjanjikan dengan Naya. Sebuah kafe yang tampak menawan di posisi yang meninggi dari jalan raya. Halamannya luas dengan bunga-bunga yang mengelilingi area parkir. Dindingnya elegan dengan jendela kaca yang berhias kerlap-kerlip lampu.

Sesaat kemudian, aku lalu memasuki ruang kafe dengan jantung yang berdebar, sembari menoleh ke segala arah untuk mencari keberadaan Naya. Satu per satu wajah kuamati, namun aku tak juga menemukan wajah yang serupa dengan wajahnya di media sosial.

“Hai!” sapa suara wanita dari arah belakangku.

Aku lalu berbalik dan memandangi sesosok perempuan berkacamata dengan rambut yang tergerai lurus.

“Rumi?” tebaknya dengan wajah semringah.

Aku mengangguk kikuk, kemudian berusaha melayangkan senyuman.

“Aku Naya,” tuturnya, dengan senyuman yang merekah sempurna.

Perasaanku jadi berwarna-warni, tetapi aku berupaya untuk tampil dengan sebiasa mungkin. “Aku bisa menebaknya,” kataku, setengah bercanda.

Ia pun tertawa pendek.

Kami lalu bersetatap selama beberapa detik, tanpa berkata-kata.

Lekas kemudian, ia menunduk dengan senyuman yang timbul-tenggelam. “Aku telah memilih meja di belakang sana,” terangnya, sambil menuding ke sudut sebelah kiri pintu masuk.

“Posisi yang baik,” kataku, lalu melepas tawa bergumam untuk melegakan perasaanku sendiri.

“Ayo!” ajaknya, kemudian berbalik badan dan melangkah menuju pada meja yang ia maksud.

Aku pun mengikutinya dari belakang. “Sudah lama menungggu?”

“Tidak juga,” katanya.

Kami lalu duduk pada sepasang kursi yang berhadapan.

“Aku sampai pada 5 menit sebelum jam 7.” Ia lantas menatap jam dinding. “Sedangkan kau sampai pada 7 menit setelah jam 7.”

“Itu berarti aku tak perlu meminta maaf. Kita sama-sama mengingkari janji. Bedanya, kau datang lebih cepat, sedangkan aku datang lebih lambat,” candaku, bermaksud membuat obrolan kami semencair obrolan kami di dunia maya.

Ia tertawa pendek, lalu menyanggah dengan nada canda yang seirama, “Tetapi menurut hukum perjanjian temu, yang terlambat, ya, seharusnya meminta maaf. Menunggu itu pekerjaan yang tidak menyenangkan.”

“Aku kira, beban menunggu sama beratnya dengan beban ditinggu. Bedanya, yang menunggu menyimpan pertanyaan, sedang yang ditunggu memendam jawaban.”

Ia pun mendengus, lalu menggelang-gelengkan kepala. “Ternyata aku salah. Kau ternyata jauh berbeda dari yang kukira.”

“Kita kan memang belum benar-benar saling mengenal.”

“Ya. Tetapi kini, aku sudah tahu kalau kau ternyata sangat pandai bersilat lidah. Itu jauh berbeda dengan persepsiku tentang sosokmu di dunia maya.”

“Anggap saja aku memang berbeda dengan sosok yang kau lihat di layar.”

“Tetapi aku tak bermaksud bertemu dengan kau yang ini. Aku ingin bertemu dengan sosok yang ada di layar.”

Aku pun tertawa.

Obrolan kami lantas menjeda. Ia lalu memanggil dan melambaikan tangan kepada seorang pelayan. Sesaat kemudian, kami pun memesan hidangan untuk merayakan pertemuan pertama kami di dunia nyata.

Sambil menunggu pesanan datang, kami pun membunuh waktu dengan membanding-bandingkan anggapan kami tentang rupa masing-masing dengan kenyataan saat ini. Sebuah pembahasan iseng yang mengundang tawa dan membuat kami semakin akrab.

Beberapa lama kemudian, pesanan kami pun tersaji di atas meja.

“Apa rencanamu selama di sini?” tanyanya, lantas menyesap segelas teh susu panas pesanannya.

“Ya, sebagaimana seharusnya, aku pulang untuk mencari tahu apa yang sesungguhnya terjadi di balik peristiwa kelam yang telah merenggut Kakek-Nenek dan Ibuku.”

Wajahnya pun tampak haru. “Apa kau sudah punya titik berangkat atau petunjuk awal dalam melakukan penelusuranmu?”

Aku menggeleng. “Belum ada petunjuk berarti. Tetapi untuk pertama-tama, aku berencana mengunjungi tempat peristiwa itu terlebih lebih dahulu, sembari mencari keterangan yang mengarah pada peristiwa itu.”

Ia mengangguk-angguk dengan raut wajah yang sayu. “Kau bersabarlah. Aku yakin, kau pasti menemukan apa yang kau cari.”

Kami lalu mengambil jeda beberapa lama untuk menyantap ubi dan kentang goreng pesanan kami.

“Terima kasih karena kau telah banyak memberikan informasi kepadaku, dan membantu menyebarluarkan tulisan-tulisanku selama ini,” kataku kemudian. “Itu sangat berarti bagiku.”

“Jangan merasa berutang budi. Itu memang tugasku sebagai seorang wartawan,” katanya, lalu menyeka kisaran bibirnya dengan tisu.

“Aku hanya ingin berterima kasih. Kau mau terima atau tidak, terserah!” candaku.

Ia sontak tertawa pendek, kemudian membalas, “Mungkin akulah yang patut berterima kasih. Tulisan-tulisanmu untuk mediaku diminati banyak pembaca, apalagi menjelang pemilu seperti sekarang.”

“Itu berarti aku telah berkontribusi pada kondisi perekonomian mediamu; yang berarti pula aku telah memberi sumbangsih pada pendapatan pribadimu secara tidak langsung, kan?.”

Ia tersenyum. “Karena itu, kau tak boleh menolak traktiranku kali ini!”

Aku pun kelimpungan. “Aku hanya bercanda. Aku tak bermaksud menyinggung soal itu.”

“Terserah. Tetapi aku terlanjur menganggapnya sebagai sebuah singgungan yang keras,” katanya, lantas bergegas ke kasir untuk membayar tagihan.

Aku pasrah saja.

Berselang kemudian, ia kembali sambil tersenyum.

“Sekarang, aku berutang padamu. Besok-besok, aku akan membalasnya!”

Ia tergelak. “Kau atur saja.”

Kami lalu berbenah, kemudian melangkah keluar kafe.

Karena tempat tinggal kami yang berlawanan arah, kami pun berdiri tepi jalan untuk menunggu tumpangan masing-masing.

Sesaat kemudian, ojek daring yang kupesan akhirnya datang.

“Tak usah repot-repot menemaniku menunggu tumpangan. Kasian tukang ojeknya. Kau pulang saja lebih dahulu,” 

Aku mendengus. “Tetapi kau jangan bersedih, ya. Kita akan bertemu lagi,” candaku, sembari melayangkan senyuman.

Ia tertawa.

“Sampai jumpa.”

“Dadah.”

Tiba-tiba, aku tersadar bahwa kami telah melewatkan satu hal yang penting: kami lupa bertukar alamat. Namun kupikir, memang sebaiknya begitu, demi menjaga amanah Fatih untuk merahasiakan keberadaan markas kami dari pengetahuan orang lain.

Sesampainya di rumah, aku pun menemukan Fatih sedang berkutat dengan ketikan penelitiannya di layar laptop, dan aku sadar untuk tidak menggangu konsentrasinya.

Atas kepenatan yang kurasakan di hari yang menyenangkan ini, aku pun lekas berbenah diri untuk segera menyambut mimpi yang indah.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar