Minggu, 07 Februari 2021

2. Pelarian Kedua

 Bagian kedua dari cerita bersambung Setapak Berliku

Perihal yang pernah, tak akan menjadi tiada. Ia hanya berpindah ke dalam dimensi yang lain; ke dalam ingatan-ingatan. Tetapi waktu memang terlalu panjang untuk ingatan manusia yang pendek. Begitu pula bangsa kami yang melupakan, atau dipaksa melupakan sejarah kelam masa lalu. Mereka jadi hanya peduli masanya sendiri, sampai mati dengan mewariskan tanda tanya. 

Yang telah, bukan pula berarti tamat. Kisah yang lama dianggap selesai, mungkin hanya karena tertutupi atau sengaja ditutupi oleh kisah yang baru. Begitu pula kisah kelam nenek angkat dan ayahku yang terus ditumpuki oleh tragedi-tragedi yang tercipta setelahnya, sebagai buah dari upaya penguasa rezim untuk membendung pertanyaan atas sejarah yang belum tamat.

Sejak peristiwa berdarah yang memaksa nenek angkat dan ayahku menjadi pelarian, pemerintahan baru itu pun berdiri di negeri kami, di atas pondasi tanda tanya tentang kebenaran di balik sejarah pendiriannya. Namun bertahun-tahun lamanya, pemerintahan itu bertahan dan terus dibangun di atas kerapuhan, dengan memaksa setiap orang untuk menerima kebenaran tunggalnya.

Tetapi akhirnya, kekuasaan otoriter itu berusaha berdamai dengan sejarah masa lalu untuk meredam gejolak-gejolak protes di usianya yang tua. Rezim itu mulai melakukan upaya-upaya rekonsiliasi dengan orang-orang pelarian. Mereka yang terbuang dan dicap orang-orang terlarang, diperbolehkan pulang untuk menjadi warga negara dengan hak-hak yang terbatas.

Dengan kebenaran yang dikubur hidup-hidup, penguasa rezim otoriter berharap bisa menyembuhkan luka masa lalu dengan mempermainkan sejarah. Mereka memberikan pemaafan bagi orang-orang pelarian, seolah-olah merekalah yang sejatinya benar. Mereka memberikan pengampunan, seakan-akan mereka adalah orang-orang yang suci.

Sampai akhirnya, bersama kisah kelam masa lalu yang tetap mengabadikan tanda tanya, ayahku memutuskan untuk pulang. Ia pulang sambil membawa harapan untuk kembali menyusun dan melanjutkan kehidupannya yang telah hancur berkeping-keping. Ia pulang dengan tekad yang kuat untuk menemukan kembali kedua orang tuanya, dalam keadaan yang entah bagaimana pun.

Dan tentu saja, ayahku juga pulang dengan harapan untuk menemukan Nori, teman masa kecilnya, yang telah menyelamatkan nyawanya. Ia sadar bahwa kenyataan akan sangat berbeda, bahkan nyawanya mungkin telah melayang secara tragis andai kata sang gadis kecil tak menjadi peri penolongnya di malam itu.

Apalagi, rindu untuk Nori, juga mendera nenek angkatku, seolah Nori pun telah melakukan kebajikan yang besar untuknya. Ia yang tak bisa pulang karena menjaga Tian, suaminya yang sakit-sakitan, juga karena raganya sendiri yang sudah rentan, bahkan meminta dengan sangat agar ayahku menemukan dan membawakan Nori untuknya.

Tetapi keadaan di tanah air ternyata tidak jauh berubah. Di bawah pemerintahan otoriter yang menyamarkan sejarah menggunakan tafsir tunggal yang ditegakkan dengan hukum dan senjata, orang-orang masih memperlakukan para mantan pelarian sebagai binatang. Bahkan ketika mereka terbunuh dengan cap merah itu, orang-orang tak akan yang peduli, apalagi menangisinya.

Agama telah menjadi tameng yang kuat selama dekade pemerintahan rezim otoriter. Agama telah menjadi stempel untuk membenarkan tindakan sewenang-wenang kepada mantan orang-orang pelarian. Dan tak ada lagi yang bisa melawan pemerintah yang telah berlindung di balik agama, sebab melawan mereka tidak saja melawan negara, tetapi juga melawan Tuhan.

Karena itu pula, penelusuran terselubung yang dilakukan ayahku selama bertahun-tahun, tak juga menemukan pertanda keberadaan kakek-nenekku, juga Nori. Ia telah mendatangi kampung halamannya, lalu menyamar untuk mencari kesaksian, tetapi tak ada hasil. Pasalnya, menjawab dan bertanya tentang kebenaran sejarah itu, sangat membahayakan bagi jiwa dan raga.

Akhirnya, petunjuk yang didapatkan ayahku di tanah kelahirannya sekadar jejak-jejak yang kehilangan arah. Nori yang merupakan saksi mata, telah berpindah entah ke mana beberapa tahun sebelum kedatangannya. Begitu pula Kahar, seorang saksi mata lainnya, yang malah telah berpindah entah ke mana belasan tahun sebelum kedatangannya.

Di tengah keputusasaan, ayahku pun mencoba menjalani hidup seiring kenangannya yang memilukan. Ia berusaha membangun kehidupan yang baru, meski harus dengan menidurkan masa lalunya yang akan terus menghantui. Maka pada tahun ketiga kepulangannya, ia pun menikah dengan Lina, keluarga Tian, kakek angkatku.

Kehidupan baru akhirnya dimulai. Ayah dan ibuku menggantungkan hidup dari hasil berdagang. Mereka mengelola toko pakaian milik orang tua ibuku. Namun sebagai sepasang suami-istri, mereka ingin pula hidup secara mandiri. Mereka lantas menyewa sebuah bangunan berlantai dua di kawasan perkotaan, dan mulai merintis sebuah toko elektronik yang sekaligus menjadi rumah.

Lambat laun, usaha toko orang tuaku berkembang baik dan membuat mereka hidup dengan sangat berkecukupan. Orang-orang perlahan mengenal toko itu sebagai pusat penjualan alat-alat elektronik yang lengkap. Persediaan pun jadi laku terjual, dan kelarisannya mampu menyaingi penjualan toko-toko elektronik yang lain di kawasan perdagangan itu.

Di tengah kehidupan rumah tangga orang tuaku yang mapan, aku akhirnya terlahir ke muka bumi. Aku hadir di dalam kehidupan baru yang berada di antara masa lalu dan masa depan; di antara arah garis keturunan ibuku yang terang, dan arah garis keturunan ayahku yang gelap. Aku hadir untuk mencari jalan pulang sekaligus jalan pergi.

Pada awal-awal kehidupan, hingga umur 6 tahun, hidupku terasa baik-baik saja. Aku hidup dengan kecukupan materi di kawasan perkotaan yang semakin ramai. Toko elektronik orang tuaku berkembang pesat dan menjadi yang terbaik. Bahkan dengan persaingan ekonomi yang berjalan apa adanya, toko itu telah menumbangkan eksistensi beberapa toko elektonik di sekitarnya.

Namun kemapanan ekonomi orang tuaku, tak membuat kehidupan kanak-kanakku jadi lebih semarak. Sebagai anak dari ayah-ibu yang terbilang pendatang di kawasan itu, aku terkungkung dalam kehidupan sosial yang kaku, serta jauh dari keakraban keluarga besar. Aku hanya punya Fatih, anak dari pemilik bangunan yang disewa oleh orang tuaku, sebagai teman baikku.

Keberadaan Fatih seorang, berhasil membuatku tak merasa kesepian. Kami melakoni segala macam permainan, berdua saja, tanpa merasa bosan. Kami berkawan sangat erat dalam segala urusan kanak-kanak, seerat perkawanan orang tua kami dalam urusan bisnis. Karena itu pula, kami sudah seperti dua orang saudara kandung.

Tetapi di sisi lain, keakraban kami membuat Topan, anak seorang pemilik toko elektronik yang nyaris bangkrut, menjadi tidak senang. Sikapnya itu bahkan menurun pada anak-anak sepantaran kami di kawasan pertokoan itu, yang selamanya terlihat patuh pada Topan yang seolah sebagai bos. Mereka semua tampak tidak senang menyaksikan kesenangan kami berdua.

Sampai akhirnya, pada suatu waktu, gerombolan anak-anak itu melakukan tindakan kasar kepada kami tanpa alasan yang jelas. Di sisi belakang deretan bangunan pertokoan, mereka mengadang dan merisak kami, juga merusak sepeda kami. Sebisa mungkin kami coba melawan, tetapi akhirnya kami malah mendapatkan pukulan yang lebih berat.

Sepulang ke rumah, aku pun menceritakan kejadian itu pada orang tuaku. Tetapi ayahku malah mengambil sikap yang sama sekali jauh dari harapanku.

“Lain kali, jangan cari gara-gara dengan Topan dan kawan-kawannnya. Kau harus baik-baik pada mereka,” kata ayahku, tegas.

Tentu saja aku membela diri. “Tetapi bukan kami yang cari masalah, Ayah. Mereka saja yang tiba-tiba mengganggu dan menghajar kami.”

Ibuku yang tengah mengobati luka di lutut dan pergelangan tanganku, turut memberikan nasihat yang senada. “Lain kali, jangan dekat-dekat dari gerombolan mereka. Tak usah bersepeda jauh-jauh sampai ke kawasan toko mereka.”

“Tetapi apa salahnya kalau aku bersepeda di sepanjang jalan dan pelataran pertokoan, Bu? Bukankah orang bebas bersepeda di mana saja?” sergahku.

“Memang tidak ada salahnya, Nak,” balas ibuku dengan lembut. “Tetapi kalau kau bersepeda jauh-jauh, sampai ke kawasan toko mereka, itu bisa menyinggung perasaan mereka. Mereka mungkin merasa kau sedang mencari gara-gara.”

“Tetapi kan aku hanya main sepeda, Bu. Bukan mau cari gara-gara,” sanggahku lagi.

“Sudah!” sela ayahku dengan nada tinggi. “Besok-besok, aku tidak mau tahu. Kalau kau mau bersepeda lagi, bersepedalah di sekitar rumah saja. Kalau tidak, Ayah akan menyita sepedamu!” katanya, seolah tak mau kalau aku menyanggah lagi.

Aku sungguh tak mengerti tentang sikap ayah dan ibuku. Sebagai seorang anak, aku sungguh ingin mendapatkan pembelaan dari mereka, tetapi aku malah disalah-salahkan. Bahkan setiap kali ada persoalan yang serupa, sikap mereka tetap saja sama. Mereka selalu mencamkan kepadaku untuk tidak banyak tingkah, sebab kami bukanlah siapa-siapa, sebagaimana latar belakang sejarah keluarga ayahku dan etnis keluarga ibuku.

Hingga akhirnya, sampailah waktu di satu bulan yang mencekam. Selama berhari-hari, keadaan di bawah langit menjadi begitu riuh. Kekacauan terjadi di mana-mana, hingga kami pun mengurung diri di balik dinding rumah, dilantai dua bangunan toko. Kekacauan yang tidak saja terjadi di sekitaran lingkungan kami, tetapi juga di banyak tempat, seperti yang tampak di layar televisi.

Sebagai anak-anak, aku belum bisa mengerti apa yang terjadi di balik kekacauan yang disiarkan oleh berita sepanjang hari. Yang aku tahu, orang tuaku begitu khawatir menyaksikan keadaan yang terjadi. Sehari sebelumnya, mereka bahkan telah menutup toko rapat-rapat, seperti juga banyak toko di lingkungan kami.

“Semoga kekacauan segera mereda dan tidak merembet sampai ke sini,” harap ayahku, saat kami duduk bersampingan di sofa, sambil menonton berita di layar televisi, dengan tangan kanan yang menggenggam tangan ibuku, dan tangan kiri yang merangkul tubuhku.

Tetapi waktu demi waktu, kekacauan malah tampak menjadi-jadi. Kerumunan orang di pusat kota, tampak menjalar ke segala penjuru dan melakukan perusakan, sehingga Ayah dan Ibuku jadi semakin khawatir.

“Semoga Tuhan melindungi kita,” harap ibuku.

Sampai akhirnya, terdengar juga keriuhan di lingkungan pertokoan kami. Terdengar seruan kata yang berulang-ulang dari orang-orang dengan nada lantang seperti yang terdengar dari televisi: Reformasi!

Kami sontak bergerak ke depan ruangan, dan mulai mengintip dari balik kaca jendela. Kami lantas melihat kerumunan orang mendatangi toko satu per satu, dan berupaya membuka paksa beberapa di antaranya.

“Kalian di sini saja. Jangan ke mana-mana,” pesan ayahku, tegas. “Aku akan ke bawah untuk menjaga pintu depan.”

Aku pun ketakutan menyaksikan ketegangan di wajah ayah dan ibuku.

“Kalian tenang saja,” pesan ayahku lagi. “Kalau terjadi apa-apa, pergilah ke rumah Pak Muksin, lewat pintu belakang.”

Kami berdua mengangguk.

Ayahku pun bergegas melangkah ke ruang bawah, ke ruang pertokoan.

Sorakan-sorakan dari sisi luar pun semakin riuh. Kerumunan orang tampak mengarah ke depan toko kami. Lalu, terdengarlah dentingan dan dentuman dari peraduan segala macam benda dengan daun pintu besi toko kami.

 “Aku takut, Bu,” kataku, sambil menangis.

Ibuku lalu memeluk tubuhku. “Tenanglah, Nak. Semua akan baik-baik saja,” katanya, dengan raut yang tak bisa menyembunyikan kekhawatirannya.

Tetapi keriuhan di sisi bawah, malah terdengar semakin bising, seolah-olah gerombolan itu tetap berusaha menjebol pintu. Hingga akhirnya, terdengarlah deritan, persis seperti bunyi ketika ayah-ibuku membuka atau menutup pintu toko. Lalu seketika, terdengarlah bentakan-bentakan beringas, di sela-sela suara ayahku yang mencoba mendebat.

Seolah penasaran atas apa yang terjadi, Ibuku pun melangkah menuju ke sisi bawah, dan aku mengekorinya begitu saja. Langkah kami kemudian berhenti di sisi belakang ruangan pertokoan itu, dan mulai mengintip kejadian di depan pintu. Di sana, aku melihat wajah-wajah yang tidak aku kenali, dan beberapa wajah yang tertutup masker.

“Aku mohon, jangan berbuat onar, Pak!” pinta ayahku, di antara belasan orang yang tampak beringas sambil menenteng balok kayu atau besi.

“Ah, antek-antek kapitalis seperti Bapak ini, memang layak dimusnahkan,” balas seorang di antaranya dengan sikap meremehkan. “Reformasi tak menginginkan keberadaan orang-orang seperti Bapak.”

“Aku mohon, jangan!” pinta ayahku lagi. “Usaha toko ini aku rintis sejak lima tahun lalu. Aku telah berusaha keras mengembangkannya. Jadi, aku mohon, jangan berbuat onar, Pak!”

“Mana mungkin kaki tangan kapitalis seperti Bapak perlu bertahun-tahun untuk memajukan usaha? Tidak mungkin!” bantah seseorang lelaki yang berambut gondrong dan berkumis tebal itu. “Dengan modal dari cukong-cukong asing, dalam sekejap waktu, Bapak bisa menjadi pengusaha sukses seperti ini, kan?”

“Percayalah, Pak. Aku telah berjuang membangun toko ini dengan susah payah,” tutur ayahku, dengan sikap badan yang membungkuk-bungkuk. “Aku ini tak tahu apa-apa soal kapitalisme. Yang aku tahu, aku ini pribumi seperti bapak-bapak, yang hanya berusaha mencari nafkah di tanah air sendiri.”

“Ya, kau memang pribumi! Ya, pribumi!” balas lelaki itu dengan nada mengejek dan tangan menolak pinggang, kemudian melecutkan ludah. “Tetapi istrimu bagaimana?”

Anggota gerombolan pun tertawa pendek dengan tatapan yang sinis.

“Jangan coba-coba membohongi kami!Aku tahu jelas tentang istrimu dan keluarganya!” bentak orang itu lagi, dengan sorot mata yang tajam.

“Pak, aku mohon, jangan!” pinta ayahku untuk kesekian kalinya. “Bagaimana pun, kami ini adalah warga negara juga, Pak!”

Lelaki itu lekas memalingkan wajah. “Ah, sudah!” Ia lalu mengangkat tangan kanannya ke atas, lantas menuturkan titah, “Hancurkan!”

Seketika, orang-orang di sampingnya pun bergegas menghancurkan barang-barang jualan di toko, sembari mengarungkan beberapa barang yang ingin mereka miliki secara cuma-cuma.

“Baiklah. Kalian boleh mengambil barang yang kalian inginkan. Tetapi aku mohon, jangan merusak barang-barang yang lain,” seru ayahku di tengah keributan, seolah-olah itu adalah permohonan terakhirnya.

Tetapi orang-orang itu tampak abai dan meneruskan kegilaannya.

Ayahku pun bergegas menghalau, hingga ia ditumbangkan oleh pukulan dan hantaman benda tumpul dari orang-orang itu. Ia berusaha bangkit dan melawan, tetapi seketika, pukulan dan hantaman kembali mendarat di tubuhnya. Sekali lagi ia bangkit, lalu satu sepakan yang tepat di dadanya, membuat ia terpental jauh ke sisi belakang. Jatuh, terbaring, tak berdaya.

“Ayah!” tuturku seketika, sambil menangis.

Aku dan ibuku pun bergerak mendekatinya untuk memberikan pertolongan.

“Kenapa ke sini?” sergah ayahku dengan suara serak menahan kesakitan. “Cepat, pergilah ke rumah Pak Muksin!”

“Oh, wajah-wajah semacam ini yang Bapak maksud sebagai wajah pribumi?” ketus seseorang anggota gerombolan yang bermasker, sambil memandangi wajahku dan wajah ibuku. “Sipit sialan!”

Anggota gerombolan yang lain lalu mendekati kami dengan raut beringas.

Dengan sekuat tenaga, ayahku berusaha bangkit dan mencoba menghalau mereka. “Kalian boleh mengambil apa saja yang kalian mau. Mau barang, atau uang, silakan. Tetapi aku mohon, sungguh memohon, jangan apa-apakan istri dan anakku!”

Namun tanpa membalas kata, seseorang lalu menghantam ayahku dengan tapakkan kaki di sisi dadanya, hingga ia kembali terkapar.

“Lari, cepat!” perintah ayahku kepada kami, dengan napas yang tersengal-sengal dan tatapan yang sayup.

Aku dan ibuku lantas berlari meninggalkan ayahku dengan perasaan setengah tega, ke sisi belakang, ke arah pintu keluar, untuk menuju ke rumah Pak Muksin.

Namun ketika baru hendak menyibak pintu, dua orang lalu menarik baju ibuku, hingga ia terjungkal.

“Lari, Nak!” titah ibuku.

Mereka lalu menyeret ibuku ke arah ruang gudang.

Dengan penuh kebingungan, aku sontak mendekati mereka untuk memberikan pertolongan kepada ibuku yang entah bagaimana caranya.

Tetapi seorang anggota gerombolan yang bermasker datang mencegatku, lalu mendorongku, hingga aku terjatuh. Ia lantas mendaratkan tamparan keras di pipiku. “Hai, anak sialan, jangan macam-macam, atau kau akan kubunuh!” ancamnya, dengan nada berbisik yang penuh tekanan, serta tangan kanan yang menuding-mengancam.

Di tengah kekalutan, dan tubuh yang membeku, mataku pun sempat menyorot sekilas tato kalajengking di pergelangan tangan kanannya. Samar-samar, aku lalu teringat pada tato seorang lelaki yang sering bermain kartu di pojok kompleks pertokoan. Seorang lelaki yang pernah menghardik aku dan Fatih ketika pada satu waktu, kami bertikai dengan Topan beserta dua orang kawannya.

Seolah risih dengan tatapanku, lelaki bermasker itu lalu menarik tubuhku, kemudian menghempaskan aku ke sisi luar pintu belakang yang lekas ia kunci dari dalam.

Berkali-kali, aku menggedor pintu, dengan kehendak untuk tidak pergi ke mana-mana selain bersama ayah dan ibuku. Namun itu tak ada gunanya.

Tak beberapa lama, di tengah pikiran dan perasaanku yang kacau, Pak Muksin dan Fatih pun datang. “Bawa dia ke rumah. Cepat!” perintah Pak Muksin kepada anaknya itu.

Akhirnya, dengan langkah gontai, aku pun menuju ke rumah Pak Muksin dengan tuntunan Fatih. “Jangan khawatir. Semua akan baik-baik saja,” katanya.

Aku pun mencoba meyakini pesan sahabatku itu, bahwa ayah dan ibuku akan baik-baik saja di tengah pertanyaanku tentang apa yang sedang terjadi dengan mereka.

Beberapa lama kemudian, kabar suka dan duka datang menyusulku secara bersamaan. Ayahku datang dengan tuntunan Pak Muksin, dalam keadaan yang sungguh mengenaskan. Tetapi beserta mereka, ibuku tak ada.

Lalu pada arah serong kanan rumah Pak Muksin, terlihatlah api menyelimuti gedung pertokoan kami. Sebuah kenyataan yang membuatku semakin bertanya-tanya tentang keadaan ibuku.

Perasaan yang berkecamuk, akhirnya membuat muram suasana di antara kami. Ayahku dan Pak Muksin tampak mengobrol dengan kemarahan dan kesedihan yang silih berganti. Sedang aku yang tak mengerti alasan di balik kekejian yang telah menimpa kami, hanya terus menangis di samping Fatih yang terus berusaha menenangkan aku dengan kata-kata berulang atau usapan-usapan yang lembut.

Saat menjelang tengah malam, ketika kobaran api di gedung pertokoan kami telah padam dengan sendirinya, Ayahku dan Pak Muksin pun kembali ke toko untuk mencari keberadaan ibuku, sesuai dengan petunjuk yang aku berikan. Aku tak tahu bagaimana detail keadaannya. Yang aku tahu kemudian, mereka menemuka ibuku tak bernyawa, dengan tubuh yang hangus terbakar.

Hari kemudian berganti. Di waktu subuh, dengan kehadiran beberapa keluarga, ibuku pun dikuburkan di sebuah lahan kosong milik Pak Muksin yang tak jauh dari rumahnya. Ibuku dikuburkan bersama timbunan rahasia yang mengiringi kematiannya. Ia pergi dengan jawaban yang akan terus kupertanyakan sepanjang hidupku.

Sampai akhirnya, pada hari itu juga, ketika sore menjelang, dengan bantuan Pak Muksin, aku dan ayahku menerobos jalan kota yang ramai dan berasap, di tengah kekacauan yang semakin menjadi-jadi, untuk menuju ke bandara, hingga akhirnya aku sampai dan menetap di sini, di negeri pelarian ayah dan nenek angkatku.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar