Senin, 28 Mei 2018

Terbungkamnya Nurani

Tak ada kemanusiaan dalam peperangan. Untuk bertahan hidup, setiap orang harus membungkam nurani dan saling membunuh. Ada yang membantai demi nafsu penjajahan, ada juga demi menggapai kemerdekaan. Semua kukuh pada pendirian demi menjadi pemenang. Hingga yang tampak, akhirnya, hanyalah kehancuran dan kematian di mana-mana.
Nurani yang terbungkam, menjadi pemandangan umum dalam situasi penjajahan, termasuk dalam riwayat Indonesia zaman dahulu. Para kolonialis yang datang mencuri sebesar-besarnya kekayaan alam tanah air ini, berlawan dengan anak bangsa yang nasionalis. Berbunuh-bunuhanlah mereka yang memang berada dalam posisi yang berlawanan.
Gambaran tidak manusiawi, juga terlihat pada perang pasca Proklamasi Kemerdekaan. Belanda yang belum rela melepaskan cengkeramannya di tanah Indonesia, berupaya bertahan dengan segala cara. Mereka merongrong kekuasaan pemerintahan negara yang telah merdeka, entah dengan jalan diplomasi yang picik, atau dengan agresi militer yang kejam.
Semangat para pejuang yang mencitakan kemerdekaan sejati, akhirnya bergelora kembali. Mereka terus berjuang, biarpun diburu dan dibunuh di tanah air sendiri. Pun, tak peduli jika harus berlawan dengan sesama anak bangsa yang bersekutu dengan penjajah demi keistimewaan dari imperium kolonial. Semua adalah musuh-musuh revolusi bagi pejuang.
Pasca kemerdekaan diproklamasikan, memang kesadaran berbangsa dan persatuan nasional belumlah utuh. Sistem kolonial yang begitu lama bercokol, telah menginfeksi jiwa sebagian anak bangsa untuk menjajah bangsanya sendiri. Karena itu, perjuangan mempertahankan kemerdekaan, mau tak mau, juga berarti melawan anak bangsa yang prokolonial.
Politik adu domba yang mengakar, tak pelak, mengaburkan batas-batas antara lawan dengan kawan. Di dalam lingkup masyarakat, para pejuang bisa saja berlawan dengan tetangga mereka sendiri. Pun, dalam lingkup keluarga, para pejuang kadang kala berlawan dengan anggota keluarga mereka sendiri.
Keluarga Amilah dalam roman karya Pramoedya Ananta Toer berjudul Keluarga Gerilja (cat: masih menggunakan ejaan lama), mampu menggambarkan dengan baik kondisi penjajahan yang membungkam nurani. Dengan latar waktu tiga-hari-tiga-malam pada awal tahun 1949, di Jakarta, roman tersebut mengisahkan satu keluarga yang porak-poranda dihantam laku kolonial.
Gubahan Pramoedya yang terbit tahun 1950 ini, mampu membawa kesadaran pembaca pada situasi penjajahan yang membunuh kemanusiaan. Dengan menggunakan sudut pandang sebagai pencerita, Pramoedya menggambarkan gejolak batin setiap tokoh dalam 13 subpenceritaan. Nurani para tokoh yang penuh kekalutan, dinarasikan oleh sang maestro ke dalam kata-kata yang penuh kegetiran.
Dikisahkanlah Amilah, seorang wanita tua yang harus menderita karena menanggung beban masa lalu. Semasa perjuangan kemerdekaan, kala masih gadis, ia adalah idaman para lelaki di tangsi militer KNIL. Ia pun bercinta dengan beberapa lelaki, di antara adalah sorang Belanda yang dipanggilnya Letnan “Gedergeder”, lelaki Manado, Benni, dan seorang lelaki Jawa, Paijan, yang akhirnya menikah dengannya. Akhirnya, ia melahirkan tujuh orang anak dari ayah yang berbeda-beda.
Hiduplah Amilah dalam keadaan miskin bersama anak-anaknya di sebuah rumah yang sangat sederhana. Hanya pada Saaman, anak tertua yang berkerja sebagai tukang becak, Amilah menggantungkan hidupnya sekeluarga. Karena itu pula, Amilah menjadi sangat pilih kasih pada anak-anaknya. Ia lebih menyayangi Saaman yang selalu memberinya uang belanja yang cukup. Apalagi Saaman lahir sebagai buah percintaannya dengan Benni, seorang lelaki yang sangat ia cintai.
Saaman memang menjadi tumpuan satu-satunya bagi Amilah. Saaman adalah anak lelakinya yang tertua, berumur 24 tahun, dan begitu peduli pada perekonomian keluarga. Apalagi anak laki-lakinya setelah Saaman, Tjanimin dan Kartiman, sama-sama telah menjadi gerilyawan selama 4 tahun di tengah hutan yang berjarak 39 kilometer darinya. Kedua anaknya itu, pergi berjuang dan tak ia harapkan lagi untuk kembali.    
Atas kasih sayangnya pada Saaman, wajarlah jika kewarasan Amilah menjadi kacau ketika Saaman ditangkap oleh tentara Belanda dan dibawa entah ke mana. Ia mengutuki semua keadaan yang dianggapnya semena-mena. Ia berang karena menganggap tentara Belanda telah salah menangkap Saaman yang ia sangka tak mungkin terlibat dalam berisan perjuang melawan pemerintah kolonial.
Ditahannya Saaman, membuat Amilah kehilangan pegangan hidup bersama empat orang anaknya yang lain, yaitu Salamah, Fatimah, Salami, dan Hasan. Ia pun mengerahkan segala daya dan upaya agar anak kesayangannya itu bisa kembali. Hingga datanglah Sersan Kasdan memberi kabar agar Amilah mengutus Salamah, anak perempuannya yang tertua dan cantik jelita, hasil hubungannya dengan Letnan “Gedergeder”, untuk menjemput Saaman di sebuah tempat.
Tanpa rasa curiga sedikit pun, pergilah Salamah ke satu tempat yang dijanjikan. Pergi seorang diri, sebagaimana perintah. Dan nahas bagi Salamah, sebab Sersan Kasdan hanyalah seorang penipu yang akhirnya menjebak dan memerkosanya demi membalaskan dendam pada Saaman atas kematian ayahnya. Sedang Saaman sendiri tengah meringkuk di tempat lain, di sebuah sel khusus untuk terpidana mati, yang hanya berjarak kurang dari satu kilometer dengan rumahnya.
Di satu sel kecil itulah, Saaman menanti kematiannya. Ia dijatuhi hukuman mati setelah mengaku dengan sejujur-jujurnya kalau ia adalah seorang pejuang kemerdekaan berkedok tukang becak. Secara diam-diam, ia telah mengerahkan orang-orang untuk memusuhi pemerintah, sampai membunuh 56 orang kolonialis. Dan atas idealismenya, Saaman tak ingin melakukan upaya apa-apa untuk lolos dari hukuman mati itu. Grasi ke ratu Belanda pun, tak hendak ia ajukan.

“Aku senang karena telah mempergunakan hidupku sebagai jang sudah kutentukan sendiri,batin Saaman dalam selnya (hlm. 101).

Sebagai seorang pejuang sejati, Saaman sungguh memegang teguh nurani dan prinsip-prinsip kepahlawanan, sebagaimana yang pernah ia pesankan pada adik bungunya, Hasan:

“... Asal engkau pandai. Asal engkau berani. Asal engkau punja pendirian. Asal engkau sehat. Nanti kalau engkau sudah besar engkau bisa djadi djenderal. Engkau boleh memimpin pasukan. Beribu-ribu banjaknja, berpuluh ribu opsir dan pradjurit. Asal engkau djudjur.”
“Djujur djuga?” tanya Hasan.
“Tentu, Hasan. Kalau engkau tak djudjur, dosamu banjak. Dan kalau dosamu banjak, engkau takut mati. Engkau takut luka. Engkau djadi takut berperang.” (hlm. 23)

Di sisi bumi yang lain, Kartiman sedang bergerilya dan menantang kematian. Ia berjuang mempertaruhkan nyawa. Hingga muncul firasat dalam dirinya sendiri kalau maut akan segera datang menjemputnya. Firasat kematian itu, menyeruak seiring terbayangnya dosa besar yang ia lakukan di masa lalu. Satu dosa pada anggota keluarganya sendiri. Sampai benarlah, ia mati tertembak musuh saat sedang menggempur iring-iringan kendaraan Belanda beserta antek-anteknya.
Tak lama setelah gugurnya Kartiman, kakak sekaligus teman seperjuangannya, Tjanimin, juga meregang nyawa. Atas informasi mata-mata, Belanda tahu juga keberadan kopral gerilya itu. Ia pun terkepung di sebuah rumah warga seusai pemakaman Kartiman. Ia terkepung bersama Ratni, istri Kartiman, kala mereka tengah membahas rancana kehidupan di masa depan. Hingga ia pun mati tertembak, tanpa perlawanan. Satu kematian yang sedari dulu ia sadari akan datang juga membalas dosa besarnya, sebagaimana Kartiman.
Selang kematian Tjanimin, Saaman pun memasrahkan diri untuk mati diberondol peluru. Ia menyambut kematian dengan penuh penerimaan. Ia menerima sepenuh hati hukuman mati atas dirinya, tanpa rasa takut sedikit pun. Kematian adalah kehormatan baginya sebagai pejuang. Kematian, juga berarti ketenangan yang akan mengenyahkan hantu atas dosa besarnya di masa lalu, sebagaimana kedua adiknya. Karena itu, ia bahkan meminta kepada Karel van Keeling, seorang peranakan (berayah Belanda, beribu Indonesia), direktur tahanan yang diam-diam bersimpati pada perjuangannya, untuk mempercepat eksekusi.

“Kalau djiwa sudah bertentangan dengan badan, kalau perbuatan jang didjalankan djauh bertentangan dengan kesutjian jang ada dalam tjita-tjitanja, itulah suatu tanda badan itu harus dibunuh untuk memenangkan djiwa. Untuk memenangkan kesutjian jang ada dalam tjita-tjita,” kata Saaman kepada Karel van Keerling yang terus menyarankan upaya kepadanya untuk lolos dari hukuman mati, kemudian melanjutkan, “Kalau bukan diri sendiri jang membunuh badan itu, maka orang lainlah yang harus membunuhnja.”  (hlm. 107).

Dan kepada Karel, lagi-lagi, Saaman menegaskan penentangannya untuk mengemis hidup. Ia lebih baik mati ketimbang tunduk dan menghamba pada laku kolonialis:

Segala kekedjaman dan kekedjian datang dari mereka yang mempertahankan kedudukan perseorangan. Mempertahankan harta bendanja.” Saaman menahan tertawanja dan berkata lagi. “Tuan tidak pernah tahu, bagimana satu keluarga hantjur seperti serumpun bambu habis dimakan api. Tuan belum pernah liat betapa seorang nenek-nenek memanggul sendjata mempertahankan tanahairnja. Tuan pasti tidak pernah melihat kanak-kanak dari tudjuh tahun menggeranati konvoi inggeris, karena ibu-bapaknja dibakar hidup-hidup oleh apa jang dinamainja musuhnja. Semua itu pernah kulihat disini, di Djakarta tahun empatlima. Dan tuan sekarang,” Ia tertawa keras-keras, seperti dia sendirilah direktur pendjara, kemudian meneruskan dengan suara tertahan-tahan “Alasan tuan alangkah ketjil, nasib keluarga.” Dan sekarang, meledaklah tertawanja sedjadi-djadinya.
Dan direktur itu mendalamkan tunduknja. Nampak mukanja sangat lesu dan bibirnja djadi biru.
Saaman meneruskan tertawanja, “Supaya tuan bisa makan terus, terus, terus, terus, terus sampai mati. Supaya tuan busa menikmati rahmat bumi. Supaya, supaya, supaya tuan bisa berkasih-kasihan dengan anak-anak tuan. Dan berhangat-hangat dengan bini,” Tertawanya kian lama kian menurun, achirnja hilang… (hlm. 142)
“Ja, tahulah aku sekarang, orang jang ada dibawah kuntjiku disini belum tentu pendjahat. Aku tahu bahwa banjak diantara orang-orang disini dengan sungguhhati berdjuang untuk tanahairnja dan rela djuga memberikan djiwanja. Aku tahu. Aku tahu. Dan mereka itu semua aku anggap sebagai musuhku sendiri tadinja. Tuan tahu -musuh dari nasib baikku. Musuh dari keluargaku. Musuh dari kedudukanku jang baik. Musuh gadjiku. Musuh dari seluruh kesenanganku. (hlm. 142-143).

Akhirnya, matilah Saaman, Kartiman, dan Tjanimin. Tiga saudara seibu yang sejatinya berbeda ayah itu, telah terjebak dalam dosa masa lalu yang mengantarkan mereka pada kematian. Satu dosa besar yang menjadi rahasia mereka bertiga. Mereka telah bersekongkol untuk membunuh Paijan, seorang lelaki yang telah menjadi sosok ayah bagi mereka. Mereka membunuh Paijan, sebab lelaki tua itu menghambakan diri pada penjajah. Mereka membunuh Paijan, demi perjuangan mereka pada kemerdekaan bangsa.
Dari renungan Tjanimin sebelum meninggal, tergambarlah alur peristiwa memiriskan itu:

“Tahu? Aku sudah diangkat djadi kopral lagi,” katanja lagi (Paijan).
…Dan Kartiman nampak hitambiru mukanja. Ia (Tjanimin) memandang Saaman, kakaknja jang tertua dan berkata:
“Kak, Aman, tjoba lihat! Bangsat betul!” katanja berbisik. “Di Atjeh, dibunuhnja orang Atjeh. Di bali dibunuhnja orang Bali. Di Sulawesi. Di Borneo. Bangsat! Sekarang dia disini dengan tanda-pangkat pembunuhnja. Tahu siapa jang akan dibunuhnja sekarang? Nanti? Tahu? Aku! Kau! Kita semua, anak-anaknja. Dan dirinja sendiri.”
Ia menunduk berpikir. Kartiman djuga. Saaman Djuga. Kemudian ketiga-tiganja mendjauh. Dan achirnja Saaman berbisik:
“Lebih baik singkirkan dia,” bisiknja. “Kalau tidak, seluruh keluarga kita pasti dimakan bambu runtjing.”
Dan Kartiman mengangguk. Ia djuga, Tjanimin. Kemudian ketiga-tiganja memandang Paijan. (hlm. 40)
…Achirnja ia dan Saaman dan Kartiman membawanja ketepi Tjiliwung, dibawah djembatan. Hari terang bulan. Dan saksi tidak ada selain alam sendiri. Paijan mabok oleh wiski baru. Dan Kartiman menembaknya dengan cold tjap kuda pada kepalanya. Kemudian bangkai itu disepaknya keair. Achirnja Saaman berbisik:
“Bapak sudah djadi manusia sedjati sekarang. Sudah djadi mait dia. Mari kita hormati.”
Ia dan Kartiman dan Saaman menundukkan kepala. Tak bergerak. Presis hamba Nippon menjembah istana Tennoo.
“Bapak meninggal dalam keadaan mabok. Dalam keadaan senang. Dan tak ada alasan bagi kita untuk bersedihhati.” (hlm. 46).

Kini, matilah ketiga pejuang bersaudara itu. Mati terbunuh demi perjuangan membebaskan bangsa sendiri dari belengggu penjajahan. Mati di tempat yang berbeda-beda di tanah air sendiri, tapi dengan satu semangat perjuangan yang sama, yaitu mewujudkan kemerdekaan yang sejati sebagaimana cita-cita Proklamasi Kemerdekaan. Mereka mati secara terhormat sebagai pejuang yang tak kenal kompromi pada penjajah dan antek-anteknya, meski harus membungkam nurani mereka sendiri.
Di atas kuburan Saaman, berdukalah Amilah begitu dalam. Ia meratapi harapan hidupnya yang mati bersamaan dengan matinya Saaman. Ia merasapi kegalauan hidupnya sepeninggal Saaman yang tak ia sangka-sangka gugur sebagai seorang gerilyawan yang senyap. Sampai akhirnya, duka yang begitu dalam setelah ditinggal pergi, membuat Amilah meninggal di atas kuburan Saaman, menyusul sang anak di alam kematian.
Di hari itu juga, berkunjunglah Karel van Keerling untuk memberikan penghormatan kepada Saaman secara diam-diam. Datang juga mantan kekasihnya, Zainab Juliati, bersama suaminya yang seorang marinir, yang akhirnya ia tahu, memiliki cinta yang tak sesuci cinta Saaman. Pun, datang pula Salamah dan adik-adiknya, juga Darsono, seorang lelaki yang mencintainya, yang tetap menerima keadaannya yang telah ternoda, serta bersedia menghidupinya sekeluarga.

Tetaplah yang Berubah

Dapatkanlah dari yang hilang
Sepenuhnya tentang pengertian hidup
Tentang hakikat memiliki dan dimiliki
Hanya di antara sabar dan bersyukur

Tak ada yang lenyap dalam semesta yang satu
Cuma tampak berganti di balik waktu
Datang menghilangkan atau hilang mendatangkan
Dan yang tetap hanyalah perubahan

Cukuplah kepasrahan untuk bahagia
Menginsafi hidup bukan tentang apa
Di antara banyak kehadiran tanpa permintaan
Menerimalah untuk mencintai sepenuh hati

Minggu, 20 Mei 2018

Perempuan Dijajah Kuasa

Zaman dahulu, ketika kultur patriarki masih menancap di benak para pendahulu, kaum perempuan tak lebih dari barang milik laki-laki. Perempuan menjadi serupa perhiasan yang tak punya hak atas dirinya sendiri. Mereka dituntut untuk terus melayani kepentingan para lelaki, seakan-akan itu kepentingan mereka juga.  Mengabdi saja, seolah-olah mereka memang ditakdirkan demikian.
 
Konstruksi sosial yang merendahkan martabat perempuan, semakin kokoh dalam kultur feodal. Para perempuan dianggap kaum kelas dua yang sepatutnya menghamba pada tuan-tuan. Perempuan dituntut harus pintar-pintar mengambil hati para bangsawan yang punya segala. Perempuan mesti memberikan segala-galanya untuk mengecap bagian dari segala-galanya.

Kultur feodalisme yang menciptakan kelas-kelas sosial, sungguh telah menjadikan kaum perempuan sebagai tumbal. Para perempuan dari kalangan rakyat jelata, yang berada dalam kelas sosial yang dianggap rendah, acapkali diperjualbelikan kepada para bangsawan oleh orang tua mereka sendiri, demi meningkatkan martabat diri sendiri dan keluarga.

Hasrat untuk naik kelas, membuat perempuan serupa barang dagangan semata. Diri mereka harus diserahkan kepada para bangsawan yang menghendaki, tanpa ada yang kuasa merintangi. Alih-alih membela kepentingan pribadi seorang anak perempuan, keluarga seringkali malah turut memaksakan para gadis untuk menikah saja dengan bangsawan demi kebangsawanan.  

Begitu pula nasib Gadis Pantai, seorang gadis yang dilahirkan di sebuah kampung nelayan, Rembang, Jawa Tengah. Segenap dirinya harus diserahkan kepada tuan bangsawan ketika hati dan pikirannya, belumlah matang sebagai seorang perempuan. Ia harus menjadi selir bangsawan kala masih berumur 14 tahun, dan belum juga balig. Ia tak bisa apa-apa, sebab ayahnya memaksa, sedang masyarakat menganggap itu sebagai sebuah kehormatan.

Kisah pilu Gadis Pantai tergambar dalam novel gubahan Pramoedya Ananta Toer berjudul Gadis Pantai. Novel yang ditulis kisaran tahun 1962 ini, dengan apik mengisahkan seorang gadis yang harus menerima hidupnya sebagai istri semu seorang bangsawan. Ia harus menanggalkan kekanak-kanakannya selekas mungkin, dan hidup dengan sikap dewasa di lingkungan istana.

Pada awalnya, Gadis Pantai enggan menuruti hasrat sang bangsawan, seorang Bupati Blora di zaman pendudukan Belanda, yang ditokohkan dengan sapaan Bendoro (panggilan untuk majikan/pejabat tinggi di zaman kolonial). Di tengah ketidakpahamannya soal kehidupan berumah tangga, Gadis Pantai jelas tak sanggup menjadi istri seorang pembesar yang sungguh asing baginya. Tapi mau tidak mau, ayahnya memaksa, sedang ibu dan saudaranya, turut saja.


Emaknya membuang muka, melalui jendela dokar ke arah laut yang menghidupinya sepanjang umur. Tak mampu ia menyatakan, ia nangis melihat anaknya keluar selamat dari kampung nelayan jadi wanita terhormat, tak perlu berkeringat, tak perlu berlari-larian mengangkat ikan jemuran bila rintik-rintik hujan mulai membasahi bumi.

“Mulai hari ini, nak,”emaknya tak sanggung peneruskan, kemudian mengubah bicaranya: “Beruntung kau jadi istri orang alim, dua kali pernah naik haji, entah berapa kali khatam Al-Qur’an. Perempuan nak, kalau sudah kawin jeleknya laki jeleknya kita, baiknya laki baiknya kita. Apa yang kurang baik pada dia?” (hlm. 14).


Akhirnya, menikahlah Gadis Pantai dengan Bendoro dalam ritual yang menunjukkan ketidaksetaraan status sosial kedua mempelai itu. Gadis Pantai tidak disandingkan dengan Bendoro di hadapan penghulu dan didampingi para wali dari pihak keluarga. Gadis pantai hanya diwakili oleh sebuah keris, dengan tokoh kampung selaku wali.

Dan setelah pernikahan, tinggallah Gadis Pantai dalam istana Bendoro. Di dalam gedung yang megah itu, ia hidup dengan perasaan terasing, sebab jauh dari sanak keluarga dan berada di tengah orang-orang yang berbeda. Ia merasa terpenjara, sebab harus menanggalkan kebebasan hidup orang kampung, lalu memulai hidup dengan hukum dan tata krama kehidupan bangsawan.

Namun akhirnya, Gadis Pantai bisa juga menyesuaikan diri dengan kehidupan barunya setelah dituntun oleh wanita tua, seorang pelayan istana yang telah mengabdi untuk mengurus istri-istri dan anak-anak bendoro selama 15 tahun. Dari pelayan itulah, ia mulai tahu kalau dirinya bukan gadis kampung lagi, tetapi seorang bendoro putri yang disapa Mas Nganten, yang kuasa memerintah para bujang-bujang istana.


Dan sekarang gadis pantai tertegun. Ia mulai mengerti di sini ia tak boleh punya kawan seorang pun yang sederjat dengannya. Ia merasai adanya jarak yang begitu jauh, begitu dalam antara dirinya dengan wanita yang sebaik itu (pelayannya) yang hampir-hampir tak pernah tidur menjaga dan mengurusnya, selalu siap lakukan keinginannya, selalu siap terangkan segala yang ia tak paham, bisa mendongeng yang begitu memikat tentang Joko Tarub, dan bisa mengusap bahunya begitu sayang ketika dia hendak menangis. Hatinya memekik: mengapa aku tak boleh berkawan dengannya? Mengapa ia mesti jadi sahaya begitu? Siapakah aku? Apa kesalahan dia sampai harus jadi sahayaku? (hlm. 46).


Tapi sebagai orang yang tahu betul akhir dari kehidupan seorang istri Bendoro dari kalangan kelas bawah, sang pelayan malah prihatin kepada Gadis Pantai yang pemurah:


Nampak bujang (pelayannya) itu merasa kasihan karena Gadis Pantai. Pengalaman selama ini membuat ia banyak tahu tentang perbedaan antara kehidupan orang kebanyakan dan kaum bendoro di daerah pantai. Seorang bendoro dengan istri orang kebanyakan tidaklah dianggap sudah beristri, sekalipun telah beranak selusin. Perkawinan demikian hanyalah satu latihan buat perkawinan sesungguhnya: dengan wanita dengan karat kebagsawanan yang setingkat. Perkawinan dengan orang kebanyakan tidak mungkin bisa menerima tamu dengan istri dari karat kebangsawanan yang tinggi, karena dengan istri asal orang kebanyakan –itu penghinaan bila menerimanya. (hlm. 80).


Hingga datanglah kenyataan memilukan bagi Gadis Pantai. Pelayannya yang penuh kasih sayang, harus diusir dari istana. Pasalnya, sang pelayan begitu lancang memperkarakan para anak-anak bangsawan di istana atas hilangnya sejumlah uang milik Gadis Pantai, hingga membuat gaduh seisi istana. Walau tindakan sang pelayan adalah sebuah kebenaran, dan seorang anak divonis sebagai pelaku, hukum etika di istana tetap menyalahkannya juga.

Gadis Pantai pun harus larut dalam sepi yang mendalam. Ditinggal pergi seorang pelayan tua yang telah ia anggap sebagai ibu sendiri, jelas membuatnya kehilangan. Dan pelayan pengganti dari kota, Mardinah, seorang janda dari kalangan bangsawan, jelas tak ia sukai. Bukannya melayani, pelayan baru itu malah suka berlaku lancang dan menghinakannya sebagai gadis asal kampung.

Rasa jengah dan kesal yang tak terkira, akhirnya membuat Gadis Pantai meminta diri untuk pulang ke kampug. Ia berhasrat menyampaikan kerinduan pada seisi kampung, tempat ia dilahirkan dan melewati masa kanak-kanak. Hingga dilihatnyalah kampung itu tak berubah, kecuali dirinya sendiri yang kini dielu-elukan sanak keluarga dan para warga atas statusnya sebagai istri seorang pembesar.

Tapi kehadiran Gadis Pantai di kampung, ternyata membawa serta sederetan petaka. Mardinah yang menyertainya dari kota, ternyata orang suruhan dari pemerintah Demak. Mardinah hendak membunuh Gadis Pantai demi memuluskan pernikahan Bendoro dengan putri asal Demak yang dianggap sekufu. Namun rencana itu segera diketahui warga kampung. Mardinah pun dihukum untuk menikah dengan seorang pemuda desa, sedang beberapa kawanannya terbunuh.

Dan setelah waktu berlalu cepat, kembalilah Gadis Pantai dalam lingkungan istana dengan merahasiakan percobaan pembunuhan terhadap dirinya. Ia tahu, di istana, sebagaimana nasib pelayan tuanya dahulu, ia tak boleh banyak mengaduh, apalagi jika terkait dengan para bangsawan, sebab itu akan mencelakakan dirinya sendiri.

Suatu hari, datanglah putri bangsawan dari Demak. Di tengah percakapan sang putri dengan Bendoro, tahulah Gadis Pantai kalau Bendoro akan segera menikah dengan putri dari kalangan bangsawan. Tentu saja, sebagai selir dari kalangan masyarakat biasa, Gadis Pantai sadar bahwa ia akan segera disingkirkan demi pernikahan yang sesungguhnya itu.

Benar saja. Keadaan berangsur-angsur berubah. Bendoro mulai bersikap dingin pada Gadis Pantai setelah ia melahirkan seorang anak -mengecewakan Bendoro sebab jenis kelamin anaknya perempuan. Hingga akhirnya, putuslah hukum dari Bendoro sendiri bahwa ia telah diceraikan. Diceraikan karena hukum istana menganggap tugasnya telah selesai. Diceraikan tanpa hak untuk memiliki anaknya sendiri. 


“Anak ini, tuanku, bagaimana nasib anak ini?” Gadis Pantai memekik rintihan.
“Anak itu? Apa guna kau pikirkan? Banyak orang bisa urus dia. Jangan pikirkan si bayi.”
“Mestikah sahaya pergi tanpa anak sendiri? Tak boleh balik ke kota untuk melihatnya?”
“Lupakan bayimu. Angggap dirimu tak pernah punya anak.” (hlm. 258)


Gadis Pantai pun terusir dari istana. Ia terusir dengan kehinaan. Terusir dari istana suaminya, serta harus meninggalkan anak yang telah ia lahirkan sendiri . Ia pun membatin:


Dia akan jadi priyai. Dia anakku. Dia akan tinggal di gedung. Dia akan memerintah. Ah, tidak. Aku tak suka pada priayi. Gedung-gedung berdinding batu itu neraka. Neraka. Neraka tanpa perasaan. Tak ada orang mau dengar tangisnya. Kalau anak itu besar kelak, dia pun takkan dengar keluh-kesah ibunya. Dia akan perintah dan perlakukan aku seperti orang dusun, seperti abdi. Dia perlakukan aku seperti bapaknya memperlakukan aku kini dan selama ini. Tapi lindungilah dia. Dia anakku yang tak mengenal emaknya, tak kenal lagi air susu emaknya. (hlm. 268-269).


Pulanglah Gadis Pantai ke kampungnya. Ia pulang dengan satu pengetahuan kalau ia memang hanyalah istri percobaan untuk Bendoro sebelum menikah dengan istri sunguhan dari kalangan bangsawan. Ia pulang setelah dijemput ayahnya sendiri, yang juga tahu betapa tragis kehidupan putrinya, si Gadis Pantai, yang hanya jadi gundik Bendoro untuk sementara waktu.

Mau tak mau, Gandis Pantai harus menerima kenyataan bahwa semuanya telah berubah. Setelah ia enggan dinikahkan dengan Bendoro, dan setelah ia mampu menyesuaikan diri sebagai istri seorang bangsawan, ia harus kembali menjadi orang kampung yang bukan siapa-siapa. Ia sadar, walaupun kebangsawanan telah memuliakannya sementara waktu, ia memang harus kembali menjadi seorang Gadis Pantai dengan segala kehinaannya, seperti di awal.

Di tengah perjalanan, terbayanglah oleh Gadis Pantai kalau-kalau warga kampung akan memandang aneh terhadap dirinya. Para warga tak akan lagi memuliakan ia seperti kala masih jadi istri pembesar, atau memperlakukannya secara biasa seperti sedia kala. Akan ada sekat antara ia dengan kehidupan di kampungnya sendiri. Karena itu, ia mengurungkan niat untuk kembali ke perkampungan. Ia menyimpang arah menggunakan dokar, ke selatan, ke Blora, meninggalkan ayahnya di tepi perkampungan, untuk pergi mencari pelayan tuanya dahulu.

Berakhirlah cerita Gadis Pantai dalam satu bagian yang sejatinya trilogi. Satu cerita dari tiga fragmen, sedang dua fragmen yang lain, lenyap dimakan kebrutalan angkatan darat di bawah rezim otoriter yang phobia aksara. Rahasia hidup Gadis Pantai dalam cerita yang sirna itu, tentu saja masih menyimpan banyak misteri. Entah tentang masa depan anaknya, kehidupan keluarga Bendoro dengan istri sungguhan, hubungan antarpriayi yang memerintah daerah, atau tentang akhir perasaannya kepada seorang pemuda priayi asal Demak yang sempat bertandang ke istana Bendoro dan seketika membuatnya jatuh hati.

Di Balik Lidah

Suara mendaku di mana-mana
Mengaku berilmu tapi menyalah-nyalahkan
Mengaku berbudi tapi menjelek-jelekkan
Mengaku adil tapi membeda-bedakan

Berlawanlah zuhud karenanya
Berbajik tanpa berkata-kata
Beramal tanpa mengajak pada yang lain
Tak peduli dicap masa bodoh pada sesama

Tersesatlah para pencari
Turut saja pada kemunafikan
Sebab yang berhati diam saja
Menyimpan nasihat kebenaran di bawah lidahnya

Senin, 14 Mei 2018

Buronan Sebangsa


Sejak kesadaran bernegara telah terbentuk, butuh waktu yang lama bagi bangsa Indonesia untuk bersatu-utuh dalam satu negara. Bahkan perlu waktu ratusan tahun hingga bangsa-bangsa penjajah yang datang silih berganti, pergi seluruhnya. Tentu saja setelah mereka berhasil merampok sumber daya alam secara serakah, juga memperbudak anak bangsa di negeri ini.
Begitu lamanya kolonialisme bercokol, tentu saja dipengaruhi oleh beberapa faktor. Selain watak bangsa penjajah yang memang imperialis, kolonialisasi juga disokong oleh kultur feodalisme yang telah mengakar dalam sistem sosial bangsa ini. Kolonialisme asing dan feodalisme pribumi, menjadi sepasang kekasih yang menyatu untuk menyengsarakan rakyat Indonesia.
Sejarah bangsa ini, memang tidak dapat dilepaskan dari sistem sosial yang hirarkis, yang membagi golongan masyarakat dalam tingkat yang tidak setara. Sebelum Indonesia merdeka sebagai sebuah negara, sejak dahulu kala, sistem kerajaan yang membagi kelas masyarakat antara bangsawan dan kawula, telah berlaku di seluruh penjuru tanah air.
Feodalisme kerajaan akhirnya melahirkan relasi sosial yang tak setara di dalam masyarakat. Ada yang meraja, dan ada pula yang menghamba. Ada sikap saling mendominasi, atau bahkan memperbudak, satu sama lain. Dan sistem sosial itu, ternyata mampu dimanfaatkan para kolonialis untuk melancarkan siasat adu domba kepada anak-anak bangsa ini.
Yang terjadi kemudian, para penjajah mengkooptasi sistem feodalisme kerajaan menjadi bagian dari sistem kolonialisme mereka. Para pejabat publik yang dipertuan oleh rakyat, dijadikan kolega oleh para kolonialis agar turut membantu pelaksanaan agenda-agenda mereka. Hingga pada perkembangan selanjutnya, pejabat-pejabat pribumi, malah diangkat oleh para kolonialis.
Akhirnya, terjadilah penjajahan bangsa terhadap bangsanya sendiri. Atas nama status sosial, pejabat publik pribumi menghamba kepada para kolonialis. Tak peduli bagaimana sebangsanya diperlakukan, asal secara pribadi, mereka menikmati prestise yang menggiurkan. Pun, tak peduli jikalau mereka harus membantai sebangsa sendiri, demi mengamankan tahta pemberian kolonial.
Kegamangan semacam itulah yang tergambar dalam novel gubahan Pramodya Ananta Toer berjudul Perburuan. Novel yang diterbitkan tahun 1950, dengan sangat apik, mampu menggambarkan nasib para pembangkang pada masa pendudukan Jepang. Novel pemenang sayembara Balai Pustaka, Jakarta, tahun 1949 tersebut, mampu menghadirkan suasana yang mencekam kala anak-anak bangsa menjadi buruan di tanah airnya sendiri.
Tersebutlah Hardo, sang tokoh utama dalam novel yang harus menjalani pelarian. Sebagai mantan shidanco (komandan peleton) Peta yang memberontak kepada pemerintah pendudukan Jepang, ia harus menjadi buronan bangsa asing yang bersekongkol dengan sebangsanya sendiri, atas nama idealisme perjuangan yang terus ia pegang teguh.
Demi melindungi diri dari endusan para penjajah, Hardo pun cerdik menyembunyikan diri. Ia harus menyamar sebagai seorang pengemis agar keberadaannya tak terbaca oleh tentara Jepang dan mata-mata dari sebangsanya sendiri. Bahkan penyamaran itu harus ia lakukan terhadap siapa pun, termasuk orang terdekatnya sendiri.
Pada satu waku, Hardo muncul di rumah tunangannya, Ningsih. Ia bertandang sembari menyamarkan idenditasnya. Ia bertandang secara sembunyi-sembunyi kala calon adik iparnya, Ramli, tengah menjalani pesta sunatan. Bersama kumpulan pengemis yang mengharap sedekah dari pejabat yang berhajat, ia hanya kuasa mengamati keadaan dari jauh.
Hingga, Ramli pun membaca jelas raut wajah Hardo. Dan sebagai lelaki kecil yang sangat merindukan kehadirannya setelah menghilang dalam pelarian bertahun-tahun, Ramli mendesak ibunya agar “si pengemis misterius” diajak untuk tinggal serta di rumah. Tapi atas gelagat sang calon adik iparnya itu, Hardo lekas bergegas pergi dan kembali dalam perlarian.
Di tengah hidup yang tak jelas mana kawan dan mana lawan itu, sungguh, kepercayaan sangatlah mahal. Tak peduli penjajah Jepang atau sebangsa sendiri, bahkan orang tua sendiri, memang patut dicurigai sebagai antek Jepang. Maka wajarlah ketika Lurah Kaliwangan, ayah Ningisih dan Ramli, juga tak dipercayai Hardo, ketika di malam itu juga, sang lurah menyusulnya dan meminta agar ia sudi bertandang kembali demi membalas kerinduan Ramli.
Dan terekamlah sepenggal percakapan Hardo dengan Lurah Kaliwangan di sebuah jalan pada malam yang gelap, yang menampakkan bahwa Hardo tak akan bersepakat dan senantiasa waspada kepada semua orang yang menghamba kepada penjajah Jepang.

…Kemudian dengan suara dipaksa-paksa lurah itu (Lurah Kaliwangan) berkata lagi, “Sudah dipecat Nippon ayahmu.”
“Baik sekali.” (jawab Hardo)
“Baik sekali?” seru lurah itu heran. “Aku kira pemecatan itu tak baik buat keluarga ayahmu. Kini beliau tak berpenghasilan lagi. Wedana, anakku, bukanlah pangkat kecil.”
“Baik sekali. Baik tak dapat kesempatan menindas lagi.”
“Ya Allah! Ayahmu bukanlah golongan orang priyayi yang suka menindas rakyat.”
“Paling sedikit menolong gampangnya menindas.”
“Pangeran!” sebutlah lurah itu. Ia diam dan terus juga berjalan. “Mengapa begitu?”
“Orang yang bekerja dalam pemerintahan penindasan termasuk penindas juga. Dalam hal apa pun juga sama.”
“Pangeranku! Kalau begitu aku termasuk penindas juga?”
Kere itu memanjangkan tawanya…, “Ya,” katanya.
“Allah Maha Besar!” sebutnya susah. “Tapi kalau suatu daerah berpenduduk tak punya pemerintahan rakyat akan lebih menderita oleh perampokan.”
“Di mana-mana ada perampokan, sekalipun ada pemerintahan, dan ada juga pembunuhan keji. Dan apakah gunanya pemerintah sebagai itu? Rakyat seorang perampok kecilnya, dan pemerintah perampok besarnya. Dan engkau?... engkau juga perampok!” (hlm. 27-28)

Ternyata, keputusan Hardo, tepat. Setelah ia kembali ke dalam pelarian, ia mendapati kabar kalau si Lurah Kaliwangan, ternyata telah melaporkan keberadaannya kepada pemerintah Jepang. Si calon mertua yang gila harta dan kuasa itu, sudah tak peduli sebab Hardo bukan siapa-siapa lagi setelah jadi pemberontak dan dipecat sebagai shodancho. Apalagi setelah ayahnya juga dipecat oleh Jepang sebagai Wedana, sang Lurah Kaliwangan jadi semakin tak peduli.
Selanjutnya, dimulailah satu perburuan yang semarak. Hardo dicari-cari kompeni Jepang dengan mengerahkan seinendan (barisan pemuda) dan keibondan (kors kewaspadaan), prajurit semimiliter dari warga kampung sendiri, untuk menelisik ke segala arah. Dan kala ia menyembunyikan diri dari petaka dengan bersembunyi pada sebuah gubuk di tengah kebun jagung yang jauh dari perkampungan, terjadilah satu kebetulan yang tak disangka. Ayahnya, Mohammad Kasim, mantan Wedana Karangjati yang ternyata pemilik kebun, muncul di gubuk itu.
Tapi pertemuan ayah dan anak tersebut, bukanlah temu kangen setelah terpisah bertahun-tahun. Di tengah kegelapan malam, Hardo menyangkal sebagai anak dari ayahnya sendiri, meski sang ayah telah menerka dan yakin atas dugaannya. Untuk meruntuhkan keyakinan sang ayah, Hardo pun mengaku sebagai teman seperjuangan sang anak, sembari mewanti-wanti kalau sang ayah mulai kehilangan akal sehat, dan lelaki tua itu percaya begitu saja.
Di malam itu, bertuturlah ayah Hardo yang menggandrungi judi sebagai jalan penenang jiwanya, tanpa keyakinan bahwa lawan bicaranya adalah anaknya sendiri:

“Ah, kawan, kalau ada seorang saja yang tahu di mana dia berada,” kata penjudi itu seperti murid mengeja. “… oh, sudah lama… anakku, mungkin engkau sudah dipenggal oleh Nippon. Sebab aku berpikir begini terhadap Nippon: Nippon itu tak suka bicara, tapi selalu bertindak, selalu bertindak, selalu membunuh orang. Tidak,… tak seorang pun tahu ke mana perginya. Dan itu baik sekali akibatnya untuk anakku. Kawan, tiga kali sudah telegram-telegram itu datang, datang pula satu telegram, bahwa aku tak perlu mengepung anakku sendiri, karena, karena, aku sudah dipecat dari jabatanku.” (hlm. 48)

Sekali lagi, kepercayaan dalam masa perburuan itu, memang sangatlah mahal. Biarpun Hardo yakin ayahnya telah lepas dari pengaruh Jepang, tapi ia tak akan lupa bahwa ayahnya pernah memimpin perburuan untuk dirinya sendiri kala menjabat sebagai wedana. Karena itu, bagaimana pun juga, menyembunyikan identitas terhadap sang ayah sekali pun, adalah pilihan terbaik demi keselamatannya sendiri.
Kemudian di tengah persembunyiannya malam itu, nasib nahas kembali nyaris menimpa Hardo sebagai imbas dari laporan sang calon mertua, si Lurah Kaliwangan. Kala Hardo tengah tertidur, sedang ayahnya memanggang jagung di tepi rumah kebun, segerombolan Jepang datang bersama antek-anteknya. Tapi syukur, atas kepekaannya mengendus kehadiran para pemburu, ia bisa tersadar dan kembali meloloskan diri.
Dimulailah lagi pelarian Hardo. Ia harus mengamankan diri di bawah kolong jembatan, bersama gerombolan pengemis yang tak jelas asal-usulnya. Di sanalah kemudian, tanpa terduga, ia bertemu dengan teman seperjuangnnya, Dipo dan Kartiman, yang juga dalam perburuan. Hingga dari keterangan Dipo, tahulah Hardo, bahwa Karmin, teman seperjuangannya yang membelot pada momentum pemberontakan Peta, telah menjadi shidanco Jepang.
Tapi selanjutnya, persembunyian Hardo di kolong jembatan, disasar juga oleh para penjajah, kalau-kalau Hardo memang seorang pengemis. Para pejabat, yaitu Wedana Karangjati yang baru, Lurah Kaliwangan, bersama juga Sidokan (Komandan Kesatuan Militer) Jepang, datang mencarinya tiba-tiba. Tapi Hardo dan kawannya, berhasil juga meloloskan diri setelah bergegas bersembunyi di semak-semak, di tepi sungai.
Atas perburuan yang kembali gagal, berdebatlah para petinggi penjajahan di kolong jembatan. Dan Lurah Kaliwangan, harus menerima getahnya. Ia dihakimi sebagai pembohong dan diancam untuk dipenggal dengan pedang Jepang jika Hardo tak kunjung ditemukan. Maka demi kepentingan nyawanya sendiri, Lurah Kaliwangan pun membocorkan keberadaan putrinya, Ningsih, tunangan Hardo, yang mungkin tahu informasi soal pelarian sang pemberontak.
Karmin sebagai Shodancho yang telah dipercaya oleh petinggi militer Jepang, akhirnya meminta diri untuk menyandera Ningsih seorang diri. Satu permintaan yang diiyakan begitu saja oleh Sidokan Jepang. Hingga Karmin pun mampu menunaikan niatnya untuk menebus rasa bersalah kepada Hardo. Ia menumui Ningsih, sekadar untuk memberinya nasihat dan saran supaya gadis itu bisa melalui interogasi sang Sidokan dengan baik.
Sampai akhirnya, datanglah Sidokan untuk menanyai Ningsih perihal keberadaan Hardo. Tapi jelas saja, Ningsih mengaku tak tahu sebab benar-benar tak tahu, sebagaimana orang terdekat Hardo sendiri. Sidokan pun jadi geram karena merasa jawaban Ningsih bertele-tele:

“Diam!” bentak Jepang itu mengulangi. “Indonesia tidak boleh bicara-bicara kalau tidak ditanyai. Indonesia harus diam saja, ya!?” Sekarang suaranya jadi cepat dan patah-patah. “Kalau Indonesia ada di depan Nippon, ya? Nippon, ya? Tidak boleh bicara-bicara mendongeng-dongeng. Itu nona mesti tahu.” Matanya melotot, “Indonesia tidak bagus. Indonesia mesti belajar diam dan tutup mulut, ya? Mengerti? Nona sudah mengerti?...” (hlm. 149).

Tanpa terduga, di tengah interogasi terhadap Ningsih, para antek Jepang berhasil juga menangkap Hardo bersama dua orang kawannya. Mereka betiga lalu diseret ke hadapan Sidokan dan para pejabat antek Jepang yang tampak begitu senang atas keberhasilan para barisan pemuda pribumi.
Di tengah kesenangan Jepang dan anteknya, seketika juga terdengarlah orang-orang bersorak-sorai kalau Indonesia telah merdeka. Suara gembira itu bertalu-talu, mengabarkan kalau Jepang telah mengalah pada sekutu. Terdengar teriakan kalau jepang tak lagi punya kuasa di tanah Indonesia. Peta (Pembela Tanah Air) yang merupakan kesatuan militer bentukan Jepang dan Heiho yang merupakan tentara pembantu jepang dari kalangan pribumi, telah dibubarkan.
Perlahan-lahan, gerombolan masyarakat datang mengerumuni si Jepang dan para jongosnya di hadapan tiga orang hasil buruan. Merasa terkepung, sang Sidokan jadi gelap mata dan menembakkan senjata ke segala arah, secara membabi buta.
Dan tiba-tiba, Karmin merangkul dan melumpuhkan si Jepang dari arah belakang. Sidokan dan shodancho-nya itu pun, saling beradu kekuatan. Sampai akhirnya, Dipo bergegas mengambil pedang sang Sidokan, kemudian mengancam dengan wajah beringas.
Berkatalah sang Sidokan:

“Ampun, Indonesia!” Jepang itu memekik. “Dan bersamaan dengan itu, lepaslah parabellum dari tangannya, jatuh ke tangan Karmin. Berteriak lagi ia, “Ampun, Indonesia!” Napasnya terengah-engah. “Indonesia merdeka!” teriaknya tinggi. “Hidup Indonesia!” (hlm. 157).

Tak berlangsung lama, Dipo menebas tempurung si penjajah itu, sampai menyayat sisi otak.
Kini, tingallah Karmin memasrahkan hidupnya pada takdir yang ia sadari sendiri. Ia tahu bahwa setiap kali pergantian rezim, akan ada orang-orang yang dicap pemberontak, hingga patut untuk dibunuh.
Benar saja, warga bersorak-sorak, maminta agar Hardo bergegas mengakhiri nyawa Karmin. Tapi entah bagaimana, Hardo jadi tak kuasa, dan malah meminta Karmin untuk segera melarikan diri.
Warga yang tak sabar, akhirnya merangsek dan mulai mengacung-acungkan bambu runcing. Mereka terus mengancam, bak komplotan pemburu yang siap menikam binatang buruan. Tapi akhirnya, di tengah kepasrahan Karmin agar dirinya segera dibunuh saja, hati segerombolan masyarakat malah meluluh dan membiarkan sebangsanya itu, lepas untuk hidup kembali.
Akhirnya, selamatlah Karmin beserta pejabat dan antek-antek Jepang dari kalangan pribumi. Mereka selamat atas nama rasa kebangsaan. Mereka selamat setelah mendapatkan maaf tanpa terucap dari sebangsanya sendiri, sebagaimana leluhur bangsa ini yang memang pemaaf. Tapi tidak dengan Ningsih. Gadis itu harus meregang nyawa setelah peluru yang dilesatkan sang Sidokan secara membabi buta, menembus dadanya.