Sabtu, 20 September 2014

Penghujung Hari yang Jingga

Setiap kali kubuka pintu ceritaku di awal pagi, selalu kurasakan hangat, meski embun melapisi kulitku. Angan tentangnya selalu muncul mendahului sang surya yang masih menjanjikan kehangatan. Kubawa terus, sampai dingin malam kembali menguliti diriku dalam mimpi. Adakah hari aku lengah mengenangnya sejak kucuri bayangnya delapan tahun lalu, kala berdua di penghujung hari yang jingga, ketika mentari menghampiri peraduannya?

Semalam, telah kurencanakan untuk menjumpai Bapak Wildan saat pagi-pagi sekali. Dia adalah seorang yang sangat berjasa bagiku. Tapi menjajakkan kaki di kampung halaman setelah pergi selama lima tahun, membuatku harus mengingat-ingat liku jalan untuk menemukan rumahnya. Apalagi, kata ibuku, ia telah pindah ke rumah barunya, sejak dua tahun lalu.

“Permisi, arah menuju ke rumah Pak Wildan yang mana, ya?” tanyaku kepada seorang perempuan yang melintas.

Ia menatapku sejenak, lalu menunjuk ke satu arah, “Di sana,” katanya, kemudian lekas berlalu dengan raut wajah yang coba kukecap-kecap kembali.

Kurangkailah serpihan siluet wajah perempuan itu dari bayangan yang kurekam delapan tahun lalu. Tak ada haluan gelap yang merintangi, hingga aku yakin pernah mengenal ia sebelumnya. Jujur saja, ia satu di antara segelintir orang yang masih tergambar jelas di memoriku. Dialah dahulu sosok incaran para lelaki sekelasku di bangku SMA. Semua lelaki selalu ingin mendekat. Tapi anehnya, ketika para penggoda beraksi, termasuk yang menurutku tampan, ia seringkali menuju ke pojok kelas, menghampiri aku, seorang lelaki yang tunadaksa. 

Dan kukenang lagi kebersamaan dengannya di penghujung hari yang jingga. Ketika itu, aku tengah menyendiri di teras kelas kelas, sembari menatap bola voli yang berbolak-balik di atas net. Aku mengkhayalkan kemungkinan jika aku memiliki fisik yang normal, dan pastilah aku menjadi seorang pemain voli yang hebat.

“Ayo main catur lawan aku,” ajaknya, lalu meletakkan papan catur di antara kami.

Seketika, dia benar-benar membuatku canggung. Kata-kata berseliweran di benakku, dan aku bingung harus mengucapkan yang mana. Seperti sebelum-sebelumnya, aku sulit mengiyakan ajakannya itu. Terbayang olehku, rasanya akan seperti di neraka saja jika berhadapan dengannya pada jarak kurang dari semeter, dalam waktu yang lama. Belum lagi, beberapa pasang mata akan memandang kebersamaan kami secara sinis, seakan-akan mengatakan kalau aku tak pantas dekat-dekat dengannya.

Tapi kali ini, aku tak hendak menolak tawarannya untuk ke sekian kali, sebab ia bisa kecewa. “Baiklah, aku coba!"

Hampir satu jam kami kami beradu kecerdikan waktu itu. Begitu lama aku harus menunduk dan memandang kosong pada anak-anak caturku. Kikuk jika saling menatap. Hanya sekali-kali saja aku meluruskan pandangan ke arahnya. Kutatap selintas gigi gingsulnya, juga lesung pipinya yang timbul tenggelam. Satu rona keindahan yang mampu membuyarkan konsentrasiku. Hingga aku pun kalah. Tapi tak mengapa. Aku memang tak bersungguh-sungguh hendak mengalahkannya. Melihat kegirangan di wajahnya saja, sudah menjadi kemenangan yang tak terkira bagiku.

“Ridho, lihatlah langit yang jingga di sana. Bentuknya tampak menyerupai lambang hati. Indah, kan?” ketusnya seusai mengalahkanku, kala kami tengah duduk di satu bangku, menghadap ke tepi barat, memandang langit sore.

Aku mengangguk untuk membenarkan penilaiannya.

Kami pun saling mendiamkan. Menatap saja pada langit jingga dengan tafsir rasa yang mungkin berbeda.

Dan sepanjang waktu setelah peristiwa tentang kami dan langit jingga, aku pun pergi jauh darinya, beserta buku motivasi hidup yang ia berikan padaku. Aku diterima sebagai programer perangkat lunak pada sebuah perusahaan teknologi, di kota seberang. Maka kucobalah untuk membunuh kekaguman padanya. Kucoba untuk melupakannya. Tapi, usaha itu tak pernah benar-benar berhasil. Buku darinya, juga segala yang telah kami lalui, membuatku selalu terkenang padanya.
Bersama dengan kenangan lalu yang membuncah di kepalaku, aku pun meneruskan penelusuran untuk mencari rumah Pak Wildan. Kuarahkan motorku menuju titik yang telah ditunjukkan oleh perempuan kenanganku. Hingga, lima menit berlalu, sampailah aku di rumah megah Pak Wildan setelah kembali bertanya lagi pada beberapa warga yang lain. Tak lama kemudian, muncullah Ibu Sari, istri Pak Wildan, yang kini tampak tua dan membungkuk.

Seketika, ia menatapku lekat-lekat. Dan, ia pun berhasil membaca wajahku. “Kau di mana saja selama ini, Nak?”tanyanya, sambil menuntunku ke arah dalam rumah.

Aku pun melangkah seiring dengannya, kemudian menuturkan, “Aku bekerja di sebuah perusahaan IT, Bu," kataku, kemudian duduk pada sebuah sofa yang empuk. "Bapak di mana? Aku sungguh merindukannya juga. Kebaikan Ibu dan Bapak di masa lalu, tak akan pernah kulupakan."

Ia menunduk dengan raut wajah yang lesu. “Bapak sudah meninggal setahun yang lalu," katanya.

"Innalillahi wainnailaihi rajiun." Perasaanku jelas tersentak. Bagaimana bisa ia telah tiada, sedang aku belum sempat membalas kebaikannya.

"Tapi sudahlah, Nak. Kau tak perlu merasa berutang budi padaku atau pada almarhum," pintanya, sambil mengusap-usap punggungku.

Tanpa terasa, tiga jam pun berlalu, dan kami tak kehabisan bahan untuk membahas sosok Pak Wildan, atau bertukar informasi tentang kehidupan kami sepanjang waktu perpisahan. Hingga akhirnya, suasana kurasa berubah ketika sosok perempuan yang kutemui di sudut jalan, bertandang juga ke rumah Pak Wildan. Sesosok wanita yang mengingatkanku pada satu kenangan di penghujung hari yang jingga.

Lekas, Ibu Sari menjelaskan, “Kenalkan, ini Lian, anakku," katanya. "Kalian pasti sudah saling mengenal, kan? Setahuku, kalian pernah sekelas di waktu SMA dulu."

Aku pun menatap perempuan itu, penuh tanya. Bagaimana bisa aku tak tahu kalau dia adalah anak Pak Wildan?

Sedang ia, tampak mengernyitkan dahi. Seperti mencoba memutar kembali gambaran masa lalu untuk menemukan aku di sana.

Sigap, sebagai lelaki, aku pun memperkenalkan diri dan berharap ia lekas mengingatku, “Aku Ridho, teman sekelasmu dahulu."

Perlahan, raut wajahnya berubah semringah. “Kau sang master catur itu, kan?"

Aku mengangguk. “Iya. Akulah yang kau taklukkan di penghujung hari yang jingga?” terangku.

Dan akhirnya, kami pun mengulas kembali cerita yang telah lalu. Hanya berdua, setelah Ibu Sari pergi untuk urusan tertentu. Kami mengulas segala yang terkenang. Hingga di penghujung percakapan, aku lalu berkisah tentang ayahnya, sosok dermawan yang menanggung semua biaya perawatanku setelah jadi korban tabrak lari seorang pengendara mobil, sembilan tahun lalu. Berkisah kalau ayahnya pula yang memberikan aku kaki buatan, hingga aku bisa berlagak normal semasa SMA.

“Andaikan ayahmu masih ada, aku akan korbankan apa pun untuknya,” kataku, sepenuh hati.

Dia terdiam beberapa lama, sambil menunduk, menutupi wajahnya. Seketika, ia pun bergegas menuju ke dalam satu ruangan, membawa serta tangisannya. Hingga tak berlangsung lama, ia menghampiriku kembali, sembari menenteng sebuah berkas. 

“Ini. Wasiat ayahku sebelum meninggal,” katanya, sambil menyodorkan map berwarna hijau. 

Aku menyambutnya, dan berusaha menyibak rahasia itu selekas mungkin.

Ia berusaha menahanku. “Sebelum kau membaca wasiat itu, aku ingin kau mengiyakan satu pintaku.”

Aku jadi semakin penasaran. "Apa pun permintaanmu, pasti akan kulakukan.”

“Menikahlah denganku,” pintanya seketika, sambil menatapku penuh harap.

Aku semakin tak mengerti. “Maksudmu?"

Dia hanya menggeleng, sambil meneruskan tangisnya yang semakin menjadi-jadi. 

Perlahan kubukalah seberkas wasiat itu, lalu kubaca dengan setumpuk tanya dan rasa penasaran. Coba kueja setiap rangkaian kata secara baik-baik, agar aku tak salah tafsir. Hingga kupahamilah, kenapa bisa Lian memperlakukan diriku secara istimewa, sepanjang waktu. Kupahamilah, kalau sesungguhnya ia mencoba membalas rasa bersalah ayahnya kepadaku, yang telah membuat aku menjadi seorang tunadaksa.

Kuakui, setelah di penghujung hari yang jingga itu, aku selalu berkhayal untuk bersanding dengannya seumur dunia. Tapi tentang pintanya untuk sebab yang telah kuketahui, aku merasa berat. Aku tak ingin memerangkap ia dalam cinta yang terpaksa, yaitu pada cinta yang mengorbankan cinta. Yang aku inginkan adalah cinta yang ikhlas, bukan cinta yang harus ia tanggung atas peristiwa yang bukan kesalahannya sendiri.

Selasa, 16 September 2014

Cinta Fatamorgana

Aku dalam pertempuran yang besar
Tentang kau yang liar pun, kubiarkan saja menari
Kulihat tanpa rasa setiap perhiasan di ragamu
Ingatlah, kau suka memamerkannnya tanpa kuminta

Entahlah, dirasuki apa kau menutup diri
Kau berharapkah kubertanya kau di mana?
Atau aku akan rindu dan menagih melihat tahi lalat di lehermu

Sudahlah, hanya benci memikirkan sedalam rasa pun coba kubunuh

Kuakui, pernah setanmu berhasil mengusap mata batinku
Mengajakku bermain di taman mimpi penuh dosa
Bahkan hingga kulawan kebenaran batinku
Bahwa memandang bola matamu terlalu lama adalah dosa

Syukurlah, Dia menuntunku selalu terjaga  
Mencari bekas jejakmu semasa kau mencari dirimu sendiri
Kudapati kau pernah sengaja tersesat pada tak terhitung sosok
Yang mendakatimu ketika mereka kehausan, dan kau balas “silakan”

Akhirnya kuseret lagi kakiku menapaki jalan kesucian, gilakah?
Jika pun bukan kau, tapi sebangsamu memilih tersesat juga
Akan kulawan kodrat, jika sejatinya aku harus bertanya siapa, kapan, di mana?

Tak usah menangis karena aku tak akan terharu