Minggu, 07 Februari 2021

8. Tanah Leluhur

 Bagian ke-8 dari cerita bersambung Setapak Berliku

Pagi adalah ibu waktu.

Di ufuk timur, sang surya kembali terlahir dan perlahan membesar, menuju mati.

Kini, di tengah jalanku menyingkap tabir kematian ibuku yang mengenaskan, aku pun bertekad menelusuri jejak leluhurku demi menemukan jati diriku sendiri. Aku ingin menyingkap kebenaran di balik peristiwa kelam yang telah melenyapkan kakek dan nenekku.

Akhirnya, bersama Fatih, di pertengahan pagi, aku pun sampai di depan sebuah rumah yang berdiri di atas lahan bekas rumah kakek-nenekku, Kirman-Sumiah, dan ayahku di masa kecilnya. Rumah megah berlantai dua yang berdiri di lahan itu, juga gambaran di sekelilingnya, telah mengubur gambaran tentang masa lalu yang kuperoleh selama ini.

Tetapi pada bentuk permukaan tanah yang menanjak-menurun di area itu, aku pun bisa menerka-nerka tampilan keadaan di masa silam, sesuai dengan pengisahan ayah dan nenek angkatku. Bayangan adegan mencekam yang dialami kakek-nenekku, juga ayahku dan teman kecilnya, Nori, bergerak di dalam benakku, seperti lakon sebuah film yang muncul dari setiap sisi pandanganku.

Seketika, perasaanku ngilu membayangkan kisah pilu itu.

Setelah kami merenung-renung saja di depan rumah megah itu, Fatih kemudian bertanya, “Jadi apa rencanamu?”

“Mungkin sebaiknya aku bertamu,” kataku, sambil menduga-duga. “Siapa tahu tuan rumah punya informasi tentang peristiwa itu.”

“Apa kau yakin untuk melakukannya sepolos itu?”

“Harus bagaimana lagi?”

“Peristiwa itu memang telah terjadi begitu lama. Tetapi kukira, satu versi cerita tanpa verifikasi yang diwariskan secara turun-temurun, masih berakar di benak orang-orang,” tutur Fatih. “Maksudku, kau tak boleh serta-merta berpikir kalau waktu telah mengubah pandangan orang-orang terhadap tertuduh komunis dan keturunannya, sepertimu.”

Aku lantas menatapnya dengan perasaan kalut.

“Kau tahu sendiri kalau perpolitikan sedang memanas akibat isu kebangkitan komunis. Para politikus kembali menjadikan kalian sebagai bahan celaan untuk meraup dukungan masyarakat demi kekuasaan. Aku khawatir kalau orang yang hendak kau temui adalah orang yang terperdaya hasutan politikus picik.”

“Jadi apa yang sebaiknya kulakukan?”

Fatih pun tampak merenung.

Tiba-tiba, seorang laki-laki tua muncul dari balik pintu rumah yang kami maksud, kemudian lekas menghampiri kami dan  bertanya dengan ekspresi yang datar, “Kalian mencari siapa?”

Aku menatap Fatih, dan ia balik menatapku. Seolah-olah kami sama-sama kelimpungan mencari penjelasan yang tepat.

Di tengah kebingungan, aku pun menuturkan keterangan yang kubuat-buat begitu saja, “Kakekku di kota punya seorang kenalan di masa mudanya, Pak. Aku kira-kira, orang itu tinggal di sekitar sini. Namanya Kirman,” kataku, menuding nama kakekku sendiri.

Lelaki beruban sempurna dan berjanggut panjang itu sontak mengernyitkan alis. “Kirman, suami Sumiah?”

Aku terkejut atas tebakannya, kemudian menangangguk pelan. “Benar, Pak.”

“Ada urusan apa Kakekmu dengan Kirman?”

Seketika, aku teringat bahwa dahulu Kakekku punya kebun jati yang luas. “Dia punya usaha mebel di kota seberang, Pak. Setelah ia tahu kalau aku berada di sekitar sini, ia memintaku menemui Pak Kirman yang katanya punya kebun jati.”

Fatih terdengar mendengkus.

Lelaki berpeci itu lekas menelisik dengan tatapan yang tajam, “Tetapi Kakekmu tak segolongan dengan Kirman, kan?”

Aku pura-pura tak paham arah pertanyaannya. “Maksud Bapak?”

“Maksudku, Kakekmu bukan seorang komunis seperti Kirman, kan?”

Aku mengeleng tegas. “Tentu saja tidak, Pak. Urusan mereka hanya soal bisnis,”

Lelaki itu mengembuskan napas keras-keras, lalu mengusap-usap dadanya. “Syukurlah. Itu berarti kalian orang baik. Orang komunis dan keturunannya itu jahat dan berbahaya!”

Aku mengangguk-angguk saja. “Aku baru tahu kalau Kirman ternyata komunis, Pak,” timpalku, lalu memberanikan diri untuk menelisik. “Ngomong-ngomong, Bapak tahu dari mana kalau ia seorang komunis?”

Senyumannya pun merekah. “Aku dengar dari cerita-cerita masyarakat yang sedari awal tinggal di sini,” katanya, lalu terkekeh sejenak. “Aku sendiri bukan saksi hidup bagi Kirman. Aku baru pindah ke sini beberapa tahun yang lalu.”

“Tetapi kenapa Bapak meyakini saja cerita masyarakat kalau Kirman seorang komunis?” tanya Fatih dengan nada yang datar.

Tatapan lelaki itu menjadi tajam. “Sebagai orang yang bukan saksi hidup, cerita mana lagi yang seharusnya aku percaya selain cerita dari orang-orang yang memang menyaksikan peristiwa secara langsung?” tantangnya, lalu tertawa pendek, kemudian menuturkan sebuah nasihat. “Orang-orang muda seperti kalian harus banyak-banyak mendengarkan cerita dari orang-orang terdahulu. Kalian harus belajar sejarah!”

Fatih tampak kesal.

Aku pun menepuk pundaknya sekali. Memberi isyarat agar ia menahan emosi.

“Apa Bapak tahu keadaan dan keberadaan Kirman serta istrinya?” telisikku lagi.

Ia mendengus dengan bibir yang mencoang ke atas. “Yang aku tahu, mereka mendapat hukuman yang pantas sebagai antek komunis. Hidup mereka berakhir sebagaimana mestinya. Nyawa mereka tanggal di tangan para jagal, lalu jasad mereka dihanyutkan di sungai.”

Seketika, perasaanku bergejolak. Jiwaku terguncang. Mulutku tersekat. Pandanganku buram. Pendengaranku berdenging. Kesadaranku seperti menghilang.

Sayup-sayup, kudengar Fatih kembali bertanya lancang, “Memang, salah mereka apa?”

Lelaki itu lalu melepas tawa yang terdengar meremehkan. “Mereka itu bahayalah, Anak Muda. Orang-orang komunis seperti Kirman berani melakukan apa saja demi merebut kekuasaan. Mereka tega membunuh orang-orang yang merintangi nafsu mereka dengan cara yang sadis. Mereka tidak percaya Tuhan!”

Di tengah perasaan yang masih terguncang, aku kembali menepuk punggung Fatih agar berhenti menuturkan respons yang emosional.

“Kau seharusnya mengetahui tentang bahaya orang komunis. Sebagai anak bangsa, kau punya tanggung jawab untuk melindungi negeri ini dari paham komunisme,” kata si lelaki lagi, kemudian melepas tawa yang pendek.

“Bapak yang seharusnya tahu kalau sejarah masa lalu telah direkayasa dan dituliskan sesuai dengan kepentingan penguasa rezim otoriter!” sergah Fatih dengan tegas.

Lagi-lagi, aku menepak punggungnya. Lebih keras daripada sebelumnya.

Lelaki itu pun berdecak-decak. “Kau benar-benar jauh dari sejarah yang benar,” singgungnya. “Tetapi memang wajar kalau orang muda sepertimu tak paham soal itu. Bahan bacaanmu tentang sejarah sudah jauh berbeda dengan bahan bacaan kami di masa lalu.”

Akhirnya, dengan perasaan yang masih berkecamuk, aku pun beranjak menuju mobil setelah mengucapkan kata-kata permisi yang terpaksa.

Fatih pun turut tanpa mengatakan apa-apa.

Kami lantas masuk ke dalam mobil.

Aku lekas menutup kaca jendela, kemudian memasrahkan air mataku menenangkan perasaanku.

Fatih lalu melajukan mobil dan menggomel, “Kurang ajar Bapak itu. Bisa-bisanya ia meyakini sesuatu yang tidak ia ketahui. Bisa-bisanya ia memvonis seseorang yang tak pernah ia temui. Gila!”

Aku yang tengah berusaha meredakan kerusuhan di dalam hatiku, berusaha pula menenangkan emosinya, “Sudahlah! Ia tak patut juga dipersalahkan. Orang-orang terdahulu memang tak pernah mendapatkan versi yang benar tentang sejarah. Pengetahuan mereka terkungkung di dalam hukum kebenaran tunggal versi penguasa rezim.”

“Tetapi seharusnya ia berusaha mencari tahu kebenaran yang sesungguhnya!”

“Tetapi kau tahu sendiri kalau mencari kebenaran di zaman kegelapan itu, adalah perkara yang sulit dan berbahaya.” Aku lalu menyeka air mataku.

Ia pun terdiam, seolah-olah kehabisan daya untuk meluapkan kekesalannya.

Aku lantas menatap kosong ke luar jendela dengan pikiran yang disesaki bayang-bayang tentang nasib kakek-nenekku.

“Aku turut prihatin atas informasi yang baru saja kita dapatkan,” tutur Fatih kemudian. “Bersabarlah!”

“Terima kasih,” balasku. “Sejak awal, aku memang telah memperkirakan kemungkinan terburuk itu.”

“Tetapi kau tak boleh berputus asa. Kau dengar sendiri kalau si Bapak sialan tadi bukanlah saksi sejarah yang patut kita percayai begitu saja,” katanya. “Berdoalah untuk kemungkinan terbaik.”

Aku menganggukkan pendapatnya.

Hening sejenak.

Sesuai rencana, mobil kami pun menyusuri jalan menanjak, menuju ke lokasi rumah Suto dan anaknya, teman masa kecil ayahku, Nori, sebagaimana penggambaran yang kudapatkan langsung dari nenek angkatku, Ibu Dumi, juga dari ayahku. Dalam sekejap, kami pun tiba tepat di lokasi yang dimaksud.

Dari balik kaca mobil, aku pun memandangi rumah berlantai satu yang dikelilingi halaman berumput liar itu. Kondisinya terlihat tidak terawat. Pagarnya tertutup, dan pintu depannya tampak bergembok. Tampak seperti rumah yang telah ditinggalkan penghuninya begitu lama.

Dengan perasaan kecewa, kami lantas turun dari mobil, sekadar untuk melihat-lihat keadaan rumah itu lebih dekat.

Sampai akhirnya, seorang lelaki tua dari samping rumah itu mendekati kami dengan raut penuh tanya. “Kalian cari siapa?”

“Kami ingin bertemu dengan Pak Suto, Pak,” jawabku, tanpa kekhawatiran, sebab Suto adalah orang yang aktif dalam penumpasan orang terlarang, sehingga mengakuinya tak akan memancing bahaya bagi kami.

“Rumah ini bukan punya Pak Suto lagi. Ia telah menjualnya kepada orang lain,” jawabnya dengan nada yang rendah.

“Siapa, Pak?”

“Aku sendiri tak mengenalnya dengan baik. Ia hanya sesekali datang ke sini untuk mengecak keadaan rumah dan membersihkan rumputnya. Sekali dalam 6 bulan, atau malah sekali dalam setahun.” Dahinya lantas mengernyit. Tampak penasaran. “Omong-omong, ada urusan apa kalian mencari Pak Suto?”

Aku menelan ludahku dan lekas mengarang, “Kebetulan, ibuku masih keluarga dengan Pak Suto. Masih sepupuan. Aku datang dari pulau seberang dan sekadar ingin bersilaturahmi.”

Senyumannya pun merekah. “Oh, itu berarti kau ini adalah keturunan orang baik yang sangat berjasa bagi kampung ini di masa dahulu. Pamanmu itu adalah orang yang telah menumpas antek-antek komunis di sini.”

Aku tersenyum pendek, dan tiba-tiba kehilangan selera untuk berbasa-basi. “Apa Bapak tahu keberadaan Pak Suto dan keluarganya?”

“Kabarnya, mereka tinggal di tengah kota. Sudah lebih dari 30 tahun yang lalu.”

“Apa Bapak tahu alamat mereka di kota?”

Wajahnya murung. “Mereka telah pergi sekian lama, dan aku tak pernah lagi mendengar kabarnya.”

“Apa Bapak ada mengenal orang sini yang kira-kira mengetahui keberadaan mereka?”

Ia menggeleng. “Aku saja yang sedari kecil di sini tidak tahu, apalagi warga lain yang kebanyakan pendatang.”

Seketika, aku menyerah atas keterangannya. “Kalau begitu, kami permisi.”

“Semoga kau menemukannya segera,” katanya, penuh harap. “Sampaikan terima kasihku dan terima kasih warga sini kalau kau telah bertemu dengannya.”

Kami menganggukkan saja pintanya, kemudian pergi.

Untuk yang terakhir, seturut dengan jejak penelusuran ayahku dahulu, kami pun mencoba mencari informasi dan petunjuk tentang keberadaan seorang saksi mata lainnya, Kahar. Aku berharap keadaan pemerintahan yang sudah berubah telah menciptakan kondisi yang akan memudahkan langkahku bertemu dengannya.

Dengan harap-harap cemas, kami lantas menuju ke titik lokasi rumah Kahar dahulu, sejalan dengan petunjuk yang aku dapatkan dari ayahku dan Ibu Dumi. Kami kemudian bertanya pada beberapa orang di sekitar titik lokasi yang dimaksud, namun kami tak mendapatkan apa-apa selain tatapan sinis yang penuh tanda-tanya.

Tiba-tiba, aku teringat penuturan ayahku bahwa Kahar adalah anak seorang imam yang aktif dalam kegiatan keagamaan. Maka dengan sisa harapan yang ada, kami pun menuju ke rumah seorang yang sekarang menjadi imam. Atas petunjuk-petunjuk yang dengan mudah kami dapatkan, kami pun tiba di rumah sang imam.

Setelah kami saling berkenalan, lelaki yang tampak berusia paruh baya itu kemudian bertanya dengan sikap ramah, “Ada urusan apa kalian datang kemari?”

Atas peran Kahar yang diam-diam juga berada di pihak pemberantas orang-orang tertuduh, aku pun jujur saja tanpa perasaan waswas, “Kami mencari keberadaan Kahar dan keluarganya, Pak.”

Tiba-tiba, matanya memicing, seperti berpikir-pikir atau mengingat-ingat. “Kahar?”

“Iya, Pak. Kahar, anak seorang imam di sini pada masa dahulu?” terangku, sambil tersenyum.

“Ada urusan apa kalian dengan mereka?” telisiknya, dengan nada datar.

Aku jadi kelimpungan atas reaksinya. Aku takut salah memosisikan diri. Tetapi bagaimana pun, aku harus segera merespons dengan karangan baru. “Aku sedang melakukan penelitian sejarah tentang perkembangan kehidupan beragama di kampung ini, Pak, khususnya dalam melawan gerakan komunis. Kami mendapatkan informasi bahwa pada masa dahulu, Kahar adalah seorang permuda yang aktif dalam organisasi keagamaan, dan ayahnya adalah seorang imam. Aku ingin mewawancarai mereka.”

“Kau ingin mewawancarai mereka soal agama?” tanyanya, dengan raut penuh curiga.

Aku mengangguk setengah yakin.

Ia menggeleng-geleng dengan raut kecewa. “Apa kau tidak tahu kalau Kahar dan keluarganya adalah antek-antek komunis?”

Sontak, aku terperanjat. “Apa begitu, Pak?”

Ia mendengus kesal. “Kahar dan keluarganya adalah orang munafik yang menggunakan agama sebagai alat penyamaran untuk menyelamatkan orang-orang komunis di daerah ini pada masa dahulu.”

Aku semakin tak mengerti dan merasa bodoh. “Lalu, di mana mereka sekarang?”

Ia menggeleng. “Aku tak tahu keberadaan mereka. Yang kutahu, mereka diusir dari kampung ini dan tak boleh kembali lagi.”

Kebingunganku semakin menjadi. “Maaf, Pak. Aku sama sekali tidak tahu tentang itu. Yang kutahu, Kahar dan keluarganya adalah orang-orang alim berdasarkan dokumen sejarah yang aku baca tentang daerah ini.”

Ia lalu menuding-nuding kami dengan tangan kanannya. “Kalian yang masih muda ini, mesti lebih hati-hati lagi dalam mencari sumber ilmu.”

Kami mengangguk saja. “Baik, Pak. Kami permisi kalau begitu,” balasku, lantas memberi isyarat kepada Fatih untuk segera pergi, sebelum sang imam bertanya-tanya lebih detail tentang tujuan kami, dan sebelum kami terlibat lagi di dalam perbincangan yang sengit seperti sebelumnya.

Kami akhirnya kembali melaju di atas jalan raya, sembari membawa kebingungan yang sungguh memusingkan, perihal jawaban-jawaban yang malah melahirkan pertanyaan-pertanyaan.

“Apa kau bersedia melanjutkan penelusuran kita?” tanya Fatih kemudian.

Aku mengangguk saja, dengan perasaan lemas.

Akhirnya, roda-roda mengarah ke sebuah rumah sakit jiwa, tempat berdiam bagi seorang kakek yang menurut Fatih adalah saksi mata atas peristiwa tragis yang menimpa kakek-nenekku.

Tak berselang lama, kami pun sampai. Seorang perawat lalu mengantarkan kami kepada sang lelaki tua yang tampak mencabuti rerumputan di sekitar tanaman bunga, sambil berkomat-kamit tanpa siapa-siapa. Seorang lelaki dengan jenggot dan kumis beruban yang tak terawat.

Aku lalu mendekatinya dengan perasaan waswas. “Selamat siang, Kakek Darko?” sapaku dengan nama yang menurut perawat adalah nama panggilan untuknya.

Sang kakek hanya melirik sekilas, kemudian melengos.

Fatih lalu memaling-malingkan wajahnya. Memberi isyarat agar aku mundur beberapa langkah.

Aku pun menurutinya.

Dengan sikap yang tenang, Fatih lalu berjongkok di samping sang kakek. “Sepertinya Kakek sudah kecapekan,” katanya, kemudian menyodorkan korek api beserta sebungkus rokok dengan sebatang mencuat ke luar. “Rokok, Kek.”

Sang kekek pun berhenti mencabut rumput. Tangannya lekas menggenggam dan menarik korek dan sebungkus rokok itu, bukannya mengambil sebatang yang dimaksudkan Fatih. Ia lantas mengantongi kedua benda itu, kemudian melanjutkan kembali pekerjaannya.

“Istirahatlah dulu, Kek. Nikmatilah rokoknya. Biar aku yang mencabut rumput,” saran Fatih.

Seketika juga, sang kakek berdiri, lalu bergeser beberapa langkah ke lantai selasar dengan tubuh yang membungkuk. Ia lantas duduk sambil menepuk-nepukkan kedua telapak tangannya. kemudian membakar dan menikmati sebatang rokok.

Fatih kembali memaling-malingkan wajah dengan bola mata yang mengerling, seperti meminta agar aku duduk di samping sang kakek dan mulai mengobrol bersamanya.

Aku pun turut saja.

Sang kakek lekas menyodorkan sebatang rokok kepadaku.

Aku menolak, namun Fatih memberi isyarat agar aku menerimanya. Dengan terpaksa, aku menghisap sebatang rokok yang jelas bukan kebiasaanku.

Fatih pun tampak senang.

Aku lalu mengucapkan kata-kata pembuka yang kurasa tepat, “Aku dengar-dengar, Kakek berjasa dalam upaya mempertahankan ideologi negara?” sangkaku, bermaksud membesarkan hatinya untuk bertutur.

Sang kakek sontak memandangku dengan tatapan yang tajam.

Aku pun jadi salah tingkah. Aku lalu memperjelas maksud pertanyaanku dengan sikap yang seramah mungkin. “Aku dengar-dengar, Kakek turut membasmi para pengkhianat ideologi negara di desa Kakek dahulu. Apa benar, Kek?”

Seketika, ia berdiri dengan raut ketakutan. “Ah? Kau tahu dari mana?”

Aku jadi kelimpungan.

Fatih pun kalang-kabut.

Sang kakek lantas melangkah mundur sambil memandang kami silih berganti. “Kalian siapa?”

“Kami bukan siapa-sapa, Kek. Kami hanya mahasiswa yang sedang meneliti tentang orang-orang yang berjasa bagi negara ini dan patut diberi gelar pahlawan,” kataku, sembari berharap ia merasa berada di pihak kami dan berhenti menganggap kami sebagai ancaman.

“Tidak!” Ia terus melangkah mundur. “Kalian pasti datang untuk membunuhku! Kalian ingin membunuhku! Kalian ingin balas dendam!”

“Tidak, Kek!” kataku. “Tenanglah! Jangan takut!”

Ia malah semakin ketakutan. “Jangan bohong! Kalian pasti ingin membunuhku!” sangkanya, kemudian menjauh dengan setengah berlari. Ia lalu masuk ke sebuah ruangan dan lekas menutup pintu.

Dengan perasaan kecewa, aku pun kembali menelan segenap tanya yang menuntut jawab.

Fatih lalu mendekat kepaku. “Ini pelajaran bagimu!”

“Apa yang salah?”

“Kau terlalu cepat membahas pokok masalah yang mungkin sangat sensitif baginya. Itu beresiko,” terka Fatih. “Belajarlah berbasa-basi.

Aku mengangguk maklum.

Akhirnya, kami pulang tanpa mendapatkan keterangan yang berarti. Namun aku menduga kuat bahwa si kakek gila itu memang memiliki keterkaitan dengan peristiwa tragis yang menimpa kakek-nenekku.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar