Jumat, 19 Februari 2021

Panggilan Kematian

 Masih pagi. Pengelihatan masih samar-samar.

“Ah… Tidak…!” seru-keluh Bira, berulang-ulang, sambil terisak keras.

Lamat-lamat, seseorang tetangga dekat mendengar raungan Bira. Sang tetangga pun lekas bertandang untuk mengecek apa yang terjadi. Sampai akhirnya, perempuan itu melihat Bira tengah duduk di lantai dapur, sambil memeluk kaki suaminya yang menggantung, dengan leher terikat seutas tali yang tersampul di balok langit-langit.

Keadaan pun gempar.

Satu per satu warga terus berdatangan seiring menyebarnya informasi bahwa Murad, suami Bira yang tua renta, telah mati bunuh diri. Dalam sekejap, warga pun berkerumun untuk menyaksikan ketragisan itu. Beberapa orang lantas menurunkan jasad Murad yang kaku, beberapa yang lain berusaha menenangkan dan menguatkan hati Bira.

Detik demi detik bergulir. Perkiraan-perkiraan tentang sebab Murad mengakhiri hidupnya sendiri, akhirnya menyeruak di tengah warga. Kebanyakan dari mereka mengira bahwa Murad telah kehilangan kesabaran atas penyakit parunya yang akut. Sebagian yang lain menduga bahwa Murad menyalahkan dirinya yang telah membuat Asmi, putri semata wayangnya, pergi meninggalkan rumah sejak dahulu. Beberapa yang lain menganggap faktor fisik dan kejiwaan itu telah berpadu untuk memutuskan asa hidup sang lelaki tua itu.

Tetapi perkiraan para warga, hanyalah prediksi-prediksi saja. Tak ada yang benar-benar tahu sebab pasti kematian Murad selain dirinya sendiri dan Tuhan, ataupun Bira, yang merupakan satu-satunya teman seatap bagi Murad selama ini. Yang pasti, lelaki yang terkenal keras kepala itu telah meninggal dengan kabar penuh misteri yang menyebar di dunia nyata dan dunia maya, sedang para warga akan terus berurusan dengan tanda tanya mereka masing-masing.

Di tengah suasana kelabu yang masih menyelimuti para warga, akhirnya, lepas tengah hari, proses penguburan Murad pun selesai. Perlahan-lahan, orang-orang kemudian meninggalkan Bira di rumah tuanya dengan kepiluan yang mesti ditanggungnya seorang diri, sebab tak ada siapa-siapa lagi yang akan menjadi teman berbagi untuknya.

Akhirnya, di tengah keterasingan dan kekalutan hatinya, Bira semakin terkenang pada Asmi, anak tunggalnya, yang pergi tanpa pamit ke pulau seberang sejak dua puluh tahun yang lalu. Asmi pergi dengan kekesalan saat umurnya masih 16 tahun, setelah Murad berkeras agar ia menikah dengan seorang lelaki pemilik usaha air minum yang terkenal kaya, yang sepantaran ayahnya itu, demi meningkatkan derajat perekonomian keluarga, dan Bira setuju saja. Tetapi Asmi menolak dengan keras pula untuk melakoni pernikahan tanpa dasar cinta.

Sebagai balasan atau gantinya, Asmi pun menuturkan kehendaknya untuk sekolah tinggi-tinggi demi meningkatkan derajat keluarga, yaitu dengan akses yang lebih baik terhadap pekerjaan yang lebih menjamin dan bergengsi, agar kelak keluarga mereka tak lagi dipandang rendah karena faktor pendidikan sebagaimana ibunya yang hanya tamatan sekolah dasar atau ayahnya yang sama sekali tak pernah sekolah, yang membuat keduanya tak bisa apa-apa selain menjadi buruh tani. Tetapi kedua orang tuanya itu, juga balas menolak keinginannya.

Dan akhirnya, terjadilah perpisahan itu.

Tahun demi tahun setelah kepergian Asmi, Bira dan Murad pun disesaki penyesalan. Tetapi penyesalan memang datang terlambat dan tak mampu lagi menggugah perasaan sang anak untuk pulang. Kata-kata maaf yang disuratkan Bira di tahun-tahun awal kepergian sang anak, juga tak mempan memperbaiki hubungan mereka. Sang anak terlanjur pergi dengan amarah, dan perlahan-lahan menghilang.

Tetapi kini, dengan apa yang telah terjadi pada diri Murad, seperti apa yang telah disaksikan orang-orang, sesuai apa yang telah ia rencanakan, Bira memendam harapan kuat semoga Asmi mendapatkan kabar mengenaskan itu, lantas tergugah untuk pulang. Bagaimana pun, di usianya yang sudah senja, ia sangat membutuhkan kehadiran seseorang sebagai pendamping hidup, dan sang anak adalah satu-satunya harapan baginya.  

Sampai akhirnya, keadaan pun benar-benar tercipta sesuai keinginan Bira. Ketika hari menjelang malam, tiba-tiba, seorang datang ke rumahnya. Sesosok perempuan yang tampak sangat cantik, yang masih bisa ia baca sebagai putrinya, Asmi.

Sontak, dengan penuh keharuan, Bira dan Asmi pun saling memeluk erat, begitu lama, sambil tersak dan berbagi kata-kata maaf, rindu, dan cinta.

Setelah meluruhkan tumpukan emosi, mereka lantas duduk bersampingan di sebuah sofa untuk menguraikan isi hati masing-masing.

“Maafkan aku atas apa yang telah kami lakukan terhadapmu, Nak,” kata Bira kemudian, sambil menangis penuh keharuan.

Asmi mengangguk tegas. “Aku juga minta maaf, Bu. Tidak seharusnya aku meninggalkan Ayah dan Ibu tanpa kabar dalam waktu yang begitu lama,” balasnya dengan sukacita yang sama. Ia lantas kembali menggenggam tangan ibunya.  “Aku mohon, maafkan aku, Bu.”

Bira mengangguk tegas dan melayangkan senyuman di balik tangisnya.

Mereka lantas saling memandangi dan hanya berbagi bahasa kalbu.

Sesaat kemudian, Bira merogoh secarik kertas dari dalam saku dasternya, lalu menyerahkannya kepada sang anak. “Aku dapat ini di dekat jasad Ayahmu,” terangnya.

Asmi menyambut dan menyibak kertas itu, kemudian lekas membaca isinya. Seketika, tangisannya pun kembali pecah, dan ia lekas memeluk ibunya lagi. “Aku janji, aku tak akan meninggalkan Ibu sampai kapan pun.”

Seketika, Bira jadi semakin haru mendengar janji sang anak.

Asmi lalu mengurai pelukan dan menatap sang ibu. “Aku ingin Ibu ikut aku ke kota seberang. Di sana, aku akan menjaga dan merawat Ibu baik-baik. Ibu mau, kan?”

Bira pun mengangguk tegas, lantas kembali memeluk sang anak dengan derai air mata yang semakin deras akibat dua rasa yang berbeda. Ia menangis penuh sukacita atas keinginannya yang telah terwujud sesuai rencana untuk kembali bersatu dengan sang anak, juga menangis penuh dukacita atas ketegaannya yang telah menggantung jasad suaminya yang telah mati karena serangan jantung demi keinginannya itu.

Mereka lalu kembali mengurai pelukan.

Asmi lantas mengeja ulang kalimat di secarik kertas yang dikatakan oleh sang ibu sebagai wasiat dari sang ayah: Maafkan kami, Nak. Aku mohon, jagalah Ibumu baik-baik.

Seketika, Asmi menjadi sangat terenyuh membaca pesan itu, tanpa sempat lagi berpikir bahwa ayahnya adalah seorang buta huruf.

 

Penyembunyian

Ada air mata yang bergulir di antara bulir-bulir keringat, di tengah perjuangan yang tak juga menaklukkan harapan
Ada air mata yang menitik di bawah rintik-rintik hujan, di tengah kesepian yang tak kunjung menemukan sekawan
Ada air mata yang terburai di dalam derai-derai ombak, di tengah keberadaan yang tak pernah mendapatkan penghargaan
 
Jadi, ingatlah pesan ini: Jangan menganggap kehidupan seseorang baik-baik saja, cuma karena kau tak melihatnya menangis
 

Rupa Hati

“Kapan kau akan menikah?” tanyaku pada Boni, teman baikku, saat kami berbaring malas di dalam kamarku, pada satu hari, setahun yang lalu.

Ia pun mendengkus, lalu menoleh padaku. “Apakah ada perempuan yang tertarik dengan wajah jelekku ini?” balasnya, dengan sikap mengolok dirinya sendiri.

Aku pun tersenyum simpul dengan keprihatinan yang mendalam atas keadaannya. “Cinta itu buta, Kawan,” sentilku, sekenanya.

Ia hanya membalas dengan tawa pendek, sembari memendam kekalutannya sendiri.

Meski telah lama berlalu, sampai detik ini, aku masih mengingat jelas kejadian tragis yang kami alami, yang membuat keadaannya berubah.

Dua tahun yang lalu, ketika hari sudah sore, aku mengajaknya untuk mengobrolkan tentang perempuan yang kami idam-idamkan. Pasalnya, aku merasa semakin jatuh cinta terhadap seorang perempuan, sedang ia tetap saja merahasiakan perempuan dambaannya.

Dengan perasaan yang berbunga-bunga, kami pun sepakat untuk menuju ke sebuah pantai demi membincangkan persoalan hati kami secara khidmat. Kami lantas menyusuri jalan kabupaten dengan sepeda motor. Ia memegang kemudi, dan aku duduk di belakangnya.

Sampai akhirnya, kecelakaan terjadi. Ban motor selip setelah ia berusaha menghindari lubang yang dalam di tengah jalan. Tubuhnya terpental bersama sepeda motor dan helmnya terlepas, sedang tubuhku tertelungkup dan terhenti dekat dari titik jatuh. Kakinya patah dan wajahnya terluka parah, sedang aku mengalami pendarahan hebat di pergelangan tangan dan punggung kakiku.

Sejak peristiwa itu, keadaan rupanya pun berubah. Ada bekas luka yang menggaris-garis di pipi kanannya, dan sepasang gigi seri atasnya tanggal. Lesung pipinya pun jadi tersamarkan, dan membuat senyumannya tak lagi tampak seindah dahulu.

Atas kondisi wajahnya, diam-diam, aku pun menghakimi diriku sendiri, meski ia tak pernah menyalahkanku. Bagaimana pun, aku tetap merasa bersalah telah mengajaknya melakoni perjalanan di sore itu atas deru perasaanku yang bernafsu berbagi kisah kasmaran.

Namun akhirnya, setelah kejadian tragis itu, kami pun kembali memendam rahasia kami tentang perempuan idaman kami masing-masing. Aku tak pernah tega untuk mempertanyakan sosok pujaan hatinya itu atas keadaan dan sikap rendah dirinya, sedang ia pun tak pernah juga menanyaiku tentang rahasia hatiku.

Tetapi atas semua yang telah terjadi, hidup harus tetap dijalani. Hari demi hari, aku pun melihat ia terus belajar untuk menerima keadaannya, dan aku pun terus berusaha untuk berdamai dengan rasa bersalahku.

Hingga akhirnya, hari ini, aku kembali ke kota kami setelah aku merantau untuk bekerja di sebuah perusahaan swasta demi masa depanku. Aku memutuskan mengambil cuti demi menghadiri pesta pernikahannya dengan seorang perempuan yang sedari dahulu ia damba-dambakan.

Tanpa menunda waktu, pada hari ini juga, ketika hari sudah sore, aku pun segera bertamu ke rumahnya untuk melepas rindu, juga untuk segera mengetahui sosok calon pendamping hidupnya yang masih juga ia rahasiakan dariku.

Akhirnya, setelah bertemu dan mengurai kerinduan dengan pelukan, aku pun segera bertanya, “Jadi, siapa seorang perempuan yang akan menjadi istrimu?”

Ia pun tersenyum dengan senyuman yang masih setulus dahulu. “Kau sangat mengenalnya. Dia teman seorganisasi kita di kampus.”

Seketika, aku pun sangat penasaran. “Siapa?”

Ia lalu menyerahkan undangan untukku.

Aku lekas membuka berkas undangan itu. Sampai akhirnya, aku mengeja sebuah nama seorang perempuan yang merupakan pujaan hatiku sejak dahulu, yang menjadi alasanku berjuang demi masa depanku.

“Kau benar, cinta memang buta, Kawan,” akunya kemudian, atas keberhasilannya mendapatkan hati sang perempuan.

Dengan kekalutan yang luar biasa, aku berusaha menampakkan sikap yang biasa. Aku menganggukkan saja pengakuannya, sembari melayangkan senyuman simpul.

“Kau sudah tahu siapa perempuan yang selama ini aku rahasiakan darimu.” Ia lantas berdeham, kemudian mempertanyakan sesuatu yang tak mungkin lagi bisa kujawab. “Jadi sekarang giliranmu, siapa sosok perempuan yang dahulu kau idam-idamkan itu?”

Aku mendengus saja, lalu tertawa pendek. “Kau tak usah tahu. Lagi pula, aku telah menganggapnya sebagai mantan idaman,” kataku, sembari berusaha menerima kenyataan yang ada. “Aku sudah tahu kalau ia akan menikah dengan seorang lelaki yang baik, dan aku telah mengikhlaskannya sepenuh hati.”

Ia lalu menepuk pundakku. “Sabar, Kawan. Jodoh tak akan ke mana-mana.”

Aku mengangguk saja.

 

Ibu Desa

Ibu kota melahirkan terlalu banyak masalah
Penghidupan terbatas dan anak berkembang biak
Tumbuh dan berlawan sesama sanak saudara
Sebab keluarga berencana untuk bahagia sendiri
 
Jadilah rumah sebagai kediaman yang terusir
Dari tanah air semenjak tumbuh dalam rahim
Setelah ibu kota mengadopsi anak-anak desa
Dengan melupakan  darah dagingnya sendiri
 
Kelas-kelas ketimpangan akhirnya tercipta
Anak desa jadi sarjana, anak kota putus sekolah
Karena bapak lelah bertani di desa yang tertinggal
Sedang ibu kota menawarkan kemajuan di pasar bebas
 

Tidak Lucu

Para pejabat berkotek
Memerintahkan kerja pencitraan
Dan masyarakat mematuhinya tanpa bantahan
 
Para akademisi berceloteh
Memaparkan kajian sok ilmiah
Dan masyarakat membenarkannya tanpa sangahan
 
Para pelawak berseloroh
Menjujurkan penyimpangan manusia
Dan masyarakat menertawakannya tanpa beban
 

Pembeli Suara

“Banyak yang menyangsikan keberhasilan Anda sebagai bupati. Mereka menganggap bahwa Anda telah gagal membangun daerah ini. Bagaimana Anda menanggapi komentar-komentar tersebut?” tanya seorang pembawa acara di layar televisi, sekitar sebulan yang lalu.

Sang calon bupati petahana pun menyengir, lalu menjawab dengan sikap santai. “Ya, setiap orang memang berhak melontarkan penilaian. Tetapi tentu semua itu bersifat subjektif. Ukuran objektif atas keberhasilan kepemimpinanku pada periode ini, hanya bisa dilihat pada hasil pilkada yang akan datang. Kalau masyarakat kembali mempercayakan aku menjadi bupati, ya berarti aku telah berhasil memenuhi harapan mereka.” Ia lalu mendengkus. “Kita lihat saja nanti.”

Aku pun menjadi kesal setelah kembali mendengar pernyataan retoris dari sang bupati itu. Ia seolah menantang masyarakat yang telah banyak mengetahui boroknya sebagai pemimpin. “Aku yakin, ia tidak akan terpilih untuk periode kedua.”

Aris, seorang sahabat baikku selama berkuliah yang kini menjadi pengurus organisasi kepemudaan di tingkat kabupaten, malah tertawa pendek mendengar komentarku. “Jangan pakai keyakinan dalam persoalan politik, Kawan. Semua kemungkinan bisa terjadi.”

“Aku tahu,” sergahku. “Tetapi melihat secara kasat mata bahwa target pembangunan selama kepemimpinannya telah gagal, siapa-siapa pula yang dengan bodoh menyumbangkan suara untuknya?"

Ia lalu melirikku dengan tajam. “Setiap politisi punya cara untuk menentukan takdirnya, Kawan, dan kita semua hanya peramal yang buta.”

Mendengar kiasannya, aku pun tertawa. “Paling tidak, aku masih menggunakan akal sehat dan hati nuraniku untuk menerawang dan menyikapi intrik politiknya.”

Ia hanya tersenyum kecut.

Tentu saja, prediksiku tentang nasib sang bupati petahan pada gelaran pilkada, bukan tanpa dasar. Sebagai pengurus lembaga independen yang meneliti transparansi pemerintahan, aku tahu betul kalau sang bupati adalah pemimpin yang korup. Dengan kekuasaannya, ia telah membangun jejaring pemerintahan berdasarkan unsur kekeluargaaan dan kekerabatan, agar ia leluasa mempreteli anggaran pembangunan fasilitas publik.

Lebih dari itu, prediksiku juga berdasarkan pada sejumlah hasil survei yang menyatakan bahwa elektabilitas paket calon petahana telah dikalahkan oleh elektabilitas paket calon lawannya. Aku pun meyakini bahwa hasil survei itu valid berdasarkan tanggapan yang aku dapatkan dari sejumlah masyarakat saat aku melakukan penelitian sosial. Mereka merasa kecewa karena menilai pemerintahan sang bupati sangat tertutup dan sarat permainan uang.

