Peristiwa
itu terjadi di depan matanya, saat ia masih berumur tiga tahun. Ia terbangun di
tengah malam setelah mendengar kegaduhan, lalu menyaksikan kejadian yang
menghantui hidupnya sepanjang waktu. Samar-samar, ia masih mengingat ketika seorang
lelaki mencaci ibunya dengan kata-kata yang belum bisa ia mengerti. Ibunya pun
membalas dengan nada suara yang tak kalah tinggi. Keduanya lantas beradu
pukulan, hingga ibunya terjatuh ke lantai.
Ia
menyaksikan kejadian itu dengan hanya berdiri mematung di gerbang kamar.
Sepintas
lalu, sang lelaki menatapnya kalap, sebelum pergi dengan langkah buru-buru.
Ia
lantas menghampiri ibunya yang tak berdaya. Ia lalu melihat darah mengalir dari
kepala sang ibu. Ia pun menangis di tengah kebingungannya, hingga para tetangga
berdatangan dan membawanya ke tempat dan suasana yang baik.
Setelah
kejadian itu, ia tak lagi melihat ibunya. Dan setelah sekian lama, akhirnya ia mengerti
bahwa ibunya telah meninggal, tak lama setelah pertengkaran hebat itu.
Perasaannya
sungguh terpukul. Ia kehilangan ibunya sebagai satu-satunya orang yang mengisi
memori masa kecilnya, seolah-olah sang ibu adalah satu-satunya manusia selain
dirinya di muka bumi. Seolah-olah ia terlahir karena ibu saja, tanpa peran
seorang ayah. Apalagi setahunya waktu itu, cuma ada sosok ibu di rumah. Sosok
yang memenuhi segala permintaan kanak-kanaknya yang merepotkan, hingga ia tak membutuhkan
siapa-siapa lagi, mungkin juga seorang ayah.
Atas
kebersamaan yang intens, banyak hal menarik yang masih sering dan suka ia ingat-ingat
tentang ibunya. Ia masih bisa menerawang wajah sang ibu yang cantik, yang kata
orang-orang, secantik wajahnya. Sebagaimana juga pendakuan ibunya setiap kali mendandaninya,
saat sang ibu bersolek sebelum keluar rumah di malam hari. Sang ibu akan
menuturkan puji-pujian, disusul sebuah harapan: Kau cantik seperti bidadari, Nak! Semoga kelak kau menikah dengan
lelaki yang kaya raya!
Di
waktu itu, ia tak tahu ke mana ibunya pergi setelah menidurkannya. Ia pun tak
paham soal harapan sang ibu tentang pasangan hidupnya kelak. Namun ia yakin,
setiap kali terbangun di pagi hari, ia akan mendapati ibunya dengan sejumlah
makanan ringan dan segala macam benda permainan yang menarik untuknya. Karena
itulah, barangkali, hasrat bertanyanya sebagai kanak-kanak, redam perihal kehidupan
ibunya di waktu malam.
Sampai
akhirnya, setelah ia bisa mengerti tentang kerumitan manusia, ia pun mengerti
tentang kehidupan ibunya. Dengan berat hati, ia harus membenarkan desas-desus
orang-orang, bahwa ibunya telah menjual kecantikannya demi mendapatkan bekal
hidup untuk mereka berdua. Ibunya telah menjual harga dirinya demi menebus harga-harga
kebutuhan hidup mereka berdua. Dan kenyataan itu membuatnya mengerti kenapa ibunya
berharap agar kelak ia menikah dengan seorang lelaki yang kaya raya.
“Maafkan
aku!” iba seorang lelaki yang cukup berumur, yang duduk tepat di depannya, yang
telah membunuh ibunya, setelah menjelaskan semua perihal yang tak ia ketahui tentang
latar belakang kehidupan dan kematian ibunya.
Ia
hanya bergeming memendam kebencian kepada sang lelaki.
“Maafkan
aku, Nak!” ulang sang lelaki dengan suara yang lembut.
Ia
pun tak bisa menahan emosi mendengar sapaan sang lelaki untuk ke sekian kalinya,
“Jangan pernah sebut-sebut aku anakmu! Kau tak pernah menghidupiku sedikit
pun!”
“Tapi
kau ini darah dagingku, Nak!” melas sang lelaki, seketika.
“Diam!
Aku bukan anakmu! Darah dan dagingku tak pernah tumbuh dari hasil keringatmu!
Aku hidup dan tumbuh karena Ibu! Hanya karena Ibu!” bentaknya, dengan air mata
yang kemudian menetes.
Sang
lelaki menghela-embuskan napas, kemudian membalas dengan tenang, “Meskipun kau
tak mengakui pengorbananku untukmu, meskipun aku ini miskin, aku tak akan pernah
menghidupimu dengan uang haram!”
Sontak,
ia lantas menampar sang lelaki, kemudian menatapnya geram. “Jadi kau
menyalahkan Ibuku? Kau tak menyesal membunuh Ibuku?”
Sang
lelaki hanya bergeming.
Tanpa
menunggu balasan, ia pun pergi meninggalkan sang lelaki, ayah kandungnya
sendiri, yang kembali ke balik jeruji. Dan perlahan-lahan, ia jadi bingung harus
menyalahkan siapa atas peristiwa tragis di malam itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar