Keputusannya
sudah bulat. Sumarni akan mengakhiri hidupnya malam ini juga. Dengan tanpa
ragu-ragu, ia terus melangkah menuju ke titik napas terakhirnya akan berembus.
Ia mengarah ke tengah-tengah persimpangan yang merentang jauh, pada sebuah perlintasan
kereta api yang lengang. Ia ingin menjemput takdirnya di sana, dan mati dalam
suasana yang hening.
Adalah
perasaan malu yang menjadi alasan Sumarni hendak mengakhiri hidupnya. Ia akan
kehilangan nama baik, dan ia merasa lebih baik mati sebelum keadaan itu
terjadi. Ia memilih mati, ketimbang hidup menanggung aib yang tak terperi bagi
setiap perempuan. Bagaimana pun, perutnya akan membuncit, dan orang-orang akan
mempertanyakan asal-usul janinnya.
Sebagaimana
orang-orang yang putus asa, Sumarni pun telah mempertimbangkan solusi yang lain.
Ia pernah berpikir untuk menggugurkan kandungannya, tapi ia takut menanggung
dosa yang merisaukan sepanjang hidupnya. Ia pernah berpikir untuk melahirkan diam-diam
dan memasrahkan bayinya pada orang lain, tapi ia tak ingin menyesal selama
hidupnya.
Berminggu-minggu
sudah Sumarni berusaha menggugat keputusannya, seolah-olah ada dua jiwa yang
bertengkar di dalam tubuhnya. Sesekali ia terpikir bahwa bunuh diri adalah
kesia-siaan yang hanya meninggalkan masalah tanpa menyelesaikannya. Tapi
seketika juga ia menyangkal, bahwa meninggalkan masalah dengan bunuh diri adalah
satu-satunya cara mengakhiri masalahnya saat ini.
Tak
ada jalan lain. Tujuan hidup Sumarni adalah kematian. Sebuah keputusan yang
berawal dari hubungan gelapnya dengan seorang lelaki yang ia tahu telah
beristri, yang ternyata mendustainya pula, atas nama cinta. Seorang lelaki yang
telah memperdayanya dengan janji nikah yang tinggal janji. Seorang lelaki yang
tak lagi memedulikan keadaannya, juga bakal anak mereka.
Dan
akhirnya, sampailah Sumarni pada lokasi yang telah ia rencanakan. Sebuah tempat
untuk menunggu kereta malam membawakan malaikat maut untuknya. Di satu titik
yang berada selurus dengan bagian depan rumah seorang lelaki yang telah mengkhianatinya itu. Sebab
baginya, pembalasan terbaik atas pengkhianatan cinta adalah kematian, dan ia
ingin sang lelaki menerima kutukannya seumur hidup.
Tanpa
pertimbangan apa-apa lagi, Sumarni lalu berdiam di tengah-tengah rel. Ia lantas
duduk membelakangi sebuah kereta yang akan datang beberapa menit kemudian. Hingga
akhirnya, matanya tertuju pada seberkas bentuk warna yang bergerak-gerak di
ujung penglihatannya. Dan sayup-sayup, di tengah keheningan, angin lalu mengantarkan
suara tangisan ke dalam telinganya.
Perasaan
Sumarni pun terusik menyaksikan seseorang di depannya berada dalam bahaya.
Seseorang yang dekat dengan kematian tidak dengan kepasrahan sepenuh hati seperti
dirinya. Ia tak ingin seseorang mati sambil menangis, sebab baginya, menangis seharusnya
hanya untuk orang bersalah yang ditinggal pergi dan tak lagi sempat memohon
maaf.
Sampai
akhirnya, Sumarni menjadi sangat prihatin atas nyawa seseorang itu, di kala ia
sudah tak memedulikan nyawanya sendiri.
Sesaat
kemudian, Sumarni pun merasakan getaran pada lintasan kereta. Sayup-sayup,
terdengar pula suara geretakan yang semakin mengencang. Tanpa pikir-pikir, Sumarni
lantas berlari kencang menghampiri seseorang itu. Hingga akhirnya, dalam
hitungan detik, antara kehidupan dan kematian, ia dengan kekuatan yang tak
terkira, berhasil menyerat sesosok tubuh itu sebelum hantaman besi meremukkan
tubuhnya.
“Apa
yang Ibu lakukan?” tanya Sumarni kemudian.
Lalu
di bawah remang-remang cahaya rembulan, Sumarni pun membaca wajah perempuan
yang tampak berumur itu, dan ia sadar telah mengenalnya secara sepihak.
Seketika,
tangis perempuan itu pun menjadi-jadi, seolah-olah ia baru saja lepas dari maut
yang hendak dijemputnya dengan ragu-ragu, sedang kesempatan hidup yang kedua
telah memunculkan dilema di dalam hatinya. “Kenapa kau menyelamatkan hidupku?
Kenapa?” sergahnya, lantas menangis lepas.
Jiwa
Sumarni sontak menjadi dingin. Tubuhnya bergetar. Ia baru sadar telah
menyelamatkan hidup seseorang yang juga telah menyelamatkan hidupnya.
“Aku
harusnya sudah mati!” seru perempuan itu sambil terisak.
Dengan
perasaan yang penuh kekalutan, Sumarni pun merenungi tentang dirinya sendiri. Dan
seketika, ia ingin meluapkan keresahan yang sama.
“Aku
harusnya sudah mati!” seru perempuan itu lagi.
Sumarni
lalu duduk di samping perempuan itu. Ia lalu merangkul sang perempuan, sembari mengusap-usap
lengannya untuk memberikan ketenangan hati, seolah-olah ia lebih tangguh untuk membagikan
semangat hidup. “Apa yang terjadi, Bu?”
Perempuan
itu tak menjawab. Hanya menangis.
Atas
pemahamannya tentang perasaan orang yang berada di puncak keputusasaan atas kehidupan,
Sumarni pun menahan diri untuk menyelidik dan menunggu perempuan itu meluruhkan
beban hidupnya sendiri.
“Apalah
dayaku sebagai perempuan!” keluh perempuan itu kemudian, dengan suara lirih di
tengah tangisan yang putus-putus. “Suamiku telah pergi meninggalkan aku! Oh!”
Diam-diam,
Sumarni pun merasa sangat bersalah. Ia telah menghancurkan kehidupan seorang
perempuan hanya untuk mewujudkan hasrat keperempuanannya. Ia telah merebut
belahan jiwa sang perempuan dengan cara yang biadab, dan ia tak akan termaafkan, meski ia telah menanggung derita yang sama.
“Apalah
dayaku,” rintih sang perempuan lagi, sambil mengusap-usap sisi perutnya.
“Apakah aku tak sempurna sebagai seorang
istri hanya karena rahimku tak juga menghasilkan keturunan?” Ia pun kembali
meluruhkan tangisnya. “Oh, betapa malangnya aku!”
Sumarni
pun terenyuh. Ia sadar telah sangat berdosa menerima cinta terlarang dari
seorang lelaki yang telah mengkhianati cinta suci istrinya, cinta sang perempuan.
Ia pun sadar nyaris melipatgandakan dosa dengan mengakhiri hidupnya sendiri dan
hidup bakal anak di dalam rahimnya, ketika sang perempuan malah berputus asa
sebab tak kunjung dikaruniai anak.
“Kereta
telah membawa suamiku pergi. Ia pasti pergi dengan wanita lain. Oh!” ratap sang
perempuan lagi. “Sekarang, aku tak punya siapa-siapa lagi. Dan rasanya, aku
lebih baik mati!”
Sumarni
pun merangkul sang perempuan erat-erat. Seolah-olah ingin membesarkan harapan
hidup perempuan itu, juga menyampaikan maaf atas rasa bersalah yang tak terkira.
“Sabar, Bu. Sekarang, Ibu tak sendirian. Sekarang, Ibu bisa tinggal bersamaku,”
tawar Sumarni. “Saat ini, aku pun sedang mengandung. Kelak, ketika anakku lahir, Ibu bisa menganggapnya sebagai anak Ibu sendiri.”
Perlahan-lahan,
isakan sang perempuan pun semakin mereda.
“Bersabarlah,
Bu. Cinta laki-laki memang tak pernah masuk akal. Tapi kita harus tetap
mencintai diri kita sendiri,” kata Sumarni, sembari membayangkan seorang lelaki
yang baru saja berlalu di balik kereta, meninggalkan ia bersama janji nikah di
saat ia akan mempersembahkan seorang anak untuknya, juga meninggalkan seorang
perempuan sebagai seorang istri yang tak kunjung menghasilkan anak untuknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar