Bagian ke-19 dari cerita bersambung Setapak Berliku
Matahari telah terbit.
Roda-roda taksi akhirnya membawa kami tiba di depan rumah pelarian. Suasana tampak lengang dan terasa sepi, seperti sebelumnya. Tak ada sanak saudara yang akan segera menyambut kedatangan kami dengan riuh gembira seperti saat pulang pada rumah yang sesungguhnya. Hanya ada Ayahku dan Ibu Dumi sebagai penghuni sedari dulu, juga aku.
Sesaat kemudian, kami pun menapak di teras depan rumah. Aku lantas mengetuk pintu beberapa kali, hingga terdengarlah detak langkah yang mendekat ke arah kami. Pintu kemudian tersibak, dan tampaklah Ibu Dumi yang tercengang melihat kehadiranku, juga kehadiran tiga orang di sampingku. Di sampingnya, tampak pula ayahku dengan ekspresi yang serupa.
Ayahku sontak mendekapku beberapa saat.
Selepas itu, Ibu Dumi pun mendekapku, kemudian bertanya dengan raut khawatir, “Bagaimana kabarmu? Kau tak apa-apa, kan?
Aku mengangguk-angguk. “Aku baik-baik saja, Nek.”
“Syukurlah,” katanya, sambil mengelus-elus lenganku.
“Kami mendengar huru-hara di tanah air, dan kami sangat mengkhawatirkanmu,” timpal ayahku.
Aku pun menyunggingkan senyuman. Mengisyaratkan kalau aku memang baik-baik saja.
Sesaat kemudian, Ayahku menoleh pada seseorang di sampingku, pada nenekku. Ia pun jadi termangu dan tak kuasa berkata-kata.
Nenekku pun balik memandang ayahku lekat-lekat.
“Ibu?” terka ayahku setelah beberapa lama.
Nenekku pun tersenyum haru. “Muslim, anakku!”
Seketika, mereka saling berpelukan dan berurai air mata.
“Aku sangat merindukan Ibu,” tutur Ayahku.
“Aku juga sangat merindukanmu, Nak,” balas Nenekku.
Setelah beberapa lama, mereka lalu mengurai pelukan masing-masing.
Ibu Dumi kemudian berpelukan dengan nenekku. Mereka berpelukan dengan sangat hangat, seperti pelukan dua orang kawan lama yang saling merindu.
Sesaat kemudian, mereka pun mengurai pelukan.
“Maafkan aku, Bu,” kata Ibu Dumi kemudian.
Dengan raut penuh keharuan, Nenekku pun bertanya, “Maaf untuk apa, Ibu Dumi?”
“Maaf karena aku telah membawa Muslim tanpa seizin Ibu.”
“Aku yang seharusnya berterima kasih untuk itu, Bu. Terima kasih karena telah menyelamatkan dan merawat Muslim.”
Ibu Dumi pun mengangguk-angguk haru. “Aku hanya melakukan apa yang semestinya kulakukan, Bu.”
Nenekku membalas dengan senyuman.
Ibu Dumi kemudian menoleh pada Bibi Nori. Ia memandang lekat-lekat wajahnya tanpa bersuara.
Bibi Nori pun tampak terpaku memandang Ibu Dumi, seolah-olah balas membaca rupanya.
Ibu Dumi lantas menggapai tangan kiri Bibi Nori, lalu menyingsingkan lengan bajunya yang panjang. Ia kemudian mengusap-usap bercak hitam di balik sikunya.
Bibi Nori mematung saja.
“Kau?” taksir Ibu Dumi dengan raut sendu, sembari mengelus-elus pipi Bibi Nori, seakan-akan ia sudah punya sangkaan yang benar.
“Iya, ini aku, Bu!” balas Bibi Nori, lalu menyeka air matanya.
Ibu Dumi sontak memeluk Nori. “Anakku! Nori!” serunya, disusul tangisan yang lepas.
Aku terheran.
Ayahku pun sontak terperanjat. “Apa?”
Ibu Dumi dan Bibi Nori larut saja dalam sukacita.
“Aku sangat merindukanmu, Nak!” tutur Ibu Dumi di tengah dekapan mereka.
“Aku juga, Bu!” balas Bibi Nori
Berselang kemudian, mereka lalu mengurai pelukan, kemudian berpelukan lagi, kemudian mengurai lagi.
Ayahku pun mendekat dan menatap Bibi Nori, teman semasa kecilnya. Bibi Nori membalas dengan sikap yang sama. Seketika, mereka saling berpelukan tanpa berkata-kata, lalu mengurai setelah beberapa lama.
“Terima kasih atas apa yang telah kau lakukan untukku di masa lalu,” tutur Ayahku.
Bibi Nori membalas dengan anggukan haru.
Ibu Dumi lalu menoleh pada Naya.
“Perkenalkan, ini Naya, Bu, anak semata wayangku, cucu Ibu,” terang Bibi Nori.
“Cucuku!” seru Ibu Dumi. “Kau sungguh cantik!”
Ibu Dumi dan Naya pun berpelukan.
Selepas itu, Naya pun menyalami ayahku.
Dengan penuh penasaran, Ayahku lantas kembali bertanya, “Jelaskanlah padaku, ada hubungan apa di antara Ibu Dumi dan Nori?”
“Kita masuklah dahulu. Ayo,” pinta Ibu Dumi.
Kami pun melangkah masuk ke dalam rumah, lalu duduk di sofa yang diantarai oleh sebuah meja. Ibu Dumi duduk di samping Bibi Nori dan Naya, sedang aku duduk di samping ayah dan nenekku.
Dengan raut wajah yang penuh keharuan, Ibu Dumi pun menuturkan penjelasannya, “Nori adalah anak kandungku,” katanya, sambil merangkul dan mengelus-elus lengan Bibi Nori.
“Apa? Bagaimana bisa?” sergah ayahku.
“Aku adalah mantan istri Suto,” kata Ibu Dumi, sambil berupaya meredakan tangis harunya. “Kami pernah hidup sebagai suami-istri dan dikaruniai dua orang anak kambar bernama Nori dan Nira.”
“Tetapi bagaimana bisa aku tak pernah mendengar soal itu?” tanya nenekku.
“Itu memang rahasia yang kami tutup-tutupi bersama, baik oleh keluargaku maupun keluarga Suto,” tutur Ibu Dumi. “Pernikahan itu adalah semacam aib untuk kami.”
“Kenapa begitu?” sergah nenekku.
“Dahulu, aku dan Suto sama-sama saling menyukai. Kami akhirnya meminta untuk dinikahkan atas kemauan kami berdua.” Wajah Ibu Dumi kemudian menjadi muram. “Namun setelah menikah, aku dan keluarga besarku mengetahui bahwa ada perbedaan prinsipiel yang tak bisa dipersatukan di antara kami, yang tak pernah diungkapkan Suto sebelumnya.”
“Perbedaan apa?” tanya nenekku lagi.
“Ayahku adalah seorang tentara angkatan darat dari keluarga yang religius, sedangkan Suto dan keluarganya adalah pengurus aktif partai komunis,” terang Ibu Dumi. “Atas kenyataan itu, keluargaku pun memaksa agar kami berpisah, dan aku akhirnya setuju.”
Ayahku tampak terperenyak mendengar cerita Ibu Dumi.
Nenekku lekas menelisik lagi, “Apa yang terjadi selanjutnya?”
“Suto menolak berpisah, dan kami senantiasa bertengkar,” tutur Ibu Dumi dengan tatapan yang sayu ke arah Nenekku. “Hingga pada satu malam, datanglah Ayah-Ibuku bersama mertua laki-laki Ibu yang merupakan seorang pemuka agama, untuk menjemputku di rumah mertuaku. Terjadilah perdebatan yang alot. Sampai akhirnya, kedua pihak keluarga sepakat atas perpisahan kami, meski Suto menerima dengan berat hati,” terangnya, kemudian melepas batuk yang kering.
Aku merasa sedih mendengar kisah tragis itu
Ibu Dumi pun melanjutkan penuturannya, “Demi nama baik keluarga besarku, juga demi kebaikan bersama, para pihak pun bersepakat untuk tidak mengungkit-ungkit soal pernikahan kami di waktu-waktu selanjutnya. Bahkan untuk mengubur cerita di antara kami dari pengetahuan orang banyak, Suto dan keluarganya pun diminta untuk keluar dari kampung.”
Aku pun terenyuh.
“Lalu, bagaimana dengan anak-anak Ibu?” tanya nenekku lagi.
Ibu Dumi merangkul Bibi Nori erat-erat. “Setelah perdebatan yang sengit, kedua belah pihak bersepakat untuk mengambil jalan tengah. Nori ikut dengan Suto, sedangkan Nira ikut denganku,” terangnya, lalu menjeda dengan raut wajah yang perlahan-lahan berubah menjadi sendu. “Namun di waktu selanjutnya, Nira didera penyakit berkepanjangan, dan akhirnya meninggal.”
Hening sejenak, dan kami larut dalam kesedihan masing-masing.
Sesaat kemudian, Ibu Dumi berkisah lagi, “Namun akhirnya, Suto membangkang. Setelah para tetua meninggal, ia kembali ke kampung.” Wajahnya lantas menyiratkan kegetiran. “Lalu, terjadilah peristiwa yang aku takutkan. Sebuah peristiwa yang menimpa kalian sekeluarga.”
“Maksudnya?” sergah nenekku.
“Ayah suami Ibu adalah orang yang berperan besar atas perpisahan kami, dan aku tahu Suto menyimpan dendam padanya,” terang Ibu Dumi, sambil menatap Nenekku. “Aku menduga, atas dendamnya terhadap mertua Ibu itu, Suto tega mengarang cerita bahwa keluarga Ibu adalah keluarga komunis. Setidaknya, ia bisa melampiaskan dendam pada suami Ibu.”
Perlahan-lahan, aku mulai memahami cerita yang ruwet di antara kami secara utuh.
Ibu Dumi lalu menoleh pada ayahku, “Karena itulah, di malam kelam itu, ketika kau datang dengan Nori, aku merasa punya tanggung jawab untuk menyelamatkan nyawamu. Aku merasa bersalah sebab keluargakulah yang telah menyeret Kakekmu, Ayahmu, juga kalian, ke dalam lingkaran kebiadaban Suto.”
Kami pun terdiam beberapa saat, seolah butuh waktu untuk menerima kenyataan dari cerita panjang di balik kehidupan kami.
“Maafkanlah aku atas semua itu,” kata Ibu Dumi, sambil menoleh pada kami satu-satu.
Nenekku pun mengangguk. “Yang lalu, biarlah berlalu,” katanya, mewakili kami.
Ibu Dumi pun tersenyum haru.
Kami lantas mengakhiri obrolan, kemudian rihat dengan cara masing-masing.
Akhirnya, aku pun menjatuhkan tubuhku pada sebuah kasur yang telah kutinggalkan beberapa lama. Aku ingin melepaskan penat di seluruh raga dan jiwaku setelah perjalanan yang panjang dan cerita-cerita masa lalu yang pelik.
Namun tiba-tiba, aku teringat pada teman-teman semarkas dan jadi sangat penasaran atas kabar mereka.
Aku pun memutuskan untuk menghubungi Rano. “Bagaimana keadaan kalian?” tanyaku, setelah telepon tersambung.
“Kami baik-baik saja.”
“Bagaimana keadaan Fatih dan Luny?”
“Mereka berdua baik-baik saja. Hanya mengalami luka ringan,” jawabnya. “Namun untuk kepentingan keamanan dan penyelidikan kasus, mereka masih diamankan di kantor polisi.”
“Syukurlah kalau begitu.”
Rano kemudian menyampaikan sebuah kabar, “Oh, iya, opinimu tersebar lagi pagi ini.”
“Syukurlah,” tanggapku. “Itu opiniku yang terakhir kalinya di koran itu setelah semalam kantor pers itu habis dibakar massa.”
“Tetapi tulisanmu itu adalah sebuah penutup yang sangat baik. Kau berhasil menguraikan hubungan ideologi dan perpolitikan global secara apik. Kukira, para propagandis internasional akan kebakaran jenggot setelah membacanya.”
Aku tergelak.
Jeda sejenak.
Tiba-tiba, aku tergugah untuk menuturkan isi hatiku. “Aku akan selalu merindukan diskusi kita di markas.”
“Aku juga. Kukira, teman-teman yang lain juga. Kami semua akan selalu merindukan kehadiranmu di sini.”
“Sampaikan salamku pada yang lain.”
Ia tertawa pendek. “Baiklah.”
“Sampai jumpa,” pungkasku.
“Sampai jumpa.”
Sambungan telepon pun terputus.
Aku lalu memasrahkan diri untuk jatuh dalam lelap.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar