Jumat, 20 Desember 2019

Banjir Besar

Dua bulan berlalu, ruang rumah masih saja senyap. Antara dua insan, Bakri dan istrinya, sudah tak ada senda gurau. Masalahnya sepele. Bakri membeli burung peliharaan, dan istrinya mencap ia tak serius lagi mengurus kebun. Sang istri pun jadi enggan memanjakan sang suami. Tak ada lagi pisang goreng dan kopi susu di pagi hari.
 
Di tengah sikap saling mengabaikan, mereka pun pisah ranjang. Sang istri memilih tidur melantai di ruang utama ketimbang tidur bersama sang suami di dalam kamar. Sang istri memilih melawan angin malam yang dingin ketimbang terjebak dalam suasana hati yang dingin ketika ia seharusnya berbagi kehangatan dengan sang suami.

Seolah terbiasa dengan keterpisahan, Bakri pun merasa lebih damai setiap kali terpisah ruang dengan sang istri. Ia merasa tenang sebab tak harus berjuang meredam keluh-kesah yang telah menggunung dan hendak mecuat keluar setiap kali menatap sang istri, sebagaimana anggapannya tentang perasaan sang istri terhadap keberadaan dirinya.

Akhirnya, dunia mereka terbelah. Meski mereka masih berada di bawah satu atap, segala urusan telah terbagi menjadi persoalan masing-masing. Bakri tetap mengurus kebun jagung, meski sang istri sesekali membantu tanpa diminta. Sebaliknya, sang istri pun tetap memasak makanan pokok, meski Bakri harus meracik hidangan ekstra lainnya.

Dan hari ini, ketika mentari cerah berada di ujung pagi, sang istri kembali ke kebun, di seberang sungai, setelah memasak hidangan standar. Seperti biasa, ia beranjak tanpa sepatah kata pun. Sedang Bakri yang tengah didera sakit kepala, akhirnya bangun dari pembaringan. Ia lantas menuju ke dapur dan bersantap seorang diri.

Namun setelah makan dan berleha-leha, kepala Bakri malah semakin sakit. Di tengah kesendirian, ia pun tak ada pilihan selain berbaring kembali di atas kasur, sembari berharap sakit kepalanya mereda dengan sendirinya. Ia pun terlelap dan terjaga berulang kali. Sampai akhirnya, ia terlelap pulas kala hujan deras turun, dan baru terjaga setelah lewat jam 2 siang, kala hujan tersisa rintik.

Dengan setengah daya, atas sakit kepala yang masih sangat terasa, Bakri pun beranjak ke ruang utama. Ia lantas duduk di kursi dan mengamati keadaan sekitar. Sampai akhirnya, ia menyadari kalau belum ada tanda-tanda atas kepulangan istrinya. Padahal biasanya, sang istri akan pulang dari kebun sebelum jam 2 siang. 

Perlahan-lahan, di tengah sikap acuh tak acuh, tanda tanya pun bermunculan di benaknya. Ia bertanya-tanya tentang sebab sang istri belum pulang pada waktu biasanya. Ia menginginkan jawaban pasti untuk tanya yang sekadar penasaran. Dan untuk sementara, ia berpikir positif saja kalau sang istri barangkali hanya menunda kepulangannya sampai hujan benar-benar reda.

Sembari mengabaikan tanya-tanya yang ia anggap berlebihan, Bakri pun beranjak ke dapur untuk memakan sisa masakan istrinya pagi tadi. Ia lantas bersantap sambil berharap agar istrinya segera tiba dan menghapuskan kira-kira tentang hal yang tidak-tidak di dalam benaknya. Namun setelah makanannya tandas, sang istri tidak juga muncul.

Tak tahan melawan tanya-tanya di balik kepalanya yang sakit, Bakri pun memilih kembali ke pembaringan. Ia lalu tertidur dengan perut yang kenyang. Tidurnya pulas. Hingga tanpa terkira, ia baru terjaga ketika lewat jam 5 sore, ketika hujan turun lagi. Maka, seiring tanya-tanya yang kembali menyeruak, ia pun beranjak ke ruang utama dan berharap menemukan istrinya.

Tapi nihil. Istrinya belum juga tiba di tengah hujan yang semakin deras.

Sampai akhirnya, ia melihat air sungai meluap. Banjir besar sedang terjadi. Sontak, tanya-tanya di benaknya pun berubah menjadi kekhawatiran. Bayangan-bayangan tentang kejadian nahas kembali menyesaki pikirannya. Hingga ia sampai pada titik kecemasan kalau-kalau banjir telah mencelakakan sang istri yang tidak bisa berenang.

Seiring kekalutannya yang semakin menjadi, hujan pun perlahan mereda. Lalu hujan benar-benar berhenti saat waktu menunjukkan hampir jam 6. Tanpa pikir panjang, Bakri pun memutuskan untuk segera menuntaskan keresahannya. Tanpa rasa takut, ia lantas menerjuni dan mengarungi bentangan sungai yang mengganas saat kepalanya masih terasa nyut-nyutan.

Ketika berada di tengah banjir, Bakri pun bergumul dengan liukan ombak. Ia mengayunkan tangan dan kakinya silih berganti. Namun di bawah permukaan air, sebuah benda tajam menggerek betisnya. Tetapi kecemasannya terhadap sang istri berhasil membungkam rasa sakitnya. Dan ketika sampai di tepian sebelah, ia pun mendapati betisnya mengalami pendarahan hebat.

Atas rasa cemas yang menggerogoti perasaannya, Bakri pun melangkah tanpa peduli pada rasa sakit di kepala dan kakinya. Ia bergegas saja menuju ke rumah kebun satu ruang yang ia duga akan menjadi tempat berdiam diri bagi sang istri. Dan seolah ketiban untung yang tak ternilai, ia pun melihat istrinya sedang membakar beberapa tongkol jagung di kolong rumah.

Sang istri sontak menoleh dan memandang sang suami lekat-lekat di tengah suasana yang menggelap.

“Bapak?” sergah sang istri. Terkejut.

“Ibu baik-baik saja, kan?” tanya balik Bakri, penuh kecemasan.

Sang istri mengangguk pelan dengan rupa keheranan.

Mereka lantas terdiam saja dalam beberapa saat, dan hanya saling memandang dengan isi pikiran masing-masing.

“Kaki Bapak kenapa?” tanya sang istri kemudian.

Bakri menggeleng. “Tak apa-apa. Hanya tertusuk kayu di sungai.”

Sang istri kemudian bergegas ke samping rumah. Tangannya cekatan memetik dan melumatkan dedaunan yang mujarab sebagai obat luka. Ia lalu membalurkan ramaun itu pada luka sang suami, lantas memerbannya dengan sobekan kain penutup kepalanya.

Bakri merasa terenyuh. Segenap rasa sakit di tubuhnya seolah-olah sirna.

Untuk beberapa saat, mereka hanya duduk terdiam di samping bara api yang memanggang jagung-jagung.

Lalu tanpa aba-aba, sang istri membalut punggung sang suami dengan sarung selempangannya. “Bapak kedinginan,” katanya.

Dengan seketika, Bakri menggapai tangan sang istri. “Maafkan aku,” tuturnya, dengan tatapan hangat.

Mata sang istri pun berkaca-kaca. “Maafkan aku.”

Durian Hanyut

Kali ini, musim durian memburuk. Bunga buahnya banyak berguguran didera kemarau berkepanjangan. Rata-rata, yang tinggal menjadi buah, hanya hitungan belasan per pohon. Akibatnya, durian menjadi barang langka yang dicari-cari untuk dikonsumsi sendiri, atau dijual ke pedagang dengan harga mahal.
 
Nasib Marji pun memburuk. Empat pohon duriannya cuma menghasilkan satu-dua buah, meski bunganya semarak dan menjanjikan di awal waktu. Bahkan akibat kemarau ekstrem, daun-daun pohon itu mulai menguning dan berguguran. Seperti sedang menuju kematian. Padahal, pohon-pohon itu sangat membantu perekonomiannya di musim-musim sebelumnya.

Atas nasib buruk Marji, Baslan juga kena getahnya. Sebagai pedagang buah durian, ia telah kehilangan salah satu sumber pasokan utama untuk varietas durian yang berkualitas dan harga yang bersaing. Akhirnya, ia pun terancam gagal untuk menjual durian di ibu kota kabupaten akibat buah durian yang mungkin hanya cukup untuk jadi santapan para petani sendiri.

Di tengah kondisi durian yang memprihatinkan, Marji dan Baslan yang kehilangan sumber pendapatan, akhirnya dirundung kekecewaan yang mendalam. Mereka kecewa membayangkan hasil penen yang memuasakan di tahun kemarin, dan sama sekali tidak ada di tahun ini. Mereka kecewa pada musim kemarau yang berkepanjangan atau musim hujan yang datang terlambat.

Sampai akhirnya, sore ini, ketika mereka baru saja menengok pohon durian milik Marji yang mengkhawatirkan, mereka pun duduk merenung di tepi sungai selepas berendam di air yang jernih. Lalu tiba-tiba saja, satu buah durian tampak terombang-ambing di atas permukaan sungai. Seolah melihat harta karun, mereka pun berebut, dan Marji mendapatkannya lebih dahulu.

Sesaat kemudian, tergeletaklah buah durian itu di antara mereka.

“Kita apakan durian ini?” tanya Marji, pura-pura meminta pendapat, bermaksud mengolok.

“Terserah kau saja,” jawab Baslan, sedikit kesal. “Yang dapat lebih dulu, kan, kau. Jadi, itu hakmu. Kau mau apakan juga, terserah.”

Marji lalu menggamit pinggang Baslan. “Jangan judes begitu,” ketusnya, disusul cekikan yang meledek. “Aku sih mau menikmatinya saja. Tapi aku tak tega melihatmu menahan nafsu,” sentilnya. “Ayolah, kita santap sama-sama!”

Baslan mendengus. “Eh, sadar, buah durian itu tidak jatuh dari langit!” singgungnya, dengan tatapan yang tak sanggup menjurus kepada lawan bicaranya. “Aku takut orangnya datang mencari.”

Marji sontak tertawa. “Aduh, kalau durian hanyut begini, ya, sudah jadi benda tak bertuanlah!” 

Baslan bergeming.

Dengan berbekal patahan ranting kayu, Marji pun membelah durian itu seorang diri. Maka tampaklah jejeran isi durian yang menggugah selera. “Kalau kau tak mau, biar aku saja yang menghabiskan. Jangan menyesal ya!” ledek Marji lagi, lantas tertawa patah-patah.

Setelah melirik durian itu sejenak, hasrat Baslan pun memuncak. Dengan sedikit malu-malu, ia lantas mengambil sebiji isi durian itu, kemudian mengulumnya seketika.

Marji sontak melepas tawa.

“Enak sekali rupanya,” aku Baslan, kemudian melepas tawa kesenangan.

Tak berselang lama, isi buah durian itu habis tersantap.

Lalu tiba-tiba, tampaklah seorang lelaki di hulu sungai. Langkahnya cepat menyusuri tepian berbatu dan sesekali memandang ke aliran sungai. 

Seketika, Marji dan Baslan jadi curiga.

Tanpa pikir panjang, Baslan dan Marji pun melemparkan kulit dan biji durian itu ke aliran sungai.

Sesaat kemudian, lelaki itu, Noto, akhirnya sampai di dekat mereka.

“Cari apa, Pak?” tanya Marji, penuh curiga.

Noto yang sudah berumur kepala enam, tersenyum singkat dan menampakkan giginya yang rontok. “Anu, Pak. Buah durianku terjatuh ke sungai. Aku sedang mencarinya.”

Baslan terkejut. Ia lantas menelan ludah yang tertahan di tenggorokannya.

“Bagaimana ceritanya?” tanya Marji dengan raut yang kalap.

“Pohonnya memang di pingir sungai, Pak,” terang Noto.

Marji dan Baslan pun saling memandang.

Noto mendengus keluh. “Sudah sejauh ini, tapi aku tak juga mendapatkannya.”

“Kalau begitu, mungkin buah durian Bapak telah hanyut jauh,” tutur Baslan sembari memampang raut prihatin. “Aku sarankan, Bapak ikhlaskan saja buah durian itu.”

Raut Noto seketika berubah lesu. “Tapi buah durian itu sangat berharga bagiku, Pak. Jauh-jauh hari, aku telah berencana untuk menjualnya demi keperluan sehari-hari.” Ia lalu turut duduk di atas hamparan kerikil. “Harga durian sekarang mahal.”

“Tapi sekarang sudah hampir malam, Pak. Arus di bawah juga tampak deras,” kata Marji.

Noto pun tampak bersedih. Seolah putus asa.

“Begini saja. Bapak kan tahu aku pedagang durian. Untuk menanggulangi nasib buruk Bapak kali ini, aku rela membeli durian Bapak dengan harga di atas rata-rata,” tawar Baslan. “Bapak masih punya buah durian, kan?”

Noto mengangguk pelan. “Masih, Pak. Masih ada lima buah di atas pohonnya.”

“Ya, sudah kalau begitu. Nanti, jual ke aku saja buah durian Bapak itu. Aku pasti membelinya dengan harga yang memuaskan,” tutur Baslan dengan sikap yang meyakinkan. “Bapak pulanglah.”

Noto pun mengangguk tegas dengan rona wajah yang tenang. “Baiklah,” katanya. “Terima kasih, Pak.”

“Sama-sama,” balas Baslan.

Noto lalu beranjak setelah melayangkan senyuman senang.

Baslan memandang gusar pada Marji.

Marji berpaling dan menunduk.

Tuntunan

Cahaya telah mati
Dibunuh para penguasa arti
Yang menilai baik-buruknya isi hati
Lalu memvonis tanpa alat bukti

Keteladanan telah buyar
Disimpangkan para pencemar kabar
Yang mengukir kisah-kisah para pengumbar
Lalu menyematkan satu per satu gelar

Kita telah tersesat
Dibingungkan predikat-predikat hebat
Yang menetapkan ke mana sukses beralamat
Lalu kita berjuang melawan pendapat

Uang Belanja

Hari sudah sore. Sugi keluar dari rumahnya tanpa memberikan keterangan kepada istrinya. Ia melangkah cepat ketika sang istri sedang menjahit pakaian pesanan yang sesekali datang. Ia jelas tak ingin terlambat untuk bersenang-senang dengan teman-temannya di tempat karaoke. Apalagi, beberapa hari belakangan, ia merasa suntuk di rumah bersama sang istri yang ia rasa masih harus belajar menjadi seorang istri yang baik, termasuk dalam hal bersikap dan memasak.
 
Sugi merasa sikap cueknya itu biasa saja. Ia memang sudah terbiasa menyimpan rahasia terhadap istrinya. Ia sama sekali tak pernah berbagi cerita perihal urusan pribadinya kepada sang istri, termasuk urusan pekerjaan dan urusan berleha-leha dengan teman-temannya. Selain menganggap hal semacam itu tidak terlalu penting untuk diketahui sang istri, ia juga khawatir kalau istrinya malah berprasangka buruk terhadapnya.

Namun Sugi memang beruntung memperistri seorang perempuan yang sabar dan tak banyak cincong. Seorang perempuan yang tak banyak tanya dan tak banyak pinta. Di usia pernikahan mereka yang belum genap setengah tahun, Sugi jelas masih membawa sifat kekanak-kanakan yang senang berpesta. Namun sang istri tak pernah mempermasalahkan, atau memang tak ingin mempermasalahkan urusan pribadi semacam itu.

Hingga akhirnya, setengah jam kemudian, Sugi pun tiba di tempat karaoke. Ia lalu disambut dengan hangat oleh dua puluh orang teman semasa SMA-nya yang sudah menunggu. Pasalnya, Sugi adalah inisiator acara dan bertanggung jawab atas tagihan secara keseluruhan. Ia merasa sudah sepantasnya untuk melakukan perayaan atas keberhasilannya menjadi seorang pegawai di sebuah perusahaan negara setelah ia diberhentikan dari sebuah perusahaan swasta.

Sugi dan teman-temannya pun berhura-hura untuk menghibur diri. Mereka bernyanyi bersama, sambil sesekali membasahi tenggorokan mereka kala kering dengan minuman dingin yang berharga mahal. Sampai akhirnya, setelah tiga jam, pesta mereka pun berakhir. Sugi lantas menyelesaikan urusan pembayaran yang terhitung boros untuk kesenangan sesaat, apalagi untuk hitungan pegawai baru yang belum lama memulai rumah tangga.

Setengah jam berselang, Sugi tiba kembali di rumahnya. Ia pun kembali merasa gamang. Tak ada kesenangan dan kegusaran yang berarti kala berhadapan dengan istrinya yang tenang, yang lebih banyak tersenyum dengan sejuta tanda-tanya ketimbang berkata-kata. Namun seperti sebelumnya, Sugi menganggap itu hal yang biasa. Ia menganggap demikianlah memang perangai sang istri, dan ia tak harus melakukan apa-apa untuk mengubahnya.

Tanpa basa-basi, Sugi pun bergegas mengganti pakaian dan bersiap-siap untuk bersantap malam.

Namun sesaat kemudian, Sugi jadi kecewa. Ia tak menjumpai makanan yang ia bayangkan selama perjalanan pulang. Di balik tudung saji, ia hanya menemukan hidangan yang ia rasa sangat standar dan tak mengggugah selera. Hanya ada nasi putih, sayur kelor, sambal, dan ikan kering.

“Bu!” serunya, dengan nada suara seolah sedang memanggil pesuruh.

Dengan sikap tenang, istrinya pun datang menghadap.

Sugi pun menatap geram pada sang istri. “Ibu, kok masak makanan yang begini-begini saja? Ibu kan tahu bagaimana seleraku,” keluh Sugi. 

Istrinya yang penurut, hanya diam mematung.

“Kalau Ibu memang kurang tahu masak, ya belajarlah. Beli buku resep masakan, begitu,” kata Sugi lagi dengan suara lembut yang menyiratkan kekesalan.

“Maafkan aku, Pak,” tuturnya, tampak segan dan takut. “Uang belanja di tanganku sudah habis.”

Perasaan Sugi sedikit tersentak. Ia merasa peluru yang ia tembakkan malah kembali menembak dirinya sendiri. “Tapi kan aku sudah kasi uang belanja ke Ibu.”

Istrinya pun tertunduk. “Iya, Pak. Tapi itu sudah lewat sebulan sejak Bapak memberikan uang belanja itu kepadaku. Itu pun sebagian aku gunakan untuk membeli perabotan dapur,” jelas sang istri dengan wajah merengut.

Tiba-tiba, Sugi merasa bersalah. “Kenapa Ibu tidak bilang padaku?”

Wajah sang istri menengadah sejenak. “Aku tahu, Bapak sudah tak punya pekerjaan. Aku takut memberatkan Bapak soal uang belanja. Jadi, aku masaklah seadanya,” jawab sang istri dengan bola mata yang ciut beradu.

Dengan perasaan bersalah yang amat mendalam, Sugi pun berdiri dan memeluk istrinya. “Maafkan aku, Bu,” tuturnya, dengan nada yang penuh ketulusan. “Aku janji, aku akan segera memberikan uang belanja yang cukup untuk Ibu,” tuturnya lagi, sambil teringat pada gaji pertamanya sebagai karyawan perusaahaan negara yang tinggal sedikit setelah pesta karaoke.

“Aku juga minta maaf, Pak. Sedari dulu aku hanya menggantungkan kebutuhan rumah tangga pada Bapak. Aku janji, aku akan berusaha agar usaha menjahitku lebih berkembang dan bisa membantu kebutuhan rumah tangga kita,” balas sang istri.

Seketika, untuk ke sekian kalinya, perasaan Sugi dihantam rasa bersalah yang amat mendalam. Ia lantas menyadari bahwa segala ketidaknyamanan yang ia rasakan di dalam rumah, tercipta atas sikap abainya sendiri.

Abstrak

Aku memeluk segala tanpa nama
Di sepanjang padang belukar jiwa
Rasa aroma suara bentuk warna
Menggempur panca indraku tanpa jeda

Satu per satu akhirnya berpadu seimbang
Menjadi raga-raga sejuta rupa kembang
Yang menabur tanda-tanda perangsang
Yang hanya kubaca sebagai pesan kosong

Aku terus mencari tanpa arah tujuan
Satu wajah yang belum beraturan
Selama waktu menggantung kepastian
Aku bersetia pada ketiadaan

Yang Selalu Ada

Hari ini adalah hari ulang tahun bagi Sardi. Ia genap berusia 24 tahun. Karena itu, ia ingin melakukan terebosan besar. Ia ingin mendaulat seorang perempuan, teman dekatnya, untuk menjadi seorang kekasih. Dan berbekal gaji pertamanya sebagai karyawan baru di sebuah perusahaan swasta, ia akan melakoni adegan sakral yang penuh keromantisan.
 
Setelah lebih dari satu jam menunggu, Sardi tetap sabar demi harapan. Ia enyahkan segala keraguan atas kecondongan hati sang perempuan terhadapnya. Ia yakin bahwa calon kekasihnya itu akan datang menemuinya, meski terlambat. Ia yakin bahwa sang pujaan hanya sedang dilanda masalah, hingga tak datang tepat waktu dan tak sempat memberi kabar lewat saluran telepon.

Setengah jam kemudian, Sardi masih saja menunggu. Ia berusaha untuk tetap menjaga harapan, meski restoran akan berhenti melayani pemesanan setengah jam kemudian, dan tutup satu jam setelahnya. Ia berusaha untuk tetap yakin bahwa segenap kegalauan yang selama ini ia pendam terhadap sang perempuan, akan tuntas malam ini juga, meskipun di akhir waktu.

Namun setelah setengah jam kemudian, sang pujaan belum juga muncul. Keyakinan Sardi pun goyah. Akal sehatnya mulai menggugat perasaannya yang buta. Tetapi demi secuil harapan, ia bertekad untuk tetap menunggu hingga ujung waktu. Sampai akhirnya, restoran tutup satu jam kemudian, dan ia harus rela membunuh segenap harapannya sendiri.

Dengan perasaan kecewa, Sardi pun melangkah keluar dari restoran. Ia pergi meninggalkan dua gelas kopi yang tandas selama waktu menunggu. Ia pulang ke rumah dengan perasaan yang tak keruan. Ia kalut membayangkan betapa teganya sang pujaan hati memberikannya harapan sejauh ini jika kemudian ia meruntuhkannya sendiri di puncak penantian.

Sepanjang perjalanan pulang, Sardi pun mulai meluluhkan kekaguman terhadap gambaran sang pujaan hati di dalam memorinya. Ia berusaha memupuskan seluruh kesan menyenangkan dari adegan-adegan kedekatan mereka di segenap ruang dan waktu. Ia mulai belajar untuk menerima kenyataan bahwa perasaannya selama ini hanyalah buah kesalahan berpikirnya saja.

Kini, Sardi mencoba untuk menerima kenyataa pahit bahwa memang tak ada orang yang benar-benar peduli kepada dirinya. Tak ada orang yang tahu dan memberikan ucapan selamat atas hari ulang tahunnya, sembari menyampaikan doa-doa terbaik. Bahkan seorang teman dekatnya, seorang perempuan yang telah ia tempatkan di sisi terbaik hatinya, juga tidak. 

Sampai akhirnya, setengah jam berselang, Sardi pun tiba di rumahnya dengan perasaan galau. Seperti biasa, ia kembali menjumpai Ibunya yang selalu sabar membukakan pintu, entah jam berapa pun ia pulang. Seorang perempuan dan satu-satunya orang yang setia menemani kehidupannya di satu rumah yang sederhana.

Dengan sikap lesu, Sardi lantas menghempaskan badannya ke sofa tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

“Kenapa cemberut begitu, Nak? Ada masalah apa?” tanya ibunya dengan penuh curiga.

Seolah tak mendengar pertanyaan sang ibu, Sardi lalu menoleh pada jam dinding. Setengah jam lagi, hari akan berganti. Ia pun memastikan kalau memang tidak akan ada ucapan selamat ulang tahun untuk dirinya. Ia bahkan memastikan kalau sang pujaan hati tak akan menyampaikan permohonan maaf, alih-alih ucapan selamat sebelum hari ulang tahunnya berlalu.

“Ceritakanlah pada Ibu kalau kau ada masalah, Nak!” pinta sang ibu, penuh keprihatinan.

Sardi menggeleng-geleng. Memberikan isyarat kalau ia baik-baik saja. “Tak ada masalah apa-apa, Bu.”

Ibunya pun tersenyum simpul. “Oh, iya, aku hampir lupa. Tadi, waktu aku membereskan isi lemari, aku menemukan akta kelahiranmu. Dan aku baru sadar, kalau hari ini, kau berulang tahun,” katanya, lantas menggenggam tangan kanan sang anak. “Selamat ulang tahun, ya, Nak!”

Sontak, perasaan Sardi pun tersentuh.

“Aku doakan, semoga kau mendapatkan kesuksesan di umurmu yang sekarang. Aku berharap kau akan segera mendapatkan perkerjaan, juga jodoh,” harapnya, sembari mengusap-usap punggung tangan sang anak.

“Amin,” balas Sardi, lantas tersenyum haru. “Terima kasih banyak, Bu. Aku juga berharap segala yang terbaik untuk Ibu,” katanya, sembari terbayang rahasianya sendiri tentang ia yang telah berhasil memperoleh pekerjaan di sebuah perusahaan swasta sebulan yang lalu, juga ia yang baru saja diabaikan oleh seorang perempuan yang ia duga adalah jodohnya.

Ibunya kembali tersenyum. “Oh, iya. Sebenarnya, tadi aku sudah memasak makanan favoritmu sebagai tanda perayaan dan rasa syukur. Kalau kau mau, makanlah sana.”

Sardi pun mengagguk-angguk dengan perasaan yang penuh keharuan. Ia merasa berdosa telah mengabaikan ibunya yang penuh cinta demi seorang perempuan yang malah mengabaikannya.

Tiba-tiba, sebuah pesan singkat dari sang perempuan yang telah membautnya kecewa, masuk ke dalam telepon genggamnya: Maaf, aku tak sempat datang, aku ada urusan mendadak. Maaf karena aku baru mengabarimu sekarang. Kau tak marah, kan?”

Sardi menutup layar pesan dan memutuskan untuk tidak mengirimkan balasan.

Sesaat kemudian, ia beranjak ke meja makan dan menjumpai nasi goreng favorit racikan ibunya. 

Tanpa menunda waktu, ia pun makan dengan sangat berselera, sembari sesekali menatap haru pada ibunya yang tampak kumal dengan daster yang lusuh.

Seketika, ia punya rencana baru atas gaji pertamanya.

Definisi Akhir

Segenap kata yang memudar
Dan tak sempat terbaca
Adalah aku