Selasa, 23 Januari 2018

Yang Abadi

“Bapak suka tepat ini?” tanyaku, setelah beberapa menit kami duduk bersampingan, di teras terbuka sebuah kafe yang menghadap ke hamparan laut, dan kami hanya terdiam.
 
Akhirnya, ia yang bergeming dengan tatapan kosong ke depan, terusik juga. Perlahan, ia lalu mengangguk kecil, menoleh padaku, kemudian mengutarakan pendapatnya, “Ya. Tempat ini nyaman untuk menenangkan hati dan pikiran,” katanya, dengan raut sendu. “Jika kau ingin merasakannya, cobalah terdiam, dan pandangi bentangan alam di depan sana.”

Sesuai sarannya, mataku pun menyasar laut yang luas di bawah langit kelabu. Dan aku sepakat dengan pendapatnya. Ada kedamaian kurasa kala memandangi ombak susul-menyusul, diiringi embusan angin sepoi, juga suara desiran yang menjeda-jeda.

Nyaris saja aku memantik percakapan basa-basi lebih lanjut. Namun setelah kutoleh dirinya, kuurungkan kembali. Ia tampak enggan memperpanjang percakapan. Wajahnya kuyu, seakan tak berselera melakukan apa-apa, selain terdiam menikmati suasana. Dan akhirnya, aku pun bungkam, kemudian menjalani ritual serupa yang ia lakukan.

Selanjutnya, detik demi detik berganti, dan kami saling mengabaikan. Menikmati waktu untuk diri sendiri. Seakan-akan tak ada persoalan yang pantas dijadikan pembahasan. Seakan-akan kami tak pernah disatukan oleh objek permasalahan yang sama. Aku dan dia, hanya terpaku pada menungan masing-masing. Aku teringat masa lalu dengan sikap yang bersahabat, dan kuyakin, dirinya pun demikian, meski dengan sikap emosional.

Tapi syukurlah, aku tak terjebak dalam keheningan yang suram. Langit yang cerah, terhias bulan dan bintang-bintang, hadir sebagai pelarian mataku. Alunan musik, juga masih terdengar mengalun, mengatasi suara alam yang lirih. Dan tentu saja, beberapa orang tampak berlalu lalang, mendetakkan langkah mereka di lantai. Di antara mereka, ada juga yang duduk mengobrol, terdengar berdesis-desis, sambil mendentingkan piring-piring hidangan.

Namun akhirnya, sekian waktu berlalu, aku jadi risih. Tentu saja, terasa aneh kala duduk berdekatan dengan seorang kenalan, namun tak saling berbagi kata dalam waktu yang lama. Merasa tak dipedulikan. Sedang orang lain, akan menduga telah terjadi pertengkaran. Tapi kutilik lagi, mengobrol dengannya, memang bukanlah pilihan yang tepat. Aku tak sepantasnya memaksa ia berkata, kecuali ia memang ingin. Aku hanyalah seorang sopir pribadi yang cukup mengantar, atau menemaninya jika perlu.

Dan malam ini, tepat setahun setelah kematian istrinya, ia memang memintaku menemani, tanpa tugas tambahan yang lain. Kurasa, ia kalut atas kenangan bersama istrinya dalam durasi waktu yang singkat, dan butuh teman berbagi yang siap mendengarkan keluh-kesah, kapan pun ia mau. Tentu saja, aku tak punya alasan untuk menolak, kecuali bahwa aku merasa kurang patut duduk semeja dengannya. Satu alasan yang lagi-lagi, tak akan ia terima.

Kupikir, kerendahan hatinya, memang tak tertandingi. Ia tak memandang orang lain dari sisi fisik dan materi. Ia berbeda dibanding lelaki berkasta dan berduit pada umumnya. Dan karena itu pula, ia sudi menerimaku untuk bekerja padanya, tanpa perlu kumohon dengan sangat. Ia tak tampak risih kalau kami seruang. Tak jijik, atau bahkan takut pada rupa wajahku yang menyeramkan, yang jadi tak elok setelah meninggalkan bekas luka bakar akibat kecelakaan kerja, empat tahun lalu.

Akhirnya, di sinilah aku, di sebuah kafe, tepat di atas bukit batu yang menjorok ke laut. Layaknya berada di geladak utama sebuah kapal. Sebuah tempat dengan pemandangan yang menawan. Tempat yang mampu menghadirkan suasana yang nyaman untuk bermain-main dengan kenangan, seperti yang ia lakukan. Mungkin untuk mengenang tawa canda kebersamaan, atau meresapi pahitnya perpisahan.

Aku yang bingung harus berbuat apa, kala kami hanya terdiam di belakang deret hidangan yang tergeletak, akhirnya pasrah juga, dan memilih menghempaskan diri dalam kenangan. Kuingat lagi saat terakhir kita di kafe ini, di masa lampau. Dengan perasaan bimbang, kau menuturkan citamu tentang kita dan masa depan. Kau menuturkan harapan, agar kelak, aku datang kembali, menawar cinta suci yang kau miliki, pada kedua orang tuamu.

Waktu bergulir cepat. Bersama mentari pagi, kulihat kau melambaikan tangan di teras kafe ini. Memang, setelah mengobrol dan bersantap untuk terakhir kalinya, aku memintamu agar tak mengiringiku sampai ke dermaga, sebab takut kau semakin berat berpisah, sampai aku tak jadi pergi untuk mencari bekal masa depan kita. Dan perlahan, kapal semakin menjauh, hingga lenyaplah kau dari pandanganku yang pergi. Pergi, sembari bertekad untuk pulang meminangmu, suatu saat nanti.

Keputusan meninggalkanmu, tidaklah mudah. Aku tahu kau mengerti. Kau paham bahwa kerja kerasku di tempat yang jauh, teruntuk kita juga. Kelak, aku akan menemui kembali dalam keadaan yang mapan. Aku akan mempersuntingmu dengan jaminan bahwa kau akan hidup bahagia bersamaku. Aku akan membeli rumah, sepeda motor, juga membangun usaha kecil-kecilan dari pendapatan yang kuhasilkan. Dan atas itu, aku yakin, ayahmu, tak akan lagi menolak keinginanku menikahimu.

Dan akhirnya, kenyataan jauh berbeda. Rencana, tinggallah rencana. Takdir berkata lain. Sebuah kecelakaan tragis menimpaku. Sebuah kecelakaan kerja yang membenamkan bentuk wajahku, sebagaimana yang kau kenal. Pada satu hari, pabrik tempatku bekerja, mengalami kebakaran. Aku berlari, namun kakiku terjegal sebuah benda, hingga aku terjatuh, di depan kobaran api yang merayap cepat. Hingga kutemukanlah diriku setelahnya. Satu diri dengan raga yang tampak menyeramkan.

Atas ketidakpercayaan diri, aku pun mengurungkan niat untuk hidup bersamamu. Kubunuh sekalian cinta yang kubawa pergi darimu. Kuredam rindu, hingga tak ada hasrat untuk pulang. Semua kulakutan untukmu. Jelas, aku tak ingin kau menyambut kedatanganku, sebagaimana janjimu untuk menunggu sampai aku pulang, tapi dengan rasa keterpaksaan saja. Aku tak ingin jika kelak, kau tak lagi memuji senyumanku sepenuh hati, seperti dahulu.

“Apa kau pernah jatuh cinta pada seorang wanita?” selidik majikanku, seketika, sampai kekhidmatanku di alam kenangan, buyar.

Aku pun menoleh padanya, dan berucap dengan kalimat yang sedikit nyeleneh. “Jelek-jelek begini, aku juga laki-laki, Pak,” balasku, berharap kebekuan suasana, benar-benar berakhir.

Senyumnya merekah sejenak. “Apa kau yakin dia mencintaimu setulus-tulusnya?”

Aku pun merenung sejenak atas pertanyaan itu. Sampai akhirnya, kuyakin, bahwa sepanjang yang kutahu saat kebersamaan kita dahulu, kau memang mencintaiku, “Ya, aku yakin dia mencintaiku.”
 
Dia tak segera menanggapi. Tampak terseret kembali ke alam perenungan, sambil memandang hamparan laut dengan tatapan hampa.

Hingga beberapa detik berlalu, ia menuturkan kisahnya sendiri, tanpa perlu kutanya. “Dahulu, aku sangat mencintai istriku. Entah bagaimana dia padaku. Tapi sepintas, aku tak yakin cintaku berbalas sepenuhnya.”

Pastilah, aku tersentak mendengar pengakuannya. Tapi aku diam saja, sembari berharap ia menyambung cerita hidupnya segera.

“Aku yakin, ia memendam banyak rahasia dariku. Termasuk tentang kafe ini. Ia selalu suka menghabiskan waktu di sini, tanpa menuturkan padaku sebuah alasan yang meyakinkan. Sampai akhirnya, aku tahu juga, dia pernah larut dalam kasih bersama seorang lelaki sebelum aku. Dan tanpa kejujuran darinya pun, aku bisa menebak, bahwa mereka punya kisah yang mendalam di sini,” sambungnya lagi.

Dan tanpa bisa menahan rasa penasaran, seketika, aku pun bertanya, “Lalu, apa Bapak tak lagi mencintainya karena itu?”

“Sama sekali tidak,” katanya, tanpa jeda yang lama. “Aku sadar, hanya menjadi masa depannya, sehingga tak mungkin menggantikan seseorang di masa lalunya.” Dia lalu menoleh padaku. Tampak ada senyuman di balik wajahnya yang sayu. “Bahkan jika mungkin, aku ingin menyampaikan terima kasih pada seseorang lelaki yang telah mengisi hari-harinya sebelum aku. Kau tahu sendiri, kebersamaan kami hanya berlangsung setahun. Dan aku yakin, seorang lelaki di masa lalu, yang aku maksud, telah memberinya kebahagiaan dalam waktu yang panjang. Tidakkah aku beruntang budi pada pada lelaki itu?”

Aku bungkam saja mendengar ketulusan hatinya dalam mencinta. Dengan sadar, aku mengabaikan permintaan tanggapan di akhir kalimatnya.

Tiba-tiba, ia bertanya tentang sesosok wanita pujaanku di masa lalu, “Oh, ya. Coba ceritakan padaku tentang perempuan yang telah membuatmu jatuh cinta di masa lalu?”

Sontak, perasaanku jadi kalang-kabut. Aku kelimpungan mencari penjelasan yang tepat. Dan akhirnya, aku putuskan untuk menyentil sedikit tentangmu, tanpa keinginan untuk mengulas terlalu jauh. “Tak ada yang menarik untuk dibahas tentang dia. Yang pasti, setelah perpisahan kami, aku tahu, ia telah menikah dengan lelaki yang begitu tulus mencintainya. Seorang lelaki yang ikhlas mendalampingi hidupnya hingga maut menjemput, beserta rangkaian kenangan tentang kami, yang kutahu, terus ia simpan baik-baik.”

Dan syukurlah, ia tak menyelidik atas jawabanku itu.

Surat Perpisahan

Izinkan aku tinggal
Mungkin sejenak saja
Tanpa janji selamanya
Sebab pasti belumlah tentu

Kelak, sudilah aku pergi
Mungkin untuk selamanya
Sebab ada janji yang pasti
Pulang pada kedatangan

Ingat-ingatlah kataku
Kalau sampai waktunya
Terpisah ruang dalam semesta
Jangan berputus asa
Simpan aku dalam doa
Sebab aku menunggu
Hanya pergi dahulu
Bukan menjadi tiada

Hari-Hari di Bulan Januari

Dingin menusuk saat cerita ini dituliskan. Satu cerita yang terbingkai dalam hujan sendu bulan Januari. Cerita tentang kau dan seorang lelaki yang jatuh cinta kepadamu. Sosok yang hadir memisahkan kalian dengan mereka yang lain. Sebuah cerita pendek tentang kau dan dia, berdua saja, meski jalan ceritanya, ditulis hanya dengan pandangan sepihak darinya.
 
Dikisahkanlah, dia, seorang lelaki yang biasa saja, memendam perasaan yang begitu dalam kepadamu. Sudah begitu lama. Jauh sebelum kau menyadari kehadirannya di antara begitu banyak sosok yang melingkupi kehidupanmu. Jauh sebelum ingatanmu terangsang untuk merekam apa pun tentang sosoknya. Bahkan dengan sangat berlebihan, ia mengaku diri telah mencintaimu, sebelum kalian terlahir ke dunia, sejak di alam hakikat.

Dan, sejak pertama kali menatapmu di kampus, mulailah ia merasa, berada dalam proses pengingatan kembali. Entah bagaimana, pandangannya seketika tertuju pada kau yang berada di antara ratusan mahasiswa baru dengan penampilan serupa. Di satu sisi yang jauh, ia memandangimu lekat-lekat. Penuh keseganan, sampai ia lupa pada statusnya sebagai senior. Dan seiring debaran jantung, yakinlah ia, Tuhan telah menampakkan belahan jiwanya di dunia.

Pengamatan terselubung itu, jelas tak kau sadari. Apalagi pengisahan cerita kalian, memang berlangsung sepihak. Hanya dari dirinya. Tak ada sesi perkenalan yang akan membuat kau menganggap cerita itu sebagai kenangan bersama. Tapi bukan berarti bertepuk sebelah tangan. Semua kemungkinan tentang pertautan hati kalian, masih mungkin terjadi. Takdir gelap dan menegangkan itu, hanya dibatasi oleh bentangan rasa malu yang menyelubungi dirinya sendiri. 

Dalam waktu-waktu yang bergulir, ia pun semakin terseret ke dalam kubangan khayalan liar. Tak ada hari berlalu tanpa menemuimu dalam ruang imaji. Tanpa bosan, ia menguntitmu di media sosial, lalu merasa-rasa diri tersinggung atas setiap unggahanmu. Tanpa merasa hina, ia kemudian menyeretmu dalam dunia yang semu. Mengajakmu berkenalan, mengobrol, jalan-jalan, sampai memintamu jadi seorang kekasih, berlangsung terus dalam dunia imajinasinya.

Sepanjang aksi spionase itu, ia memang tak mendapatkan apa-apa, selain bahwa ia lebih mengerti tentang lelaki yang kau idam-idamkan. Semua itu ia ketahui dari bilik penampungan keluh kesahmu sehari-hari, di berbagai lini media sosial. Dan, berusahalah ia menjadi sosok lelaki yang selama ini kau cita-citakan. Ia memaksa diri membaca buku banyak-banyak, menulis cerita pendek beberapa kali, hingga berlatih bermain gitar, agar kelak, kau merasa telah menemukan pria idamanmu, kala perkenalan benar-benar berlangsung di dunia nyata.

Dan akhirnya, sampailah ia di satu momen yang sangat istimewa, hanya menurut perasaannya sendiri. Di satu hari, ia bertemu denganmu di sebuah pelataran kampus yang lengang, di bawah percikan hujan bulan Januari. Kalian berpapasan, hanya berdua, dalam suasana hening, di tengah deru hatinya yang mengguncang. Dia menatapmu sepanjang jarak, hingga kau pun balas menatapnya di jarak terdekat, sembari memicingkan mata rabunmu yang tanpa kacamata.

Cukup dengan raut wajahmu yang bersahabat di momen perpapasan itu, ia merasa tak perlu menunggu bulan Januari berlalu untuk melakukan sedikit langkah maju. Dan dengan penuh percaya diri, ia memohonkan jalinan komunikasi dua arah padamu, di sebuah platform media sosial yang bersifat sepihak. Hingga, kau pun mewujudkan harapannya, hanya dalam hitungan jam. Maka menjalarlah keakuannya, seperti jamur-jamur yang tumbuh di musim hujan.

Imbas kegilaannya pun, berlanjut. Tak ada malam yang ia lalui tanpa mengunggah bentuk perasaannya padamu, melalui status-status yang ia gubah sesastrais mungkin. Ia berharap kau mengeja alur perasaannya dengan rasa berbunga-bunga, meski kau tak harus menunjukkannya dengan memberi balasan atau tanggapan dalam bentuk apa pun. Baginya, mengutarakan perasaan di media sosial, meski tak berbalas, terhitung cukup untuk menenangkan perasaan. 

Jauh dari apa yang ia perkirakan, kau ternyata menunjukkan sikap yang sangat bersahabat di media sosial. Berberapa kali kau menanggapi status yang ia unggah, dan ia merasa, itu semacam berkah yang tak ternilai. Membuatnya merasa menjadi lelaki paling beruntung di dunia. Dan hari demi hari, ia menunjukkan gejala ketidakwarasan yang berbahaya. Ada indikasi bahwa ia betah menggantung dirinya sendiri di antara ilusi dan kenyataan, sampai tak sadar jadi gila.

“Jangan terlalu merasa. Dia mungkin tak bermaksud apa-apa padamu.” Satu peringatan untuknya, setelah ia menguraikan secara detail kisah hidupnya yang serupa cerita fiksi.

Tapi dengan sikap tak peduli, ia tetap bersikukuh bahwa kau juga punya benih perasaan padanya, yang hanya butuh sekelumit kondisi untuk tumbuh jadi subur. “Apalagi yang perlu diragukan. Jelas, ia punya ketertarikan padaku!”

“Bukti nyata apa yang membuatmu yakin, bahwa ia menyukaimu. Apa kau pernah bersalaman, mengobrol, hingga menyatakan perasaan padanya? Tidak kan? Lalu, apa yang membuatmu yakin bahwa kau tak akan salah menerka?” Satu bantahan lagi, agar ia sudi berpikir jernih, dan tak memastikan apa-apa sebelum bertindak.

Mulutnya pun tercekat. Seakan-akan tak punya balasan, kecuali ia bersedia mengakui kekeliruannya, sebab telah menanggapi tanda-tanda darimu secara berlebihan.

“Rasa suka yang tak terkontrol, memang bisa membuat orang lupa diri.” Kemudian, terbersitlah satu saran terbaik, sebagaimana akan terpikirkan oleh orang waras pada umumnya. “Tidakkah sebaiknya kau mulai keluar dari dunia imajinasimu? Berhentilah sekadar menjadi pengagum! Berhentilah jadi penulis pengecut, yang hanya bisa jujur lewat kata-kata tertulis! Sudah semestinya kau menyampaikan perasaanmu secara langsung kepadanya!” 

Seketika, ia tampak kalut. Matanya menatap kosong pada layar laptop. Ia jadi bingung harus menjawab apa. Bingung membuat narasi ataupun dialog cerita selanjutnya. Bingung, setelah sadar berada dalam ketidakyakinan yang logis tentang masa depan, bersamamu. 

Di dalam kekalutan, ia pun mendiamkan cerita yang masih menggantung. Ia lalu menghempaskan badan ke sandaran kursi, menghela dan mengembuskan napas yang dalam, kemudian mengambil gitar berwarna merah yang tergeletak di sebelah kirinya. Dan untuk kisah tentang dia dan kau, satu kisah yang tak tahu akan berujung ke mana, ia pun menyanyikan lagi Gigi-11 Januari, diiringi petikan gitarnya sendiri.

Dan di bulan Januari ini, fase awal cerita sepihaknya bersamamu, berakhir setelah tanda titik terakhir, bersamaan dengan matinya aku sebagai sosok pencerita yang ia peralat hanya untuk menghindari penyebutan “aku”, orang pertama dalam cerita, sebab ia khawatir jika kau membaca jelas bahwa cerita ini bukanlah rekayasa, tentang dirinya.
.

Rasa Cokelat

Ada rencana besar yang hendak kuwujudkan sesegera mungkin. Satu rencana yang kutunda-tunda sejak lama. Tentang rasa, yang selama ini kuabaikan demi sekelumit persoalan yang kuanggap lebih penting. Dan hari ini, atas sepi yang terus mendera, tandas sudah kesabaranku. Aku bertekad meluruhkan isi hati pada seorang wanita, agar aku tak lagi dirundung pilu atas kesendirian.
 
Sejujurnya, bukanlah kesendirian yang mendera perasaanku. Aku bisa menikmati kehidupan seorang diri, sebab aku yakin, relasi atas nama cinta, hanyalah kedok untuk saling menjajah. Tapi akhirnya, aku tak bisa menyangkal perlunya menggandeng seorang perempuan, setelah harga diriku sebagai seorang lelaki, diinjak-injak, dan aku dicap seumpama barang bermutu rendah yang tak laku-laku.

Dan dari beberapa perempuan yang kukenal, kupilihlah satu di antaranya sebagai sasaran. Dia tampak cantik dan menarik. Tingkahnya lugu dan polos. Tapi bukan karena itu aku menargetnya. Apalagi rupa seperti dia, jelas, masih terkalahkan oleh banyak perempuan lain. Ketetapanku itu, memang tak bersandar pada apa-apa, selain untuk memegang jaminan bahwa aku akan mengecap bagaimana rasanya memiliki kekasih.

Setelah kutimbang-timbang, aku memang yakin bahwa perempuan yang kusasar, tak akan menolak perasaanku. Dia bukanlah seorang wanita yang lahir dan besar di kota, sampai pola pikir kekotaan membuatnya perhitungan. Yang kutahu, dia hanyalah gadis desa, yang kini menjelma serupa gadis kota yang lain. Dan karena asal-usulnya itu, kutebak, ia masih menikmati kesederhaaan, seperti juga aku.

Dengan perasaan yang tak menggebu, kuajaklah ia berjalan-jalan menelusuri kota. Menuntunnya ke sejumlah tempat yang kuanggap menarik di mata perempuan secara umum. Entah untuk melihat kerlap-kerlip lampu, lalu lalang kendaraan, atau manusia yang bergumul di sejumlah tempat. Dan kuharapkan, ia tak meminta lebih dari sekadar melihat, sebab aku tak punya bekal yang cukup untuk nafsu yang tak terkendali.

Jelas saja, salah satu yang paling kutakutkan dalam perhubungan kekasih adalah masalah ketidakpengertian pada kondisi masing-masing. Atas nama hubungan, maka pengorbanan diharuskan tanpa pamrih. Bahwa seorang lelaki, berkewajiban untuk memenuhi permintaan sang kekasih yang neko-neko. Tak elok jika menawar-nawar, protes, apalagi menolak. Sampai akhirnya, uang jajan yang terbatas sebagai mahasiswa asal kampung, akan terkuras habis atas nama cinta.

Tapi sekali lagi, momok semacam itu, tak aku khawatirkan. Semua telah kuperhitungkan dengan matang. Atas wataknya yang mencintai kesederhanaan, pastilah, ia akan menyambut perasaanku dengan senang hati, tanpa syarat. Lalu sepanjang hubungan kami, nanti, ia tak akan tetap bersetia pada kesederhaan, sebagaimana aku. Yang akan ia dibutuhkankan hanyalah kenyamanan yang pas, yang tak berlebihan, dan aku bisa memberi dengan apa adanya.

Atas kepastian yang telah kupikirkan, aku jadi semakin tak sabar. Aku tak tahan lagi untuk segera memastikan bahwa esok hari, aku akan menggandeng seorang wanita di depan orang-orang. Tak sabar menyaksikan raut keheranan mereka-mereka yang menganggapku tak berharga di hari kemarin. Dan untuk itu, sesegera mungkin, aku hendak menuntunnya pada sebuah kedai sederhana, di tepi kota, sebagai latar tempat yang kupikir, pas untuk prosesi sakral.

Kulihatlah, ia telah puas memandangi hiasan-hiasan kota. Ada kebosanan yang terpancar di wajahnya, setelah sedari tadi, hanya melihat-lihat keramaian di sana-sini. Dan saat aku nyaris menyatakan maksudku untuk segera beranjak, sial, seketika juga, ia menyampaikan keinginannya untuk bersantap dan mengobrol di sebuah kedai modern, di dalam sebuah mall yang begitu megah.

Dan akhirnya, duduklah kami di satu meja yang bersih-mengkilap. Berhadapan dengan perasaan yang berbeda. Ada kegembiraan di wajahnya, sedang aku merasa kelimpungan sebab harus menanggung tagihan setelahnya. Hingga ketakutanku benar-benar menjadi kala ia memesan sejumlah makanan, juga dua porsi es krim dengan nama asing, yang akhirnya kutahu hanyalah semangkuk es rasa coklat. Satu untukku, dan satu untuknya.

Setelah selesai dengan urusan es krim yang terpaksa harus kuikhlaskan, kami pun beranjak pergi. Tapi sial bagiku. Belum juga keluar dari pusat perbelanjaan, ia menyeretku pada sebuah gerai yang menjajakan kue segala macam rasa. Seketika, ia lalu mendendangkan keinginannya untuk membeli beberapa. Dan akhirnya, lagi, aku harus merelakan uangku demi kue dengan nama asing, yang belakangan kutahu hanyalah pisang bertabur irisan cokelat.

Dan setelah urusan pembayaran yang kurasa berat telah selesai, bergegaslah aku melangkah, sembari berharap ia turut. Aku harap, tak ada lagi rupa-rupa yang akan menyita perhatiannya, sampai aku harus menyisihkan uang bekal hidupku yang mengkhawatirkan. Tapi lagi-lagi, sial. Aku harus berhenti beberapa meter sebelum gerbang, setelah ia meminta dibelikan es krim impor rasa cokelat. Dan lagi, aku harus mengalah.

Dan selanjutnya, legalah aku. Bersama kegelisahan yang tak tertahankan, aku berhasil menuntunnya keluar, menjauh dari ruang pemborosan, hingga kupastikan, tak ada lagi soal-soal cokelat dan segala macamnya. Yang tersisa sebelum kami berpisah menuju ruang perenungan masing-masing, hanyalah rencanaku untuk mengajaknya bersantap di warung sederhana, di mana aku akan menuturkan kata-kata membuai. 

Kini, tak ada lagi halangan untukku menuntaskan rencana itu. Tapi di balik kemudi sepeda motor, kuhitung-hitung lagi, ternyata dana untuk awalan prosesi malam ini, telah melebihi dari yang telah kuanggarkan. Akhirnya, setelah kupikir matang-matang, kukukuhkan tekadku untuk membatalkan rencana. Kupikir, untuknya, sudah cukup aku berkorban banyak demi sesuatu yang belum seharusnya, walaupun besok-besok, aku harus rela menerima olok-olokan lagi.

Akhirnya, kuingat lagi sebuah pesan singkat yang masuk ke dalam telepon genggamku, kemarin. Pengirimnya adalah ibuku sendiri. Ia mengabarkan kalau ayahku butuh bantuan untuk mengurus kebun kakao yang belakangan tak banyak menghasilkan. Dan karena itu, di libur semester ini, ia berharap agar aku bisa pulang, membantu urusan kebun barang beberapa hari. Merawat dan memetik buah-buah kakao yang kini jatuh harga, yang di waktu selanjutnya, akan menjadi  pemahal santapan di kota.

“Bukankah kau mengajakku berjalan-jalan karena kau ingin mengatakan sesuatu yang penting? Perasaan, kau belum mengatakan satu hal penting malam ini,” katanya, polos, sedikit manja.

Tanpa pikir panjang, aku pun membalas, “Tak ada apa-apa. Aku hanya ingin mengatakan bahwa aku senang bisa membuatmu senang malam ini.”

Dari sadel sisi belakangku, ia terdengar tertawa gembira. “Jadi, kapan lagi kau mengajakku jalan-jalan?”

Mulutku tersekat seketika, seperti melihat sesosok makhluk halus. Dan demi diriku sendiri, aku tak hendak menjanjikan apa-apa lagi. “Entahlah,” kataku, tanpa berhasrat memancing obrolan selanjutnya, selain berbicara dengan hati nuraniku sendiri, di tengah kebisingan kota. 

Senin, 15 Januari 2018

Seorang Anak yang Membunuh Ibunya Sejak Lahir

Tak semua dalam kendali sadar. Ada yang terlahir tertimpa cela, hingga mati membawa rasa bersalah. Hidup beserta kutukan yang hanya bisa diterima, sampai tak ada guna bertanya mengapa. Hanya sebuah ketidakberdayaan, yang lalu disangka tindakan aktif dan sengaja, meski itu berlangsung tanpa akal sehat sekali pun. Satu takdir kehidupan yang terjadi tanpa hak untuk memilih jalan selainnya. 
 
Hidup Jurgan dilingkupi misteri yang sama. Ia mengembuskan napas pertama, sembari membawa petaka. Ia terlahir ketika seseorang pergi meninggalkan dunia, selamanya. Terlahir, sembari membunuh ibunya sendiri. Satu kejadian tragis yang sebenarnya, tak ia sadari. Terjadi begitu saja, tanpa daya untuk melawan. Hingga ia harus menerima kenyataan, bahwa kelahirannya, adalah sebab ibunya meninggal. 

Terlahir sebagai pembunuh. Begitulah Jurgan menerima takdir. Kenyataan yang membuat ia hidup dalam keterasingan. Merasa bersalah dan terus dipersalahkan. Kala tak sempat mengecap kasih dari sang ibu, ia malah berkalang nestapa karena dikucilkan. Ibunya pergi, tanpa sekali pun memberinya belaian. Nahas, sang ayah yang begitu sedih ditinggal pergi istri tercinta, malah turut mempersalahkan dan membenci dirinya sejak lahir, sepanjang waktu.

Sampai akhirnya, terjadi satu peristiwa yang membuat Jurgan turut mengutuk dirinya sendiri. Di satu pagi yang tenang, saat umurnya genap 12 tahun, ia terbangun dalam suasana hening, tanpa suara gaduh dari tingkah emosional sang ayah. Tak ada gertakan memerintah, meminta sarapan dan segala macam. Hingga, ia menyaksikan ayahnya terkulai lemas, di samping belati yang memerah. Berbaring tak berdaya, diikelilingi darah yang mulai mengental dari arah lehernya. 

Seketika, setelah sang ayah mengakhiri hidupnya sendiri, trauma mendalam, bercokol di memori Jurgan. Ia jadi takut soal apa pun perihal darah. Bahkan untuk sekadar menepuk nyamuk yang hinggap di tubuhnya, ia tak mau, sebab takut melihat darah yang melepek. Tampakan darah bisa memunculkan rasa mual dan muak di benaknya, sebab ia akan terbayang dirinya sendiri yang terbalut darah pembunuhan sejak lahir, hingga ia pun teringat lagi, telah menjadi sebab ayahnya bersimbah darah, mati, di waktu kemudian.

Jurgan merasa ada roh kehausan darah yang menyertai hidupnya. Bernafsu seperti iblis yang ingin manusia saling menumpahkan darah di muka bumi. Rasa-rasanya, bau anyir darah, menyesaki ruang kehidupannya setiap saat. Darah sebagai pertanda kematian itu, seakan membalut jiwa dan raganya. Menyelubungi dirinya begitu erat, hingga ia tak bisa lepas dari bayang-bayang pembunuhan, sebagaimana kenyataan, bahwa ia memang terlahir berlumuran darah, bersamaan dengan kematian ibunya.

Nuansa kelam kehidupan Jurgan, akhirnya membuat ia menjadi seorang lelaki yang tak bernyali. Ia enggan melanglang ke mana-mana, sebab takut orang mengindrainya, dan musibah kematian terjadi lagi. Ia kukuh mengurung diri, sebab tak ingin lagi ada darah dan kematian akibat kehadirannya di bumi. Ia tak ingin banyak tingkah, hingga celaka berdarah menimpa dirinya atau orang lain. Bahkan, ia tak ingin menghadiri upacara penyembelihan hewan, sebab tampakan darah akan membuat ia bernapas setengah mati.

Dan, terjadilah kegemparan di desa. Jurgan yang fobia darah selama bertahun-tahun, berubah seketika. Di usia 22 tahun, ia malah menjadi seorang lelaki yang menikmati prosesi penyembelihan hewan yang dipesan di rumah jagal, tempat ia bekerja sejak tiga minggu lalu. Bahkan ia jadi sangat telaten menguliti dan mencincang hewan dengan pisau miliknya, sebuah pisau yang tajam-mengkilap. Dan warga, meskipun turut bersyukur atas kemampuan Jurgan mengendalikan diri, tetap dilanda keheranan.

Tak ada yang tahu pasti, apa gerangan yang membuat Jurgan berani bersentuhan dengan darah. Para warga hanya menduga, Jurgan telah menerima keadaan dirinya sebagai manusia biasa, yang tak semestinya takut pada darah. Kenyataan bahwa ibu dan ayahnya meninggal atas dirinya, diduga warga, telah mampu ia kompromikan. Begitu pun dengan kepergian istrinya yang tengah mengandung, yang menghilang entah ke mana, sejak sebulan lalu, diduga warga telah memberinya pemahaman bahwa darah dan kepergian, tak mesti bersangkut-paut.

Sejak Jurgan berani berurusan dengan darah, Senda, seorang duda, tetangganya sendiri di tepi bukit terpencil, menjadikannya partner terbaik dalam berkerja. Lelaki yang sering bertindak selaku penjagal hewan itu, jelas merasa terbantu atas kehadiran Jurgan. Pesanan daging ternak di rumah jagal milik Pak Jur, tempat mereka bekerja, terpenuhi tepat waktu. Semua karena Jurgan begitu telaten melaksanakan tugasnya. Urusan menguliti, memotong, dan mencincang, ia tunai dengan baik. 

Dan saat mereka begitu dekat, di waktu petang, tanpa dikira Senda yang baru saja pulang dari pasar, Jurgan datang menghampirinya di persimpangan jalan dengan napas terengah-engah. Ia lalu menyampaikan kabar buruk.

“Jangan pulang ke rumahmu!” kata Jurgan, dengan embusan napas yang memburu. “Warga sedang berkumpul di sana. Mereka sedang mencarimu.”

Senda sedikit menengadah. Matanya tertuju pada asap yang membumbung ke langit, tepat di sekitar lokasi rumahnya berada. “Apa yang terjadi?”

Jurgan menarik napas dalam-dalam. Tampak mencoba menenangkan diri. “Pak Jur ditemukan warga dalam keadaan meninggal di belakang rumah jagal.”

Jelas saja, Senda kaget. “Lalu?”

“Mereka menduga, kau adalah pelakunya,” tutur Jurgan seketika, lalu mengusap-usap dadanya. “Mereka menemukan pisau andalanmu, tergeletak di samping Pak Jur.”

Mata Senda membelalak. Raut wajahnya suram. Tampak ketakutan. “Bagaimana bisa?”

“Aku juga tak tahu,” kata Jurgan, sembari menampakkan raut kebingungan. “Lebih baik, kau menyelamatkan diri,” sambungnya lagi, sambil menyepah lengan Senda. “Ayo cepat, kita bergegas ke bukit. Di sana, ada balai kecil, tepat di lahan milik kakekku. Ada baiknya kau berdiam diri di sana, sebelum keadaan menjadi jelas dan tenang.”

Senda pun menuruti saran Jurgan. Tanpa banyak cakap, ia mengikuti ke mana pun Jurgan menuju. Mereka lalu melangkah ke belakang perkampungan, sampai menghilang di balik semak-semak. Menyeberangi sungai, hingga melewati belukar, juga pepohonan yang menjulang tinggi. Tak peduli perih tergores duri, kayu, atau batu, mereka terus melangkah, sekencang-kencangnya. Bergegas, demi lolos dari kejaran warga, sebagaimana yang tergambar dalam khayalnya. 

Lebih dari sejam kemudian, mereka berdua pun tiba di puncak bukit yang lengang. Tak ada apa-apa, kecuali bebatuan, pepohonan, juga binatang dengan kesibukan masing-masing. Mereka berdua kemudian menyeret raga yang kehabisan daya menuju tepi bukit, tepatnya di sebuah balai kecil beralaskan tanah. Untuk beberapa saat, mereka pun mengistirahatkan diri di bawah teduhan pohon kemiri yang berjajar dan menjulang. Meresapi tiupan angin yang menghapus peluh, sembari meneguk air hujan yang tertadah pada sebuah ember.

”Apa yang menjadi dugaanmu, sampai warga tiba-tiba menuduhku sebagai pelaku?” tanya Senda, setelah ia bosan dalam keheningan, sedangkan Jurgan hanya diam sedari tadi, sebagaimana wataknya yang memang tak banyak cakap, kecuali ada persoalan penting.

Dengan raut wajah yang datar-datar saja, seperti biasa, Jurgan mengutarakan pendapatnya. “Karena pisau andalanmu ditemukan di samping jasad Pak Jur.”

“Sial!” kesal Senda. “Bukankah sebaiknya mereka menemui dan meminta klarifikasi kepadaku terlebih dahulu? Kenapa hanya karena persoalan pisau itu, mereka seketika mencapku sebagai pelaku?”

Jurgan segera menimpali. “Aku kira, istri Pak Jur turut mempersangkakan dirimu. Ia tahu kalau kau beberapa kali protes soal imbalan kerja. Mungkin ia menduga, kau tega membunuh Pak Jur karena kau tak terima atas besaran gaji selama ini, dan warga mengamini dugaan itu.” 

Senda menggeleng-geleng saja. Tampak tak terima. Kekalutan, jelas tergambar di wajahnya. Ia lalu menarik napas dalam-dalam. Mencoba menenangkan emosi. Tak berselang lama, ia bertanya, “Kau percaya padaku kan?” 

Lagi-lagi, dengan sikap yang biasa, Jurgan mengangguk, tanpa menoleh pada Senda.

Anggukan Jurgan, sedikit menenangkan perasaan Senda. Dengan perasaan aman, ia lalu membaringkan badan secara perlahan, kemudian menatap langit yang mulai kelabu.

Jurgan pun berdiri. Beranjak ke arah barat. Menuju pada sebuah drum, tempat air hujan tertampung. Ia lalu menggosok-gosok pisau kesayangannya pada sebuah batu asah. Sesekali, ia meraba sisi tajam pisau yang tampak mengkilap, kemudian digosoknya lagi. Begitu terus. Sampai nanti, ia berhenti kala memperoleh hasil terbaik.

Sambil terus mengasah pisaunya, pikiran Jurgan terbawa ke masa lalu. Ia teringat lagi pada satu obrolan dengan istrinya.

“Pak, aku hamil,” kata Sumi, istrinya.

Bukannya merasa senang, raut sedih berbalut amarah, malah tergambar di wajah Jurgan. “Apa? Kau hamil?”

Sumi mengangguk, takut. “Aku ingin seorang anak, Pak.”

Jurgan menyanggah seketika. “Perempuan bodoh! Berapa kali aku harus bilang, kau tak boleh hamil!” gertaknya, seusai melayangkan tamparan keras di wajah sang istri. 

Sumi tertunduk. Menangis. Kehabisan kata-kata.

Seketika, rasa kasihan, menjangkiti perasaan Jurgan. “Jangan menangis. Aku mohon…!”

Sumi berusaha meredakan tangisnya. Ia jelas tak ingin suaminya semakin murka.

Tapi tetap juga, emosi Jurgan, meninggi secara perlahan. Sampai terdengarlah erangan kerasnya di langit-langit kamar, sebelum ia kembali menuturkan perasaan kesal. “Aku tak menggaulimu! Tak akan pernah! Kau tahu kenapa? Karena aku tak ingin kau hamil! Semua itu karena aku menyayangimu! Aku tak ingin kau pergi meninggalkanku! Kau mengerti?” 

Sumi ketakutan. Tak kuasa bersuara. Hanya mengangguk.

“Kalau tahu, kenapa kau membangkang!” bentak Jurgan lagi, sembari meronta-ronta sendiri. Beberapa perabot rumah pun, dilemparnya ke sembarang tempat. Hingga akhirnya, ia bertanya dengan amarah terpendam, “Siapa yang telah mengantarkan bakal bayi terkutuk itu ke dalam rahimmu?”

Sumi bungkam.

Kesal, Senda pun melayangkan gertakan, tamparan, hingga pukulan bertubi-tubi kepada sang istri.

Dalam ketidakberdayaannya, Sumi lalu menyebutkan sebuah nama dengan tutur gagu. Sebuah nama yang jelas tak asing di telinga suaminya.

Dan seketika, sembari terbayang wajah seseorang yang telah mengantarkan istrinya pada gerbang kematian, Jurgan lalu menghujamkan pisau, tepat di tempat persemayaman janin yang dianggapnya terkutuk, di rahim istrinya, berulang kali. “Aku mencintaimu! Aku tak butuh siapa pun selain dirimu! Aku tak menginginkan seorang anak yang akan terlahir sebagai pembunuh dan membunuhmu! Aku tak ingin!” Ia lalu mendekap istrinya yang jatuh terkulai, bersimbang darah. “Tapi kenapa kau melakukannya!” murka Senda.

Tanpa sempat berkata-kata lagi, Sumi memejamkan mata untuk selamanya. Ia terbunuh, bersama bakal bayinya sendiri. Dan kini, tanpa diketahui siapa-siapa, jasadnya telah terurai di jurang lembah yang sepi. 

Bersama perpaduan amarah dan kesedihan, Jurgan pun tersadar dari menungannya.

Dan di sisi lain, Senda yang nyaris terlelap, bangkit dari pembaringan. Ia lalu menatap ke langit sore, kemudian menoleh ke segala arah. Mencar-cari keberadaan Jurgan. Hingga matanya tertuju ke sebelah utara, pada sebuah selendang yang menggantung di rentangan tali. Dengan penuh rasa penasaran, ia melangkah menuju kain berwarna biru itu. Kain pembalut badan yang selama ini terlipat rapi di dalam lemari kamarnya. Satu benda milik seorang perempuan, temannya memadu kasih secara sembunyi-sembunyi.

Tepat di langkah terakhir, kala ia hendak mengambil selendang kenangannya, tiba-tiba, ia menapaki sebuah benda tajam, sebuah besi pipih, yang seketika menembus punggung kakinya. Dan tak cukup sedetik, selingkaran besi, memborgol pergelangan kakinya, erat, sampai dagingnya terkelupas hingga ke tulang. Pelan-pelan, ia berhasil menarik kakinya dari tusukan besi yang tertanam. Lalu, sembari meredam rasa sakit yang tak terkira, ia mencoba lepas dari cengkraman besi. Tapi sia-sia. Borgol itu, tersambung dengan rantai logam yang terikat pada satu tiang besi. 

Sambil meringis kesakitan, dengan posisi tubuh yang tengkurap di tanah, Senda pun melihat kenyataan atas kepicikan yang telah menyeretnya sampai ke puncak bukit. Di sela-sela pepohonan, terlihat juga olehnya, di tempat yang jauh, di bawah lembah, di kaki bukit, sebuah atap rumah mengkilap terang. Dan tanpa keraguan sedikit pun, ia yakin bahwa rumahnya masih berdiri kokoh. Sedangkan rumah Jurgan yang semi permanen, telah menghilang di bawah bumbungan asap yang berarak ke langit.

Tak lama berselang, Senda mendengar gemerisik dedaunan kering, susul-menyusul. Semakin terdengar, detik demi detik. Dan kala ia menoleh, dilihatnya Jurgan berdiri tepat di sisi belakang. Berdiri dengan raut wajah yang datar, dengan tangan kanan yang menggenggam sebilah pisau yang tajam-mengkilap.

Setelah mengulur waktu beberapa detik, saat langit nyaris gelap, Jurgan pun menuntaskan kehendaknya yang terakhir. Kehendak yang ditandaskannya dengan sebuah pisau kesayangan, yang telah menyelamatkan istrinya dari kelahiran jabang bayi yang dianggapnya terkutuk. Kehendak yang dilakoninya dengan senang hati, sebagaimana saat ia mengurusi seekor sapi sembelihan. Dan semua itu dilakukannya dengan perlahan, setahap demi setahap. 

Hingga akhirnya, berpencarlah jasad Senda di satu jurang yang dalam, menyusul bakal bayinya yang masih tertanam dalam perut sang ibu. Dan dalam kekalutan hati yang sulit diterka, Jurgan pun melayangkan tubuhnya, jatuh ke dasar jurang yang sama, yang berbatu, menyusul Senda, seorang lelaki yang ia cap telah mengantarkan istrinya pada kematian.

Pencinta Kata

Entah beberapa kali kita berpapasan. Aku tak tahu, sebab aku tak menghitung jumahnya. Yang pasti, sering kali. Tapi semua berlangsung begitu cepat, dan berlalu begitu saja. Tak ada komunikasi berarti, yang membuat rangkaian perjumpaan itu, menjadi penting untuk kuarsipkan. Paling, kau hanya memandangku, sembari melayangkan senyuman terpaksa. Dan atas sikapmu yang dingin, aku sadar diri, tak akan menjadi pemeran utama dalam imajinasimu.
 
Akhirnya, banyak hari yang aku habiskan demi menemukan momen yang tepat bersamamu. Beberapa kali aku berkunjung ke sebuah toko buku favoritmu, sambil berharap-harap cemas, bahwa kau akan muncul tiba-tiba. Datang mencari buku yang akan menjadi teman sepimu, atau sekadar berjalan-jalan. Apalagi kulihat, beberapa hari sudah, blog pribadimu tak lagi memuat cerita-cerita baru. Kupastikan, sebagaimana penulis, kau sedang kehabisan ide dan butuh bahan inspirasi, semacam buku. 

Dan terjadi juga. Dari sekian banyak kemungkinan, akhirnya, kita bertemu di sebuah toko buku yang kumaksud. Kau muncul sembari melayangkan senyuman singkat padaku. Jelas, aku merasa gugup. Apalagi kala jarak kita semakin pendek. Bersisian berdua, di antara jajaran buku yang bisu. Entah bagaimana juga bentuk perasaanmu. Yang kulihat, kau sibuk sendiri, mencari buku yang kau tuju. Kau tampak enggan mengobrol denganku, atau setidaknya bersapaan.

Jelas saja, aku tak ingin melewatkan kesempatan emas itu. Aku ingin kita berkomunikasi, lebih dari sekadar berbagi tanda. Dan kuharap, perlahan, kelak, kita ditakdirkan menjalani sebuah kebersamaan, hingga kau tergugah untuk menjadikanku sebagai tokoh utama dalam cerita-ceritamu.

“Hai, Ringgo,” kataku, segan, sambil mengangkat tangan, sebahu. Kurasa, sebagai teman sekampus, meskipun kita tak pernah mengobrol, kau tak akan heran namamu kusebut tanpa perlu berkenalan lebih dahulu.

Kau menoleh padaku, tersenyum singkat, kemudian berpaling lagi dariku.

Aku pun jadi kikuk. Ada jeda tiga detik untuk aku meredakan kecanggungan, hingga ketenanganku pulih untuk segera melontarkan kata. “Cari buku apa?”

Kembali, kau menoleh padaku dengan tatapan yang tajam. “Entahlah. Aku tak punya target. Aku hanya melihat-lihat. Kalau ada yang menarik, ya aku beli,” katamu, kemudian lekas berpaling pada deretan buku yang terpajang. “Ada kalanya, kita tak perlu menetapkan sasaran, biar keadaan yang menuntun kita pada pilihan.”

Seketika, aku terkesan pada tutur katamu. Terdengar indah. Seakan-akan kau sedang membaca kalimat-kalimat yang kau tuliskan di blogmu. “Ya, kau benar. Aku ke sini, juga tanpa tahu akan beli buku apa.” Aku lalu berdehan. Memberi aba-aba sebelum menuturkan sebuah permintaan. “Kamu ada saran buku untuk pembaca fiksi pemula, seperti aku?”

Segera saja kau melangkah ke sisi kiri. Mengambil sebuah novel terbitan lama. “Karena kau mengaku diri pemula, novel ini, bisa jadi cocok untukmu. Ceritanya menarik. Tata bahasannya juga rapi, tanpa majas-majas yang berlebihan.”

Aku lalu menyambut sodoran buku pilihanmu. “Terima kasih,” kataku.

Sambil tersenyum, kau mengangguk. Mengucap kata berpisahan, kemudian beranjak pergi, sembari menenteng sebuah novel luncuran terbaru.

Dan kala hadirmu belum cukup membalas penantianku yang lama, kau telah menghilang. Tapi aku sadar, memang tak ada alasan untukmu berlama-lama denganku. Kita tak punya relasi dalam soal apa pun, sehingga kau boleh mengabaikanku setiap saat. Namun anggapanku bahwa kau adalah seorang lelaki yang cuek dan tak peduli, ternyata harus kuralat sesegera mungkin. Sungguh, aku tak benar-benar merasa diabaikan, setelah tahu, kau pergi dengan terlebih dahulu membayar tagihan untuk novel yang kau pilihkan sendiri untukku. 

Pertemuan singkat kita di toko buku, menjadi awal dari sebuah kisah penuh misteri. Kau memang tak seramah lelaki lain, tapi kukira, bukan berarti tak perhatian. Rasa-rasanya, kau hanya ingin menjajaki kedekatan denganku secara perlahan. Layaknya sebuah cerita fiksi, perlu juga mengulur-ulur adegan, untuk disambung di lain waktu. Kau sengaja pergi kala aku masih memendam tanya, agar aku mencarimu demi sebuah jawab. Kau bersikap cuek, setelah yakin bahwa benih-benih rasa yang kau tabur dengan pesona, akan tumbuh dalam hatiku. Kau meninggalkanku dengan sebuah buku, yang jelas akan membuatku terus terkenang tentang kita.

Benar saja, hari demi hari, kita menjadi semakin akrab karena sebuah buku yang kau hadiahkan padaku secara tidak langsung. Awalnya, aku menghampirimu, lalu pura-pura memaksa agar kau sudi menerima uang pengganti dariku. Tapi, kau berkeras menolak. Aku pun mengalah, setelah menegaskan padamu, bahwa aku akan tetap menganggap buku itu adalah milikmu. Aku berjanji akan mengembalikannya suatu saat nanti.

Dan status kepemilikan buku yang menggantung, menjadi kedok untuk kita lebih dekat. Bukan hanya aku, tetapi kubaca jelas, kau juga suka memanfaatkan benda itu sebagai alasan untuk berkomunikasi denganku. Kau rajin mengapeli perkembangan bacaanku. Kau menuntunku supaya membaca sampai tuntas, agar kita bisa membedahnya sama-sama. Kau berucap tegas, tak akan mau menerima kembali novel itu sebagai milikmu, sebelum aku mengkhatamkannya, dan mengerti sekilas soal sastra. 

Seiring waktu, hubungan kita jadi semakin dekat. Tak ada kepura-puraan lagi, sampai keseganan pun sirna. Kita berani jujur satu sama lain, untuk semua perihal tentang kita. Tak ada halangan untukku meminta kala membutuhkanmu, sebagaimana kau membutuhkanku. Ketulusanmu, sebagaimana ketulusanku. Kita, hanya kita. Hingga, sampailah pada saat-saat yang membahagiakan, pada puncak cerita, kala kau mengutarakan perasaan padaku, dan aku menerimanya dengan senang hati.

Pada hari-hari yang panjang, kita pun sering jalan beriringan. Kau tak lagi mengunjungi toko buku seorang diri, dan aku pun tak harus menanti kehadiranmu di ruang dan waktu yang tak menentu. Kita bersama, penuh kerelaan, sebab kau dan aku, telah mampu meleburkan ego pribadi ke dalam ego kita. Aku dan kau, di satu, kita. Hingga, kita pun tak pernah mempermasalahkan siapa gerangan pemilik novel yang telah mempertautkan kita dalam hubungan yang tak biasa.

Dan sebagai pujaan hati dari seorang penulis, harapanku yang lain pun terwujud. Kutilik beberapa cerita di blog pribadimu, dan aku bisa memastikan, bahwa kau menuliskan tentang kita. Kau menulis tentang pertemuan kita di toko buku, tentang kita yang berdiskusi soal karya-karya sastra, hingga tentang kita dalam momen penghabis waktu yang tak penting. Kau menuliskan semua itu dengan penuh perasaan, hingga narasimu kurasa lebih indah dari kisah nyata. 

Tapi akhirnya, yang kuduga, terjadi juga. Sebagaimana kegilaan penulis, kau larut dalam duniamu sendiri. Kehadiranku sebagai tokoh utama dalam ceritamu, malah merentangkan jarak di antara kita. Kau jadi sibuk bermain dalam imajinasimu tentang kita, sampai lupa dengan hubungan kita di dunia nyata. Perhatianmu tercurah pada kata-kata yang kau tuliskan, hingga kau tak berselera lagi bertutur sapa denganku. Tanpa rasa bersalah, kau bahkan abai mempertanyakan kabarku setiap waktu, seperti biasa. Hingga aku pun pasrah menerima kenyataan, bahwa aku padamu, hanyalah ilusi yang hidup dalam kata-kata.

“Aku merasa, hubungan kita cukup sampai di sini,” kataku, saat bertemu denganmu di sebuah kafe. Aku bertutur dengan sedikit rasa takut, bilamana kau berat hati menerima keputusanku. “Tapi aku tetap berharap, kita masih berteman baik, seperti seharusnya.”

Kau mengangguk-angguk. Seperti tanpa beban. “Ya, kalau itu keputusan yang kau inginkan, aku tak masalah.”

Sungguh, aku heran melihat sikapmu. Begitu tak acuh. Seakan-akan tak pernah ada rasa cinta dalam hatimu, untukku. Sampai kuduga, kau tak lagi peduli padaku sedikit pun. Kau telah menyimpan tentangku dalam dunia imaji. Kau mencintai kehidupan fiksi itu dan seisinya, sebagaimana seorang penulis sejati yang tak pernah tulus mencintai apa pun, selain kata-kata tertulis dan bayangan imajinasinya. Aku sadar tentang itu, bahkan sebelum kita bertemu di toko buku.

“Ambillah kambali novel milikmu ini,” kataku, sembari menyodorkan novel yang pernah menghubungkan kita. “Aku memberikannya padamu, bukan karena kita berpisah, tetapi karena aku telah memenuhi tantanganmu. Aku telah memahami arti dunia fiksi, dan orang-orang yang bergelut dengan itu.”

Kau tersenyum. “Apa kesimpulanmu?”

“Penulis fiksi, hanya seorang pencinta kata-kata. Tak lebih dari itu,” tandasku.

Kau mengangguk. Tampak setuju.

Aku tersenyum singkat, pamit, lalu menghilang dari pandanganmu.

Keesokan harinya, kulihatlah, kau menuliskan cerita terakhir tentang kita di blog pribadimu. Kau menuliskan, betapa tragis kisah seseorang yang jatuh cinta pada seorang penulis. Betapa tragis kisah seseorang yang tak pernah dicintai kekasihnya dengan tulus, sebab sang kekasih lebih mencintai kata-kata yang ia tuliskan.

Tanpa mengharap apa-apa lagi, aku relakan kisah kita untuk kau tuliskan, meski dengan sejumlah tafsir yang salah tentang diriku. Dan bagiku, apa yang telah kita jalani, adalah bahan cerita yang lengkap dan menarik untuk ceritaku selanjutnya. Cerita tentang penulis kisah cinta, yang tak pernah merasakan cinta sesungguhnya. Dan atas rencana besar yang telah kususun sebelumnya, aku yakin bisa mengalahkan kelihaianmu dalam soal menggubah cerita tentang kisah kita.

Pesan Terabaikan

Kuawali malam dengan riang gembira. Itu karena aku terbayang-bayang padamu. Terbuai imajinasiku sendiri, tentang pertemuan kita satu jam ke depan, sesuai perjanjian. Terlena membayangkan rona wajahmu yang manis dan tak menjemukan, bak titisan bidadari, sampai membuat hatiku bergetar. Dan kupastikan, getarannya akan bertambah dahsyat saat aku benar-benar menatapmu. Mungkin seumpama aku tersambar sejuta petir yang mengalirkan daya ke dalam tubuhku, hingga aku sanggup menjalani hidup selama-lamanya, bersamamu.
 
Telah lama aku menanti untuk sebuah momen pertemuan kita. Pertemuan spesial, hanya antara aku dan kamu. Satu saat yang pas untuk aku meluruhkan semua isi hati yang selama ini terpendam. Dan sore tadi, entah bagaimana bisa, aku sanggup mengajakmu bertemu di sebuah restoran yang mewah. Restoran kelas atas, yang terpaksa kupilih demi menyenangkan hatimu. Tak peduli berapa banyak isi kocek yang harus kukeluarkan, asal kau merasa nyaman, hingga menerima tawaran perasaanku.

Jelas saja, aku tak ingin kecewa. Aku tak ingin menyatakan perasaan, yang kemudian, tak kau respons seperti yang kuinginkan. Aku tak ingin sakit hati, sedang kau merasa berdosa. Tapi akhirnya, kuyakini juga, bahwa keadaan buruk itu, tak akan terjadi. Tanpa maksud mendahului takdir, kupastikan, kau akan menyambut perasaanku dengan setulus hati. Aku bisa melihat tanda-tandanya dari raut senang di wajahmu, setiap kali kita bertemu. Hingga saat aku memberimu perhatian, kau akan tampak malu-malu dan salah tingkah.

Isyarat perasaanmu, memberiku kepercayaan diri untuk segera menuntaskan kekalutan. Hanya butuh sedikit keberanian untuk berucap, hingga sekat-sekat di antara kita, sirna seketika. Dan jika begitu, maka kebersamaan kita pun, bukan lagi atas nama pertemanan yang penuh perhitungan. Kesegananmu padaku akan sirna kala memohon perihal apa pun, dan aku mewujudkannya dengan senang hati. Keinginanmu akan menjadi kesempatan bagiku untuk berkorban, tanpa berharap balas.

Demi memastikan semua berjalan sesuai rencana, malam ini, aku tak mau memedulikan hal lain. Kuabaikan tugas kuliahku, juga ajakan-ajakan untuk bermain game atau futsal. Dan untuk menghindari kebimbangan, aku tak ingin menghiraukan pesan dan panggilan yang masuk ke telepon genggamku. Aku tak mau tahu tentang informasi apa pun, termasuk yang bersifat darurat, sebab perhatianku bisa tercuri darimu. Aku tak ingin duduk di hadapanmu, sedang pikiranku direcoki persoalan lain. 

Dan demi akhir yang indah, aku tak lupa memerhatikan penampilan. Kusisihkan banyak waktu untuk menyerasikan pakaian, menata rambut, hingga memilih jenis parfum yang mampu menghidupkan suasana romantis, juga membangkitakan kepercayaan diriku. Setidaknya, dengan begitu, aku telah mengenyahkan rintangan pada diriku sendiri, sehingga aku bisa berucap dengan tenang. Untuk itu, aku pun berlatih melafalkan kata-kata pernyataan untukmu, sambil berkhayal tentang kelangsungan obrolan kita.

Aku akan berkata: Riana, aku merasa ada yang berbeda tiap kali aku dekat denganmu

Kau akan tampak malu-malu. Seakan meminta agar aku segera menegaskan isi hatiku: maksudmu?

Akan kutatap matamu dalam-dalam: Aku sulit menjelaskannya. Dan kata-kata, tak akan cukup untuk menggambarkannya. Tapi jika memang pantas, aku menamakan itu, cinta.

Matamu akan tampak berkaca-kaca. Seperti meminta agar aku segera menandaskan.

Kutegaskanlah dengan sungguh-sungguh: Aku jatuh cinta padamu.

Kau akan tampak tersipu.

Jika begitu, aku akan berlutut di sampingmu, menawarkan sebuah cincin, sembari meminta kepastian: Sudikah kau menjadi kekasihku?

Dan kubanyangkan, kau akan menangis bahagia, kemudian menjawab tanpa ragu: Ya!

Demikianlah bayanganku tentang obrolan kita, nanti.

Dan bersama khayalan yang terus menjalar, aku pun siap berangkat. Kutiliklah jam di dinding. Sisa 15 menit menuju jam 9. Itu artinya, aku punya 15 menit sebelum sampai. Kutimbang-timbang, aku butuh 10 menit dalam perjalanan. Jika tak ada rintangan, maka masih tersisa 5 menit untuk menunggu, kalau memang aku datang lebih awal. Dan jelas saja, di momen yang spesial ini, aku tak ingin datang terlambat barang sedetik saja. 

Setelah memastikan tak ada yang terlupa, aku pun bergegas menuju titik di mana sepeda motorku terparkir. Aku ingin segera melaju di jalan beraspal, sekencang-kencangnya. Tapi sial, kunci motorku tak ada. Aku menaruhnya entah di mana, atau terjatuh di sembarang tempat. Aku pun jadi kalang kabut. Kutelusuri segala ruang. Kusibak barang yang kira-kira menutupi benda kecil itu. Namun, pencarianku tak juga berhasil. Hingga akhirnya, aku mendapati kunci itu bersemayam dengan tenang di dalam helm yang sebelumnya kutenteng. 

Segera saja, aku kembali bergegas.

Belum juga aku menyalakan sepeda motor, sebuah pesan singkat masuk dalam gawaiku. Kutilik nama pengirim di layar utama, dan kulihat, hanya seorang relawan dari Palang Merah. Tanpa kusibak dan kubaca pesannya, bisa kupastikan, itu hanya berisi pemintaan donor darah. Jelas, aku tak mau tahu, sebab perhatianku malam ini, hanya untukmu saja. Hingga akhirnya, nomor yang sama, melakukan panggilan langsung ke telepon genggamku. Dan tegas saja, aku mengabaikannya tanpa peduli. 

Dan sampai juga aku di lintasan jalan raya. Sebagaimana biasa, jalanan macet. Aku harus lihai mencari celah agar dapat menyusup dan menjauhi kendaraan yang bergumul. Hingga aku harus bersabar, sebab rintangan bukan hanya soal kendaraan yang padat. Angkot berhenti di sembarang tempat, penyeberang jalanan menyimpang dari zebra cross, pengemis memalang jalanan setelah lampu hijau, anak jalanan menyemrautkan lalu lintas di persimpangan jalan, adalah rintangan yang komplit sebagai penguji kesabaran. 

Setelah melewati segala macam rintangan yang menguras emosi, tiba juga aku di tempat yang kita perjanjikan, tepat jam 9 lewat 3 menit. Syukurlah, kau tak datang lebih awal sampai kecewa atas keterlambatanku. Hingga untuk waktu-waktu selanjutnya, aku rela menanti, bahkan sampai pagi sekali pun. Itu tak masalah, asal kerisauan hatiku, segera tuntas malam ini. Jelas, aku tak ingin menyambut pagi dengan perasaan yang masih menggantung.

Waktu terus bergulir. Setengah jam berlalu, aku tetap bersetia menunggumu. Hingga setengah jam selanjutnya, keteguhanku pun tak berubah. Tapi, muncul juga kekhawatiran dalam hatiku, kalau-kalau kau berhalangan. Hingga akhirnya, aku menghubungimu. Tapi hasilnya, nihil. Telepon genggammu tak aktif untuk merespons panggilan dan pesan singkat dariku. Dan akhirnya, tersisa waktu kurang dari satu jam lagi, saat aku harus menyerah, meninggalkan tempat, jika tak mau diusir satpam. 

Dalam detik-detik yang tersisa, jelas saja, batinku tersiksa. Sedetik seakan merentang jadi sejam. Dan itu, sungguh menyakitkan. Bukan karena ketidakmunculanmu, tapi karena deru hasratku menyatakan cinta. Hingga sampailah waktu. Tepat jam 11 malam, kau tak juga datang. Aku pun terkalahkan oleh ruang dan waktu. Aku harus memendam kembali perasaan yang telah menggunung. Harus beranjak pergi dengan rasa pilu dan kecewa. Pulang membawa tanda tanya, tentang apa gerangan yang mambuatmu tega mengenyahkan separuh nyawaku malam ini.

Kutilik lagi telepon genggamku. Berharap ada penjelasan atau permintaan maaf darimu. Namun tak ada pesan yang kuterima. Yang terlihat di notifikasi, hanyalah sebuah pesan dari pencari donor darah, yang sedari tadi, kuabaikan begitu saja. Dengan tanpa perasaan apa-apa, kusibaklah pesan itu, sekadar untuk mengenyahkannya dari daftar notifikasi. Hingga akhirnya, mataku terpaku pada isi pesan yang kuanggap tak penting itu: 

Dibutuhkan segera darah O+ untuk pasien atas nama Riana Velita, yang saat ini sedang kritis di rumah sakit, setelah mengalami pendarahan akibat kecelakaan…