Dua bulan yang lalu, Mardan telah berada di pulau ini, di pusat sebuah kecamatan. Ia datang untuk melaksanakan satu misi terselubung dan berbahaya. Ia ditugaskan untuk menyelidiki penyebaran-penyalahgunaan narkotika yang marak di tengah masyarakat. Ia diutus sebagai mata-mata untuk mengusut jejaring peredaran zat berbahaya itu dari akar sampai ke pucuknya.
Sebagaimana seharusnya, Mardan pun menyembunyikan identitas dan jati dirinya. Ia menyamar sebagai seorang penjual makanan dengan membuka sebuah warung. Ia menerapkan keahlian meracik nasi goreng yang ia pelajari dari ibunya. Ia melakoni pekerjaan itu, hingga warung persembunyiannya menjadi terkenal dan menggaet banyak pelangggan.
Akhirnya, warung kecilnya pun menjadi serupa laboratorium. Di ruang seluas 5x5 meter yang disewanya itu, ia berkamuflase sebagai pelayan yang baik, sembari membaca rantai penyebaran narkotika yang penuh teka-teki. Ia menguping pembicaraan dan menilik perhubungan orang-orang dengan menebar alat perekam yang tersembunyi.
Atas kecerdikan dan kehati-hatiannya, Mardan pun berhasil melancarkan aksinya. Ia telah menandai beberapa orang yang tampak terlibat di dalam lingkaran peredaran. Ia bahkan telah mengendus peran dan kelas beberapa orang di dalam jaringan itu. Dan perlahan-lahan, ia terus menguak pertalian hubungan para pelaku menuju ke pusat bandar.
Namun satu kelalaian, akhirnya mengancam misi Mardan. Siang tadi, ketika sedang berbelanja di pasar yang tak jauh dari kontrakannya untuk membeli pasokan bagi penyamarannya, tiba-tiba, dompetnya hilang dari dalam kantongnya. Sebuah dompet yang memuat identitas pribadinya sebagai polisi, sehingga sangat rentan membawanya ke dalam masalah besar.
Sontak, Mardan pun berupaya untuk menemukan dompet itu. Ia lantas melipat langkahnya ke segala sisi, sembari menanyai beberapa orang, tetapi ia tak kunjung menemukannya. Namun ia tak mau menyerah begitu saja dan menggantung misinya di ambang kegagalan. Ia tetap bertekad untuk menemukan dompet itu dan mengambalikan rencananya ke jalur yang aman.
Dan akhirnya, ia melakukan penyamaran kedua dengan menjadi seorang pemulung. Ia menyusuri sepanjang jejak perjalanannya dari tempat tinggalnya hingga di kawasan pasar. Ia mengorek dan memeriksa tumpukan-tumpukan benda, termasuk di tempat sampah. Ia berkeras demi mengamankan identitasnya sebelum ditemukan anggota pengedar yang mengenalinya.
Namun apa mau dikata, dari tengah hari hingga menjelang malam, Mardan tak juga menemukan dompet itu, meski ia telah memeriksa sampai ke dasar gundukan sampah. Ia pun menyerah, dan pulang dengan perasaan kacau. Ia khawatir, namun tak tahu harus bagaimana lagi. Ia bingung, sebingung-bingungnya.
Kekalutan Mardan pun kemudian mencapai puncaknya. Di tengah kepulangannya pada bangunan sederhana yang ia sewa sebagai rumah sekaligus warung, sebuah mobil pemadam kebakaran melintas. Dan ketika posisinya nyaris sampai, ia pun melihat tempat tinggalnya sekaligus tempat penyamarannya itu, perlahan-lahan dilahap si jago merah.
Akhirnya, misi Mardan porak-poranda.
Dengan perasaan yang suram, Mardan pun memutuskan untuk bertahan dengan penyamarannya sebagai seorang pemulung. Ia yakin bahwa para pengedar telah mengetahui jati dirinya sebagai seorang intel, dan ia mesti berusaha untuk menjaga diri. Yang penting, ia bisa bertahan sembari mencari jalan untuk keluar dari kepungan para bandar yang jelas sedang mencarinya.
Akhirnya, di malam ini, Mardan harus rela menggelandang sebagai seorang tunawisma, sembari terus membawa karungnya. Ia mesti tidur di sembarang tempat, dan bertahan hidup dari hasil memulung. Ia mesti menyesuaikan diri dengan keadaan, sembari memikirkan cara untuk menyelamatkan nyawanya.
Namun tiba-tiba, ketika ia tengah duduk merenung di teras depan sebuah toko yang telah tutup, seorang laki-laki yang juga tampak seperti pemulung, dengan pakaian amburadul sembari menggendong sebuah karung, datang menghampirinya.
“Makan, Bang,” tawar sang pemulung itu, lalu menyodorkan sebuah bungkusan. “Nasi goreng.”
Mardan pun tersenyum singkat dengan perasaan senang, sebab ia tak harus berusaha mencari makanan atau menahan lapar sampai besok. “Terima kasih, Bang.”
Mereka berdua lantas melahap makanan dengan khidmat.
“Ah, hampir saja kita dalam masalah,” tutur pemulung itu kemudian. “Untung saja aku menemukan dompet polisi sialan itu dan melaporkannya kepada teman-teman kita.”
Mardan sontak terperanjat. Pikirannnya menjalar ke mana-mana. “Maksud Abang?”
Pemulung itu lalu menatap Mardan. “Kau tahu kan, lelaki penjual nasi goreng di lorong 8, yang warungnya terbakar sore tadi?”
Mardan mengangguk.
“Dia ternyata seorang polisi,” ujar sang pemulung, lantas mendengkus. “Dasar polisi bodoh. Jadi intel saja tak becus!”
Seketika, Mardan merasa sangat tersinggung. Tetapi ia berusaha menjaga emosinya. Ia diam saja, sebab ia takut salah bertutur dan membahayakan penyamaran keduanya. Apalagi, ia tahu kalau ia sedang bersampingan dengan seseorang yang mencurigakan.
Tiba-tiba, lelaki pemulung itu bertanya, “Laku berapa paket, Bang?”
Mardan menelan ludah di tenggorokannya, dan berusaha menyusun balasan yang tepat. “Barangku tak ada, Bang. Pasokan habis. Sudah lama aku tak beroperasi”
“Oh, bos Abang pasti Miran, atau Hiron?” tebak sang pemulung.
“Hiron, Bang,” balas Mardan, tenang.
Sang pemulung pun mendengkus. “Kalau begitu, kau sama aku saja. Ambil barang di Bagol. Jadi anak buahnya. Ia selalu punya barang. Ia pandai melobi bos besar.”
Mardan mengangguk setengah yakin.
“Abang tak akan benar-benar bertahan hidup dengan menjadi pemulung, kan?” sentil sang pemulung, kemudian tertawa pendek.
Mardan pun menangguk tegas. “Iyalah, Bang,” katanya, lalu menyengir. “Aku ikut Abang.”
“Kalau begitu, Abang makanlah cepat. Nanti aku antar Abang ke sana,” saran sang pemulung.
Mardan kembali menangguk, sembari berupaya memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi di antara keinginannya untuk menyelesaikan misi dan keinginannya untuk menyelamatkan diri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar