Minggu, 20 Desember 2015

Buta!


Mereka pasti sangat bahagia. Hari ini, pernikahan mereka dilangsungkan. Penuh kejutan. Sebagaimana layaknya orang menemukan jodohnya. Mengesankan. Telah berhasil menyibak tabir rahasia yang dirisaukan separuh hidup. Sangat mengharukan pastinya. Seakan menjadi raja dan ratu. Duduk berdua di singgasana. Menatap masa depan berdua, di antara banyak pasang mata yang menyiratkan pesan. Ada yang turut bahagia, tapi ada juga yang kecewa, sebab harapannya untuk memiliki satu di antara mereka, kandas selamanya. Entahlah. Yang pasti, sudah tak akan ada yang boleh mengusik, karena ijab telah dikabul. Pintu hati telah tertutup untuk pendatang tak terhingga.

Keputusan Azra tak disangka banyak orang. Lelaki mapan dan tampan itu rela menambatkan hatinya pada Niza, seorang wanita yang dipandang tak serasi dengannya. Tekad Azra benar-benar kuat. Tak dihiraukannya gunjingan orang-orang tentang tampakan fisik sang istri. Cintanya sudah terlanjur terikat pada Niza, perempuan yang jauh dari kesan rupawan. Sebelah kanan pipinya, hampir mencapai bagian depan wajahnya, penuh dengan luka bakar. Membuat lesung pipinya yang dalam jadi tersamarkan. Sisi kanan kepalanya juga tak lagi ditumbuhi rambut. Jika tak ditutupi dengan bahan tata rias dan pernak-pernik mode, ia akan tampak menyeramkan. Tapi semua tak dipermasalahkan Azra. Ya, cinta memang buta.

“Aku mohon, menikahlah denganku Niza. Aku sungguh-sungguh,” pinta Azra lewat telepon, sehari sebelum lamaran.

Niza hanya diam tertegun. Menghela napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya secara tertahan-tahan. Sukmanya bergetar menggigil. Bak salju tiba-tiba mengguyur badannya. “Tapi…. Tidak Azra! Kau tak seharunya mengucapkan itu. Tak seharusnya kau terbebani atas kejadian yang menimpaku. Lagi pula, tak ada yang bisa memastikan bahwa musibah itu terjadi karena kesalahanmu. Cukup sampai di sini saja. Kau tak perlu memusingkan tentangku. Demi Tuhan, aku tak pernah menyalahkanmu atas semua ini, Azra,” balasnya.

“Tidak Niza. Aku benar-benar mengharapkanmu. Perasaanku tak pernah berubah dari dulu sampai sekarang. Sebelum ataupun setelah keadaanmu seperti sekarang, aku selalu mencintaimu. Sedikit pun tak berubah. Niza, aku ingin kau jadi istriku, bukan karena rasa bersalahku terhadapmu. Aku sungguh-sungguh Niza,” balas Azra terbata-bata.

Di ujung telepon, Niza hanya menangis. Tak berkata apa-apa lagi. Sambungan telepon lalu terputus. Sikap diam dan tangisan Niza itu dianggap Azra sebagai bentuk keharuan. Pernyataan kalau Niza menerima permohonannya. Keesokan harinya, lamaran pun dilangsungkan. Semua berjalan lancar, hingga akhirnya mereka benar-benar menikah. 

Niza menceritakan detail kisahnya dengan Azra padaku.

***

Sebelumnya, tak ada yang menduga bahwa Niza dan Azra memiliki perasaan yang saling berbalas. Bahwa secara diam-diam, hasrat mereka tinggi untuk saling memiliki. Mereka kukuh memendam perasaan masing-masing. Tindak-tanduk di antara mereka penuh dengan intrik pengalihan. Saking senyapnya, orang-orang menduga tiap-tiap mereka punya sosok harapan lain. Bukan antara mereka berdua. Benar-benar tak tampak, kecuali bagi orang yang bisa membaca pesan tersirat dari mata. 

Sulit menepis bahwa Niza dan Azra memendam perasaan yang sama. Mereka terlihat aneh saat saling berkomunikasi. Sulit mencair. Seperti ada unek-unek yang mengganjal. Tapi kejujuran mereka untuk saling memuji terbaca dari mata. Kuncinya di mata. Jika saja Niza tak punya wajah elok, Azra tak akan tertarik memandanginya selalu, hingga membuat wanita lain cemburu. Niza memang idola. Bak gula pasir dalam stoples. Sisa membuka diri untuk direnggut semut-semut. Tapi entah kenapa, Niza suka meredupkan cahanyanya. Bersembunyi di balik mendung. Mungkin menanti Azra menunjuk satu bintang. Entah dia atau bukan.

Dua bulan sebelum pernikahan mereka pun, tak ada tanda-tanda. Semua terjadi begitu cepat. Padahal, Niza diduga akan berlabuh di pelukan lelaki lain, Arnan. Alasannya, di malam perpisahan setelah wisuda, saat perkemahan di tengah pendakian gunung, Arnan tampak mendekat pada Niza. Terlihat serasi. Tapi Niza tak menghiraukannya. Di sisi lain, Azra tak memperjelas arah labuhan jiwanya. Ia betah kesepian. Membiarkan jiwa-jiwa hawa tergantung tanpa kepastian darinya. Mungkin menanti akhir cerita Arnan dan Niza.

Di malam perkemahan itu pula, tragedi mengenaskan terjadi. Peristiwa yang merenggut keayuan wajah Niza. Saat semuanya tengah lelap tertidur karena kelelahan menempuh setengah jalan pendakian, tenda pihak perempuan yang dihuni dua orang terbakar. Api cepat merambat, hingga membakar bagian kanan tubuh Niza. Melepuhkan pipinya dan menghanguskan sebagian rambutnya. Kejadian itu pun akan menyisakan membekas di wajahnya seumur hidup. 

Tak ada yang tahu dari mana asal api malam itu muncul. Jelas-jelas bara api unggun telah dipadamkan. Alibi bermunculan. Satu-satunya kemungkinan adalah api berasal dari puntung rokok. Malangnya, di antara tiga lelaki, hanya Azra yang kecanduan mengepulkan asap beracun itu. Tak ayal, tuduhan ditimpakan padanya. Apalagi di malam itu, Azra paling akhir masuk tenda. Ia keasyikakn mengisap rokok sembari memandangi belantara hutan di lembah. Memang tak ada yang bisa memastikan penyebabnya. Tapi tuduhan itu sulit dibantah Azra.

“Azra, ini semua atas keteledoran kamu! Akui saja. Malam itu kamu merokok kan? Pasti puntungnya kau buang sembarangan. Hah, dasar! Pokoknya, kau harus bertanggung jawab,” gerutu Arnan pada Azra sesampainya di rumah sakit.

Azra hanya tertunduk. Mengacak-acak rambut bagian belakangnya. Gelisah. “Ok, ok. Semalam aku memang merokok. Tapi yang pasti, puntungnya sudah benar-benar aku padamkan. Sumpah!” balasnya. “Terus terang, aku tak bisa membantah kemungkinan itu. Tapi aku minta, jangan juga kau pastikan kalau puntung rokokkulah sumber petakanya.”

Arnan hanya berdecak dan berlalu pergi. 

“Sudahlah Azra. Kata-kata Arnan tak perlu kau hiraukan. Kau tahulah bagaimana dia. Bisa jadi juga, sikapnya berlebihan begitu sebab musibah ini melukai Niza,” nasihatku malam itu.

***

Dahulu, di awal tahun kedua kuliahku, di semester tiga, aku mulai memendam perasaan kepada seorang lelaki. Dia seangkatan denganku. Namanya Azra. Karena dia juga, aku memutuskan bergelut dalam sebuah organisasi kesenian di kampus. Agar tak kikuk, kuajaklah teman baikku, Niza, untuk turut bergabung. Hari-hari pun kulewati dengan sejuta kebahagiaan bersama teman-temanku, terutama dengan Azra. Aku selalu ada alasan untuk dekat dengannya. Senang bisa mamandang senyumnya yang meneduhkan setiap waktu. 

Kupendam perasaanku pada Azra dalam-dalam. Di organisasiku, sesama pengurus tak baik jika terlalu dekat secara keterlaluan. Namun seiring berjalannya waktu, aku merasa ada yang berbeda antara Azra dengan Niza. Hubungan mereka tampak aneh. Jika teman-teman seorganisasi bercanda secara mencair, mereka malah saling segan. Kubaca, Azra tertarik dengan Niza, bukan denganku! Perasaanku pada Azra pun seakan berubah jadi kanker. Menyisakan penyesalan akibat menumpuk kekaguman padanya sekian lama. Sialnya, tak mungkin kembali pada waktu saat semuanya belum dimulai. 

Sampailah aku pada saat diharamkan memaksakan keinginan. Waktu yang tak pernah aku harapkan. Hari ketika Niza dan Azra duduk bersanding di pelaminan. 

“Rena, kamu datang kan di pernikahan kami? Niza menantimu?” tanya Azra melalui pesan singkat. 

Entah harus bagaimana lagi. Sangat menyakitkan. Diundang lelaki dambaan untuk hadir di pernikahannya? Tak menghadiri pernikahan teman baik? Dilema. Tak pernah kuduga ini akan terjadi padaku. “Selamat atas pernikahan kalian. Semoga bahagia. Maaf aku tak bisa hadir. Sampaikan salam dan permohonan maafku pada Niza,” balasku. 

Aku tak mungkin menghadiri pernikahan mereka dengan membawa semua kenangan dan harapanku di masa lalu. Biarlah. Kuharap mereka bahagia. Saat waktu telah mendamaikan keinginanku dengan kenyataan, aku akan menemui mereka dan memohon maaf atas semua yang telah terjadi. Ya, aku merahasiakan dosa besar pada mereka. Akulah pelakuknya; seseorang yang telah merenggut kecantikan wajah Niza di malam pendakian dan berharap Azra tak lagi mengaguminya. Rasa cemburu telah membutakanku. Kini kutahu sudah bahwa cinta tak harus memiliki. Bahwa cinta memang buta. Buta!
 

Kamis, 17 Desember 2015

Rahasia di Balik Gubuk


Hujan belum benar-benar reda sore itu. Tapi Nila nekat pergi. Menghilang dari gubuk kenangannya sambil meronta-ronta. Penuh kesal. Meninggalkan dua orang tua yang telah membesarkannya sejak kecil. Wajah keriput orang tuanya membeku. Pasrah. Sudah tak ada titik temu antara keinginan-keinginan dalam gubuk itu. Sama-sama keras mempertahankan pendapat. Emosi Nila pun terlanjur melunjak, sebab ia rencananya akan dinikahkan dengan pemuda desa yang hidup serba sederhana. Rizal namanya. Seorang buruh tani. Orang tua Nila beralasan, lelaki itu bisa menjadi imam yang baik untuknya. Itu saja. 

Setamat SMA, Nila sebenarnya tak berencana melanjutkan pendidikannya ke bangku kuliah. Tapi demi menghindari pernikahan, berkuliah adalah pelarian yang paling masuk akal. Karena alasan itu juga, orang tuanya terpaksa berkompromi tanpa kata-kata. Pendidikan juga hal yang penting. Nila pun berangkat ke kota tanpa salam perpisahan. Menggantungkan nasibnya dalam pergumulan hidup yang keras. 

Tepat. Rencana kehidupannya berjalan lancar. Ia menyelesaikan kuliahnya kurang dari empat tahun. Dapat predikat cum laude. Berbekal nilai IPK tinggi, ia tak susah payah mendapatkan pekerjaan. Cita-citanya pun teraih. Menjadi seorang sekretaris. Mengurusi persuratan dan pencatatan administrasi sebuah perusahaan properti. Ia mendapatkan gaji lebih dari yang dibayangkannya. 

Tidak hanya itu, karena dekat dengan sang sang bos perusahaan, mereka akhirnya sepakat menikah. Namun bisa dipastikan, pernikahan mereka tidak akan direstui orang tua pihak laki-laki. Pastilah, sebab sang lelaki sudah beristri. Ia juga berasal dari keluarga terpandang, sedangkan Nila hanya anak kampung yang tak jelas asal usulnya. Tapi ujung-ujungnya, pernikahan mereka dilangsungkan secara tertutup. Nikah siri.

Semua kesuksesan hidup telah digapai Nila tanpa campur tangan orang tuanya. Usahanya sendiri. Tak ada lagi urusan dengan persoalan hidup dan kehidupan orang tua itu. Tak peduli. Jadinya, ia tak sekali pun bertukar kabar dengan kedua penghuni gubuk yang tua renta. Ia yakin, mereka juga tak peduli tentangnya. Tak sudi lagi berdoa untuknya yang mungkin telah dicap anak durhaka: melanggar titah orang tua. 

Demi melogiskan bencinya, Nila membangun alasan untuk tak mengingat Bapak dan Ibunya lagi. Meyakinkan diri jika bisik-bisik tetangga bahwa ia bukan anak biologis orang tuanya di gubuk adalah benar. Alasannya karena umur Nila sangat senjang dibanding umur kedua orang tuanya. Ia layak menyapa mereka dengan kata kakek dan nenek ketimbang ayah dan ibu. Selain itu, paras Nila menarik. Kulitnya putih bersih. Bak orang keturunan dari negara bersalju. Konstruksi wajahnya indah. Beda jauh dengan kedua orang tuanya yang berkulit hitam legam dan keriput. Yang jika dilihat dari parasnya, jelas mereka keturunan kampung asli. 

Karena kecantikannyalah, banyak sudah lamaran telah datang untuk Nila. Meski begitu ia selalu menolak. Orang tuanya pun sering tak setuju. Kecuali untuk si Rizal, mereka legowo saja. 

***

Perusahaan suami Nila mengalami perkembangan pesat. Proses pembebasan lahan pun terus dilakukan untuk membangun deretan rumah mewah yang akan membuat kota tampak lebih modern. Program pembangunan mereka pun didukung pemerintah. Karena itu, penyedian lahan pembangunan dan proses administrasi disokong pemerintah. Semuanya demi menghilangkan kesan kumuh dari rumah-rumah semi permanen. Akhirnya, penggusuran adalah pintu masuk menapaki jalan menuju kota dunia. Terlebih, penghuni gubuk-gubuk tak memiliki legitimasi untuk menempati lahan pemerintah. Pemukiman mereka liar. Mereka pasti menderita kekalahan demi hukum.

Rencana berjalan lancar. Penggusuran tak mendapat penentangan yang berarti. Rumah-rumah lapuk dan reyot relah rata dengan tanah. Warga tak bisa berbuat apa-apa. Mereka tak akan mampu menjinakkan keberingasan polisi. Tak ada yang nekat mempertaruhkan nasib mereka di bawah palu sidang. Semua karena Nila. Ia tahu jelas sejarah dan keadaan masyarakat di lokasi itu, lokasi gubuk tempatnya hidup dahulu. Ia tahu bahwa sekitar lima puluh tahun lalu, para pemukim di lahan itu hanyalah pendatang yang menempati tanah negara tanpa izin. Orang tunya pernah berkisah. 

Sepulang meninjau lokasi pembangunan yang telah diratakan buldoser seminggu sebelumnya, lagi-lagi, mobil mewah Nila terjebak macet. Lalu lintas kendaraan padat. Juga karena badan jalan ditimbun pasar tumpah, parkir liar, pedagang kaki lima, becak, angkutan kota tanpa aturan, dan pemulung bergerobak. Apalagi ditambah kubangan air hujan di lubang-lubang jalanan. Jadi susah mencari jalan. Sangat menyebalkan bagi wanita sekelasnya. Kesannya bak sesak napas. Akhirnya, celah kecil dijadikan kesempatan besar untuk menyelinap, menempuh jarak semaksimal mungkin. Nila tahu itu. Akhirnya, karena terburu-buru, sisi kanan bagian belakang mobilnya menyerempet gerobak pemulung.

Ia pun bergegas meminggirkan mobil mewahnya ke sisi kanan jalan. Kesalnya jadi berlipat ganda. Mobil mahal yang baru dibelinya sebulan lalu, tergores. Amarah tak bisa ia redam.

“Pak, harusnya dorong gerobaknya jangan di jalan raya. Bapak tahu kan, biaya untuk menghilangkan goresan di mobilku lebih mahal dari gerobak butut itu,” geramnya sembari menumpu pinggang dengan kedua tangannya. “Aku tak akan meminta Bapak dan Ibu untuk ganti rugi. Aku hanya ingatkan untuk tak berseliweran di jalan raya lain kali.”

Sepasang orang tua uzur yang sepertinya suami isteri itu hanya menunduk. Sesekali menengadah, lalu secepat mungkin menunduk kembali. Dengan cekatan, mereka memunguti botol-botol plastik yang berserakan di jalan. Lalu menegakkan gerobak mereka yang syukurnya tak mengalami kerusakan parah. 

“Maafkan aku Nyonya. Memang seharusnya kami yang hati-hati,” tuturnya si lelaki tua dengan lemah lembut. Batin Nila tersentak kala lelaki itu berdiri tepat di depannya. Bukan karena ia lancang mengulurkan tangan kumalnya untuk dijabat, tapi raut wajahnya mengingatkan pada orang tua di gubuknya dahulu. Kedua orang tua itu mirip orang tuanya. Ia yakin. Kini mereka tampak semakin tua. Seakan tak bisa lagi mengurus diri dengan baik. Nila lalu menjabat tangannya tanpa berkata-kata lagi.

Hampir lima menit Nila berdiri memandangi dan menceramahi kedua pemulung tua itu. Tak diduganya, orang-orang telah mengerumuni mereka bertiga. Sebagian besar lalu menyalahkan dan menyoraki Nila yang tak punya sopan santun pada orang tua. Ia tak berkutik. 

“Maaf. Aku yang seharusnya minta maaf Pak. Seharunya aku harus berhati-hati dalam berkendara,” tuturnya dengan intonasi suara yang turun drastis. “Ini ada sedikit rezeki saya untuk Bapak gunakan memperbaiki gerobak. Terimalah Pak.”

Setelah amplop berisi uang pemberinnya berpindah tangan, Nila pun bergegas pergi. Ia tak ingin orang tua itu malah mengembalikan uang yang telah diberikannya.

***

Petaka datang. Setahun selanjutnya, rumah tangga Nila retak. Suaminya tersangkut kasus menyerobotan lahan warga. Sepertiga lahan yang sebelumnya direncanakan untuk dibanguni perumahan mewah, ternyata lahan milik warga secara sah. Termasuk juga tempat gubuk orang tua Nila dahulu. Cekcok antara mereka setiap saat pun tak terhindarkan. Tak tahan dengan segala macam pertengkaran, mereka akhirnya sepakat untuk bercerai.

Pulang membawa sesal, Nila pun kembali ke lokasi gubuk orang tuanya dahulu. Tak ada tempat pulang lain. Di sana, ia tertegun meratapi hari-hari yang berlalu, tentang segala macam bentuk kedurhakaan yang telah ia lakukan. Begitu rindunya ia berada dalam suasana hangat keluarga sederhananya dahulu. Ia pun mencari keberadaan orang tuanya itu, hingga mendapat kabar bahwa mereka berada di sebuah rumah seorang pemuda desa. 

Akhirnya, Nilai sampai pada alamat yang dituju. Di sebuah rumah sederhanya yang tak jauh beda dengan gubuk kehidupannya dahulu. Ia pun masuk dan menemui Ibu tua nan bungkuk yang dicarinya. Ibu itu sedang menyapu halaman rumah.

 “Ibu masih mengenalku?” tanya Nila setelah salamnya terbalas.

Ibu mengerjapkan dan menyempitkan matanya. “Iya Nak. Kamu kan yang dulu kasi uang untuk kami beli gerobak baru?”

“Iya, Bu. Tapi…”

“Oh, iya. Tunggu sebentar Nak,” Ibu mememotong balasan Nila, menyimpan sapu lidinya, masuk ke dalam rumah, kemudian keluar. “Nah, ini uang yang kau berikan pada kami dulu Nak. Maaf, kami benar-benar tak enak menggunakannya,” tutur sembari tersenyum.

Nila tersentak. Menjadi semakin merasa tak berguna. Merasa berdosa. “Tapi uang ini memang untuk Ibu. Sudah jadi hak Ibu. Seharusnya Ibu menggunakannya,” balas Nila sambil merekatkan amplop berisi uang itu di antara telapak tangan Ibu.

“Tidak Nak. Bawalah kembali pulang. Atau sumbangkanlah saja ke panti asuhan,” tuturnya sambil menyodorkan kembali amplop itu pada Nila.

“Tak usah merasa segan Bu,” tutur Nila. Air matanya pun menetes. “Sebab, Sebab…. Aku Nila Bu…. Anak Ibu.” Ia terisak. “Maafkan Nila Bu…,” tuturnya, lalu bersimpuh di bawah lutut Ibu.

Ibu hanya terdiam merenungkan masa lalunya. Mengusap-usap rambut Nila. Lalu tanpa disadarinya, bulir air jatuh dari mata sembabnya.

“Ibu memang pantas melupakannku. Akulah telah tega meninggalkan Bapak dan Ibu di rumah kecil kita dahulu.” Tangis Nila semakin menjadi-jadi. Tersedu sedan.

Ibu mengenggam kedua bahu Nila. Menegakkannya. Menatap dalam wajahnya. Mengingat-ingat keluguan anak gadis yang dulunya senantiasa meramaikan suasana di rumah mereka. Kini Nila tampak semakin cantik. “Nila…, Anakku? Mengapa kau pulang selambat ini Nak. Kami sangat merindukanmu,” tuturnya.

Mereka berdua menangis sejadi-jadinya. Larut dalam keharuan. Hingga Bapak pun datang bersama gerobak barang bekasnya, lalu meminta penjelasan atas apa yang terjadi dan siapakah sosok wanita muda itu. Ia sama sekali tak mengingat wajah Nila lagi. Dia lebih pikun daripada istrinya.
“Ini Nila Pak,” tutur Ibu.

Satu nama itu kembali mengaktifkan memorinya tentang kehidupan di gubuk pada masa silam. Badannya gemetaran. Tak menyangka Nila akan kembali. Ia pun turut haru, dan meneteskan air mata. Mendekat lalu memeluk Nila.

Setelah berlalu setengah jam untuk berbagi kisah di atas balai bambu, di beranda rumah, Bapak muncul di sampingnya dari dalam rumah. Ia menenteng sebuah peti kecil yang tergembok. Peti itu berbentuk kubus dan terbuat dari besi. “Ambillah ini Nak. Ini adalah hakmu,” tutur Bapak. 

Setelah kubus itu dibuka, betapa ia tercengang. Isinya uang. Sangat banyak.

“Sudah waktunyalah kami menyampaikan hal yang sesungguhnya tentang dirimu Nak. Kau tak sedikitpun harus terbebani atau merasa durhaka kepada kami. Sebenarnya, kami bukanlah siapa-siapamu Nak. Kau bukan anak kandung kami,” lanjut Bapak. 

Nila terkejut dengan penjelasan Bapak. Kata-kata tak bisa keluar dari mulutnya. Hanya matanya yang kuasa merespons.

“Kau tak perlu kaget Nak. Uang itu memang hakmu. Sebagiannya kami telah gunakan untuk memenuhi kebutuhanmu sewaktu kecil,” jelasnya sambil menepuk-nepuk lengan Nila. “Uang itu dititipkan seseorang di sampingmu, sewaktu kau yang masih berumur harian, kami temukan di teras rumah kami dahulu. Ambillah Nak.”

“Tapi uang ini seharusnya sudah jadi milik Bapak dan Ibu. Kalianlah ayah dan bundaku sesungguhnya. Setidaknya ini sedikit dari tanda terima kasihku sebab telah dibesarkan dengan baik di rumah kita dahulu. Kalianlah orang tua sejatiku. Maafkan kelakuanku selama ini, Bapak, Ibu,” balas Nila.

Di sela perbincangan kami yang penuh haru. Pintu terketuk. Suara berat lelaki mengucap salam. “Ada siapa Bunda?” tanya lelaki berbadan tegap yang berjalan menghampiri mereka.

“Sini Nak. Kamu masih ingat tidak dengan perempuan ini,” jawab Ibu.
“Nila…! Ya. Kamu Nila kan?” tebaknya.

Nila hanya mengangguk, lalu menjabat tangannya.

“Kok Bapak dan Ibu tinggal di rumahmu?” tanya Nila pada lelaki yang pernah dibencinya itu.

“Rizal itu anak kandungku Nak Nila,” jawab Ibu.

Satu rahasia baru di balik gubuk, terungkap lagi. Baru Nila tahu kalau lelaki yang akan dijodohkan dengannya dahulu adalah anak kandung Ibu. Ibu adalah janda beranak satu saat Bapak mempersuntingnya. Begitulah. Kehidupan memang tak ubahnya rahasia. Penuh kejutan kala tersingkap. Tapi tidak untuk rahasia Nila. Ia bertekad tetap memendamnya. Tentang ia yang terlibat dalam penggusuran gubuk kenangannya, juga tentang ia yang telah menikah demi mengecap gemerlap dunia di kota. 

Akhirnya, setelah dua bulan berjalan, Nila dan Rizal menikah. Selama ini, lelaki berkulit gelap itu tetap mengharapkan Nila menjadi istrinya. Kini mereka, Ibu, dan Bapak jadi keluarga seutuhnya. Tak ada lagi sekat-sekat. Kehidupan dijalani untuk kebahagiaan bersama. Termasuk tentang uang titipan itu. Nila berniat menggunakannya untuk membangun rumah layak huni bagi mereka semua, di lahan tempat gubuk kenangannya dahulu.

Selasa, 15 Desember 2015

Membedah Akar Kemiskinan



Judul: Bebas dari Neoliberalisme; Penulis: Mansour Fakih; Penerbit: INSISTPress; Tahun Terbit: 2003; Jumlah Halaman: 161.

Indonesia penuh dengan ironi, termasuk di bidang perekonomian. Negara ini kaya sumber daya alam, tapi warganya banyak yang hidup di bawah garis kemiskinan. Pemenuhan kebutuhan dasar saja susah payah. Jangankan sandang dan papan layak, pemenuhan kebutuhan atas pangan saja masih semrawut. Padahal tak diragukan lagi bahwa tanah air Indonesia sangat menghidupi. Segala macam jenis tanaman bisa tumbuh subur. Meski begitu, masih banyak anak bangsa yang menganggur. Terpaksa menggelandang sebagai pengemis demi bertahan hidup. Tak ada pekerjaan. Padahal segala sektor potensial untuk dikembangkan jadi lapangan pekerjaan di negara ini, termasuk pertanian, kelautan dan perikanan, pertambangan, dan industri.

Kini, kehidupan kebangsaan masih mempertontonan fenomena anak negeri yang busung lapar. Bak tikus mati kelaparan di lumbung padi. Sangat memiriskan. Indonesia hanya negara agraria di atas kertas. Buktinya, para petani di desa merantau ke kota untuk menjual tenaganya. Tanah di desa dianggap tak lagi menghidupi. Sumber daya alam pedesaan terpaksa diabaikan. Arus urbanisasi jadi tak terbendung. Imbasnya, terjadi penumpukan sumber daya manusia di perkotaan. Pengangguran akibat perebutan lapangan kerja di perkotaan pun terjadi. Padahal, beragam potensi lapangan kerja bisa digarap di pedesaan.

Apa yang jadi pangkal permasalahan sejumlah fenomena memilukan di atas, apakah warga pedesaan malas dan tak berpendidikan sehingga tak bisa mengelola kekayaan alam pedesaan? Jawabannya tidak! Setidaknya, itulah jawaban yang dapat kita simpulkan jika membaca buku garapan Mansour Fakih berjudul Bebas dari Neoliberalisme. Buku ini mampu membuka cakrawala pemikiran bahwa kemiskinan rakyat, terutama di Indonesia, disebabkan oleh agenda-agenda kapitalistik dalam ranah globalisasi. Masyarakat pedesaan tak bisa lagi mengharapkan penghidupan layak dari tanah garapannya. Tanah negeri berdasarkan sistem, tak lagi diperuntukkan untuk menyejahterakan rakyat, tetapi telah digadaikan kepada para pemilik modal. Dikelola oleh perusahaan agribisnis demi efisiensi setinggi mungkin. Lahan luas jadinya hanya dimiliki segelintir orang, sedangkan rakyat yang tergusur dari lahannya terpaksa jadi buruh tani, ataukah mencari perkerjaan lain. 

Membaca buku tulisan Penulis yang lulusan Fakultas Filsafat dan Teologi-IAIN Syarif Hidayatullah ini, akan memberikan pencerahan bahwa kemiskinan manusia di negara dunia ketiga disebabkan oleh faktor eksternal. Kemiskinan terjadi secara sitematis dan terstruktur. Ada sistem yang telah dirangcang negara-negara kapitalis untuk mencerabut hak-hak warga di negara berkembang atas perekonomian yang berkeadilan sosial. Negara kapitalis itu berusaha melindungi kepentingan perusahaan transnasionalnya untuk mengeruk keuntungan di negara lain. Mengumpulkan keuntungan sebesar-besarnya dengan memperalat sumber daya alam dan sumber daya manusia di negara berkembang dengan instrumen regulasi dan organisasi. Sistem yang belakangan digaung-gaungkan sebagai solusi terbaik di dunia modern itu, namun sebenarnya bentuk baru penjajahan, disebut sistem perkonomian neoliberalisme. 

Buku ini mampu memberikan pemahaman akan dimengerti seluk-beluk neoliberalisme. Argumentasi penulis dituliskan secara padat dan jelas. Berdasarkan sejarah yang dituangkan penulis dalam buku, paham liberalisme sebagai induk neoliberalisme yang sama-sama berintikan persaingan bebas, tumbang akibat krisis atau bencana depresi di masa kolonialisme pada tahun 1930-an. Selanjutnya, muncullah paham pembangunanisme (disebut juga kapitalisme negara atau state-led development). Paham ini dipelopori ekonom berkebangsaan Inggris, John Maynard Keynes. Inti pahamnya adalah memberikan kekuasaan kepada pemerintah negara untuk melakukan pembangunan semaksimal mungkin. Ironisnya, demi kepentingan pembangunan itu, pemegang kekuaaan negara malah melakukan pelanggaran terhadap hak asasi warga negaranya sendiri. Misalnya, penggenjotan pembangunan sektor pertanian di pedesaan melalui program Revolusi Hijau. Dinilai sebagai solusi, program bernapas paham pembangunanisme tersebut malah merusak kelestarian lingkungan, serta melanggar hak kepemilikan warga atas lahan untuk kesejahteraannya. 

Pada paham pembangunanisme, secara kuantitas, perekonomian negara bertumbuh, tapi di tingkatan grass root, masyarakat banyak melarat. Paham ini sempat diadopsi di masa Orde Baru yang dimasukkan dalam program Repelita. Pembangunan pun melaju, namun di sisi lain, masyarakat pedesaan banyak yang kehilangan lahan dan jatuh miskin. Lahan dimiliki segelintir orang bermodal. Potensi alam dan masyarakat pun dikeruk seiring KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) yang terjadi di mana-mana. Akhirnya, paham ekonomi model pembangunanisme yang mendatangkan bencana itu, runtuh pada tahun 1997. Penyebabnya lain runtuhnya paham ini adalah akibat ditenggelamkan oleh paham liberalisme baru (baca: neoliberalisme). Para penganut paham neoliberalisme merasa kepentingan mereka terkekang akibat otoritas negara yang terlalu banyak mengatur. 

Neoliberalisme merupakan pembaruan dari paham liberalisme yang pernah berjaya di zaman kolonial. Bedanya, sebab neoliberalisme lahir di zaman globalisasi dengan aktor penggeraknya adalah perusahaan transnasional, bukan negara. Negara hanya tameng. Pokok paham ini adalah memperjuangkan laissez faire (persaingan bebas dalam percaturan ekonomi), demi kepentingan hak-hak individualis. Jadi, paham neoliberalisme adalah bentuk baru liberalisme yang dikembangkan dari buah pikir ekonom Inggris Adam Smith dalam karyanya berjudul The Wealth of Nations (1776). Intinya pahamnya adalah menghapus intervensi pemerintah dalam bidang perekonomian. Melanggengkan persaingan bebas di bidang perekonomian. Secara umum, penganut paham neoliberalisme berkeyakinan bahwa kehidupan manusia akan lebih baik jika dilakukan beberap hal, yaitu: biarkan pasar bekerja, kurangi pemborosan dengan memangkas pengeluaran negara yang tidak produktif semacam subsidi, deregulasi di bidang ekonomi, privatisasi sektor-sektor publik, dan kembangkan paham individualis.

Perkembangan paham neoliberalisme adalah buah dari propaganda perusahaan transnasional atau Trans National Corporation (TNCs). TNCs memperalat lembaga internasional, berupa IMF (International Monetary Fund) yang dibentuk pada Desember 1945 dan Bank Dunia yang dibentuk pada Juli 1944. Dua lembaga ini digunakan untuk mengikat negara berkembang dengan memberikan utang, sehingga mau tak mau harus melaksanakan agenda neoliberalisme. Selain itu, TNCs juga mengupayakan globalisasi terjadi di sektor perekonomian dengan membentuk kawasan kerja sama perekonomian, seperti Otorita Batam, NAFTA, AFTA, APEC, BIMPEAGA, dan SIJORI. Melalui instrumen kawasan tersebut, TNCs akan lebih mudah menginvasi perekonomian sebuah negara melalui proses ekspor-impor. Salah satu pencapaian besar agenda neoliberalisme adalah penandatanganan GATT (General Agreement on Tariff and Trade) pada tahun 1947. GATT inilah yang menjadi dasar pembentukan IMF, Word Bank, dan sebuah organisasi perdagangan dunia nantinya. Setelah melalui proses perundingan dan pembaruan atas GATT, akhirnya pada pertemuan tingkat menteri negara-negara peserta (Contracting Parties) GATT di Maroko, April 1994, disahkanlah Final Act yang memuat kesepakatan pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia atau WTO (World Trade Organisation) Organisasi itu resmi didirikan pada Januari 1995. Di bawah naungan WTO, GATT membuat program TNCs semakin kuat untuk memperluas dampak neoliberalisme. Pemerintah Indonesia sebagai salah satu pendiri WTO pun telah meratifikasi persetujuan pembentukan WTO melalui UU No. 7/1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization. Tidak sebatas itu, penyesuian regulasi mengikuti pahan neoliberalisme juga dilakukan di bidang pertanian, kehutanan, kekayaan intelektual, pendidikan, kesehatan, migas, air, dan lain-lain.

Pertanyaannya, apakah paham neoliberalisme akan mampu menjamin terpenuhinya kebutuhan masyarakat serta menciptakan kesejahteraan sosial yang adil? Dalam buku ini, Penulis menyuguhkan argumentasi bahwa persaingan bebas dalam bidang ekonomi akan berdampak buruk. Propaganda bahwa persaingan bebas akan menjamin pangan murah, pengan aman dikonsumsi, hak kaum perempuan terlindungi, kekayaan intelektual terlindungi, konsumen bebas memilih di antara banyak pilihan: semuanya hanya mitos. Hal itu karena masyarakat kecil tidak akan mempu bersaing dengan TNCs. Masyarakat hanya dijadikan objek untuk kemajuan TNCs. Mereka akan tergilas roda persaingan bebas. 

Secara umum, dalam buku karyanya, Penulis mampu memaparkan hasil kajian mendalam tentang neoliberalisme dari apek sejarah, latar belakang, agenda-agenda terselubung, tujuan, bahanyanya, hingga menawarkan rencana perlawanan secara struktural. Setelah khatam membaca buku ini, pembaca akan mendapatkan pencerahan bahwa fenomena kemiskinan yang melanda bangsa Indonesia dan bangsa di negara berkembang lainnya, adalah akibat sistem perekonomian yang dirancang berdasarkan paham neoliberalisme. Bahwa rakyat miskin tak selayaknya disalahkan atas penderitaan mereka dengan alasan mereka malas atau tak berpendidikan. Kemiskinan mereka adalah buah dari bentuk penjajahan baru para TNCs.

Di bagian akhir buku ini, Penulis menyuguhkan argumentasi yang menarik terkait pertanyaan, kenapa kita harus menentang paham neoliberalisme. Sejumlah tawaran solusi pun dipaparkan, misalnya melalui penguatan civil society untuk melakukan social movement menentang setiap agenda berbau neoliberalisme. Untuk itu, sumbangsih LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) dibutuhkan dalam memberikan pencerahan kepada masyarakat terkait bahaya neoliberalisme. Meski begitu, buku ini belum menyentuh persoalan bagaimana sistem perekonomian yang sebaiknya, yang mampu mewujudkan perekonomian yang berkeadilan bagi masyarakat. Belum sampai pada sistem apa yang akan dibangun setelah neoliberalisme berhasil ditumbangkan. Meski begitu, buku ini, dengan apiknya telah berhasil membuka cakrawala pemikiran kita terkait akar permasalahan kemiskinan secara lebih luas. Buku ini sangat layak dibaca oleh semua kalangan untuk memperoleh satu buah pemikiran dari Penulis, tentang bagaimana langkah tepat untuk mencerabut kemiskinan dari akar permasalahnnya.