Sabtu, 20 September 2014

Penghujung Hari yang Jingga

Setiap kali kubuka pintu ceritaku di awal pagi, selalu kurasakan hangat, meski embun melapisi kulitku. Angan tentangnya selalu muncul mendahului sang surya yang masih menjanjikan kehangatan. Kubawa terus, sampai dingin malam kembali menguliti diriku dalam mimpi. Adakah hari aku lengah mengenangnya sejak kucuri bayangnya delapan tahun lalu, kala berdua di penghujung hari yang jingga, ketika mentari menghampiri peraduannya?

Semalam, telah kurencanakan untuk menjumpai Bapak Wildan saat pagi-pagi sekali. Dia adalah seorang yang sangat berjasa bagiku. Tapi menjajakkan kaki di kampung halaman setelah pergi selama lima tahun, membuatku harus mengingat-ingat liku jalan untuk menemukan rumahnya. Apalagi, kata ibuku, ia telah pindah ke rumah barunya, sejak dua tahun lalu.

“Permisi, arah menuju ke rumah Pak Wildan yang mana, ya?” tanyaku kepada seorang perempuan yang melintas.

Ia menatapku sejenak, lalu menunjuk ke satu arah, “Di sana,” katanya, kemudian lekas berlalu dengan raut wajah yang coba kukecap-kecap kembali.

Kurangkailah serpihan siluet wajah perempuan itu dari bayangan yang kurekam delapan tahun lalu. Tak ada haluan gelap yang merintangi, hingga aku yakin pernah mengenal ia sebelumnya. Jujur saja, ia satu di antara segelintir orang yang masih tergambar jelas di memoriku. Dialah dahulu sosok incaran para lelaki sekelasku di bangku SMA. Semua lelaki selalu ingin mendekat. Tapi anehnya, ketika para penggoda beraksi, termasuk yang menurutku tampan, ia seringkali menuju ke pojok kelas, menghampiri aku, seorang lelaki yang tunadaksa. 

Dan kukenang lagi kebersamaan dengannya di penghujung hari yang jingga. Ketika itu, aku tengah menyendiri di teras kelas kelas, sembari menatap bola voli yang berbolak-balik di atas net. Aku mengkhayalkan kemungkinan jika aku memiliki fisik yang normal, dan pastilah aku menjadi seorang pemain voli yang hebat.

“Ayo main catur lawan aku,” ajaknya, lalu meletakkan papan catur di antara kami.

Seketika, dia benar-benar membuatku canggung. Kata-kata berseliweran di benakku, dan aku bingung harus mengucapkan yang mana. Seperti sebelum-sebelumnya, aku sulit mengiyakan ajakannya itu. Terbayang olehku, rasanya akan seperti di neraka saja jika berhadapan dengannya pada jarak kurang dari semeter, dalam waktu yang lama. Belum lagi, beberapa pasang mata akan memandang kebersamaan kami secara sinis, seakan-akan mengatakan kalau aku tak pantas dekat-dekat dengannya.

Tapi kali ini, aku tak hendak menolak tawarannya untuk ke sekian kali, sebab ia bisa kecewa. “Baiklah, aku coba!"

Hampir satu jam kami kami beradu kecerdikan waktu itu. Begitu lama aku harus menunduk dan memandang kosong pada anak-anak caturku. Kikuk jika saling menatap. Hanya sekali-kali saja aku meluruskan pandangan ke arahnya. Kutatap selintas gigi gingsulnya, juga lesung pipinya yang timbul tenggelam. Satu rona keindahan yang mampu membuyarkan konsentrasiku. Hingga aku pun kalah. Tapi tak mengapa. Aku memang tak bersungguh-sungguh hendak mengalahkannya. Melihat kegirangan di wajahnya saja, sudah menjadi kemenangan yang tak terkira bagiku.

“Ridho, lihatlah langit yang jingga di sana. Bentuknya tampak menyerupai lambang hati. Indah, kan?” ketusnya seusai mengalahkanku, kala kami tengah duduk di satu bangku, menghadap ke tepi barat, memandang langit sore.

Aku mengangguk untuk membenarkan penilaiannya.

Kami pun saling mendiamkan. Menatap saja pada langit jingga dengan tafsir rasa yang mungkin berbeda.

Dan sepanjang waktu setelah peristiwa tentang kami dan langit jingga, aku pun pergi jauh darinya, beserta buku motivasi hidup yang ia berikan padaku. Aku diterima sebagai programer perangkat lunak pada sebuah perusahaan teknologi, di kota seberang. Maka kucobalah untuk membunuh kekaguman padanya. Kucoba untuk melupakannya. Tapi, usaha itu tak pernah benar-benar berhasil. Buku darinya, juga segala yang telah kami lalui, membuatku selalu terkenang padanya.
Bersama dengan kenangan lalu yang membuncah di kepalaku, aku pun meneruskan penelusuran untuk mencari rumah Pak Wildan. Kuarahkan motorku menuju titik yang telah ditunjukkan oleh perempuan kenanganku. Hingga, lima menit berlalu, sampailah aku di rumah megah Pak Wildan setelah kembali bertanya lagi pada beberapa warga yang lain. Tak lama kemudian, muncullah Ibu Sari, istri Pak Wildan, yang kini tampak tua dan membungkuk.

Seketika, ia menatapku lekat-lekat. Dan, ia pun berhasil membaca wajahku. “Kau di mana saja selama ini, Nak?”tanyanya, sambil menuntunku ke arah dalam rumah.

Aku pun melangkah seiring dengannya, kemudian menuturkan, “Aku bekerja di sebuah perusahaan IT, Bu," kataku, kemudian duduk pada sebuah sofa yang empuk. "Bapak di mana? Aku sungguh merindukannya juga. Kebaikan Ibu dan Bapak di masa lalu, tak akan pernah kulupakan."

Ia menunduk dengan raut wajah yang lesu. “Bapak sudah meninggal setahun yang lalu," katanya.

"Innalillahi wainnailaihi rajiun." Perasaanku jelas tersentak. Bagaimana bisa ia telah tiada, sedang aku belum sempat membalas kebaikannya.

"Tapi sudahlah, Nak. Kau tak perlu merasa berutang budi padaku atau pada almarhum," pintanya, sambil mengusap-usap punggungku.

Tanpa terasa, tiga jam pun berlalu, dan kami tak kehabisan bahan untuk membahas sosok Pak Wildan, atau bertukar informasi tentang kehidupan kami sepanjang waktu perpisahan. Hingga akhirnya, suasana kurasa berubah ketika sosok perempuan yang kutemui di sudut jalan, bertandang juga ke rumah Pak Wildan. Sesosok wanita yang mengingatkanku pada satu kenangan di penghujung hari yang jingga.

Lekas, Ibu Sari menjelaskan, “Kenalkan, ini Lian, anakku," katanya. "Kalian pasti sudah saling mengenal, kan? Setahuku, kalian pernah sekelas di waktu SMA dulu."

Aku pun menatap perempuan itu, penuh tanya. Bagaimana bisa aku tak tahu kalau dia adalah anak Pak Wildan?

Sedang ia, tampak mengernyitkan dahi. Seperti mencoba memutar kembali gambaran masa lalu untuk menemukan aku di sana.

Sigap, sebagai lelaki, aku pun memperkenalkan diri dan berharap ia lekas mengingatku, “Aku Ridho, teman sekelasmu dahulu."

Perlahan, raut wajahnya berubah semringah. “Kau sang master catur itu, kan?"

Aku mengangguk. “Iya. Akulah yang kau taklukkan di penghujung hari yang jingga?” terangku.

Dan akhirnya, kami pun mengulas kembali cerita yang telah lalu. Hanya berdua, setelah Ibu Sari pergi untuk urusan tertentu. Kami mengulas segala yang terkenang. Hingga di penghujung percakapan, aku lalu berkisah tentang ayahnya, sosok dermawan yang menanggung semua biaya perawatanku setelah jadi korban tabrak lari seorang pengendara mobil, sembilan tahun lalu. Berkisah kalau ayahnya pula yang memberikan aku kaki buatan, hingga aku bisa berlagak normal semasa SMA.

“Andaikan ayahmu masih ada, aku akan korbankan apa pun untuknya,” kataku, sepenuh hati.

Dia terdiam beberapa lama, sambil menunduk, menutupi wajahnya. Seketika, ia pun bergegas menuju ke dalam satu ruangan, membawa serta tangisannya. Hingga tak berlangsung lama, ia menghampiriku kembali, sembari menenteng sebuah berkas. 

“Ini. Wasiat ayahku sebelum meninggal,” katanya, sambil menyodorkan map berwarna hijau. 

Aku menyambutnya, dan berusaha menyibak rahasia itu selekas mungkin.

Ia berusaha menahanku. “Sebelum kau membaca wasiat itu, aku ingin kau mengiyakan satu pintaku.”

Aku jadi semakin penasaran. "Apa pun permintaanmu, pasti akan kulakukan.”

“Menikahlah denganku,” pintanya seketika, sambil menatapku penuh harap.

Aku semakin tak mengerti. “Maksudmu?"

Dia hanya menggeleng, sambil meneruskan tangisnya yang semakin menjadi-jadi. 

Perlahan kubukalah seberkas wasiat itu, lalu kubaca dengan setumpuk tanya dan rasa penasaran. Coba kueja setiap rangkaian kata secara baik-baik, agar aku tak salah tafsir. Hingga kupahamilah, kenapa bisa Lian memperlakukan diriku secara istimewa, sepanjang waktu. Kupahamilah, kalau sesungguhnya ia mencoba membalas rasa bersalah ayahnya kepadaku, yang telah membuat aku menjadi seorang tunadaksa.

Kuakui, setelah di penghujung hari yang jingga itu, aku selalu berkhayal untuk bersanding dengannya seumur dunia. Tapi tentang pintanya untuk sebab yang telah kuketahui, aku merasa berat. Aku tak ingin memerangkap ia dalam cinta yang terpaksa, yaitu pada cinta yang mengorbankan cinta. Yang aku inginkan adalah cinta yang ikhlas, bukan cinta yang harus ia tanggung atas peristiwa yang bukan kesalahannya sendiri.

Selasa, 16 September 2014

Cinta Fatamorgana

Aku dalam pertempuran yang besar
Tentang kau yang liar pun, kubiarkan saja menari
Kulihat tanpa rasa setiap perhiasan di ragamu
Ingatlah, kau suka memamerkannnya tanpa kuminta

Entahlah, dirasuki apa kau menutup diri
Kau berharapkah kubertanya kau di mana?
Atau aku akan rindu dan menagih melihat tahi lalat di lehermu

Sudahlah, hanya benci memikirkan sedalam rasa pun coba kubunuh

Kuakui, pernah setanmu berhasil mengusap mata batinku
Mengajakku bermain di taman mimpi penuh dosa
Bahkan hingga kulawan kebenaran batinku
Bahwa memandang bola matamu terlalu lama adalah dosa

Syukurlah, Dia menuntunku selalu terjaga  
Mencari bekas jejakmu semasa kau mencari dirimu sendiri
Kudapati kau pernah sengaja tersesat pada tak terhitung sosok
Yang mendakatimu ketika mereka kehausan, dan kau balas “silakan”

Akhirnya kuseret lagi kakiku menapaki jalan kesucian, gilakah?
Jika pun bukan kau, tapi sebangsamu memilih tersesat juga
Akan kulawan kodrat, jika sejatinya aku harus bertanya siapa, kapan, di mana?

Tak usah menangis karena aku tak akan terharu


Minggu, 27 April 2014

Tercipta Tentangmu


Aku menjalani rutinitas yang biasa sebagai siswa semester II kelas XI. Duduk di kelas ketika jam pelajaran, jajan di katin ketika jam istirahat, atau nongkrong di perpustakaan ketika dapat tugas mendadak. Sungguh membosankan tentunya. Hingga aku tak henti-hentinya berharap jam pelajaran segera berakhir, dan aku bisa melakoni hobiku bermain musik.

Tiga bulan sebelumnya, aku memang telah tergabung dalam sebuah grup band bersama dua orang temanku yang lain. Aku sebagai vokalis yang merangkap pemain gitar, Rio sebagai bassis, dan Ryu sebagai penggebuk drum. Kami bertiga berkomitmen untuk menjadi membesarkan nama band kami, Jibaku. Karena itu, selepas jam sekolah yang membosankan, kami senantiasa menghabiskan waktu di studio musik milik Ryu.

Obsesi kami sangat tinggi untuk menjadi orang yang terkenal. Tapi itu tidaklah mengada-ada. Talenta kami membuat mimpi besar itu terasa mungkin terwujud. Tak ada yang meragukan kelihaian kami di posisi masing-masing. Tak ada yang berani menyepelekan kreativitas kami. Bahkan siswa di sekolah kamu pun mulai menobatkan diri sebagai fans, termasuk juga para perempuan.

Dan sebagai seorang lelaki yang mulai tenar, paling tidak, di lingkungan sekolah, sanjungan dari kaum hawa adalah godaan yang harus kusikapi secara bijak. Aku harus menahan diri untuk tidak jatuh ke dalam buaian semu, hingga tega mempermainkan hati para wanita pengagumku. Tapi beruntunglah, aku bisa mengabaikan laku-laku wanita yang liar, yang coba mencuri perhatianku.

Tapi keteguhanku dalam mengabaikan soal perempuan untuk fokus meniti karir sebagai musisi, akhirnya goyah juga. Diam-diam, aku jatuh hati pada sesosok perempuan berkacamata yang begitu pendiam dan misterius. Namanya Rina. Seseorang yang tak mengacuhkan aku sebagai seorang selebriti di lingkungan sekolah, kala wanita lain malah mengeluh-elukanku.

Sosok Rina memang unik. Ia lebih suka bersepi-sepi dengan buku bacaan atau buku catatannya, ketimbang larut dalam ingar-bingar anak sekolahan. Mungkin karena itu pula, selama sekelas dengannya, aku tak pernah melihat seorang lelaki pun berusaha mendekatinya. Padahal, bagiku, ia memiliki paras yang sangat menawan, juga senyuman yang begitu manis.

Untuk perasaanku padanya, aku merasa semakin hidup. Ia menjadi motivasi, inspirasi, sekaligus obsesiku. Membuatku terus membayangkan dirinya di dalam ruang imajinasi, kemudian menerjemahkannya dalam kata-kata dan nada. Hingga terciptalah serangkaian lagu tentang seorang lelaki pemalu yang hanya bisa memendam perasaannya untuk seorang wanita pujaan hatinya.

***

Kompetisi cinta lagu antarband, akan segera digelar. Satu kompetisi yang sangat bergengsi pagi anak muda pelakon musik. Dan untungnya, sebuah lagu ciptaanku, termasuk di antara tiga lagu yang akan memperebutkan gelar juara. Satu lagu yang diam-diam kuciptakan untuk Rina, yang tak lama lagi, akan kunyanyikan di panggung megah untuknya, secara langsung.

Sehabis jam pelajaran, aku pun bergegas pulang ke rumah. Aku hendak mempersiapkan diri sebelum berangkat ke studio milik Ryu untuk mamantapkan diri menghadapi kompetisi. Aku menumpang sebuah angkutan kota langgaran Rina. Aku menunggu sambil berharap-harap cemas semoga alam berkehendak untuk menjebak kami dalam ruang yang sama. Aku ingin terperjara bersamanya, agar aku terjebak dan terpaksa untuk memulai pendekatan awal.

Dan perhitunganku, tepat. Ia datang juga dengan raut wajah yang datar, lalu duduk tepat di bangku depanku. Tapi rencana untuk memulai obrolan dengannya, buyar seketika. Aku jadi sangat gugup dan kehilangan konsentrasi. Hingga detik demi detik berganti, aku tak juga memulai percapakan, sedang ia tampak begitu cuek.

Kukuat-kuatkan batin untuk terus melawan kepengecutan diriku sendiri. Kupikir-pikir, kesempatan emas untuk memulai obrolan dengannya, tak akan datang dua kali. Karena itu, saat angkutan kota tinggal menyisakan dua orang penumpang saja, aku dan dia, kupaksakanlah lidahku untuk berucap:

“Rina,” sapaku.

Ia tak menoleh. Mungkin tak mendengar, atau tak pernah yakin aku akan menyapanya.

Jatungku pun semakin berdegup.  “Rin,” seruku lagi, lebih tegas.

Seketika, ia menoleh padaku dengan tatapan yang aneh, seolah-olah aku tak patut menyebut-nyebut namanya. “Kenapa?” tanyanya, kemudian memperbaiki posisi kacamatanya yang sedikit melorot.

Tiba-tiba, aku jadi bingung harus memulai percakapan dari mana. Kupikir, terlalu lugu jika aku langsung mengundangnya untuk datang menyaksikan kompetisi band yang akan kuikuti. Maka kubukalah percakapan dengan membahas soal tugas-tugas dan kejadian-kejadian di sekolah, dengan selingan jeda yang panjang dan tidak teratur.

Berselang kemudian, suasana di antara kami kembali mendingain. Aku kehabisan bahan basa-basi, sedangkan ia begitu pasif dalam obrolan. Akhirnya, aku pun mulai menjajaki pokok pembahasan yang telah kurencanakan. “Apa hari Sabtu nanti kau punya kesibukan?”

Ia menoleh padaku, lalu menggeleng-gelengkan kepala. “Tak ada. Memangnya kenapa?”

Aku sedikit senang mendengar kalau ia punya peluang untuk hadir. “Aku tahu kau tidak terlalu tertarik dengan musik,” selaku. “Tapi…, aku sangat mengharapkan kehadiranmu pada kompetisi musik yang akan kuikuti hari Sabtu nanti,” terangku, sambil menyodorkan sebuah tiket kepadanya.

Dengan mimik yang terkejut dan berseri-seri, ia pun menjemput tiket yang aku berikan. “Terima kasih, ya,” balasnya, sembari tersenyum.

Tak cukup lima detik kemudian, angkutan kota yang kami tumpangi, berbelok kanan menuju lorong rumahnya. Dan dari arah bersilangan, sebuah mobil truk menghantam sisi kiri angkutan kota.

Aku tak tahu jelas bagaimana setelahnya. Yang pasti, aku mendapati diriku hanya mengalami luka ringan di bagian siku dan pelipis, sedang Rina dalam keadaan koma dengan luka yang parah dan pendarahan yang hebat di bagian kepala. Aku pun mendonorkan darahku untuknya, tentu setelah meyakinkan orang-orang kalau aku akan baik-baik saja.

***

Tiga hari berlalu, aku pun mendapati kabar kalau Rina telah siuman. Dan atas keadaannya yang belum pulih betul, kupupuskanlah harapan atas kehadirannya di depan panggung untuk menyaksikan penampilanku pada kompetisi antarband. Memastikan kalau keadaannya semakin membaik saja, sudah cukup menyenangkan hatiku.

Sudah tapat jam 7 malam. Itu berarti sisa satu jam lagi kompetisi band akan dimulai. Aku dengan dua orang teman sebandku pun menelusuri jalan menuju lokasi acara. Tapi, diluar kendali, petaka kembali menimpa. Mobil yang dikemudikan Ryu, hilang kendali dan menabrak pembatas lajur setelah berusaha menghindari penyeberang jalan yang melintas bukan pada tempatnya. Mobil pun terhempas, dan aku tak tahu apa yang terjadi setelahnya.

Sampai akhirnya, aku tersadar berada di sebuah rumah sakit. Tersadar berada di dalam dunia yang jadi begitu senyap. Tak ada suara terdengar. Yang kusaksikan hanya gerakan bibir ayah-ibuku, juga dokter dan perawat, yang tampak bahagia atas kesadaranku. Tapi aku tak mendengar sedikitpun kata-kata dari mereka. Aku mengalami gangguan pendengaran. Tuli.

Sungguh, sulit bagiku menerima kenyataan kalau aku jadi menuli. Sebagai seorang musisi, pendengaran adalah karunia paling berarti. Hanya dengan indra itu, aku bisa merangkai nada-nada yang indah. Hanya dengan indra itu, aku bisa menggubah lagu-lagu terbaik.

Tapi kenyataan sudah terjadi. Tuli telah menjadi takdirku, dan aku harus sabar menerimanya.

***

Setelah keluar dari rumah sakit, aku pun kembali ke rumah dengan kondisi pendengaran yang masih buruk. Lama waktu yang aku lalui hanya dengan menyendiri, tanpa hendak ke mana-mana. Aku jadi tak berselera menjalani rutinitas yang dahulu kulakoni setiap waktu. Aku tak berselera berkumpul bersama teman-temanku, atau siapa pun yang mengenalku. Aku tak sanggup menjalani komunikasi yang rumit dengan suara yang senyap-senyap.

Tapi hari ini, aku hendak beradaptasi dengan keadaan baru. Bersama kekalutan yang tak terkira, aku berangkat ke sekolah setelah sekian lama tak berbagi kabar dengan teman-teman dan guru-guruku. Satu kedatangan yang mungkin berarti menuai sedih di hati mereka-mereka. Satu kedatangan yang kubalut harus dengan rasa tak peduli atas rasa segan dan malu di dalam diriku sendiri.

Sesampainya di sekolah, kulihatlah dari segala arah kalau orang-orang memusatkan perhatian padaku. Dan aku yang menafsir kalau mereka hendak bertanya kabar, membalas saja dengan senyuman seadanya. Sampai akhirnya, pandanganku tertuju pada Rina yang tengah melambaikan tangan di sisi depanku, seakan berusaha mengesankan sambutan yang hangat.

Tapi tiba-tiba, kekalutan menyerang batinku menyaksikan kehadirannya. Meka setelah melayangkan satu senyuman, aku pun bergegas berpaling darinya. Meredam rasa-rasaku yang masih menggebu-gebu, sebab aku tak ingin mengurai keadaanku padanya, sampai ia malah menjadi kasihan dan bersedih hati atas diriku. Aku tak menginginkan itu.

Dan akhirnya, sampailah aku di depan kelas. Aku disambut oleh senyuman teman-temanku beserta bentangan spanduk dengan tulisan: Ray, Kami adalah temanmu. Tetaplah di sini bersama kami.

Sungguh, aku merasa sangat terharu. Dan perlahan-lahan, kecanggungan antara kamu pun, terurai sedikit demi sedikit.

***

Hari demi hari berlalu. Aku merasa sangat beruntung memiliki teman-teman yang bisa memahami keadaanku, terutama Rio dan Ryu. Mereka tak pernah memperlakukan aku secara berbeda. Sama saja seperti dahulu. Tak ada kekhawatiran dan perhatian yang berlebihan. Dan keadaan itulah yang membuatku merasa mudah untuk beradaptasi.

Setiap kali jam pelajaran berakhir, aku pun bergegas pulang ke rumah. Aku punya rutinitas baru yang kusesuaikan dengan keadaanku sendiri. Aku mulai membiasakan diri berteman dengan buku-buku yang tertumpuk di kamar pribadiku. Aku mulai gemar berbagi kisah dengan menulis. Dan perlahan, aku belajar meninggalkan kegemaranku pada musik.

Seperti juga hari ini, aku hendak pulang ke rumah demi seisi kamarku yang telah menunggu. Seperti biasanya, aku menumpang pada sebuah angkutan kota.

Hingga, datanglah Rina. Ia menumpang bersamaku. Membuatku jadi bingung tentang bagaimana harus bersikap dan berkomunikasi secara wajar dengannya.

Seketika, ia menyodorkan buku cacatannya kepadaku. “Apa kabarmu?” tanyanya dengan bahasa tertulis, tanpa memilih untuk berteriak-teriak agar aku bisa mendengar suaranya.

Kuucapkanlah balasan untuknya. “Baik. Terima kasih sudah mengerti keadaanku. Kau sendiri?”

Ia tampak senang. Lekas, ia menulis lagi, “Aku pun baik-baik saja. Oh iya, aku punya sesuatu untukmu. Aku harap kau dapat menerimananya. Tapi aku minta, jangan buka sekarang, ya!” Ia lalu menyodorkan sebuah bingkisan.

Aku menerimanya dengan perasaan senang. “Terima kasih banyak,” kataku, sambil tersenyum..

***

Sesampainya di rumah, kusibaklah bingkisan pemberian Rina. Segera kusobek kertas kado yang membungkusnya dengan rapi. Dan betapa senangnya, ia ternyata memberiku sebuah novel karangannya sendiri. Satu gubahan yang akan menjadi bacaan pengisi waktuku beberapa hari ke depan.

Bersama novel karyanya, terselip juga selembar kertas berisi permintaan agar aku menyempatkan diri untuk menyaksikan wawancara khususnya di sebuah stasiun TV, yang akan tayang beberapa jam lagi. Dan sembari menunggu penampilannya di layar kaca, mulailah aku mengeja kata-kata gubahannya.

Sepintas, aku mengagumi tata bahasa tulisnya yang sederhana dan begitu mengalir. Ceritanya pun menarik, yaitu tentang keteguhan hati untuk menerima cinta apa adanya, sebagaimana keterangan sinopsisnya di bagian sampul.   

Kuakui, ia memang lihai meramu kata, sampai-sampai menghanyutkan aku dalam cerita. Aku larut dan mengidentifikasi diriku sendiri sebagai tokoh cerita. Ia mampu menggambarkan perasaan tokoh utama, si perempuan, kepada seorang lelaki yang gemar bermain musik, yang telah menyelamatkan nyawanya, dan yang kehilangan indra pendengaran.

Apakah itu aku?

Di kala rasa penasaran tengah membuncahiku soal latar belakang cerita novelnya, dimulailah wawancara khususnya di televisi. Maka dengan perasaan yang masih penuh tanda tanya, aku pun menyimak dengan seksama, meski tak kutahu jelas apa yang sedang ia ucapkan. Aku menonton saja, sambil membaca narasi tertulis tentang kehidupnnya yang kadang muncul di layar kaca, atau sekadar memandang raut wajahnya saja.

Sampai akhirnya, ia pun tampak berdiri, sembari menggenggam sebuah gulungan kertas berukuran besar. Aku tak punya dugaan tentang apa yang hendak ia lakukan. Hingga kertas di tangannya pun tersibak. Terbacalah olehku:

“Untuk yang darahnya mengalir di dalam ragaku, terima kasih telah menjadi inspirasiku. Kau adalah samudera yang aku salami untuk setiap kata yang telah kutulis. Terima kasih.

Kini, entah bagaimana aku bisa keluar dari tafsir keakuanku sendiri. Aku mencoba meyakinkan diri kalau aku bukanlah tokoh yang tertulis dalam ceritanya, juga dalam pesan-pesannya. Tapi sekeras apa pun aku mengelak, aku tak bisa membohongi tafsir akal dan perasaanku sendiri, bahwa tokoh ceritanya, memang adalah aku.