Senin, 11 Januari 2021

Dunia Sinetron

Pagi baru saja berlalu. Seperti hari-hari sebelumnya, selepas menonton gosip tentang selebritas yang penuh sensasi, Yulia akan duduk santai di sofa, sambil menyaksikan film FTV favoritnya. Sebuah film bernuansa sinetron yang setiap hari berganti topik, namun tetap setia mengangkat masalah keharmonisan keluarga akibat persoalan ekonomi.

Setelah berada pada posisi terenaknya itu, Yulia akan fokus pada layar. Ia pun akan menjadi sangat sensitif pada perkara kecil, sebab bisa saja mengganggu dan mengusik kekhidmatannya dalam menikmati adegan demi adegan. Karena itulah, sebelum film itu tayang, ia telah menyiapkan segala keperluannya agar tak perlu ke mana-mana, meski iklan sekali pun.

Dan sesi kali ini, sungguh menggairahkan baginya. Ia menyimak film yang sangat lekat dengan kenangan dan kenyataan hidupnya. Sebuah cerita tentang gadis kampung yang berhasil memikat hati anak pemilik perusahaan yang sedang datang berlibur di desa. Lalu, gadis kampung itu pun dinikahi sang pewaris perusahaan, hingga ia hidup bergelimangan harta.

Menyaksikan cerita film yang baru berlangsung sepenggal itu, seketika membuat Yulia hanyut ke dalam masa lalunya. Ia kembali mengingat bahwasanya dahulu, ia hanyalah gadis yatim yang miskin. Ayahnya meninggal saat ia berumur 6 tahun, sehingga ia terpaksa hidup dengan menggarap lahan sempit untuk menanam jagung bersama ibunya.

Namun nasib baik berpihak padanya. Ia berjodoh dengan seorang lelaki, anak kepala desa, teman sekolahnya, yang telah berhasil menjadi pengusaha pengolahan jagung untuk menjadi pakan ternak. Seorang lelaki yang terbilang kaya dan membuatnya tak lagi kekurangan apa-apa. Setidaknya, ia punya rumah yang mewah, dua mobil, dan rutinitas untuk berlibur ke mana saja.

Atas kemiripan kisahnya dengan film itu, Yulia yang terus merenung-renungkan perubahan hidupnya, jadi tak ingin melewatkan secuil pun adegan. Apalagi, di sisa sepertiga cerita, konfliknya semakin krusial, sehingga ia jadi tak sabar untuk menjumpai akhir cerita yang ia harap menyenangkan, serupa dengan harapannya atas rumah tangganya sendiri.

Namun tanpa terkira, segelas sirup rasa jeruk sebagai pendamping tontonannya, telah tandas tanpa sisa dan mengusik suasana nyamannya. Maka, ia pun segera menyoraki pembantunya untuk membuatkan sirup baru semasih tayangan iklan berlangsung. Dan setelah mengulang-ulang sorakan yang memancing emosinya, Tina, sang pembantu, akhirnya menerima perintah.

Tina yang sedari tadi berada di kamar kecilnya sembari menyaksikan sinetron yang sama dengan tontonan sang nyonya, bergerak cepat meracik sirup rasa jeruk dengan takaran yang pas, sesuai dengan pengalaman pelayanannya selama ini. Apalagi ia tahu kalau salah rasa sedikit saja dapat memancing amarah, atau setidaknya kritikan yang pedas dari sang nyonya.

Setelah beberapa saat, Tina pun bergegas membawa segelas sirup di atas baki kepada sang nyonya. Tetapi karena ketidaksabarannya melanjutkan tontonan secara rahasia, dan perhatiannya yang tertuju pada kelanjutan film di depan sang nyonya, tangannya pun salah bergerak. Sampai akhirnya, segelas sirup yang sedianya diletakkan di atas meja, malah tumbang dan memerciki bagian celana sang nyonya yang sedang gemas-gemasnya menyimak cerita.

Sontak, Yulia yang sangat terusik pun bangkit. “Aduh! Goblok!” bentaknya, dengan mata membelalak.

“Maaf, Nyonya. Aku tidak sengaja,” tutur Tina dengan raut penuh sesal dan sikap badan yang membungkuk.

“Dasar, pembantu bodoh!” hardik Yulia, lagi.

“Maaf, Nyonya,” ulang Tina.

“Kau ini! Jadi pembantu, harus beres-beres kalau kerja! Masa urusan begini saja tidak becus!” kesal Yulia. “Ingat ya, kau ini hanya yatim piatu miskin yang beruntung aku pekerjakan di rumah ini. Jadi, kalau kau melakukan kebodohan seperti ini lagi, aku akan memecat dan memulangkanmu ke kampung.”

Tina hanya menunduk. Apalagi, perkataan Yulia memang benar, bahwa ia hanyalah gadis kampung, sepupu jauh sang nyonya, yang datang untuk mencari penghidupan, sehingga ia mesti bekerja dengan sebaik-baiknya. “Sekali lagi, aku minta maaf, Nyonya.”

Emosi Yulia pun mulai terkendali. “Sudah!” katanya. “Cepat, bereskan!”

Seketika, Tina pun mengelap tumpahan sirup dari hasil keteledorannya itu, sedang Yulia bergeser ke sisi sofa yang lain, dan kembali melanjutkan tontonannya.

Dan atas rasa penasarannya juga atas kelanjutan cerita film itu, diam-diam, Tina pun melirik-lirik layar tontonan sang nyonya.

Sedang pada posisi barunya, Yulia menjadi semakin emosional menyaksikan lakon di layar televisi. Apalagi, jalan ceritanya tampak melenceng dari akhir yang ia harapkan.

Hingga akhirnya, tayangan iklan kembali menyela sebelum cerita film itu benar-benar tamat.

Yulia menarik napas dalam-dalam, seperti mencoba menenangkan emosinya. “Hai, cepat, buatkan aku sirup!”

Setengah kaget, Tina pun bergegas pergi dengan perasaan dongkol. Sesampainya di ruang dapur, ia pun kembali meracik segelas sirup yang baru, sembari berharap film itu berakhir dengan cerita yang menyakitkan bagi sang nyonya, sebagaimana lazimnya akhir cerita seri-seri film itu sebelumnya: sang suami berselingkuh dan mencampakkan istrinya.

Beberapa saat kemudian, Yulia pun kembali meneriakkan titahnya.

Lekas saja Tina menghadap sang nyonya sambil membawa segelas sirup pengganti. Dan saat meletakkan sirup itu di atas meja dengan sangat hati-hati, Tina pun melihat tingkah sang nyonya yang semakin geregetan menyaksikan lakon film itu, seperti larut dalam kemarahan dan kesedihan secara bersamaan.

“Ah, malangnya nasibmu!” ketus Yulia, setelah menyaksikan pemeran istri di layar kaca menangis usai memergoki pemeran suami berselingkuh dengan pemeran pembantu rumah tangganya.

Dengan perasaan senang, Tina pun berbalik badan, lalu melangkah menuju kamarnya untuk menamatkan cerita film yang akan menandaskan dendamnya kepada sang nyonya atas perlakuan kasar yang telah ia dapat. Sampai akhirnya, masuklah sebuah pesan singkat di ponselnya. Sebuah pesan dari tuannya: Dik, aku pulang dari luar kota malam ini. Jangan lupa buatkan aku nasi goreng kesukaanku, ya, Sayang!

 

Pencerita Rahasia

Berbulan-bulan sudah Marlina mendiami rumah barunya pada sebuah kompleks perumahan di pinggiran kota ini. Ia datang dari kota seberang setelah dimutasi pihak perusahaan telekomunikasi tempatnya bekerja. Namun bisa dibilang, hubungannya dengan para tetangga masih sangat dingin. Apalagi, sikapnya memang tertutup dan enggan turut dalam klub pergosipan ibu-ibu.

Sebenarnya, pada bulan pertama kedatangannya, Marlina tidaklah setertutup sekarang. Di hari-hari awal itu, ia tampak giat untuk berbaur ke dalam lingkungan barunya. Ia bahkan dengan penuh perhatian mengurus segala macam persyaratan pemindahan alamatnya ke pihak pemerintah, seolah yakin akan betah untuk menetap lama-lama di sini.

Sikap hangat dan aktif Marlina di awal itu, berhasil membuatnya dikenal sebagai pribadi yang baik oleh para tetangga. Terlebih bagi Ketua RT yang sangat senang atas sikapnya yang menghargai tertib administrasi ketika banyak pendatang yang masuk dan keluar kawasan pemerintahannya tanpa permisi. Dan karena itu pula, proses kepindahan dan adaptasinya sebagai penduduk baru, berlangsung lancar atas petunjuk dan bantuan sang Ketua RT.

Tetapi kini, Marlina berubah drastis. Ia tampak menghindari perjumpaan dengan orang-orang, dan lebih suka menutup diri di dalam rumahnya. Selain karena pekerjaannya memang hanya menuntut untuk berkantor sekali-kali, juga karena ia mengandung aib yang dengan mudah terbaca mata dan rawan menjadi bahan pergunjingan. Ia hamil dengan status lajang.

Sampai akhirnya, di bulan ke sepuluh kedatangannya, di malam ini, terjadilah peristiwa yang menggemparkan. Kabar cepat menyebar bahwa aku telah menemukan sebuah kardus berisi bayi yang baru saja dilahirkan, tepat di depan rumah Ketua RT. Dan para warga yang berkerumun meyakini saja bahwa bayi itu sengaja dibuang orang tua yang tak menghendaki kelahirannya, sebab bersamanya, terdapat kertas bertuliskan: Tolong rawat bayi ini.

Dan seperti seharusnya, di sela-sela warga, aku pun melihat Marlina, seorang yang tiada lain adalah ibu dari si bayi. Ia datang dengan raut yang tampak lemah setelah baru saja, beberapa jam yang lalu, ia berhasil melahirkan anak itu seorang diri, di dalam kamar mandi rumahnya. Tetapi ia memang mesti memaksakan diri untuk datang agar para warga tak sedikit pun terpikir untuk mengetahuinya sebagai ibu bayi.

Hingga seiring waktu, warga pun semakin ramai berkumpul, sembari bersuara-suara tentang akan diapakan bayi itu selanjutnya. Penyataan dan pertanyaan mereka terus terdengar. Sampai akhirnya, karena penemuan bayi itu terjadi di depan rumahnya, dengan pesan yang seolah memang ditujukan untuknya, Ketua RT pun mengabil sikap, “Jangan melapor kepada pihak kepolisian,” katanya, setelah aku melontarkan pertanyaan. “Perkaranya akan semakin rumit jika berurusan dengan hukum.”

“Lalu, akan kita apakan bayi ini jika kita tidak tahu siapa yang mesti bertanggung jawab,” tanyaku lagi.

“Aku yang akan bertanggung jawab. Aku akan mengadopsinya,” tutur Ketua RT dengan sikap tenang.

Seketika, para warga tampak heran. Mereka seolah meragukan kemampuan Ketua RT untuk merawat bayi itu. Bukan karena soal finansial, tetapi karena sang Ketua RT adalah lajang yang tinggal seorang diri di rumahnya. Mereka tentu khawatir kalau Ketua RT tak mampu menunaikan dan menyeimbangkan tugasnya sebagi pelayan warga, karyawan perusahaan swasta, serta sebagai seorang ayah dan ibu untuk bayi itu.

“Apakah Bapak sungguh-sungguh dan sanggup merawatnya?” tanyaku lagi.

Dengan raut yang tampak haru, Ketua RT pun menegaskan keyakinannya. “Jangan meragukan aku. Anak ini pasti kujaga dengan sebaik-baiknya.”

Aku lekas bertanya lagi, “Tetapi bagaimana? Bapak kan tidak punya siapa-siapa untuk membantu mengurusnya?”

“Bulan depan, aku akan menikahi seorang perempuan untuk menjadi ibunya!” balas Ketua RT, tegas.

Seketika saja, para warga tampak terkesima menyaksikan kesungguhan Ketua RT, sedang Marlina terdiam saja dengan raut tanpa emosi.

“Memangnya, calon istri Bapak siapa?” tanya seorang warga yang lain.

Ketua RT tersenyum singkat. “Besok-besok, Bapak pasti tahu.”

Detik demi detik berganti.

Perlahan-lahan, para warga pun pulang ke rumahnya masing-masing dengan membawa bahan perbincangan baru yang tak kalah menarik ketimbang rahasia di balik asal-usul bayi itu: siapa wanita yang akan dinikahi Ketua RT.

Namun sebagai penemu pertama bayi itu, dan sebagai orang kepercayaan Ketua RT, aku sungguh mengerti tentang rencana jalan ceritanya, bahwa Pak RT akan menikahi ibu kandung anak itu untuk meresmikan hubungan keluarga kecilnya dalam tali pernikahan.


Benteng Kesucian

Perasaan adalah buah pertikaian:
Langit menyemai cinta sepenuh hati
Tertanam dan mengabadi sebagai nurani
Menjadi temeng manusia dalam menaklukkan dirinya
Sebab dunia selalu bernafsu merasuki jiwa dan mendatangkan kerumitan
Untuk membenci yang semestinya dicintai dan mencintai yang semestinya dibenci
 

Pinang dan Sirih

Akhirnya, Agus menapakkan kakinya di sebuah pasar tradisional dengan perasaan setengah malas. Bukan karena ia tipe orang yang gengsi dan jijik membaur di lingkungan yang sesak dan pengap semacam itu, tetapi karena ia ogah-ogahan menuntaskan sebuah misi pesanan. Ia mesti membeli bahan-bahan pangan untuk penyelenggaraan pesta selamatan rumah barunya esok hari.

Agus sungguh membenci keribetan pesta, meski untuk selamatan sekali pun. Bukan berarti ia tak bersyukur telah berhasil menghuni rumah baru di tepian kota, tetapi karena itu dirasanya sebagai perayaan berlebihan. Selain terhitung perborosan ketika ia masih menanggung angsuran selama belasan tahun, juga karena itu tak sejalan dengan pemahaman agamanya yang sederhana dan lurus-lurus saja, yang menghindari unsur foya-foya dan adat istiadat.

Tetapi bagaimana pun, kehendak ibu mertuanya yang datang jauh-jauh dari kampung, adalah sebuah perintah yang sangat sukar ditawar-tawar. Selain karena menolak dan mendebatnya dapat mengganggu keharmonisan hubungan antar dua keluarga besar, juga dapat merusak nama baiknya sebagai menantu idaman yang sedari dulu berusaha ia jaga.

Dengan kepatuhan yang terpaksa, akhirnya, ia pun menyusuri lingkungan pasar untuk membeli segala macam pesanan yang tercatat di secarik kertas. Ia mesti bersabar untuk mondar-mandir ke segala sisi demi mendapatkan pesanannya satu per satu. Apalagi, sebagai warga pendatang baru, ia belum menghapal betul medan pasar yang baru ia kunjungi untuk kedua kalinya.

Setelah berkali-kali bolak-balik, tergetnya pun rampung. Ia telah membeli beras, ayam kampung, sayur-mayur, serta segala macam bumbu. Maka ia pun melangkah pulang untuk segera menyerahkan hasil perburuannya. Tetapi tiba-tiba, perhatiannya tertuju pada seorang perempuan tua yang menggelar lapaknya di teras gedung pertokoan pasar, tepat di samping gerbang masuk.

Seketika, Agus merasa iba melihat perempuan berdaster lusuh dan bertudung sarung itu. Ia merasa kalau sang nenek telah memenuhi kriteria sebagai pedagang kecil yang memprihatinkan. Selain karena penampilannya yang tidak menarik di tengah bisnis jual beli yang turut memperdagangkan harga diri, juga karena dagangannya sekadar buah pinang dan daun siri.

Atas tampakan itu, Agus pun menjadi kasihan kalau-kalau sang nenek akan memulangkan jualannya tanpa ada yang laku. Apalagi sepengetahuannya, pinang dan sirih dalam bentuk alami, hanya berguna untuk nyirih orang-orang tua yang kini tak pernah lagi ia jumpai. Maka ia pun memutuskan untuk membeli dagangan sang nenek dalam jumlah banyak, tanpa menawar.

Tentu saja sang nenek sangat senang. Mata tuanya berkaca-kaca, seperti tatapan kesima anak kecil yang mendapatkan hadiah. Dan rona kesenagan itu sungguh membuat Agus merasa terharu, seolah-olah ia telah melakukan kebajikan yang mulia. Ia merasa telah bertindak tepat untuk tidak mengabaikan sang nenek, sehingga ia terhindar dari kutukan nuraninya sendiri.

Beserta perasaan yang tenteram, Agus lantas pulang membawa semua barang beliannya dengan mobil, sambil terus memikir-mikirkan tentang peruntukan pinang dan sirih itu. Apalagi, orang-orang di rumahnya pasti akan mempertanyakan alasan ia membeli dua bahan di luar pesanan itu. Hingga ia pun berencana menguraikan alasan sesuai pengetahuan umumnya, bahwa pinang dan sirih baik untuk kesehatan mulut dan gigi.

Setelah menempuh perjalannya yang sebentar, Agus pun sampai di rumahnya. Dengan cepat, orang-orang rumah datang menyambut barang-barang dari dalam mobil. Barang-barang itu lalu mereka bawa dan gelar di area dapur. Sampai akhirnya, apa yang ia duga benar-benar terjadi. Istrinya segera melontarkan pertanyaan setelah menemukan pinang dan sirih itu di antara bahan-bahan pesanan.

“Pak, untuk apa buah pinang dan daun sirih ini?” tanya sang istri.

Tanpa pengalaman soal cara penggunaan pinang dan sirih, Agus pun tiba-tiba kikuk menguraikan alasan yang sedari tadi berada di dalam pikirannya. “Mmm, anu…”

“Ah, bagus,” sela ibu mertuanya seketika. “Untung saja Agus membeli pinang dan sirih. Kita lupa menulisnya di catatan. Padahal itu penting,”

Sang istri lekas menyelidik, “Memangnya, untuk apa, Bu?”

Dengan raut semringah, sang mertua pun menjelaskan, “Nanti malam, Kakekmu akan datang. Ia akan memimpin doa-doa esok hari. Nah, pinang dan sirih sangat perlu dan harus ada dalam upacara adat semacam itu.”

Seketika, jiwa puritan Agus tersentak.

“Oh, iya. Di kampung kan memang selalu begitu,” tanggap sang istri.

“Ah, kalian ini memang sudah jauh dari adat dan tradisi. Sudah lupa pada leluhur,” tutur ibu mertuanya. “Kalian harus banyak belajar dari para tetua.”

Mendengar itu, Agus hanya mematung bodoh dengan perasaan bergejolak.

“Nah, perhatikanlah. Aku akan mengajarkan kepada kalian bagaimana tata cara membungkus belahan buah pinang dengan daun sirih untuk digunakan dalam upacara adat,” ajak sang mertua. “Kalian harus paham juga soal-soal beginian.”

Agus menurut saja tanpa daya untuk menyanggah, atau sekadar menghindar. 

 

Menarikan Hidup

Ketika hidup ditafsir sebagai perjalanan
Kematian tak akan lagi menakutkan
Dan jiwa kita bebas menikmati derita
Dengan menari riang seirama waktu
Seperti burung yang dihempaskan angin
Seperti ikan yang dihanyutkan ombak
Seperti cacing yang dikuburkan tanah
Seperti kita yang dipermainkan dunia

Cita Hidangan

Masa perkenalan dalam waktu sesaat, ternyata tidak membuat Sumi ragu untuk menerima pinangan Burjan. Meski belum benar-benar saling memahami watak masing-masing, Sumi yakin bahwa ia telah menemukan belahan jiwanya. Dan sebaliknya, Burjan pun merasa telah menemukan pendamping hidupnya. Hingga dalam dua bulan perkenalan, mereka akhirnya menikah.

Tetapi sesi pendekatan ternyata memang hanya menampakkan sisi-sisi yang menawan di antara mereka. Hanya berusaha saling menyenangkan, sehingga mereka tak pernah saling menampakkan watak mereka yang sesungguhnya. Sampai akhirnya, seiring waktu, Sumi tahu kalau Burjan adalah orang yang keras kepala, dan Burjan pun menilai Sumi lebih keras kepala.

Perkara yang sering kali menjadi bahan pertengkaran mereka adalah cita rasa hidangan yang tersaji di atas meja makan. Pasalnya, Burjan tak pernah merasa puas atas hasil masakan Sumi. Ia selalu merasa kalau cara Sumi mencampuradukkan bumbu, tak pernah pas. Sedangkan kritik dan saran yang berulang kali ia lontarkan soal itu, seolah tak berarti apa-apa.

Tetapi sebaliknya, Sumi merasa kalau masakannya adalah yang terbaik. Ia memang tak menggunakan bumbu secara berlebihan, sebab baginya, selain enak, sisi kesehatan dari makanan juga harus tetap diperhatikan. Karena itulah, masakannya acap kali dinggap kurang garam, atau seduhannya dianggap kurang gula, karena ia berusaha menjaga takaran sehat itu.

Atas ketidaksepakatan terhadap cita rasa hidangan, Burjan merasa Sumi tak bisa membahagiakan lidahnya. Atau sebenarnya, memang tidak mau. Padahal itu terjadi karena Sumi labih fokus meniatkan hidangan untuk kesehatan suaminya itu. Bagaimana pun, ia mencintai sang suami meski selalu menyalahpahaminya, dan ia ingin mereka berdua sehat dan saling menjaga sepanjang usia.

Sampai akhirnya, delapan bulan yang lalu, pada satu malam, pertengkaran hebat kembali terjadi di antara mereka. Pasalnya, Burjan yang selama ini doyan jajan di luar secara sembunyi-sembunyi, mulai terang-terangan menolak untuk menyantap masakan Sumi. Bahkan tanpa segan, ia membawa jajanannya untuk pagi, siang, dan malam di atas meja makan, sembari menyepelekan masakan sang istri.

“Hidangan yang aku sajikan, semuanya untuk kebaikan Bapak!” tegas Sumi dengan penuh kekecewaan, setelah mereka berperang kata dan saling menyudutkan. “Aku ingin kesehatan Bapak tetap terjaga, agar kita bisa melakukan apa saja secara bersama-sama.”

Dengan sikap tak peduli, Burjan terus saja menyantap potongan daging sapi dan nasi goreng jajanannya, tanpa sayur, sambil sesekali menyelinginya dengan minuman bersoda. Sedang di sampingnya, tudung saji menutup nasi merah, sayur kelor, dan ikan rebus masakan sang istri, yang tak sedikit pun ia makan.

“Kalau bapak terus-terusan makan makanan yang tak sehat begitu, aku khawatir kesehatan Bapak akan terganggu. Bapak akan menjadi semakin gemuk, dan tekanan darah Bapak akan meninggi,” kesal Sumi atas keprihatinannya. “Di usia yang terus bertambah, seharusnya kita lebih sadar untuk menjaga pola makan.”

Burjan yang tetap saja cuek, akhirnya menandaskan santapannya, lalu membersihkan tangannya dengan tisu. Lekas kemudian, ia menggamit sebatang rokok yang segera ia nikmati dengan segelas kopi yang ia beli di sebuah kedai. Setelah berserdawa puas, ia kemudian membalas, “Mulai sekarang, Ibu tak usah lagi memasak porsi makanan yang banyak. Aku lebih suka makan makanan di luar, sehingga tak baik kalau masakan Ibu basi dan mubazir.”

Dengan perasaan dongkol dan kecewa, Sumi tak lagi membalas, dan perintah sang suami itu dipatuhinya serupa perjanjian. Selama lima bulan, Burjan pun memuaskan dirinya dengan hidangan yang ia beli dari warung dan restoran. Sampai terjadilah apa yang diwanti-wanti Sumi: Burjan mengalami stroke yang membuat tubuhnya lumpuh sebelah di usia yang terbilang masih muda.

Akhirnya, dengan kondisi yang tidak berdaya untuk ke sana-sini membeli apa yang ia inginkan, mau tak mau, Burjan harus memaksa diri untuk menyantap setiap suapan makanan dari sang istri yang kukuh pada prinsip kesehatannya. Ia harus menyesuaikan seleranya dengan hidangan sang istri yang perlahan-lahan ia pahami memang baik untuk dirinya sendiri, meski butuh waktu lama untuk mengubah kebiasaan lidahnya.

Tetapi akibat dari pola makan tidak sehat yang berlangsung lama, kepasrahan cita rasa Burjan tidak mungkin mendatangkan kesembuhan secara cepat. Dokter bahkan telah mewanti-wanti bahwa proses penyembuhan Burjan akan lama. Apalagi ia telah mengidap segala macam keadaan tubuh yang krusial dan potensial berujung fatal. Tetapi demi harapan sembuh, proses fisioterapi yang ia jalani, terus saja dibarengi dengan asupan makanan yang sehat dan bergizi dari sang istri, sesuai anjuran dokter.

Hingga akhirnya, proses perawatan yang berlangsung selama tiga bulan yang lalu membuat keadaan Burjan perlahan membaik. Ia sudah bisa menggerakkan sisi badannya yang lumpuh, meski secara kaku. Ia sudah bisa melafalkan kata, meski terdengar gagu.

Dan pagi ini, Burjan kembali melakukan rutinitas penyembuhan yang sama seperti kemarin-kemarin. Setelah belajar berdiri dan berjalan dengan topangan sang istri, ia pun duduk di kursi rodanya, sembari berjemur dan menyaksikan sang istri mengurus tanaman bunga, obat-obatan, dan sayuran di halaman rumah.

Beberapa saat kemudian, Burjan lantas melihat istrinya berusaha memetik daun kelor di ujung cabang dengan galah, sambil bertumpu pada pondasi perbatasan halaman antartetangga. Namun entah bagaimana, kaki sang istri tiba-tiba terpeleset, hingga ia terjatuh dengan sisi balakang kepala yang mendarat tepat di sebuah batu penghias tananam, sampai ia jadi tak sadarkan diri.

Seketika, Burjan berusaha untuk segera menolong sang istri. Namun apa daya, ia tertahan saja dengan gerak tak keruan di sebelah tubuhnya. Hanya terus berharap kejaiban segera melenturkan kekakuan raganya. Hanya terus menyahutkankan pertolongan yang hanya terdengar sebagai dengungan huruf O yang panjang. Hingga ia terjatuh dari atas kursi rodanya, dan terkapar.


Sabtu, 09 Januari 2021

Arah Tak Sampai

Arti hidup sekadar fatamorgana:
Seniman melipur hati yang labil
Cendekiawan mendidik pikiran yang goyah
Olahragawan membangun raga yang rapuh
 
Manusia akan terdampar di persimpangan arah
Rencana berjalan, tetapi tujuan menghilang
Dan napas yang telanjur, terasa sia-sia
Dihantui mati tanpa mewariskan arti
 
Hidup, cukuplah hidup
Menentukan cita berarti menuju kecewa
Untuk sampai dan bertanya, “Apa gunanya?”
Untuk sampai dan bertanya, “Apa gunanya?”