Minggu, 07 Februari 2021

15. Tanda-Tanda

 Bagian ke-15 dari cerita bersambung Setapak Berliku

Kurang 10 menit sebelum jam 8 malam. Aku tiba di halaman depan Kafe Niro dengan harap-harap cemas bahwa Naya akan datang menyusul. Aku lalu memasuki ruang kafe dengan langkah lemah, kemudian menoleh ke sudut kiri pangkal ruangan. Seketika juga, aku terperanjat menyaksikan kenyataan yang tak kuduga. Di meja favorit kami, Naya tengah duduk seorang diri.

Aku lalu menghampirinya dengan sikap biasa, seolah-olah aku tak merasa ada masalah batin di antara kami. “Aku seperti tak melihatmu selama bertahun-tahun,” kataku kemudian, bermaksud bercanda setelah menyaksikan ia hanya menyambutku dengan lirikan dan rupa yang memberengut.

Ia lantas melayangkan senyuman singkat yang terkesan kaku. “Aku ada urusan di rumah sakit,” katanya, dengan bola mata yang tampak segan menatapku.

“Siapa yang sakit? Kau?”

“Bukan! Keluarga jauhku.”

“Apamu?”

Ia menjeda sekitar lima detik sebelum menjawab, “Pamanku!”

“Sakit apa dia?”

“Tepatnya, disakiti.”

“Kena santet? Dicampakkan pujaan hati?”

Ia menggeleng. “Seseorang menghajarnya sampai terluka parah.”

“Kenapa bisa?”

Ia menjeda sekitar tujuh detik sebelum menjawab, “Dia hanya mendapatkan balasan dari kejahatannya di masa lalu.”

“Kejahatan apa?”

Ia tak menjawab. Tampak kelu.

“Boleh aku menjenguknya?”

“Untuk apa?”

“Aku hanya ingin berkenalan dengan orang-orang dekatmu.”

Ia mendengkus. “Itu tidak penting untuk hubungan pertemanan kita.”

Aku lekas menimpali, “Apa kita harus terikat dalam hubungan yang lebih dari teman agar kau mengizinkan aku berkenalan dengan keluarganmu?”

Ia lantas memalingkan wajah dariku, seperti berusaha menyembunyikan benih senyuman di balik raut getirnya.

Aku pun merasa telah berhasil mencairkan kebekuan hatinya yang tak terucap.

Kami lalu menjeda pembincangan untuk memesan hidangan. Aku memesan segelas kopi susu, ia memesan segelas teh susu, dan kami bersepakat untuk memesang sepiring kentang goreng dan sepiring ubi goreng untuk kami berdua.

Berselang kemudian, aku lalu menggiring pembicaraan pada hal yang lain, “Bagaimana urusanmu di kantor?”

“Semakin membaik,” katanya. “Oplah kami meningkat seiring dengan peningkatan pembaca. Order pengiklanan pun meningkat tajam.”

Aku pun menimpali, “Itu pasti karena opiniku.”

Ia tersenyum singkat. “Tetapi di tengah perkembangan itu, kami semakin sering mendapatkan teror. Para peneror meminta agar kami berhenti mengulas isu kebangkitan komunis,” katanya, tampak muram. “Mereka juga meminta agar kami berhenti menerbitkan aspirasi dari orang-orang pelarian, seperti juga tulisanmu.”

“Luar biasa primitif. Di zaman demokrasi ini, masih ada juga peninggalan zaman kegelapan seperti mereka.”

“Itu tantangan yang sudah biasa bagi kami.”

“Lalu bagaimana sikapmu soal itu?”

“Tak ada pengaruhnya. Bagiku, pers harus tetap independen demi keadilan dan kemanusiaan,” katanya, dengan penuh keyakinan. “Apalagi, aku beruntung punya pemimpin umum yang tetap mendukung independensi kami di ruang redaksi.”

Aku takjub dan terpancing memuji, “Kau benar-benar melakukan tindakan yang berarti sangat untukku.”

“Aku tak melakukan itu untukmu. Aku melakukan itu untuk semua manusia.”

“Aku kan juga manusia.”

Ia pun mendengkus. “Tetapi tidak spesial untukmu!”

Sesaat kemudian, pesanan kami datang. Kami lantas menjeda untuk mengecap hidangan. Hanya terdiam dengan perasaan masing-masing. Sesekali, mataku beradu pandang dengan bola matanya yang masih malu-malu, seolah-olah ia masih memendam kegalauan yang tak berani ia ungkapkan.

Tiba-tiba, ia memancing obrolan yang baru, “Bagaimana pencarianmu? Apa kau sudah menemukan informasi tentang Kakek-Nenekmu?” tanyanya, dengan rona wajah yang sayu.

Seketika, perasaanku kembali jatuh di dalam kegalauan. “Dua hari yang lalu, aku telah mendapatkan keterangan dari si kakek gila. Ia mengatakan kalau…,” aku menelan ludahku, “kalau Kakekku telah meninggal dibunuh olehnya.”

Ia tampak turut bersedih. “Apa kau percaya pada pernyataannya?”

“Aku selalu berusaha untuk tidak percaya. Namun setelah seorang saksi mata yang bisa kupercaya malah menguatkan pernyataannya, aku akhirnya menerima kenyataan.”

“Bersabarlah!” katanya, kemudian bertanya lagi, “Bagaimana dengan Nenekmu?”

“Menurut keterangan si saksi mata, Nenekku lolos dari pembunuhan di malam itu. Kakek simpangku, saudara tiri Nenekku, juga menerangkan kalau Nenekku memang masih hidup. Namun tak ada yang tahu tentang keberadaannya saat ini.”

“Apa kau telah mencarinya?”

“Sore tadi, aku telah mendapatkan data tentang lembaga-lembaga perlindungan sosial di kota ini. Aku akan melakukan pencarian di tempat-tempat itu esok hari.”

Ia pun tersenyum haru. “Semoga kau lekas menemukannya.”

“Terima kasih.”

Senyap lagi. Kami kembali menjeda untuk menikmati minuman dan camilan.

Di tengah kediaman, aku melihat sikap tubuhnya kembali normal seperti biasa. Aku bisa membaca rona ceria di balik wajahnya.

Beberapa saat kemudian, aku pun menuturkan maksudku yang lain, “Aku sedang membuat tulisan baru. Apa itu masih ada artinya jika aku mengirimkannya kepadamu?”

“Akan kuupayakan!” katanya, dengan mata berkaca-kaca. “Tentang apa?”

“Internasionalisasi ideologi,” kataku. “Sedikit-banyak masih terkait dengan komunis dan orang-orang pelarian. Tetapi aku akan melakukan penyesuaian untuk kepentingan keamanan orang-orang di mediamu.”

Ia  pun mendengus. “Jangan khawatir soal kami.”

“Khawatir soal kamu, boleh?”

Ia pun tersipu-kesal. “Garing!”

Aku tersenyum senang.

Hening kembali. Kami terdiam saja sembari menandaskan hidangan satu per satu. Kami seperti sama-sama kehabisan bahan obrolan. Sampai akhirnya, kami bersepakat untuk pulang. Kembali berpisah ke arah yang berlawanan di atas roda masing-masing.

Beberapa saat kemudian, aku akhirnya tiba di rumah-markas yang sedang dalam keadaan gelap. Lampu-lampu tengah padam, meski lampu-lampu di rumah yang lain tampak masih menyala. Hingga kulihatlah petugas kelistrikan sedang melakukan perbaikan sambungan di depan rumah.

Aku terus saja masuk ke dalam rumah dengan berbekal penerangan dari telepon genggamku. Aku lantas menjumpai Rano yang tengah berbaring di sofa sambil memandang kosong ke langit-langit ruangan, di samping sebuah lilin yang berdiri tegak di atas meja.

“Apa yang terjadi?” tanyaku, lalu duduk di sampingnya.

“Kabel sambungan dari tiang listrik terputus.”

“Bagaimana bisa?”

“Entahlah. Barangkali terseret badan truk.”

“Posisi kabel di tiang listrik itu kan sangat tinggi?”

“Mungkin mobil truknya sedang membawa tiang listik juga.”

Aku tertawa. “Fatih dan Luny ke mana?”

“Keluar lagi sore tadi. Katanya hendak memeriksakan luka kaki Luny yang mulai infeksi.”

“Memangnya siang tadi tak jadi periksa di rumah sakit?”

“Asuransi Luny ditolak pihak rumah sakit swasta yang mereka tuju karena soal alamat kependudukan. Fatih mencoba protes, namun tetap saja tak bisa,” terang Rano. “Tetapi Fatih menaksir, itu ada hubungannya dengan aksi Luny kemarin. Apalagi pemilik rumah sakit itu adalah seorang dokter yang kini merintis karir sebagai seorang politikus di ibu kota negara ini.”

“Sepolitis itu mereka memandang kemanusiaan?”

“Entahlah. Di zaman edan ini, kemungkinan itu bisa terjadi.”

“Lalu mereka berencana ke mana.”

“Fatih punya seorang teman yang berpraktik sebagai dokter di tengah kota. Katanya, mereka hendak ke sana.”

“Pilihan yang tepat.”

Tiba-tiba, atap seng berdetak, lalu disusul bunyi gerusan.

Aku pun terperanjat.

“Tikus sialan!” sergah Rano.

Hening kemudian, seolah-olah tak ada yang sebaiknya dilakukan di tengah gelap selain berdialog dengan diri sendiri.

Tetapi sesaat kemudian, aku kembali terpikir untuk mempertanyakan kerisauanku, “Apa kau sudah mendapatkan kabar tentang Kira?”

“Sudah. Ia baik-baik saja, katanya, lewat pesan singkat.”

“Lalu, kenapa ia tak lagi bersua ke sini?”

“Ia beralasan punya masalah keluarga dan tak mau diganggu untuk sementara waktu.”

