Senin, 10 Februari 2020

Kereta Malam

Keputusannya sudah bulat. Sumarni akan mengakhiri hidupnya malam ini juga. Dengan tanpa ragu-ragu, ia terus melangkah menuju ke titik napas terakhirnya akan berembus. Ia mengarah ke tengah-tengah persimpangan yang merentang jauh, pada sebuah perlintasan kereta api yang lengang. Ia ingin menjemput takdirnya di sana, dan mati dalam suasana yang hening.
 
Adalah perasaan malu yang menjadi alasan Sumarni hendak mengakhiri hidupnya. Ia akan kehilangan nama baik, dan ia merasa lebih baik mati sebelum keadaan itu terjadi. Ia memilih mati, ketimbang hidup menanggung aib yang tak terperi bagi setiap perempuan. Bagaimana pun, perutnya akan membuncit, dan orang-orang akan mempertanyakan asal-usul janinnya.

Sebagaimana orang-orang yang putus asa, Sumarni pun telah mempertimbangkan solusi yang lain. Ia pernah berpikir untuk menggugurkan kandungannya, tapi ia takut menanggung dosa yang merisaukan sepanjang hidupnya. Ia pernah berpikir untuk melahirkan diam-diam dan memasrahkan bayinya pada orang lain, tapi ia tak ingin menyesal selama hidupnya.

Berminggu-minggu sudah Sumarni berusaha menggugat keputusannya, seolah-olah ada dua jiwa yang bertengkar di dalam tubuhnya. Sesekali ia terpikir bahwa bunuh diri adalah kesia-siaan yang hanya meninggalkan masalah tanpa menyelesaikannya. Tapi seketika juga ia menyangkal, bahwa meninggalkan masalah dengan bunuh diri adalah satu-satunya cara mengakhiri masalahnya saat ini.

Tak ada jalan lain. Tujuan hidup Sumarni adalah kematian. Sebuah keputusan yang berawal dari hubungan gelapnya dengan seorang lelaki yang ia tahu telah beristri, yang ternyata mendustainya pula, atas nama cinta. Seorang lelaki yang telah memperdayanya dengan janji nikah yang tinggal janji. Seorang lelaki yang tak lagi memedulikan keadaannya, juga bakal anak mereka.

Dan akhirnya, sampailah Sumarni pada lokasi yang telah ia rencanakan. Sebuah tempat untuk menunggu kereta malam membawakan malaikat maut untuknya. Di satu titik yang berada selurus dengan bagian depan rumah seorang lelaki yang telah mengkhianatinya itu. Sebab baginya, pembalasan terbaik atas pengkhianatan cinta adalah kematian, dan ia ingin sang lelaki menerima kutukannya seumur hidup.

Tanpa pertimbangan apa-apa lagi, Sumarni lalu berdiam di tengah-tengah rel. Ia lantas duduk membelakangi sebuah kereta yang akan datang beberapa menit kemudian. Hingga akhirnya, matanya tertuju pada seberkas bentuk warna yang bergerak-gerak di ujung penglihatannya. Dan sayup-sayup, di tengah keheningan, angin lalu mengantarkan suara tangisan ke dalam telinganya.

Perasaan Sumarni pun terusik menyaksikan seseorang di depannya berada dalam bahaya. Seseorang yang dekat dengan kematian tidak dengan kepasrahan sepenuh hati seperti dirinya. Ia tak ingin seseorang mati sambil menangis, sebab baginya, menangis seharusnya hanya untuk orang bersalah yang ditinggal pergi dan tak lagi sempat memohon maaf.

Sampai akhirnya, Sumarni menjadi sangat prihatin atas nyawa seseorang itu, di kala ia sudah tak memedulikan nyawanya sendiri.

Sesaat kemudian, Sumarni pun merasakan getaran pada lintasan kereta. Sayup-sayup, terdengar pula suara geretakan yang semakin mengencang. Tanpa pikir-pikir, Sumarni lantas berlari kencang menghampiri seseorang itu. Hingga akhirnya, dalam hitungan detik, antara kehidupan dan kematian, ia dengan kekuatan yang tak terkira, berhasil menyerat sesosok tubuh itu sebelum hantaman besi meremukkan tubuhnya.

“Apa yang Ibu lakukan?” tanya Sumarni kemudian.

Lalu di bawah remang-remang cahaya rembulan, Sumarni pun membaca wajah perempuan yang tampak berumur itu, dan ia sadar telah mengenalnya secara sepihak.

Seketika, tangis perempuan itu pun menjadi-jadi, seolah-olah ia baru saja lepas dari maut yang hendak dijemputnya dengan ragu-ragu, sedang kesempatan hidup yang kedua telah memunculkan dilema di dalam hatinya. “Kenapa kau menyelamatkan hidupku? Kenapa?” sergahnya, lantas menangis lepas.

Jiwa Sumarni sontak menjadi dingin. Tubuhnya bergetar. Ia baru sadar telah menyelamatkan hidup seseorang yang juga telah menyelamatkan hidupnya.

“Aku harusnya sudah mati!” seru perempuan itu sambil terisak.

Dengan perasaan yang penuh kekalutan, Sumarni pun merenungi tentang dirinya sendiri. Dan seketika, ia ingin meluapkan keresahan yang sama.

“Aku harusnya sudah mati!” seru perempuan itu lagi.

Sumarni lalu duduk di samping perempuan itu. Ia lalu merangkul sang perempuan, sembari mengusap-usap lengannya untuk memberikan ketenangan hati, seolah-olah ia lebih tangguh untuk membagikan semangat hidup. “Apa yang terjadi, Bu?”

Perempuan itu tak menjawab. Hanya menangis.

Atas pemahamannya tentang perasaan orang yang berada di puncak keputusasaan atas kehidupan, Sumarni pun menahan diri untuk menyelidik dan menunggu perempuan itu meluruhkan beban hidupnya sendiri.

“Apalah dayaku sebagai perempuan!” keluh perempuan itu kemudian, dengan suara lirih di tengah tangisan yang putus-putus. “Suamiku telah pergi meninggalkan aku! Oh!”

Diam-diam, Sumarni pun merasa sangat bersalah. Ia telah menghancurkan kehidupan seorang perempuan hanya untuk mewujudkan hasrat keperempuanannya. Ia telah merebut belahan jiwa sang perempuan dengan cara yang biadab, dan ia tak akan termaafkan, meski ia telah menanggung derita yang sama.

“Apalah dayaku,” rintih sang perempuan lagi, sambil mengusap-usap sisi perutnya. “Apakah aku tak sempurna  sebagai seorang istri hanya karena rahimku tak juga menghasilkan keturunan?” Ia pun kembali meluruhkan tangisnya. “Oh, betapa malangnya aku!” 

Sumarni pun terenyuh. Ia sadar telah sangat berdosa menerima cinta terlarang dari seorang lelaki yang telah mengkhianati cinta suci istrinya, cinta sang perempuan. Ia pun sadar nyaris melipatgandakan dosa dengan mengakhiri hidupnya sendiri dan hidup bakal anak di dalam rahimnya, ketika sang perempuan malah berputus asa sebab tak kunjung dikaruniai anak.

“Kereta telah membawa suamiku pergi. Ia pasti pergi dengan wanita lain. Oh!” ratap sang perempuan lagi. “Sekarang, aku tak punya siapa-siapa lagi. Dan rasanya, aku lebih baik mati!”

Sumarni pun merangkul sang perempuan erat-erat. Seolah-olah ingin membesarkan harapan hidup perempuan itu, juga menyampaikan maaf atas rasa bersalah yang tak terkira. “Sabar, Bu. Sekarang, Ibu tak sendirian. Sekarang, Ibu bisa tinggal bersamaku,” tawar Sumarni. “Saat ini, aku pun sedang mengandung. Kelak, ketika anakku lahir, Ibu bisa menganggapnya sebagai anak Ibu sendiri.”

Perlahan-lahan, isakan sang perempuan pun semakin mereda.

“Bersabarlah, Bu. Cinta laki-laki memang tak pernah masuk akal. Tapi kita harus tetap mencintai diri kita sendiri,” kata Sumarni, sembari membayangkan seorang lelaki yang baru saja berlalu di balik kereta, meninggalkan ia bersama janji nikah di saat ia akan mempersembahkan seorang anak untuknya, juga meninggalkan seorang perempuan sebagai seorang istri yang tak kunjung menghasilkan anak untuknya.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar