Jumat, 19 Februari 2021

Rupa Hati

“Kapan kau akan menikah?” tanyaku pada Boni, teman baikku, saat kami berbaring malas di dalam kamarku, pada satu hari, setahun yang lalu.

Ia pun mendengkus, lalu menoleh padaku. “Apakah ada perempuan yang tertarik dengan wajah jelekku ini?” balasnya, dengan sikap mengolok dirinya sendiri.

Aku pun tersenyum simpul dengan keprihatinan yang mendalam atas keadaannya. “Cinta itu buta, Kawan,” sentilku, sekenanya.

Ia hanya membalas dengan tawa pendek, sembari memendam kekalutannya sendiri.

Meski telah lama berlalu, sampai detik ini, aku masih mengingat jelas kejadian tragis yang kami alami, yang membuat keadaannya berubah.

Dua tahun yang lalu, ketika hari sudah sore, aku mengajaknya untuk mengobrolkan tentang perempuan yang kami idam-idamkan. Pasalnya, aku merasa semakin jatuh cinta terhadap seorang perempuan, sedang ia tetap saja merahasiakan perempuan dambaannya.

Dengan perasaan yang berbunga-bunga, kami pun sepakat untuk menuju ke sebuah pantai demi membincangkan persoalan hati kami secara khidmat. Kami lantas menyusuri jalan kabupaten dengan sepeda motor. Ia memegang kemudi, dan aku duduk di belakangnya.

Sampai akhirnya, kecelakaan terjadi. Ban motor selip setelah ia berusaha menghindari lubang yang dalam di tengah jalan. Tubuhnya terpental bersama sepeda motor dan helmnya terlepas, sedang tubuhku tertelungkup dan terhenti dekat dari titik jatuh. Kakinya patah dan wajahnya terluka parah, sedang aku mengalami pendarahan hebat di pergelangan tangan dan punggung kakiku.

Sejak peristiwa itu, keadaan rupanya pun berubah. Ada bekas luka yang menggaris-garis di pipi kanannya, dan sepasang gigi seri atasnya tanggal. Lesung pipinya pun jadi tersamarkan, dan membuat senyumannya tak lagi tampak seindah dahulu.

Atas kondisi wajahnya, diam-diam, aku pun menghakimi diriku sendiri, meski ia tak pernah menyalahkanku. Bagaimana pun, aku tetap merasa bersalah telah mengajaknya melakoni perjalanan di sore itu atas deru perasaanku yang bernafsu berbagi kisah kasmaran.

Namun akhirnya, setelah kejadian tragis itu, kami pun kembali memendam rahasia kami tentang perempuan idaman kami masing-masing. Aku tak pernah tega untuk mempertanyakan sosok pujaan hatinya itu atas keadaan dan sikap rendah dirinya, sedang ia pun tak pernah juga menanyaiku tentang rahasia hatiku.

Tetapi atas semua yang telah terjadi, hidup harus tetap dijalani. Hari demi hari, aku pun melihat ia terus belajar untuk menerima keadaannya, dan aku pun terus berusaha untuk berdamai dengan rasa bersalahku.

Hingga akhirnya, hari ini, aku kembali ke kota kami setelah aku merantau untuk bekerja di sebuah perusahaan swasta demi masa depanku. Aku memutuskan mengambil cuti demi menghadiri pesta pernikahannya dengan seorang perempuan yang sedari dahulu ia damba-dambakan.

Tanpa menunda waktu, pada hari ini juga, ketika hari sudah sore, aku pun segera bertamu ke rumahnya untuk melepas rindu, juga untuk segera mengetahui sosok calon pendamping hidupnya yang masih juga ia rahasiakan dariku.

Akhirnya, setelah bertemu dan mengurai kerinduan dengan pelukan, aku pun segera bertanya, “Jadi, siapa seorang perempuan yang akan menjadi istrimu?”

Ia pun tersenyum dengan senyuman yang masih setulus dahulu. “Kau sangat mengenalnya. Dia teman seorganisasi kita di kampus.”

Seketika, aku pun sangat penasaran. “Siapa?”

Ia lalu menyerahkan undangan untukku.

Aku lekas membuka berkas undangan itu. Sampai akhirnya, aku mengeja sebuah nama seorang perempuan yang merupakan pujaan hatiku sejak dahulu, yang menjadi alasanku berjuang demi masa depanku.

“Kau benar, cinta memang buta, Kawan,” akunya kemudian, atas keberhasilannya mendapatkan hati sang perempuan.

Dengan kekalutan yang luar biasa, aku berusaha menampakkan sikap yang biasa. Aku menganggukkan saja pengakuannya, sembari melayangkan senyuman simpul.

“Kau sudah tahu siapa perempuan yang selama ini aku rahasiakan darimu.” Ia lantas berdeham, kemudian mempertanyakan sesuatu yang tak mungkin lagi bisa kujawab. “Jadi sekarang giliranmu, siapa sosok perempuan yang dahulu kau idam-idamkan itu?”

Aku mendengus saja, lalu tertawa pendek. “Kau tak usah tahu. Lagi pula, aku telah menganggapnya sebagai mantan idaman,” kataku, sembari berusaha menerima kenyataan yang ada. “Aku sudah tahu kalau ia akan menikah dengan seorang lelaki yang baik, dan aku telah mengikhlaskannya sepenuh hati.”

Ia lalu menepuk pundakku. “Sabar, Kawan. Jodoh tak akan ke mana-mana.”

Aku mengangguk saja.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar