Kamis, 05 Maret 2020

Hancur

Peristiwa itu terjadi di depan matanya, saat ia masih berumur tiga tahun. Ia terbangun di tengah malam setelah mendengar kegaduhan, lalu menyaksikan kejadian yang menghantui hidupnya sepanjang waktu. Samar-samar, ia masih mengingat ketika seorang lelaki mencaci ibunya dengan kata-kata yang belum bisa ia mengerti. Ibunya pun membalas dengan nada suara yang tak kalah tinggi. Keduanya lantas beradu pukulan, hingga ibunya terjatuh ke lantai.
 
Ia menyaksikan kejadian itu dengan hanya berdiri mematung di gerbang kamar.

Sepintas lalu, sang lelaki menatapnya kalap, sebelum pergi dengan langkah buru-buru.

Ia lantas menghampiri ibunya yang tak berdaya. Ia lalu melihat darah mengalir dari kepala sang ibu. Ia pun menangis di tengah kebingungannya, hingga para tetangga berdatangan dan membawanya ke tempat dan suasana yang baik.

Setelah kejadian itu, ia tak lagi melihat ibunya. Dan setelah sekian lama, akhirnya ia mengerti bahwa ibunya telah meninggal, tak lama setelah pertengkaran hebat itu.

Perasaannya sungguh terpukul. Ia kehilangan ibunya sebagai satu-satunya orang yang mengisi memori masa kecilnya, seolah-olah sang ibu adalah satu-satunya manusia selain dirinya di muka bumi. Seolah-olah ia terlahir karena ibu saja, tanpa peran seorang ayah. Apalagi setahunya waktu itu, cuma ada sosok ibu di rumah. Sosok yang memenuhi segala permintaan kanak-kanaknya yang merepotkan, hingga ia tak membutuhkan siapa-siapa lagi, mungkin juga seorang ayah.

Atas kebersamaan yang intens, banyak hal menarik yang masih sering dan suka ia ingat-ingat tentang ibunya. Ia masih bisa menerawang wajah sang ibu yang cantik, yang kata orang-orang, secantik wajahnya. Sebagaimana juga pendakuan ibunya setiap kali mendandaninya, saat sang ibu bersolek sebelum keluar rumah di malam hari. Sang ibu akan menuturkan puji-pujian, disusul sebuah harapan: Kau cantik seperti bidadari, Nak! Semoga kelak kau menikah dengan lelaki yang kaya raya!

Di waktu itu, ia tak tahu ke mana ibunya pergi setelah menidurkannya. Ia pun tak paham soal harapan sang ibu tentang pasangan hidupnya kelak. Namun ia yakin, setiap kali terbangun di pagi hari, ia akan mendapati ibunya dengan sejumlah makanan ringan dan segala macam benda permainan yang menarik untuknya. Karena itulah, barangkali, hasrat bertanyanya sebagai kanak-kanak, redam perihal kehidupan ibunya di waktu malam.

Sampai akhirnya, setelah ia bisa mengerti tentang kerumitan manusia, ia pun mengerti tentang kehidupan ibunya. Dengan berat hati, ia harus membenarkan desas-desus orang-orang, bahwa ibunya telah menjual kecantikannya demi mendapatkan bekal hidup untuk mereka berdua. Ibunya telah menjual harga dirinya demi menebus harga-harga kebutuhan hidup mereka berdua. Dan kenyataan itu membuatnya mengerti kenapa ibunya berharap agar kelak ia menikah dengan seorang lelaki yang kaya raya.

“Maafkan aku!” iba seorang lelaki yang cukup berumur, yang duduk tepat di depannya, yang telah membunuh ibunya, setelah menjelaskan semua perihal yang tak ia ketahui tentang latar belakang kehidupan dan kematian ibunya.

Ia hanya bergeming memendam kebencian kepada sang lelaki.

“Maafkan aku, Nak!” ulang sang lelaki dengan suara yang lembut.

Ia pun tak bisa menahan emosi mendengar sapaan sang lelaki untuk ke sekian kalinya, “Jangan pernah sebut-sebut aku anakmu! Kau tak pernah menghidupiku sedikit pun!”

“Tapi kau ini darah dagingku, Nak!” melas sang lelaki, seketika.

“Diam! Aku bukan anakmu! Darah dan dagingku tak pernah tumbuh dari hasil keringatmu! Aku hidup dan tumbuh karena Ibu! Hanya karena Ibu!” bentaknya, dengan air mata yang kemudian menetes.

Sang lelaki menghela-embuskan napas, kemudian membalas dengan tenang, “Meskipun kau tak mengakui pengorbananku untukmu, meskipun aku ini miskin, aku tak akan pernah menghidupimu dengan uang haram!”

Sontak, ia lantas menampar sang lelaki, kemudian menatapnya geram. “Jadi kau menyalahkan Ibuku? Kau tak menyesal membunuh Ibuku?”

Sang lelaki hanya bergeming.

Tanpa menunggu balasan, ia pun pergi meninggalkan sang lelaki, ayah kandungnya sendiri, yang kembali ke balik jeruji. Dan perlahan-lahan, ia jadi bingung harus menyalahkan siapa atas peristiwa tragis di malam itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar