Senin, 11 Januari 2021

Dunia Sinetron

Pagi baru saja berlalu. Seperti hari-hari sebelumnya, selepas menonton gosip tentang selebritas yang penuh sensasi, Yulia akan duduk santai di sofa, sambil menyaksikan film FTV favoritnya. Sebuah film bernuansa sinetron yang setiap hari berganti topik, namun tetap setia mengangkat masalah keharmonisan keluarga akibat persoalan ekonomi.

Setelah berada pada posisi terenaknya itu, Yulia akan fokus pada layar. Ia pun akan menjadi sangat sensitif pada perkara kecil, sebab bisa saja mengganggu dan mengusik kekhidmatannya dalam menikmati adegan demi adegan. Karena itulah, sebelum film itu tayang, ia telah menyiapkan segala keperluannya agar tak perlu ke mana-mana, meski iklan sekali pun.

Dan sesi kali ini, sungguh menggairahkan baginya. Ia menyimak film yang sangat lekat dengan kenangan dan kenyataan hidupnya. Sebuah cerita tentang gadis kampung yang berhasil memikat hati anak pemilik perusahaan yang sedang datang berlibur di desa. Lalu, gadis kampung itu pun dinikahi sang pewaris perusahaan, hingga ia hidup bergelimangan harta.

Menyaksikan cerita film yang baru berlangsung sepenggal itu, seketika membuat Yulia hanyut ke dalam masa lalunya. Ia kembali mengingat bahwasanya dahulu, ia hanyalah gadis yatim yang miskin. Ayahnya meninggal saat ia berumur 6 tahun, sehingga ia terpaksa hidup dengan menggarap lahan sempit untuk menanam jagung bersama ibunya.

Namun nasib baik berpihak padanya. Ia berjodoh dengan seorang lelaki, anak kepala desa, teman sekolahnya, yang telah berhasil menjadi pengusaha pengolahan jagung untuk menjadi pakan ternak. Seorang lelaki yang terbilang kaya dan membuatnya tak lagi kekurangan apa-apa. Setidaknya, ia punya rumah yang mewah, dua mobil, dan rutinitas untuk berlibur ke mana saja.

Atas kemiripan kisahnya dengan film itu, Yulia yang terus merenung-renungkan perubahan hidupnya, jadi tak ingin melewatkan secuil pun adegan. Apalagi, di sisa sepertiga cerita, konfliknya semakin krusial, sehingga ia jadi tak sabar untuk menjumpai akhir cerita yang ia harap menyenangkan, serupa dengan harapannya atas rumah tangganya sendiri.

Namun tanpa terkira, segelas sirup rasa jeruk sebagai pendamping tontonannya, telah tandas tanpa sisa dan mengusik suasana nyamannya. Maka, ia pun segera menyoraki pembantunya untuk membuatkan sirup baru semasih tayangan iklan berlangsung. Dan setelah mengulang-ulang sorakan yang memancing emosinya, Tina, sang pembantu, akhirnya menerima perintah.

Tina yang sedari tadi berada di kamar kecilnya sembari menyaksikan sinetron yang sama dengan tontonan sang nyonya, bergerak cepat meracik sirup rasa jeruk dengan takaran yang pas, sesuai dengan pengalaman pelayanannya selama ini. Apalagi ia tahu kalau salah rasa sedikit saja dapat memancing amarah, atau setidaknya kritikan yang pedas dari sang nyonya.

Setelah beberapa saat, Tina pun bergegas membawa segelas sirup di atas baki kepada sang nyonya. Tetapi karena ketidaksabarannya melanjutkan tontonan secara rahasia, dan perhatiannya yang tertuju pada kelanjutan film di depan sang nyonya, tangannya pun salah bergerak. Sampai akhirnya, segelas sirup yang sedianya diletakkan di atas meja, malah tumbang dan memerciki bagian celana sang nyonya yang sedang gemas-gemasnya menyimak cerita.

Sontak, Yulia yang sangat terusik pun bangkit. “Aduh! Goblok!” bentaknya, dengan mata membelalak.

“Maaf, Nyonya. Aku tidak sengaja,” tutur Tina dengan raut penuh sesal dan sikap badan yang membungkuk.

“Dasar, pembantu bodoh!” hardik Yulia, lagi.

“Maaf, Nyonya,” ulang Tina.

“Kau ini! Jadi pembantu, harus beres-beres kalau kerja! Masa urusan begini saja tidak becus!” kesal Yulia. “Ingat ya, kau ini hanya yatim piatu miskin yang beruntung aku pekerjakan di rumah ini. Jadi, kalau kau melakukan kebodohan seperti ini lagi, aku akan memecat dan memulangkanmu ke kampung.”

Tina hanya menunduk. Apalagi, perkataan Yulia memang benar, bahwa ia hanyalah gadis kampung, sepupu jauh sang nyonya, yang datang untuk mencari penghidupan, sehingga ia mesti bekerja dengan sebaik-baiknya. “Sekali lagi, aku minta maaf, Nyonya.”

Emosi Yulia pun mulai terkendali. “Sudah!” katanya. “Cepat, bereskan!”

Seketika, Tina pun mengelap tumpahan sirup dari hasil keteledorannya itu, sedang Yulia bergeser ke sisi sofa yang lain, dan kembali melanjutkan tontonannya.

Dan atas rasa penasarannya juga atas kelanjutan cerita film itu, diam-diam, Tina pun melirik-lirik layar tontonan sang nyonya.

Sedang pada posisi barunya, Yulia menjadi semakin emosional menyaksikan lakon di layar televisi. Apalagi, jalan ceritanya tampak melenceng dari akhir yang ia harapkan.

Hingga akhirnya, tayangan iklan kembali menyela sebelum cerita film itu benar-benar tamat.

Yulia menarik napas dalam-dalam, seperti mencoba menenangkan emosinya. “Hai, cepat, buatkan aku sirup!”

Setengah kaget, Tina pun bergegas pergi dengan perasaan dongkol. Sesampainya di ruang dapur, ia pun kembali meracik segelas sirup yang baru, sembari berharap film itu berakhir dengan cerita yang menyakitkan bagi sang nyonya, sebagaimana lazimnya akhir cerita seri-seri film itu sebelumnya: sang suami berselingkuh dan mencampakkan istrinya.

Beberapa saat kemudian, Yulia pun kembali meneriakkan titahnya.

Lekas saja Tina menghadap sang nyonya sambil membawa segelas sirup pengganti. Dan saat meletakkan sirup itu di atas meja dengan sangat hati-hati, Tina pun melihat tingkah sang nyonya yang semakin geregetan menyaksikan lakon film itu, seperti larut dalam kemarahan dan kesedihan secara bersamaan.

“Ah, malangnya nasibmu!” ketus Yulia, setelah menyaksikan pemeran istri di layar kaca menangis usai memergoki pemeran suami berselingkuh dengan pemeran pembantu rumah tangganya.

Dengan perasaan senang, Tina pun berbalik badan, lalu melangkah menuju kamarnya untuk menamatkan cerita film yang akan menandaskan dendamnya kepada sang nyonya atas perlakuan kasar yang telah ia dapat. Sampai akhirnya, masuklah sebuah pesan singkat di ponselnya. Sebuah pesan dari tuannya: Dik, aku pulang dari luar kota malam ini. Jangan lupa buatkan aku nasi goreng kesukaanku, ya, Sayang!

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar