Selasa, 26 Februari 2019

Nasi Bungkus

Sejak aku kehilangan nama baik, aku telah kehilangan hidupku. Sebab tanpa nama baik, hidup tak lebih baik daripada mati. Tanpa nama baik, hidup hanya memperpanjang cerita tentang kehidupan yang penuh derita. Sungguh, aku benar-benar merasakan itu. Di umur yang masih muda, aku telah kehilangan nama baik, dan aku harus menanggung akibatnya sampai saat ini.

Nama baikku hancur saat aku masih berumur 14 tahun. Kala itu, kampungku diterjang ombak pasang yang sangat tinggi. Rumahku pun porak-poranda, seperti juga rumah warga desa yang lain, yang berada di sepanjang dataran rendah. Aku sekeluarga pun kehilangan tempat bernaung, seperti juga beribu warga yang lain, yang akhirnya mengungsi ke tempat yang jauh dari titik bekas rumah mereka berada.

Setelah ombak menyapu perkampungan, keadaan hidup seganap warga jadi sangat berbeda. Setidaknya, untuk urusan pangan saja, setiap orang harus memiliki kesabaran yang cukup untuk menanti. Makanan yang layak disantap, juga air bening yang layak diminum, jadi sangat terbatas. Hingga nafsu kekanak-kanakanku pun memuncak. Aku lalu mencuri sebuah nasi bungkus dan sebotol air minum kemasan di barak mengungsian untuk mengisi perutku yang keroncongan.

Namun sungguh nahas hidupku. Belum juga aku menyantap makanan hasil curian, orang-orang malah memergokiku. Aku lalu diperlakukan sebagaimana pencuri kelas bawah pada umumnya. Aku dihujat dan dipukuli sebagai orang yang hina, sambil dipertontonkan di tengah kerumunan pengungsi. Sampai akhirnya, aku dibawa ke kantor polisi dan diadili dengan cara yang khusus. Meski akhirnya aku tak dibui, tapi nama baikku telah hancur saat itu.

Kini, hiduplah aku sebagai manusia yang masih memikul beban yang kubawa dari usia labilku di masa lalu. Puluhan tahun bergulir, gelar sebagai pencuri nasi bungkus masih terus menyertai namaku. Setiap kali orang-orang berkisah tentang diriku, mereka selalu menjadikan lakon pencuri nasi bungkus sebagai tanda pengenal khusus untukku. Entah mereka menganggapnya sebagai cadaan semata, atau mereka masih memandangnya sebagai celaan serius.

Akhirnya, aku harus menerima kenyataan bahwa sebagian orang tak akan lagi menilai diriku seperti anak manusia yang lain, yang mungkin saja berbuat salah dan semestinya dimaafkan. Mereka akan terus menggaung-gaungkan kesalahan kecilku yang pernah mencuri nasi bungkus, meskipun aku telah mendermakan harta-bendaku demi mengenyangkan banyak orang yang kelaparan. Mereka akan terus mengutukku sebagai anak iblis, meski Tuhan mungkin telah memaafkan kesalahan di masa labilku itu.

Namun di tengah stigma negatif, aku terus membesarkan hati bahwa nama baik tidak selamanya sejalan dengan pandangan orang-orang. Aku lebih tahu tentang diriku, dan aku merasa memiliki sisi yang baik. Aku tak mencap diriku lebih baik dari yang lain, tapi aku juga tak bisa menghinakan diriku lebih buruk dari yang lain. Aku tetap menganggap diriku sama saja dengan anak manusia yang lain, yang terus bergulat dengan nafsunya sendiri sepanjang hidup.

Atas pandanganku yang manusiawi, aku pun pernah mencoba menawarkan namaku di tengah khalayak. Dengan latar belakang sarjana teknik dari kampus ternama, aku pun mencalonkan diri sebagai kepala desa, tepatnya sepuluh tahun yang lalu. Aku menjanjikan perbaikan kesejahteraan warga desa yang sebagian besar bekerja sebagai nelayan, sembari tetap memberikan perlindungan bagi kelestarian alam. Aku berani mengutarakan itu karena aku mengerti kalau bencana yang sangat parah, terjadi karena kerusakan alam yang sangat parah, bukan malah sebaliknya.

Di waktu itu, kukira, segenap warga akan sepakat dengan program yang aku tawarkan. Mereka akan memilih diriku menjadi kepala desa agar harapan mereka tentang keselarasan antara kesejahteraan masyarakat dan kelestarian lingkungan, terkabul. Tapi nyatanya, aku malah dikalahkan oleh seseorang yang kukira tak lebih baik dari segi pengetahuan dan perilaku dibanding aku. Aku kalah karena tak mau berkompromi dengan laku buruk warga yang gemar mabuk dan berjudi. Aku kalah karena tak punya modal untuk menyenang-nyenangkan warga beberapa jam sebelum pemilihan. Dan jelas saja, aku kalah setelah titelku sebagai pencuri nasi bungkus kembali digaung-gaungkan.

Sampai akhirnya, aku tak ingin menjadi siapa-siapa lagi hari ini. Aku tak ingin semakin banyak orang yang mengenal diriku, sebab akan semakin banyak pula orang yang akan mengolok-olokku sebagai pencuri nasi bungkus. Aku menguatkan tekad untuk mengubur impianku menjadi sosok yang punya nama di tengah-tengah masyarakat. Aku meyakinkan diri untuk berhenti mencari ucapan terima kasih dari orang-orang, dan mulai menghargai diriku sendiri, seutuhnya.

Tapi ketenanganku dalam penyendirian, kembali terusik hari ini, saat kepala desa dan seorang calon pejabat bertandang ke kampungku. Sang kepala desa membawa seorang calon anggota dewan untuk mengunjungi warga di tenda pengungsian setelah kampungku kembali diterjang ombak pasang yang besar. Sang kepala desa datang mengampanyekan sang calon dewan untuk menarik simpati warga pengungsi, sambil membagi-bagikan nasi bungkus.

“Inilah calon anggota dewan yang patut kita pilih, Pak Marjo,” kata Riman, tetanggaku yang belakangan selalu mengeluhkan kehidupannya di pengungsian. “Apalagi ia dekat dengan kepala desa kita.”

Aku menggerutu di dalam hatiku. Mengutuki diriku sendiri yang tak punya harapan lagi untuk menjadi seorang pejabat yang benar-benar berkerja untuk kepentingan masyarakat. “Aku tak peduli lagi soal politik, Pak.”

“Lah!” serunya, sambil memperbaiki posisi duduknya. “Kalau bapak tak peduli soal politik, orang-orang bejat akan menjadi pejabat. Sudah seharusnya kita membantu dan memilih orang-orang yang punya kepedulian terhadap masyarakat kecil seperti dia,” katanya, sambil melahap nasi bungkus pembagian sang calon pejabat. “Coba perhatikan, Pak, belum pernah ada calon anggota dewan yang berkunjung ke sini dan memberikan bantuan. Hanya dia saja seorang. Nah, apa jadinya kalau orang-orang yang tak memiliki kepedulian terhadap masayarakat malah terpilih? Bahaya, Pak!”

Aku lalu menyingkirkan sebuah nasi bungkus di tergeletak depanku, yang sedari tadi tak menggugah seleraku. “Setidaknya, Bapaklah yang memilih,” kataku, kemudian melayangkan pandangan ke arah para warga yang mengerumuni sang kepala desa dan calon anggota dewan di tenda seberang. “Suara dari seorang mantan penjahat sepertiku, mungkin tak ada artinya juga, Pak. Kalau aku memilih, bisa-bisa yang terpilih malah koruptor.”

Ia lalu berhenti mengunyah, “Jangan begitu, Pak,” katanya, dengan suara merendah, seolah-oleh sedang menasehati. “Kalau kita merasa sebagai orang-orang kelas bawah yang tak berdaya, setidaknya kita menyokong orang-orang kelas atas yang akan melindungi kepentingan kita nanti.”

Aku diam dan tak menggubrisnya lagi.

Tak berselang lama, sang kepala desa dan calon anggota dewan kemudian berdiri di depan tenda tempatku bernaung. Beberapa warga kemudian berdiri memberi salam dan bersorak-sosak. Begitu pun Pak Riman. Tapi aku tetap diam saja di balik tenda, memandangi si calon anggota dewan; seorang pengusaha yang telah membabat habis mangrove di tepi pantai untuk dijadikan sebagai objek wisata modern. Sedang di sampingnya, kulihat kepala desa tersenyum semringah kepada para warga yang telah berhasil ia perdaya untuk mendukung usaha sang calon anggota dewan atas nama kepentingan masyarakat yang hanya berarti uang baginya sendiri.

“Bencana ini adalah ujian dari Tuhan, Bapak-Bapak,” kata sang calon anggota dewan, sambil merekahkah senyumannya. “Untuk itu, memohon ampunlah kepada Tuhan! Berdoalah supaya berkah segera turun setelah ujian ini berlalu!”

Seketika, hatiku dilanda kerusuhan.

Seutuh Kisah

Ada yang berubah setelah kau datang
Melenyapkan dahaga di titik penantian
Saat aku menunggu pada yang mungkin
Kau datang memastikan rasa

Ada yang berubah setelah kau tinggal
Segenap jawab menuntaskan tanya-tanya
Tentang adakah juga seorang penghibur untukku
Yang menghapuskan keraguan atas bahagia

Ada yang berubah setelah kau pergi
Derai hujan jadi tak berkesudahan
Menghapus jejak-jejak yang bertebaran
Di ruang hati yang mengenangmu sebagai pilu

Uang Pengganti

Seminggu berlalu sejak Rungka mulai bekerja dengan sangat giat. Setiap kali sepulang sekolah, ia gesit mengganti pakaian dan mengisi perut, kemudian bergegas menuju sepetak kebun peninggalan kedua orang tuanya. Sesampai di tanah penghidupannya itu, ia lekas memanjati pohon langsat setinggi hampir sepuluh meter tanpa rasa takut, kemudian memetik buah-buah yang masak. Hasil petikannya kemudian diturunkan, lalu dijual ke pengumpul buah dengan harga yang terbilang murah.

Rungka tak sendirian. Ia memiliki seorang kakak bernama Rion yang sedari dulu mendidiknya agar giat bekerja di kebun. Pasalnya, setelah kedua orang tua mereka meninggal dalam sebuah kecelakaan sepeda motor, Rion pun menjadi kepala sekaligus ibu rumah tangga. Rion serupa orang tuan pengganti bagi Rungka. Karena itu, Rungka tak pernah memprotes ketika kakaknya yang bertubuh gempal hanya menunggu buah langsang di bawah pohon, sedang ia harus menantang bahaya. Bagi Rungka, membuat sang kakak senang adalah sebuah kebanggaan.

Tapi semangat kerja Rungka yang menderu belakangan ini, tidaklah karena ketulusannya sendiri. Diam-diam, ia memendam keinginan untuk membeli sebuah sepatu baru. Sebuah tipe sepatu yang akan ia beli bukan untuk yang pertama kalinya, tetapi hanya untuk mengganti sepatu barunya yang telah hilang seminggu yang lalu. Sepatu yang baru ia kenakan selama dua minggu itu hilang ketika ia sedang menyusuri sungai untuk menjaring ikan sepulang sekolah, hingga ia mendapati sepatunya yang ditaruh di tepi sungai, raib entah ke mana.

Sebagai seorang adik yang diperlakukan layaknya anak, Rungka jelas tak mau membuat Rion marah karena mengetahui kabar buruk tentang hilangnya sepatu itu. Sebab bagi Rungka, sepatu barunya yang hilang adalah hasil pemberian dari sang kakak yang selama ini kuasa mengatur soal keuangan mereka berdua. Sedang kehilangan sepatu itu berarti kehilangan uang Rp. 80.000 yang harus mereka kais bersama-sama dengan berpeluh-peluh di sumber penghasilan yang tak menentu.

Setelah tujuh hari berlalu, sebenarnya hasil kerja Rungka sudah sangat cukup untuk membeli sepatu pengganti. Setiap hari, ia bisa menurunkan dua keranjang kecil buah langsang seharga Rp. 40.000. Itu berarti ia hanya butuh dua hari saja untuk memperoleh uang pengganti-pembeli sepatu baru. Namun perhitungannya tak sesederhana itu. Untuk sehari panen, Rungka hanya diberi uang jajan sebanyak Rp. 10.000, meski ia melakoni pekerjaan yang utama. Hasil lebihnya yang banyak, menjadi urusan sang kakak yang memang bertindak sebagai pengatur keuangan.

Selaku bendahara, tentu saja Rion senang melihat semangat kerja Rungka. Ia tak perlu lagi meninggikan nada suaranya agar Rungka beranjak ke kebun. Bahkan pernah dalam sehari, Rungka berangkat ke kebun seorang diri. Keadaan itu sungguh berbeda dibanding seminggu yang lalu. Saat itu, Rion harus bertindak tegas agar sang adik mau berangkat ke kebun ketika malas melandanya akibat godaan segala macam permainan. Hingga akhirnya, Rungka ogah-ogahan bekerja di kebun setelah permintaannya atas mobil dengan tombol kendali tak dipenuhi sang kakak. 

“Uang tabungan dari hasil kerjamu sepertinya sudah banyak. Apa kau hendak membeli mobi-mobil ber-remote seperti teman-temanmu yang lain?” tanya Rion, saat ia dan sang adik sedang duduk mengaso di bawah pohon langsat.

Rungka tersenyum kecut. “Aku sih mau, Kak. Tapi kupikir, akan lebih baik jika aku menggunakan uang penghasilanku untuk hal-hal yang lebih berguna,” katanya, lalu menyeka keringat di dahinya dengan punggung tangan. “Kalau beli mainan, aku takut malah jadi malas ke kebun.”

Rion tertawa pendek, seolah-oleh tergelitik mendengar penuturan adiknya yang terkesan sangat dewasa. “Jadi, hendak kau apakan uangmu itu?”

“Ya, biar aku tabung saja dulu untuk membeli hal-hal yang berguna nantinya, Kak, semacam perlengkapan sekolah,” katanya, lalu memunguti beberapa buah langsat yang besembunyi di sela-sela dedaunan, kemudian menyantapnya sendiri.

Hening sejenak.

Rion berdeham, kemudian bertanya, “Apa guru tak memarahimu lagi jika kau tak mengenakan sepatu ke sekolah?” tanyanya, lalu menoleh kepada sang adik. “Tadi kulihat kau pakai sandal saja ke sekolah.”

Rungka menggeleng-geleng. “Tidak apa-apa, Kak. Seorang guru yang kejam dan memarahiku karena tak mengenakan sepatu ke sekolah, telah pindah tugas ke sekolah yang lain.”

Rion tersenyum-mendengus. “Pantas saja kau tak mengenakan sepatumu lagi,” katanya, kemudian tertawa. “Sudah satu minggu sepatumu kusimpan di sela-sela susunan papan di bawah kolong rumah, tapi kau ternyata memang tak hendak menggunakannya lagi.”

Rungka seketika terkejut. “Jadi?”

“Jadi kenapa?” sergah Rion. “Kau melihatnya kan? Itu, di tempat biasa aku menaruh sepatu-sepatu agar tak dikencingi anjing dan kucing.”

Dengan ruat penuh keterkejutan, Rungka mengangguk-angguk. “Aku tahu, Kak.”

“Seminggu yang lalu, aku melihat sepatumu itu tergeletak di tepi sungai. Setelah menelisik ke sana-sini, aku tak melihat keberadaanmu. Jadi terpaksa, aku bawa pulang saja ke rumah,” terang Rion. “Kau benar-benar tak sedang mencarinya kan?”

Lagi-lagi, Rungka mengangguk-angguk. “Tidak, Kak. Aku melihatnya. Tapi aku memang tak berniat mengenakannya ke sekolah.”

Rion tertawa pendek.

Hening beberapa saat.

Langit tampak mendung. Mereka pun bergegas mengemas buah langsat panenan terakhir di musim ini, kemudian memboyongnya pulang ke rumah.

“Apa boleh aku membeli mobil-mobilan ber-remote seperti punya teman-temanku yang lain, Kak?” tanya Rungka, seperti memohon.

Rion tertawa, seolah-olah rencananya berhasil. “Tentu saja boleh. Itu sudah pantas sebagai bayaran untuk kerja kerasmu selama seminggu ini.”

Pembunuh Harapan

Kita percaya pada janji-janji
Yang lahir dari kata-kata penghantar
Yang membawa imajinasi pada yang mungkin
Bahwa segala yang baik akan datang

Tapi politisi memutarbalikkan makna
Memperdagangkan kata-kata demi kuasa
Menjadi pendebat ulung yang lupa daratan
Menjanjikan surga di dunia yang fana

Ragulah kita pada akhirnya
Saat kata-kata menyesatkan kita
Sampai tak lagi percaya pada janji-janji
Sampai tak lagi berharap tentang masa depan

Menunggu Maut

Aku ingin mati saja. Sudah tak ada lagi harapan untuk hidupku. Segala macam penyakit telah bersatu padu melumpuhkan ragaku. Sebuah komplikasi yang melibatkan masalah jantung, paru-paru, dan beberapa organ lain yang tak bisa kujelaskan sebagaimana dokter menjelaskannya. Satu keadaan yang membuatku hanya bisa berbaring di tempat tidur sambil menunggu maut menjemput, entah kapan. 

Nahasnya, menanti kematian atas hidup yang penuh derita, kurasa menjadi penungguan yang paling membosankan. Sesekali, aku ingin napasku berhenti saja di satu detik ke depan, tapi aku malah lekas berdoa semoga umurku dipanjangkan. Sesekali juga pikiranku berkesimpulan bahwa kematian adalah cara terbaik untuk mengakhiri penderitaan, tapi nuraniku tetap saja tak kuasa membenarkan.

Kadang pula kukhayalkan, mungkin akan lebih baik jika setiap orang diciptakan dengan kesanggupan untuk menentukan jalan kematiannya sendiri. Bahwasanya setiap orang sanggup mengakhiri hidupnya pada waktu dan dengan cara yang mereka sukai. Dan gelimangan keringat, darah, dan air mata yang tak berkesudahan, harusnya menjadi alasan yang cukup untuk mengakhiri hidup. Tapi jelas, itu hanya khayalanku belaka, sebab nuraniku tetap saja tak mengalah.

Di tengah jalan buram menuju kematian, seringkali, muncullah protes di dalam hatiku. Protes kenapa aku tak ditakdirkan meninggal secara tiba-tiba di saat keadaanku baik-baik saja, sehingga aku tak harus menunggu kematian dalam ketidakberdayaan begitu lama. Protes kenapa kematian cuma nyaris bagiku dan tak pernah benar-benar terjadi. Pernah peluru nyasar mengenai tepi daun telingaku, atau mobil menyambar tas selempangku, tapi itu tak berarti apa-apa.

Atas diriku yang tak lagi berdaya, aku pun merasa semakin terbebani sebab aku telah membuat orang lain turut terbebani. Beberapa orang datang membesukku di tengah kesibukan mereka atas nama persahabatan atau kekeluargaan, dan itu membuatku tak enak hati. Beberapa lainnya malah menyisihkan waktunya untuk merawatku dalam waktu tertentu, dan itu membuatku merasa bersalah dan berutang budi.

Ludin, anak ketiga dari lima orang anakku, adalah salah satu dari sekian banyak orang yang kurasa begitu tulus memerhatikan keadaanku. Bahkan untuk saat ini, aku sanggup mendaulatnya sebagai orang yang paling perhatian terhadapku. Tiga bulan sudah ia merawatku di rumah setelah pihak rumah sakit menyerah untuk mencari jalan kesembuhan bagiku. Demi fokus mengurusku, ia bahkan menyatakan telah melepaskan pekerjaannya di kota terlebih dahulu.

Di tengah ketergantungan antara hidup dan mati, aku sungguh bersyukur memiliki Ludin. Paling tidak, kehadirannya membuatku tidak terlalu kesepian dan merasa sedikit tenang menunggu kematian. Pun, kehadirannya yang penuh perhatian akan membuat orang lain tak perlu turut kerepotan mengurus diriku, sehingga aku tak perlu merepotkan banyak orang.

“Terima kasih, Nak,” kataku, untuk ke sekian kalinya. “Aku sungguh merasa terbantu atas kehadiranmu di sini.”

Ia melayangkan senyuman seperti biasa. “Sudah kubilang, Ibu tak perlu berterimah kasih. Apa yang kulakukan memang sudah tanggung jawabku sebagai anak!”

Aku tetap menyimpan rasa bersalah padanya, “Tapi karena akulah, kau harus mengabaikan kepentingan dirimu sendiri, Nak,” kataku, lalu menggenggam tangan kanannya. “Aku ini, mungkin hidup tak lama lagi. Aku tak perlu mencari apa-apa lagi untuk masa depan yang panjang. Sedangkan kau masih sangat muda, Nak. Kau seharusnya fokus pada karirmu. Fokus mencari tabungan untuk masa depanmu nanti.” Aku lalu melepaskan air mata yang sedari tadi tertahan. “Maafkan aku, Nak!”

“Sudah, Bu. Jangan merasa segan begitu. Aku benar-benar tak mengapa atas itu semua,” katanya, sambil mengusap-usap punggung tanganku. “Aku berharap dengan apa yang kulakukan ini, Ibu sudi memaafkan segenap kesalahanku di waktu-waktu yang lalu.”

Seketika, aku pun teringat pada masa lalunya yang penuh dengan hura-hura. Sebelum dua tahun yang lalu, sebelum ia mengaku mendapatkan pekerjaan di kota, ia adalah seorang lelaki dewasa yang hanya memperturut nafsu kemudaannya. Ia gemar mabuk-mabukan, berkelahi, dan mencuri apa saja. Hingga akhirnya, kematian ayahnya, suamiku, berpengaruh juga untuk membuatnya berbenah diri.

“Setiap anak memang pernah melakukan kesalahan pada Ibunya, Nak. Tapi bagi seorang Ibu, tak ada balasan yang setimpal bagi kesalahan seorang anak selain maaf,” kataku, sambil menatap bola matanya yang memandangiku lekat-lekat. “Aku telah memaafkan semua kesalahanmu, Nak.”

Dia mengangguk. Tersenyum lagi.

Hening beberapa saat.

Aku kemudian melepas batuk beberapa kali, hingga bercak darah kembali tampak di lembaran tisu. Tiba-tiba, aku merasa sudah sangat dekat pada kematian. Dan sebelum segalanya terlambat, aku pun menuturkan apa yang beberapa hari belakangan telah kupertimbangkan dengan sangat matang.
“Ada sehamparan tanah atas nama Ibu di desa, Nak. Tanah itu dalah warisanku dari kakekmu dahulu,” kataku, lalu kembali melepas batuk darah. “Aku memutuskan untuk mewasiatkan itu sebagai milikmu, Nak.”

Ia tampak tercengang.

Aku pun menguatkan diri untuk melanjutkan penuturan wasiat di tengah keadaanku yang terasa semakin memburuk “Juga rumah ini, telah kuwasiatkan pula untuk menjadi milikmu,” tuturku, sambil mengesampingkan isu-isu miring dari beberapa orang tentang dirinya di kota.

Ia berusaha menyanggah, “Tapi, Bu, adilkah itu untuk saudara-saudaraku yang lain.”

“Ya, itu adil, Nak. Keadilan tidak berarti sama rata,” jawabku. “Terlebih lagi, kau adalah anak Ibu yang tidak lebih baik dalam soal ekonomi dibanding saudaramu yang lain. Apalagi, kau telah kehilangan pekerjaanmu demi mengurusku baik-baik. Malah, akan sangat tidak adil jika kau tidak menerimanya.” 

Ia berusaha menyanggah, “Tapi, Bu…”

“Kau tak boleh menolak, Nak. Kau memang berhak menerimanya,” kataku lagi, kemudian menyerahkan surat wasiat, juga surat-surat kepemilikan tanah dan bangunan. “Aku yakin, saudara-saudaramu akan setuju.”

Ia pun menyambut berkas sodoranku dengan raut wajah yang masih saja menyiratkan rasa keberatan. “Terima kasih, Bu,” pungkasnya.

Aku mengangguk sambil tersenyum.

Hari demi hari berganti. Keadaanku pun semakin memburuk, dan aku merasa telah berada di tubir kematian.

Namun, terjadilah apa yang tak pernah kutaksir sebelumnya. Seminggu setelah aku menyampaikan wasiat, Ludin malah menghilang entah ke mana, dan tak lagi mengunjungiku sekali pun, hingga bulan berganti.