Bahkan secara langsung, aku pun menyaksikan kekecewaan serupa dari sejumlah warga di sekitar tempat tinggalku. Mereka menilai bahwa sang bupati telah gagal melakukan pembangunan daerah secara baik dan transparan. Paling tidak, itu terlihat nyata dari permintaan para warga untuk perbaikan dan pembangunan jalan yang tak juga diwujudkan oleh pemerintah kabupaten.

Atas semua kenyataan itu, aku berani menyimpulkan bahwa sang bupati petahana akan tumbang di pertarungan pilkada. Aku memprediksi bahwa perolehan suaranya akan kalah dengan dua calon yang lain, terutama di kawasan desa tempat tinggalku.

Sampai akhirnya, di hari ini, aku mendapatkan kenyataan yang memilukan. Aku harus mematahkan keyakinanku sendiri setelah menyaksikan hasil hitung cepat sejumlah lembaga survei yang menyatakan bahwa sang calon petahana kembali memenangkan pilkada. Aku pun semakin tak habis pikir tentang proses pertarungan politik setelah mengetahui bahwa sang calon petahana memenangkan perebutan suara dari masyarakat sedesaku.

“Kok bisa begitu, ya, Pak?” tanyaku pada seorang warga desa yang kutahu betul sesuara denganku.

Warga itu pun tertawa pendek. “Calon yang punya banyak uang, memang akan selalu selalu memenangkan suara masyarakat miskin.”

“Memangnya, si petahana itu main uang di desa ini?” tilikku, penasaran.

Wajahnnya pun tampak heran. “Jadi, Bapak tidak tahu? Bapak tidak dapat amplop?”

Aku menggeleng.

“Sebagian besar warga di sini dapat uang suara, Pak. Aku pun dapat, dan aku ambil saja. Tetapi aku tak memberikan suaraku untuk si korup itu,” tuturnya, kemudian tertawa lepas.

Aku pun jadi tak mengerti, bagaimana bisa aku sama sekali tak mengendus tentang permainan uang di desaku sendiri.

Namun tak lama berselang, pada layar televisi, aku menyaksikan sang calon petahana menyampaikan pidato atas kemenangan keduanya berdasarkan hasil hitung cepat. Dan di belakang sang bupati itu, aku pun melihat Aris berdiri dengan wajah yang penuh kesenangan.

 

Sajian Keluarga

Pagi-pagi mereka pergi dan terpisah
Ibu berangkat ke pasar sambil membawa sebotol teh hangat dari dapur
Ayah berangkat ke kantor setelah menyesap segelas kopi panas di kafe
Anak berangkat ke sekolah untuk membeli sekantong susu dingin di kedai
 
Selepas tengah hari, mereka pulang satu per satu, dan kembali mengecap kesendirian mereka di dalam rumah
 

Pemulung

Setelah melalui alur cerita yang pelik, Mardan akhirnya menjadi seorang pemulung.

Dua bulan yang lalu, Mardan telah berada di pulau ini, di pusat sebuah kecamatan. Ia datang untuk melaksanakan satu misi terselubung dan berbahaya. Ia ditugaskan untuk menyelidiki penyebaran-penyalahgunaan narkotika yang marak di tengah masyarakat. Ia diutus sebagai mata-mata untuk mengusut jejaring peredaran zat berbahaya itu dari akar sampai ke pucuknya.

Sebagaimana seharusnya, Mardan pun menyembunyikan identitas dan jati dirinya. Ia menyamar sebagai seorang penjual makanan dengan membuka sebuah warung. Ia menerapkan keahlian meracik nasi goreng yang ia pelajari dari ibunya. Ia melakoni pekerjaan itu, hingga warung persembunyiannya menjadi terkenal dan menggaet banyak pelangggan.

Akhirnya, warung kecilnya pun menjadi serupa laboratorium. Di ruang seluas 5x5 meter yang disewanya itu, ia berkamuflase sebagai pelayan yang baik, sembari membaca rantai penyebaran narkotika yang penuh teka-teki. Ia menguping pembicaraan dan menilik perhubungan orang-orang dengan menebar alat perekam yang tersembunyi.

Atas kecerdikan dan kehati-hatiannya, Mardan pun berhasil melancarkan aksinya. Ia telah menandai beberapa orang yang tampak terlibat di dalam lingkaran peredaran. Ia bahkan telah mengendus peran dan kelas beberapa orang di dalam jaringan itu. Dan perlahan-lahan, ia terus menguak pertalian hubungan para pelaku menuju ke pusat bandar.

Namun satu kelalaian, akhirnya mengancam misi Mardan. Siang tadi, ketika sedang berbelanja di pasar yang tak jauh dari kontrakannya untuk membeli pasokan bagi penyamarannya, tiba-tiba, dompetnya hilang dari dalam kantongnya. Sebuah dompet yang memuat identitas pribadinya sebagai polisi, sehingga sangat rentan membawanya ke dalam masalah besar.

Sontak, Mardan pun berupaya untuk menemukan dompet itu. Ia lantas melipat langkahnya ke segala sisi, sembari menanyai beberapa orang, tetapi ia tak kunjung menemukannya. Namun ia tak mau menyerah begitu saja dan menggantung misinya di ambang kegagalan. Ia tetap bertekad untuk menemukan dompet itu dan mengambalikan rencananya ke jalur yang aman.

Dan akhirnya, ia melakukan penyamaran kedua dengan menjadi seorang pemulung. Ia menyusuri sepanjang jejak perjalanannya dari tempat tinggalnya hingga di kawasan pasar. Ia mengorek dan memeriksa tumpukan-tumpukan benda, termasuk di tempat sampah. Ia berkeras demi mengamankan identitasnya sebelum ditemukan anggota pengedar yang mengenalinya.

Namun apa mau dikata, dari tengah hari hingga menjelang malam, Mardan tak juga menemukan dompet itu, meski ia telah memeriksa sampai ke dasar gundukan sampah. Ia pun menyerah, dan pulang dengan perasaan kacau. Ia khawatir, namun tak tahu harus bagaimana lagi. Ia bingung, sebingung-bingungnya.

Kekalutan Mardan pun kemudian mencapai puncaknya. Di tengah kepulangannya pada bangunan sederhana yang ia sewa sebagai rumah sekaligus warung, sebuah mobil pemadam kebakaran melintas. Dan ketika posisinya nyaris sampai, ia pun melihat tempat tinggalnya sekaligus tempat penyamarannya itu, perlahan-lahan dilahap si jago merah.

Akhirnya, misi Mardan porak-poranda.

Dengan perasaan yang suram, Mardan pun memutuskan untuk bertahan dengan penyamarannya sebagai seorang pemulung. Ia yakin bahwa para pengedar telah mengetahui jati dirinya sebagai seorang intel, dan ia mesti berusaha untuk menjaga diri. Yang penting, ia bisa bertahan sembari mencari jalan untuk keluar dari kepungan para bandar yang jelas sedang mencarinya.

Akhirnya, di malam ini, Mardan harus rela menggelandang sebagai seorang tunawisma, sembari terus membawa karungnya. Ia mesti tidur di sembarang tempat, dan bertahan hidup dari hasil memulung. Ia mesti menyesuaikan diri dengan keadaan, sembari memikirkan cara untuk menyelamatkan nyawanya.

Namun tiba-tiba, ketika ia tengah duduk merenung di teras depan sebuah toko yang telah tutup, seorang laki-laki yang juga tampak seperti pemulung, dengan pakaian amburadul sembari menggendong sebuah karung, datang menghampirinya.

“Makan, Bang,” tawar sang pemulung itu, lalu menyodorkan sebuah bungkusan. “Nasi goreng.”

Mardan pun tersenyum singkat dengan perasaan senang, sebab ia tak harus berusaha mencari makanan atau menahan lapar sampai besok. “Terima kasih, Bang.”

Mereka berdua lantas melahap makanan dengan khidmat.

“Ah, hampir saja kita dalam masalah,” tutur pemulung itu kemudian. “Untung saja aku menemukan dompet polisi sialan itu dan melaporkannya kepada teman-teman kita.”

Mardan sontak terperanjat. Pikirannnya menjalar ke mana-mana. “Maksud Abang?”

Pemulung itu lalu menatap Mardan. “Kau tahu kan, lelaki penjual nasi goreng di lorong 8, yang warungnya terbakar sore tadi?”

Mardan mengangguk.

“Dia ternyata seorang polisi,” ujar sang pemulung, lantas mendengkus. “Dasar polisi bodoh. Jadi intel saja tak becus!”

Seketika, Mardan merasa sangat tersinggung. Tetapi ia berusaha menjaga emosinya. Ia diam saja, sebab ia takut salah bertutur dan membahayakan penyamaran keduanya. Apalagi, ia tahu kalau ia sedang bersampingan dengan seseorang yang mencurigakan.

Tiba-tiba, lelaki pemulung itu bertanya, “Laku berapa paket, Bang?”

Mardan menelan ludah di tenggorokannya, dan berusaha menyusun balasan yang tepat. “Barangku tak ada, Bang. Pasokan habis. Sudah lama aku tak beroperasi”

“Oh, bos Abang pasti Miran, atau Hiron?” tebak sang pemulung.

“Hiron, Bang,” balas Mardan, tenang.

Sang pemulung pun mendengkus. “Kalau begitu, kau sama aku saja. Ambil barang di Bagol. Jadi anak buahnya. Ia selalu punya barang. Ia pandai melobi bos besar.”

Mardan mengangguk setengah yakin.

“Abang tak akan benar-benar bertahan hidup dengan menjadi pemulung, kan?” sentil sang pemulung, kemudian tertawa pendek.

Mardan pun menangguk tegas. “Iyalah, Bang,” katanya, lalu menyengir. “Aku ikut Abang.”

“Kalau begitu, Abang makanlah cepat. Nanti aku antar Abang ke sana,” saran sang pemulung.

Mardan kembali menangguk, sembari berupaya memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi di antara keinginannya untuk menyelesaikan misi dan keinginannya untuk menyelamatkan diri.

 

Keusilan Kejam

Seperti baru kemarin
Ia menusuk capung kecil untuk diumpankan pada capung yang besar
Mengetapel burung, lalu mencampakkannya setelah jatuh tak bernyawa
Menangkap kelelawar, lantas melepaskannya dengan jumbai tali di kakinya
 
Hari ini sampailah sudah
Ia telah dewasa dan menyadari kalau keusilan itu adalah hal-hal yang serius
Menginsafinya sebagai kejahilan yang tak pantas dikenang dengan kesenangan
Membuatnya menjadi takut kalau-kalau menginjak semut di setiap langkah kakinya
 

Siasat

Akhirnya, setelah melakukan pangilan mendesak dan menunggu beberapa saat, Mari pun menjatuhkan tubuhnya ke dalam dekapan Ruman, seorang polisi yang bertugas mengawasi keamanan dan ketertiban di wilayah tempat tinggalnya. Dengan derai air mata, ia memeluk duda itu, sambil bertutur dengan suara putus-putus, bahwa suaminya dan seorang pegawai usahanya, telah mati bersimbah darah di dalam ruang karaoke keluarganya.

“Apa yang terjadi di antara mereka,” tanya Ruman kemudian, setelah mengurai pelukan.

“Aku tak tahu, Pak. Tiba-tiba saja, aku menemukan mereka berdua dalam keadaan…” Mari terisak lagi, lalu kembali memasrahkan tubuhnya ke dalam pelukan Ruman.

Ruman membalas pelukan itu. “Tenang, Bu. Bersabarlah.”

Mari hanya terus menangis dengan rahasia besar yang ia sembunyikan di balik air matanya. Sebuah rahasia yang mungkin tak akan pernah diketahui oleh Ruman.

Jauh sebelum peristiwa nahas itu, pada masa lalu, Mari sangat mengimpikan pesangan hidup yang bermateri. Sebagai seorang perempuan dari keluarga yang miskin, ia ingin menikah dengan seorang hartawan. Sampai akhirnya, ia berhasil mempersuamikan Jurman, pengusaha karaoke yang kaya raya. Seorang lelaki yang jauh lebih tua darinya, yang ia anggap mampu memenuhi segala keinginannya dari ujung kuku sampai ujung rambut.

Namun sering waktu, Mari malah merasa kehilangan arti hidup di tengah keadaannya yang bergelimangan harta. Raganya dipenuhi pernak-pernik kemewahan, tetapi jiwanya terasa hampa. Pengindraannya terhadap wujud materi telah membunuh rasa hatinya. Nafsunya seolah aus terhadap cinta atas dasar harta benda.

Akhirnya, Mari mengamini bahwa cinta yang materialistis akan lekang juga oleh waktu. Ia telah menyadari bahwa kekayaan tak bisa menjamin kebahagiaan, kecuali hanya membeli kegembiraan sesaat. Ia telah merasakan bahwa segala bentuk kemewahan yang diberikan oleh suaminya, sudah tak mampu lagi menyenangkan perasaannya, kecuali sementara waktu.

Kehampaan yang Mari rasakan, bukanlah karena kebosanannya saja, tetapi juga karena suaminya sama sekali tidak memerhatikan kebutuhannya pada perihal nonmateri. Sedari dulu, ia merasa kalau suaminya itu tak pernah benar-benar mencintainya dengan hati. Ia merasa kalau menikah dengan sang suami hanya berarti mempertukarkan tubuhnnya dengan harta benda semata.

Hubungan tanpa cinta yang sejati, akhirnya mengerangkeng Mari dalam kehidupan rumah tangga yang dingin. Segala bentuk materi memang bisa ia dapatkan dari sang suami, tetapi tidak dengan kasih tulus yang menyentuh hati. Ia hanya serupa penjual yang menawar dengan sikap manis, dan suaminya adalah seorang pembeli yang royal.

Perlahan-lahan, hubungan Mari dan suaminya menjadi semakin beku. Mereka sekadar saling menjaga dan menghargai status sebagai suami-istri, meski tanpa ketulusan. Mereka hanya berusaha menampakkan raut sayang yang dibuat-buat, sembari memendam perasaan tak acuh. Mereka berhubungan secara fisik, tetapi tanpa pertautan hati.

Di tengah komunikasi yang kacau, suaminya pun mulai memperlakukannya dengan kasar. Kebersamaan mereka sering kali diisi dengan percekcokan karena cacian sang suami, atau pertikaian akibat permainan tangan sang suami. Sampai akhirnya, ia ingin pergi dan melepaskan diri. Tetapi ia masih saja tinggal, sebab tak tahu harus ke mana.

Namun di tengah usaha untuk bertahan, Mari tak benar-benar merasa terpenjara dalam kesengsaraan. Ia menemukan Amri, seorang laki-laki rupawan yang kemudian menjadi tempat pelarian yang menyenangkan untuknya. Seseorang yang sepantaran dengannya, yang tak lain adalah orang kepercayaan Jurman untuk mengurus bisnis karaoke mereka.

Pada Amri, Mari akhirnya bisa merasakan cinta yang lebih dari sekadar materi. Meski lelaki itu memiliki harta benda yang jelas tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan kepunyaan sang suami, namun Mari merasakan kasih sayang darinya melalui kata-kata dan tindakan-tindakan kecil yang sarat perhatian, yang membuat naluri keperempuanannya membara.

Lambat laun, kehadiran Amri membuat Mari semakin nyaman. Lelaki itu telah hadir untuk memberikan perihal yang tidak bisa ia dapatkan dari sang suami. Bahkan, lelaki itu telah menjadi malaikat penolong untuknya. Setiap kali mendapat perlakuan menyakitkan dari sang suami, Amri selalu hadir sebagai penyembuh yang mujarab untuknya.

Sampai akhirnya, ia semakin hanyut dalam hubungan yang sesat bersama Amri. Ia telah membagikan segalanya pada lelaki itu di dalam ikatan yang terlarang. Ia telah berselingkuh, dan ia mesti berjuang menyembunyikan aib. Apalagi, ia jelas tak ingin suaminya tahu, sebab itu bisa membuatnya kehilangan hak atas harta benda yang masih sangat ia butuhkan.

Hari demi hari, Mari pun terkungkung dalam perkara yang rumit dan menegangkan. Hubungan segitiga itu membuatnya semakin ketakutan. Terlebih lagi, Amri sering bertamu untuk persoalan bisnis, sekaligus bersantai ria dengan sang suami sambil menenggak minuman keras di dalam sebuah ruang karaoke keuarganya, di tengah rumahnya, sehingga ia takut kalau ketidakwarasan mereka berdua akan menguak rahasia besar itu.

Diam-diam, Mari pun bertekad untuk mengakhiri kemelut hidupnya. Ia ingin mengakhiri kehidupannya yang penuh masalah, kemudian memulai kehidupan yang baru. Hingga akhirnya, ia teringat pada sosok Ruman, seorang polisi yang bertugas sebagai personel bhabinkamtibmas, yang juga merupakan pelanggan tempat karaokenya, yang ia yakini bisa membawanya menuju kehidupan masa depan yang membahagiakan.

Akhirnya, Mari pun menyusun siasat. Ketika mengetahui suami dan selingkuhannya akan kembali berpesta, ia segera menyusun rencana. Ia menata seisi ruang karaoke privat di rumahnya agar bisa merangkai akhir hidup kedua lelaki itu. Ia meletakkan dua pisau yang telah diasah tajam di atas dua mangkuk apel yang terpisah meja, kemudian menyetel layar monitor dengan adegan pribadinya bersama sang selingkuhan yang telah ia rekam diam-diam.

Detik-detik kemudian berlalu dengan adegan berdarah.

Setelah semua berjalan sesuai rencana, Mari lantas menghapus jejak siasatnya, dan mulai menyusun rencana baru untuk Ruman.