Teknologi berkembang pesat, tetapi Sinam masih mempertahankan kearifan lokal peninggalan pendahulunya. Ia masih menjaga dan mengoperasikan alat tenun dan batik manual warisan kakek-neneknya. Di waktu senggang, ia masih sering menenun dan membatik kain dengan corak tradisional khas daerahnya, seolah itu adalah rutinitas yang menyenangkan baginya.
Modernitas di bidang pertekstilan, sungguh telah menggerus kejayaan tenun tradisional, termasuk usaha tenun keluarga Sinam. Pemintalan benang menjadi kain, juga pencetakan warna dan motif pakaian, telah dilakukan dengan mesin yang canggih. Akibatnya, penenun tradisional menjadi kalah produktif dibanding pengusaha tekstil yang mengandalkan mesin.
Ketidakpraktisan proses tenunan, akhirnya membuat kain batik hasil karya perajin tradisonal seperti Sinam, kalah dalam persaingan harga dengan kain yang diproduksi secara masal menggunakan mesin. Karena itu pula, hasil tenunan yang Sinam kerjakan secara tekun, lebih sering laku dibeli oleh orang-orang yang memang mencintai tradisi dan kesenian tradisional.
Di tengah menurunnya kecintaan anak bangsa terhadap batik, ditambah gempuran pasokan tekstil impor bermotif asing, Sinam memang tak mungkin lagi menggantungkan hidupnya pada hasil bertenun. Bagaimana pun, orang-orang lebih memilih untuk membeli produk-produk tekstil buatan mesin yang terbilang murah untuk kebutuhan sandang sehari-hari.
Untuk menjamin pemenuhan kebutuhan hidup, Sinam lebih mengandalkan sepetak kebun miliknya. Bersama dengan suami dan seorang anak laki-lakinya, ia pun merawat kebun cengkeh itu sebagai sumber utama bagi penghidupannya, sedangkan usaha tenun dan batik tradisionalnya, tak lebih dari sekadar usaha sampingan untuk memperoleh penghasilan tambahan.
Tetapi belakangan, penghasilannya sekeluarga dari usaha pertanian cengkih, malah mengalami penurunan juga. Selain karena pohon cengkih miliknya sudah terlalu tua dan terserang beragam penyakit, juga karena pengaruh musim yang membuatnya tidak berbuah maksimal. Keadaan itu diperparah oleh kenyataan pahit bahwa harga jual buah cengkih memang sangat murah.
Akhirnya, untuk apa yang ada, Sinam sekeluarga pun mengelola kebun cengkih dengan sebaik-baiknya. Mereka memetik buah yang sedikit di atas pohon yang menjulang, juga memungut biji-biji yang jatuh ke tanah, agar mereka bisa memaksimalkan pendatatan. Paling tidak, mereka bisa hidup berkecukupan dan tak kewalahan memenuhi kebutuhan dasar.
Namun perkara pemetikan, hanyalah babak pertengahan dari proses pertanian cengkih. Pada akhirnya, buah-buah mentah yang terkumpul, harus dijemur sampai kering sempurna. Hanya dengan begitu, para pedagang mau membelinya dengan harga standar. Sebaliknya, jika hasil penjemurannya buruk, pedagang akan membelinya dengan harga murah.
Tetapi masalahnya, proses penjemuran di akhir musim seperti sekarang, selalu rentan terhadap risiko kerusakan. Intensitas terik matahari yang rendah, bisa membuat kualitas biji cengkeh menjadi buruk. Begitulah yang terjadi pada jemuran cengkih Sinam. Setelah hujan dan mendung selama tiga hari berturut-turut, cengkih jemurannya berubah warna menjadi putih.
Sinam sungguh pilu menyaksikan keadaan itu. Apalagi buah cengkeh yang memutih terbilang banyak. Nyaris 20 kilogram. Tetapi mau bagaimana lagi, biji cengkih itu tak mungkin akan berubah menjadi hitam, kecuali dengan melakukan cara culas seperti yang dilakukan beberapa orang, yaitu dengan memberi pewarna hitam.
Namun sudah menjadi dasarnya bahwa Sinam sekeluarga bukanlah orang-orang yang tega berlaku curang. Mereka selalu sehati untuk berbisnis secara jujur dengan para pedagang, termasuk dengan menjual buah cengkih putih sebagaimana keadaannya. Padahal sebagai pembatik, mereka bisa saja menggunakan pewarna untuk mengitamkan cengkih itu tanpa dicurigai orang-orang.
Akhirnya, setelah memilah satu per satu biji yang terbilang masih hitam di antara biji-biji cengkih yang putih itu, Sinam pun membawanya ke pasar untuk dijual kepada Mirad, seorang pedagang langganannya. Lalu, persis seperti yang ia tahu, buah cengkih berwarna putih itu hanya terjual dengan setengah harga dari harga normal, dan ia menerimanya dengan lapang dada.
Usai mendapatkan hasil penjualan buah cengkihnya, seperti biasa, Sinam pun beranjak ke dalam pasar untuk membeli segala macam keperluan. Tak lupa, untuk kali ini, ia mampir ke toko langganannya untuk membeli pewarna tekstil. Pasalnya, ia berniat untuk giat membatik setelah ia mendengar kalau pemerintah akan membantu pemasaran produk para pembatik tradisional.
“Aku butuh pewarna hitam, Bu” kata Sinam kepada pelayan toko.
Sang pelayan pun mengecek persediaan, dan kembali dengan jawaban yang mengecewakan, “Aduh, pewarna hitamnya sudah habis.”
“Kok bisa? Biasanya selalu ada,” sergah Sinam, seolah tak percaya, sebab sebelumnya, toko itu selalu punya persediaan.“
“Habis diborong seseorang tadi bagi,” terang sang pelayan.
Seketika, Sinam pun jadi penasaran tentang siapa sosok yang berangkali akan menjadi pesaing usaha batiknya itu. “Di borong siapa, Bu?”
“Marno, karyawan Bapak Mirad,” jawab sang pelayan.
Sinam pun terheran. “Memangnya ia punya usaha tekstil?”
Sang karyawan membalas dengan menampakkan ekspresi ketidaktahuan.
Perlahan-lahan, Pikiran Sinam pun disesaki dugaan-dugaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar