Minggu, 07 Februari 2021

18. Pertemuan Kembali

 Bagian ke-18 dari cerita bersambung Setapak Berliku

Setelah berjibaku di tengah rintangan, aku dan Rano akhirnya semakin menjauh dari keadaan yang mencekam. Mobil terus melaju dan membawaku masuk ke jalur bandara yang lengang. Aku telah berhasil melarikan diri, tetapi segala yang kucari masih tertinggal di tengah jalan perjuanganku. Keberadaan nenekku entah di mana, dan keadilan untuk ibuku entah bagaimana,  

Sesaat kemudian, kami pun tiba di bandara, di tengah orang-orang yang pulang dan pergi untuk cintanya di negeri ini. Kami lantas berdiam di sebuah kafe yang kami tetapkan sebagai tempat peristirahan sekaligus tempat untuk menunggu kedatangan orang-orang. Sebuah tempat yang akan merekam kenangan perpisahan kami menjelang kepulanganku ke negeri pelarian.

Berselang beberapa lama, Naya akhirnya datang bersama Topan, juga dengan seorang perempuan tua. Aku memerhatikan perempuan itu, dan ia balik memerhatikanku. Kami pun saling menerka, seolah-olah kami adalah dua orang yang pernah bertemu dan saling mengenal. Namun aku sama sekali tak memiliki bayangan apa-apa tentang dirinya.

Aku lalu berdiri untuk menyambut.

“Perkenalkan, ini Ibuku,” tutur Naya.

Aku pun menyodorkan tangan kananku, dan perempuan itu lekas menjabatku.

“Nori,” ucapnya.

“Nori…?” Aku kembali menerka-nerka.

“Ya, Nori. Namaku Nori,” ulangnya. “Siapa namamu, Nak?”

“Aku Rumi, Bibi,” jawabku, kagok.

Kami lalu mengurai genggaman tangan. Kami berlima kemudian duduk. Aku dan Rano berhadapan dengan mereka bertiga.

Perempuan itu tersenyum. “Bagaimana keadaan Ayahmu dan Ibu Dumi?”

Aku terkejut atas pengetahuannya. “Mereka baik-baik saja, Bi” jawabku, dengan penuh keheranan. “Apa Bibi adalah Nori, teman kecil Ayahku dahulu?”

Ia mengangguk tegas.

Perasaanku pun tersentak. “Dan Naya adalah anak Ibu?”

Ia kembali mengangguk. “Iya.”

Aku lantas menoleh pada Naya. “Kenapa kau tak pernah bercerita kepadaku?”

Naya pun menunduk, kemudian bertutur dengan sikap segan. “Maafkan aku, Rum,” katanya. “Aku tak ingin kau membenciku setelah kau tahu kalau aku adalah cucu Suto, seorang lelaki yang telah membunuh Kakekmu di masa lalu.”

“Tetapi kan kita bisa membicarakannya baik-baik,” kesalku.

“Maafkan aku, Rum.”

Aku pun mencoba memahami dan menerima alasannya.

Tiba-tiba, Kira muncul dengan seorang perempuan yang tampak sudah sangat tua. Rambutnya memutih dan sikap tubuhnya membungkuk. Aku lantas memandangi perempuan itu lekat-lekat. Sampai akhirnya, dengan samar-samar, aku bisa mengeja sebuah wajah yang pernah kuindrai di balik wajahnya yang keriput.

Aku lantas berdiri.

Kami lalu saling menatap.

“Apa kau tidak mengenalnya?” pancing Kira.

“Nenek?” terkaku, sembari melangkah ke dekatnya.

Perempuan tua itu pun tersenyum haru. “Cucuku,” sapanya, lantas memegang-megang pipiku.

Aku pun terkejut senang atas kebenaran dugaanku. Dengan perasaan bahagia, aku lalu memeluknya erat-erat. “Aku dan Ayah sangat merindukan Nenek.”

“Aku juga merindukan kalian,” balasnya, sambil mengusap-usap punggungku.

Setelah beberapa lama dalam kekhidmatan, kami pun mengurai pelukan.

Kami lantas duduk. Nenek duduk di sampingku, dan Kira duduk di depanku.

Aku lekas menoleh pada Kira, lalu bertanya penuh penasaran, “Bagaimana bisa kau bersama Nenekku?”

“Ceritanya panjang. Aku takut memulai cerita dan tak bisa menyelesaikannya hari ini,” katanya, setengah bercanda, seolah-olah hendak mencairkan suasana.

Kami pun tergelak.

“Persingkatlah kalau begitu!”

“Aku anak Malik Harsi, Kakek tirimu.”

Aku sontak terkejut. “Jadi…?” sergahku, keheranan.

“Ya, aku sepupu, Rumi,” terang Kira, sambil tersenyum.

Mulutku tersekat seketika mengingat prasangkaku tentang perasaannya kepadaku belakangan ini. Diam-diam, aku pun bisa memahami sikapnya yang mencurigakan terhadapku.

“Aku tahu banyak hal tentang Nenek Sumiah, kau, dan Ayahmu. Kakekku dan orang tuaku memang tak pernah menceritakan tentang kalian kepadaku, tetapi aku bisa mencari tahunya sendiri,” katanya, sambil menoleh padaku dan nenekku dengan raut sayu. “Aku tahu kau telah menemui Kakekku beberapa hari yang lalu, dan kau pasti sudah tahu bahwa ia tega mengesampingkan apa pun demi kepentingan politiknya, termasuk mengabaikan Nenek Sumiah, saudaranya sendiri.”

Rasa kecewa terhadap Kakek Malik pun menyeruak di dalam hatiku.

“Aku masih ingat di masa dahulu, ketika Kakekku mulai terlibat dalam urusan politik. Satu hari, Nenek Sumiah datang dengan keadaan yang sangat memprihatinkan, tetapi Kakekku malah mencampakkannya, dan ayah-ibuku tak peduli,” Ia lalu menelan ludah yang tertahan di tenggorokannya. ”Setiap kali aku bertanya kenapa, mereka selalu mengatakan kalau Nenek Sumiah adalah orang gila yang berbahaya.”

Aku pun terenyuh.

“Namun atas kenyataan itu, aku malah penasaran. Aku berusaha mencari, dan akhirnya menemukan keberadaan Nenek Sumiah,” tutur Kira, sambil tersenyum haru. “Setelah Mereka tahu, kami pun berkompromi. Aku tetap boleh berhubungan dengan Nenek Sumiah, namun sebisa mungkin aku merahasiakan identitasku sebagai keturunan mereka sendiri.”

Hening sejenak. Kami terdiam dengan kekalutan masing-masing.

“Aku mohon maaf karena tidak memberi tahu kalian lebih cepat soal ini,” tutur Kira.

Kami pun mengangguk maklum.

Kami lantas menjeda beberapa saat untuk memesan hidangan sekaligus saling berkenalan secara pribadi.

Sesaat kemudian, Kira kembali bertutur, “Oh, iya, aku juga minta maaf kalau aku telah memunculkan prasangka yang tidak-tidak di benak kalian berdua,” katanya, lalu memandangi aku dan Naya. “Aku tak pernah bermaksud membuat hubungan kalian berdua dalam masalah.”

Aku lekas membalas, “Tak usah minta maaf. Hubungan kami baik-baik saja,” kataku, kemudian melirik Naya.

Naya tampak malu-malu.

Kami pun tergelak.

Aku lalu mencoba mengalihkan objek pembicaraan, “Permasalahan soal hubungan sebenarnya ada pada Rano.”

Raut wajah Kira pun tampak penuh tanya. “Ada apa?”

Rano menyeringai, seperti meminta agar aku tak melanjutkan penuturanku.

Aku pun menerangkan saja kepada Kira, “Ia menduga kau menyukaiku.”

Kira malah tampak kebingungan. “Masalahnya di mana?”

Lagi-lagi, Rano menyeringai ke arahku.

Tanpa peduli, aku pun menandaskan, “Masalahnya, ia jadi putus asa terhadapmu.”

Rano sontak menyembunyikan wajahnya.

Kira pun tertawa lepas, kemudian melontarkan singgungan. “Aku sebenarnya menyimpan jawaban yang ia inginkan. Salahnya saja tak kunjung bertanya.”

“Jadi?” sergah Rano.

Kira membuang wajah tanpa menjawab dengan kata-kata.

Kami kembali tertawa.

Hening beberapa saat. Kami lalu menyantap minuman dan makanan ringan yang baru saja datang, sembari mengecap-ngecap kenyataan dengan rasa kami masing-masing.

Berselang kemudian, Rano bersuara sambil menatap layar televisi di samping kami, “Keadaan di negeri ini memang sudah sangat kacau akibat praktik politik yang kotor.”

Aku pun menoleh ke layar televisi yang menyiarkan berita tentang kebrutalan para massa yang menarget kami beberapa jam yang lalu. Mereka dikabarkan menyerang orang-orang yang dicap komunis dan antek-anteknya. Mereka diwartakan menyerang para aktivis, akademisi, wartawan, dan pihak-pihak yang kerap mengkritisi isu kebangkitan komunis. Mereka melontarkan caci maki, merusak barang-barang, hingga melakukan kekerasan fisik.

“Apa benar kantor persmu dihancurkan massa?” tanyaku kepada Topan.

“Benar,” jawab Topan dengan raut yang penuh keprihatinan.

“Kenapa bisa?” selidikku.

“Mereka tidak suka pada pemberitaan media kami yang berpihak kepada orang-orang pelarian dan senantiasa memberitakan peristiwa dengan perspektif yang condong pada penyangkalan isu kebangkitan komunis,” terang Topan.

“Mereka memang barbar,” kesal Rano.

Hening sejenak.

Tiba-tiba, Kira menuturkan pertanyaan dengan ekspresi menggoda, “Bagaimana rencanamu? Kau tak akan pergi dan meninggalkan Naya di sini, kan?”

Sontak, aku jadi kelimpungan.

Naya tampak kebingungan.

“Aku sih berharap Naya mau ikut bersama kami,” kataku, tanpa bertanya langsung, seolah aku dan dia tidak saling berhadapan. “Apalagi, aku dapat pesan kusus dari Nenek angkatku, Ibu Dumi, dan Ayahku agar aku membawa Bibi Nori pada mereka.” Aku lalu menoleh pada Bibi Nori. “Mereka sangat merindukan Bibi. Mereka sangat ingin bertemu dengan Bibi.”

Naya tak bersuara. Ia tampak diliputi kebimbangan.

“Aku yakin dia tak akan menolak jika kau mengajaknya,” goda Kira lagi, seolah-olah kami adalah dua anak kecil yang perlu dipancing-pancing.

Aku dan Naya saling melirik.

“Kau tak akan menolak untuk ikut dengan kami, kan?” tanya Ibuku kemudian, sambil menoleh pada Naya dan Bibi Nori.

Bibi Nori lantas menangguk. “Iya. Terima kasih.”

Naya pun turut mengangguk.

Diam-diam, aku merasakan kesenangan yang terkira. Aku merasa ini adalah skenario terbaik yang tak pernah kubayangkan sebelumnya.

Hening lagi. Kami kembali menyicipi sisa hidangan sambil mengobrolkan persiapan kami menuju ke negeri pelarian.

Sesaat kemudian, Rano mengecek jam tanganya, lantas meminta diri untuk mengurus dokumen dan perihal lain yang perlu bagi keberangkatan kami.

Tanpa perlu diminta, Kira pun turut menemani Rano dengan senang hati.

Waktu bergulir cepat.

Malam sisa seperempat.

Akhirnya, dengan keharuan meninggalkan teman-teman semarkas, pesawat pun menerbangkan aku dan nenekku, juga Naya dan ibunya, untuk pergi meninggalkan tanah air kami menuju ke negeri seberang, untuk kembali bersatu dengan orang-orang yang kami cintai. Aku duduk bersampingan dengan Nenekku, dan Naya duduk bersampingan dengan ibunya.

Sesungguhnya, ada perasaan berat untuk kembali memotong cerita hidupku yang tak utuh sebagai kenangan yang indah di negeriku sendiri. Setelah cerita masa kecilku terpenggal dengan akhir yang kelam, cerita masa dewasaku pun demikian, sebab kebengisan beberapa orang telah membuat cinta orang-orang yang kucintai, tak bersemi di tanah air yang kucintai.

Cinta yang terpisah, juga adalah derita yang memilukan bagi nenekku. Suaminya, kakekku, telah terbunuh di tanah kelahirannya sendiri, sedangkan anak semata wayangnya, ayahku, harus terusir ke negeri seberang.

Seketika, aku ingin mendengar pengisahannya secara langsung, “Ceritakanlah padaku, bagaimana Nenek bertahan hidup selama ini?” pintaku, sambil menggenggam tangannya.

Ia lalu menghela-embuskan napasnya yang lemah, seolah buruh ketegaran hati untuk berkisah. “Kau mungkin telah mengetahuinya sepenggal-sepenggal, tetapi cerita hidup yang kujalani sesungguhnya lebih tragis,” tuturnya, dengan raut yang getir. “Aku tak pernah mengira akan lolos dari maut di malam itu, tetapi Tuhan mengirim Kahar dan kawan-kawannya sebagai penyelamat bagiku.”

Aku lantas menepak-nepak punggung tangannya untuk menguatkan hatinya.

“Tetapi lolos dari pembunuhan tidak lebih baik daripada mati sekalian,” tuturnya lagi. “Berbulan-bulan lamanya, aku menggelandang di tengah hutan, bersembunyi di gua, dan memakan apa saja untuk bertahan hidup.”

Aku jadi sangat terenyuh. “Lalu, apa yang Nenek lakukan selanjutnya?”

“Setelah keadaan sedikit terkendali aku pun keluar dari hutan dan hidup menggelandang di desa-desa. Aku harus menyamar sebagai orang gila agar orang-orang tak menghiraukan diriku,” katanya, kemudian melepas batuk.

Keharuan pun melanda perasaanku.

“Sampai akhirnya, aku mendapatkan informasi tentang keberadaan Malik.” Ia lalu menelan ludahnya. “Namun seperti yang kau dengar dari Kira, ia tak mau peduli padaku, seolah-olah aku ini benar-benar gila.”

Aku sungguh bersedih. “Lalu bagaimana Nenek bertahan hidup?”

“Aku menggelandang saja. Aku hidup dari belas kasihan dan sisa makanan orang-orang. Beberapa kali, aku bahkan terpaksa mencuri makanan. Namun beruntung, orang-orang hanya akan memakiku sebagai orang gila setiap kali ketahuan.”

“Betapa beratnya kehidupan Nenek,” kataku, pilu.

“Tetapi hidupku tidak begitu sengsara setelah kehadiran Kira. Aku tinggal di panti dan selalu mendapatkan kebutuhan yang cukup. Ia kerap kali datang membawakan makanan atau menitipkan uang kepada pengurus panti untuk kebutuhanku.”

Tiba-tiba, air mataku menetes.

“Tak usah bersedih membayangkan itu. Yang telah terjadi, biarlah berlalu.”

Aku mengangguk dengan perasaan tersentuh mendengar kekuatan hatinya.

Ia pun tersenyum.

Detik demi detik bergulir. Kami akhirnya terdiam, seolah-olah kami butuh waktu untuk merelakan segala hal yang telah kami tinggalkan, atau sekadar mengistirahatkan diri, hingga kami jatuh terlelap.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar