Jumat, 15 Mei 2020

Siaran Televisi

Waktu sudah berada di ujung pagi. Setelah menyelesaikan pekerjaan rumah, Suriah bergegas duduk di depan layar televisi. Ia hendak meyaksikan film pendek bergaya sinetron yang akan tayang di sebuah stasiun swasta. Ia ingin menonton dengan tenang sebelum Mudin, suaminya, datang dari kebun dan mengambil alih kontrol siaran.

Setelah monitor menyala, Suriah pun segera mengarahkan tayangan pada satu siaran televisi favoritnya. Ia jadi tak sabar untuk segera menyaksikan film yang telah ia nantikan, tanpa mau melewatkan adegan sedikit saja. Hingga akhirnya, adegan cerita itu pun mulai ditayangkan, sebagaimana jadwal yang telah ia camkan dari iklan-iklan sebelumnya. 

Suriah pun duduk menyaksikan kisah percintaan masa remaja itu dengan sangat serius. Perasaannya larut menyimak adegan demi adegan, seolah-olah ia adalah tokoh utamanya. Hingga akhirnya, setelah pengantar panjang yang dramatis, film itu pun tamat dengan cara yang menyenangkan. Pemeran utama berhasil menikah dan hidup bahagia dengan sang kekasih.

Namun perlahan-lahan, emosi Suriah malah membuncah. Ia kembali menyadari bahwa kehidupan rumah tangganya sungguh berkebalikan dengan kehidupan tokoh fiktif di layar televisi. Pada masa awal pernikahan, ia memang bahagia atas suaminya yang penuh perhatian. Tetapi akhir-akhir ini, ia merasa kalau suaminya telah banyak berubah dan terkesan bersikap serong.

Di tengah kegalauan, Suriah lantas mengalihkan siaran untuk mencari hiburan yang baru. Pilihannya kemudian jatuh pada tayangan gosip tentang kehidupan para selebriti. Ia lalu menyaksikan kisah kisruh di dalam rumah tangga seorang artis. Kabarnya, sang suami hendak menceraikan sang artis demi cintanya kepada orang ketiga.

Sontak, perasaan Suriah jadi semakin kacau. Ia khawatir kalau hal serupa terjadi di dalam rumah tangganya. Ia takut kalau sang suami menceraikannya demi perempuan lain. Karena itu, ia mengintrospeksi dirinya sendiri. Ia menimbang-nimbang kalau-kalau belakangan ini, ia memang kurang baik dalam menunaikan tugas sebagai istri sehingga sang suami malah mencari perhatian pada yang lain.

Sesaat kemudian, di tengah keresahan, ia pun mendengar geletukan-geletukan di bawah kolong rumah. Ia tahu betul kalau itu adalah pertanda kedatangan suaminya dari kebun. Maka segera saja ia mematikan televisi dan beranjak ke dapur untuk mencari urusan lain. Pasalnya, seperti biasa, sang suami akan segera naik ke atas rumah, lantas melepas lelah dengan menonton tayangan kesukaannya sendiri. 

Benar saja. Setelah menaruh sisir-sisir pisang di sudut ruang dapur, Mudin, suami Suriah, segera duduk di depan layar televisi. Ia bersiap-siap untuk menonton tayangan yang jauh berbeda dengan tayangan yang biasa ditonton Suriah. Selain tayangan dangdut-dangdutan, mereka berdua memang punya selera tayangan yang berbeda, sehingga mereka tak cocok untuk menonton bersama.

Setelah beberapa saat mencari-cari tayangan yang sekiranya paling memikat perhatiannya, Mudin pun menjatuhkan pilihan pada tayangan ceramah agama. Seolah ingin memperjelas pesan-pesan suci itu, ia lantas menambah volume suara televisi, kemudian menyimak baik-baik siraman rohani yang kebetulan membahas tentang hak dan kewajiban antara suami dan istri.

Menit demi menit, Mudin terus menyaksikan tayangan itu tanpa mengalihkan pada tayangan yang lain, bahkan ketika pariwara. Ia seolah-olah ingin mendapatkan nasihat untuk dirinya sendiri agar menjadi seorang suami yang baik, seperti yang dikatakan sang penceramah. Dan di sisi lain, ia pun ingin agar sang istri menjadi istri yang baik, sebagaimana petuah-petuah sang penceramah.

Harapan Mudin beralasan. Diam-diam, ia sungguh merisaukan hubungannya dengan sang istri belakangan ini. Sang istri tidak lagi menunjukkan kekesalan atau kesenangan padanya. Sikapnya mendingin tanpa alasan yang jelas. Tetapi ia menduga kalau sang istri hanya kecewa kepadanya sebab ia tidak menyanggupi untuk membeli kompor baru dan kulkas karena persoalan keuangan.

Namun di akhir tayangan ceramah, terjadi sebuah peristiwa di luar kebiasaan belakangan ini. Tiba-tiba saja, sang istri menghampirinya, kemudian menaruh segelas kopi dan sepiring pisang goreng di sampingnya. Meski tanpa tutur kata dan tanpa raut ramah dari sang istri, Mudin merasa kalau tindakan istrinya itu adalah pertanda yang baik untuk hubungan mereka.

Beberapa saat kemudian, tayangan ceramah pun selesai. Mudin lantas mengalihkan siaran dan menjatuhkan pilihan pada tayangan berita yang melaporkan kejadian hangat. Hingga akhirnya, tersiarlah sebuah berita kriminal tentang seorang istri yang tega membunuh suaminya dengan minuman beracun karena cemburu setelah sang suami berselingkuh dengan wanita lain.

Perasaan Mudin pun tersentak. Ia tak habis pikir bagaimana bisa seorang istri tega membunuh suaminya sendiri. Baginya, membunuh adalah akhir yang tidak masuk akal, sepelik apapun masalah keluarga. Namun ia yakin bahwa kejadian biadab semacam itu tidak akan pernah terjadi di dalam keluarganya. Apalagi, sang istri telah menunjukkan gelagat yang baik.

Sesaat kemudian, Mudin lantas menoleh pada segelas kopi buatan sang istri. Ia hendak menyesapnya selagi hangat. Namun perlahan-lahan, ia seolah mendapatkan bisikan gaib. Pikirannya seketika disesaki kemungkinan yang tidak-tidak. Hingga akhirnya, ia menjadi takut mencicipi seduhan itu. Ia takut kalau sang istri hanya pura-pura berlaku baik untuk meracuninya.

Perlahan-lahan, prasangkanya pun menjadi keyakinan. Ia yakin bahwa segelas kopi itu akan mencelakakan dirinya. Hingga diam-diam, ia pun cepat-cepat melangkah ke sisi jendela dan menumpahkan kopi itu. Setelahnya, ia lalu bergegas kembali dan meletakkan gelas kosong di posisi semula.

Namun tiba-tiba, ia menggugat prasangka buruknya sendiri. Ia merasa telah berpikiran jahat terhadap sang istri, sebab jika saja sang istri memang ingin mencelakai dirinya, pasti ia telah melakukannya melalui perantara makanan pokok yang selalu ia sajikan di waktu-waktu kemarin. 

Atas rasa bersalahnya, Mudin pun mencoba membalas sikap ramah sang istri. “Kopi buatan Ibu nikmat sekali,” katanya kemudian.
 
Suriah yang baru saja muncul dari ruang dapur dan duduk membelakangi sang suami sambil merontokkan daun kelor, segera membalas dengan nada suara yang terdengar menuding, “Ya, memang enaklah! Bagaimana tidak, bubuk kopinya kan Bapak beli sendiri di nona Marni, di pasar!”

Mudin merasa-rasai maksud dari perkataan sang istri, dan ia pun bisa membaca kecemburuan di balik perkataan itu. Ia lantas membalas dengan kesan menyinggung, “Jadi, Ibu sudah tahu kalau anak saudara tiriku itu pindah dari kota seberang dan membuka toko di pasar? Ibu sudah berkenal dengannya?”

Suriah tak segera membalas. Lama-lama, ia tak juga membalas. Hingga akhirnya, ia melangkah kembali ke ruang dapur.

Pelarian

Setiap orang berbeda sikap dalam menghadapi kegagalan. Beberapa orang akan kembali mencoba pada kesempatan yang lain, sedang sebagian yang lain memilih menyerah. Tetapi setelah akhir kemungkinan, ketika tidak ada lagi kesempatan untuk mencoba, mau tak mau, orang-orang yang kalah harus berbalik membunuh harapan mereka sendiri.
 
Namun meredam keinginan yang terlanjur memuncak, bukanlah persoalan yang mudah bagi setiap orang. Apalagi ketika mereka mengingat-ingat segala yang telah mereka korbankan dalam mengejar sesuatu yang berujung gagal itu. Keinginan mereka akan tetap terpatri di dalam hati, meski pikiran mereka menyadari ketidakmunkinan untuk mewujudkannnya.

Mereka yang tak mengikhlaskan kekalahan, akhirnya terpaksa saja mengalihkan arah tujuan kepada yang lain. Mereka beralih sambil tetap membawa keinginan yang menggantung dari masa lalu. Raga mereka mungkin sampai dan menetap pada satu tujuan baru yang berhasil mereka dapatkan, tetapi hati dan pikiran mereka tetap terikat pada satu yang gagal mereka dapatkan sebelumnya.

Di masa peralihan, mereka yang gagal menerima kegagalan di masa lalu, akan memaksa hati dan pikiran mereka untuk menerima sesuatu yang sedang mereka miliki. Dengan sepenuh usaha, mereka akan membentuk anggapan-anggapan bahwa sesuatu yang mereka miliki saat ini adalah sesuatu yang terbaik untuk mereka dan sepantasnya mereka hargai.

Demi mengokohkan perasaannya untuk beralih, mereka kemudian akan melakukan perbandingan-perbandingan tendensius untuk menemukan dan mengokohkan pembenaran-pemberanarannya. Tujuan mereka adalah menemukan kekurangan-kekurangan pada sesuatu yang gagal mereka dapatkan, dan menemukan kelebihan-kelebihan dari sesuatu yang berhasil mereka dapatkan.

Tanpa sadar, mereka akhirnya terjebak dalam ilusi yang menyesatkan. Mereka merasa telah berhasil melepaskan diri dari jeratan masa lalu dan mengikatkan diri pada sesuatu yang mereka miliki saat ini, tetapi sesungguhnya mereka hanya terperangkap di dalam ruang pelarian. Mereka hanya pura-pura membenci sesuatu yang tidak bisa mereka miliki, dan pura-pura mencintai sesuatu yang berhasil mereka miliki.

Mereka yang hidup dalam pelarian pun, hanya akan menjalani kehidupan yang penuh kehampaan. Mereka seumpama telah mati semenjak dan sepanjang mereka menggantungkan harapan mereka di masa lalu. Mereka berada di satu tempat, tapi perasaan dan pikiran mereka melayang ke tempat yang lain. Mereka merasa telah melakukan langkah maju ke masa depan, tapi sesungguhnya mereka tertarik jauh ke sisi belakang masa lalu. 

Akhirnya, sepanjang waktu bergulir, mereka yang hidup dalam pelarian tidak akan pernah merasakan kedamaian atas masa depan sebelum mereka berhasil merelakan masa lalu. Mereka tidak akan pernah lagi menjalani hidup yang sebenar-benarnya hidup sebelum mereka berhasil mengikhlaskan perihal yang gagal mereka miliki dan mencintai perihal yang tengah mereka miliki, sepenuh hati.

Lelaki Pertama

Setelah malam-malam yang begitu saja, malam ini, aku merasa berada di puncak kesepian. Di puncak hari ulang tahunku, hanya beberapa teman yang mengirimkan ucapan selamat kepadaku. Namun tidak termasuk seseorang lelaki yang kuharapkan menjadi pasangan hidupku kelak.
 
Pengabaiannya sungguh membuatku dilanda kesunyian yang mendalam. Aku yakin, ia tahu kalau aku berulang tahun hari ini. Ia pasti menemukan tanda-tanda peringatan tentang itu di media sosial. Tetapi nyatanya, ia tak juga mengirimkan ucapan selamat seperti yang kudamba-dambakan.

Akhirnya, aku merasa sia-sia saja telah menjalin pertemanan dengannya di dunia maya. Keputusan itu hanya membuatku kecanduan menguntit unggahannya sepanjang waktu. Sedang unggahan-unggahanku yang menyiratkan perasaanku, barangkali tak pernah menyita perhatiannya.

Kecewaku pun bertambah atas apa yang telah kukorbankan untuk sekadar terhubung dengannya di dalam bilik-bilik maya. Setiap  bulan, aku rela memotong uang kiriman ayahku di kampung untuk membeli kuota data internet. Namun tujuanku terhadapnya, malah berbuah nihil. 

Tetapi saat ini, waktu masih menunjukkan hampir jam 10 malam. Masih ada sekitar dua jam sebelum hari berganti. Aku berharap, di rentang waktu itu, ia akan mengirimkan ucapan selamat yang akan membuatku bahagia melalui malam.

Untuk sementara waktu, aku berbaik sangka saja, kalau berangkali, ia memang belum sempat mengakses akun media sosialnya hari ini. Atau bahkan, ia memang sengaja mengirimkan ucapan di waktu-waktu terakhir untuk menyamarkan perasaan terselubungnya kepadaku.

Aku pun terus menunggu, dan menunggu. Berkali-kali aku mengecek laman media sosial untuk menuntaskan rasa penasaranku. Namun setelah duduk berpuluh-puluh menit memandangi layar ponsel, aku tak juga mendapatkan kiriman ucapan darinya.

Akhirnya, aku merasa lelah, hingga memutuskan untuk berbaring di atas kasur. Aku lalu memasrahkan segala kemungkinan di sisa waktu yang ada. Aku lantas mematikan ponsel, sembari meyakinkan diri untuk menerima apapun yang kudapati nantinya.

Detik demi detik bergulir. Aku terus memejamkan mata, dan berharap terjatuh ke dalam lelap. Namun sekian lama kucoba, tetap saja tidak bisa, sebab rasa penarasan terus-menerus menggerayangi pikiranku. 

Aku pun bangkit dari pembaringan, lantas duduk kembali pada sebuah kursi. Aku kemudian mencari cara terbaik untuk membunuh waktu hingga hari ulang tahunku berlalu. Dan akhirnya, aku memilih untuk melanjutkan ketikan cerpenku tentang lelaki idamanku itu.

Perlahan-lahan, aku pun kembali menyambung cerita yang telah kumulai dua hari yang lalu. Setelah serangkaian pengantar tentang perasaanku sendiri yang kuduga berbalas olehnya, kata-kataku pun mengalir sampai kepada apa yang kurasakan dan kualami saat ini.

Beberapa waktu kemudian, jalan ceritaku kembali buntu. Sebagai kisah nyata, aku bingung mengakhirinya sebelum menemukan kepastian tentang nasib harapanku atas ucapan selamat darinya. Semua kutumpukan saja pada kenyataan itu nantinya.
Hingga akhirnya, waktu menunjukkan tepat jam 12 malam. Dengan setengah tega, aku kembali menyalakan ponselku. Namun aku tak menemukan pesan apa-apa darinya. Yang ada hanya notifikasi pesan singkat dari ayahku yang terpaksa kuabaikan untuk sementara waktu.

Aku lantas menelusuri semua bilik media sosialku dengan perasaan yang penuh penarasan. Tetapi ujung-ujungnya, yang kudapatkan hanya kekecewaan, sebab ia memang tak mengirimkan ucapan apa-apa untuk hari ulang tahun.

Akhirnya, aku harus mengambil jeda waktu untuk menenangkan perasaanku yang terpuruk.

Setelah kecewaku sedikit mereda, aku pun kembali mengecek ponselku untuk membaca pesan dari ayahku: Kenapa teleponmu tidak aktif, Nak? Kau baik-baik saja, kan?”

Sontak, aku merasa sangat berdosa telah mengabaikan pesannya. 

Aku pun segera meneleponnya.

Ia lantas menjawab.

“Maaf, Pak, tadi aku mematikan HP-ku,” kataku jujur, tanpa menjelaskan sebabnya. “Aku baik-baik saja. Bapak bagaimana?”

“Syukurlah, Nak. Aku juga baik-baik saja,” jawabnya, kemudian segera menyambung. “Oh, iya, tadi, secara mendadak, tetangga kita, si Mardi, naik ke kota. Jadi aku menitip beras dan pisang untukmu. Ada juga uang Rp. 600.000 untuk keperluanmu. Jadi, kau jaga-jaga saja. Kemungkinan dia sampai di situ jam 6 pagi.”

Seketika, aku merasa tersentuh. “Baik, Pak. Terima Kasih.”

“Iya, Nak. Jaga dirimu baik-baik, ya!” pesannya.

“Baik, Pak,” balasku. “Bapak juga, jaga diri!”

“Iya, Nak.”

Pembicaraan kami pun berakhir.

Akhirnya, aku menyesal telah begitu tega mengabaikan cinta ayahku demi angan-angan cintaku kepada seorang lelaki.

Kini, aku dapatkan sudah jalan cerita terbaik untuk menamatkan cerpenku.