Aku merasa sedikit lega dan berharap Kira memang tak menyimpan masalah perasaan denganku.

Tiba-tiba, bohlam kembali menyala.

Rano lantas menuju ke teras depan rumah dan mengobrol dengan tukang listrik.

Aku lalu menyalakan televisi.

Sesaat berselang, Rano kembali masuk dan berkata, “Baru kali ini aku menemukan tukang listrik yang tak meminta tip.”

“Memangnya mereka harus meminta?”

“Ya, tidak,” balasnya, lalu duduk di sampingku. “Tetapi biasanya, tukang listrik semacam itu akan meminta tip, bahkan dengan besaran yang mereka patok sendiri.”

Aku tertawa. “Itu artinya, mereka orang yang antikorupsi.”

Ia mengangguk-angguk saja.

Kami lantas terdiam sambil menonton televisi yang menampilkan seorang politikus yang tegas menyatakan bahwa isu kebangkitan komunis bukanlah isapan jempol belaka. Menurutnya, itu terindikasi dengan ditemukannya sejumlah imigran dari sebuah negara berideologi komunis, maraknya forum kajian yang menggugat kebenaran sejarah komunis, juga merebaknya buku-buku yang membahas tentang komunisme.

Sesaat kemudian, tayangan lalu diselingi dengan cuplikan peristiwa pembubaran diskusi dan penyitaan buku oleh  oknum aparat dan organisasi kemasyarakatan.

“Edan!” ketus Rano. “Mereka membubarkan diskusi yang mereka anggap menyimpang, sedang mereka sendiri tak menyimak apa yang diperbincangkan. Mereka menyita buku-buku yang mereka anggap menyesatkan, sedang mereka sendiri tak pernah membaca.”

Aku tertawa pendek. “Mereka terlalu takut pada pengetahuan. Mereka mengira bahwa pengetahuan tentang ketersesatan serta merta membuat orang tersesat. Mereka mengira bahwa pengetahuan tentang komunisme seketika membuat orang menjadi komunis. Mereka sama sekali tak mengerti bahwa setiap orang berhak untuk tahu, dan pilihan sikap atas pengetahuan adalah soal yang lain.”

Ia mendengus kesal. “Doktrin kebenaran tunggal di zaman pemerintahan otoriter memang telah membuat sebagian anak bangsa ini berpikiran tertutup. Untuk tahu saja tak boleh!”

“Mungkin karena itu juga, sebagian anak bangsa ini hanya mempermasalahkan komunisme secara dangkal, hanya dalam soal agama, tanpa pernah menilik pandangan komunisme dalam soal yang lain, misalnya ekonomi. Karena itu, mereka tak memahami atau tak mau menerima kenyataan bahwa konsep penguasaan sumber daya alam oleh negara untuk kesejahteraan rakyat, lahir dari paham komunisme.”

“Ya, benar,” timpalnya. “Kenyataan itu memang hendak diburamkan oleh kaum kapitalis. Mereka ingin terus menggerus kontrol negara atas perekonomian, tanpa ada protes dari orang-orang terhadap kapitalisme yang telah membuat mereka kaya sekaya-kayanya, sedangkan masyarakat kebanyakan miskin semiskin-miskinnya.”

“Taktik licik mereka terbaca jelas,” ujarku. “Demi menumpas penganut paham komunisme dan nilai-nilai ekonomi yang mereka perjuangkan, kaum kapitalis terus menggembar-gemborkan hal yang tidak mendasar dari komunisme.”

Ia mengangguk-angguk setuju. “Benar. Persoalan keadilan ekonomi yang menjadi titik perhatian komunisme, memang telah disimpangkan darinya.”

Tiba-tiba, Fatih muncul dari balik pintu. Di belakangnya, Luny menyusul sambil menumpu pada sebuah tongkat.

“Kenapa kelamaan? Kalian habis jalan-jalan?” tanya Rano.

Fatih menggeleng. “Ban mobilku kempes saat hendak pulang. Pentilnya rusak.”

“Kenapa bisa?” sergahku.

“Aku tak tahu. Barangkali ada orang yang usil, atau memang terjadi secara alami. Entahlah.”

Kami lalu terdiam dengan rasa dan tafsiran masing-masing.

“Kalian pulang lewat apa?” tanya Rano.

“Taksi,” jawab Fatih. “Mobil kami tinggalkan saja di tempat praktik temanku itu.”

“Sebaiknya begitu,” balas Rano. “Soal mobil, biar diurus besok.”

Luny lalu menuturkan kehendaknya, “Aku lelah sekali. Aku ingin tidur.”

“Tidurlah di kamarku. Biar aku tidur di markas malam ini,” tawarku seketika.

“Aku memang akan melakukan itu. Kau tak perlu mempersilakan,” katanya, lalu beranjak dengan berjengket-jengket.

Fatih lalu bergegas ke kamar mandi.

Rano pamit untuk pulang.

Aku lantas naik ke ruang markas, lalu berbaring di kasur, di samping buku-buku, dan tak segera jatuh terlelap.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar