Selasa, 02 Februari 2016

Panggilan Kenangan


Aku tak mengerti bagaimana ceritanya kita selalu bersama. Sejak baru lahir, kata ayahku, kita telah saling mengenal. Kita lahir di hari dan rumah sakit yang sama. Entahlah, aku tak ingat. Yang pasti, saat aku sadar pentingnya mengenal beberapa orang dalam hidup, kuakui kau salah satunya yang lama kukenal. Kau adalah teman kecilku. Mungkin karena keluarga kita saling akrab, jadi kita keseringan bersama. Ayahku dan ayahmu adalah teman baik semasa kuliah. 

Mulai dari kanak-kanak, kita sudah sering main bersama. Jadinya sering juga kita saling benci karena perkara sepele, lalu berbaikan lagi tanpa kata maaf. Kau mungkin masih ingat kebiasaan kita bertengkar hanya karena memperebutkan rerumputan untuk dijadikan bahan masak-masakan. Lalu setelah bangun pagi, kau akan datang mengajakku bermain bersama lagi. Aku pun tak menolak. Kita jadi lupa kalau kemarin saling marah-marahan. 

Hal lain yang sangat kuingat adalah kesan jijikmu kala menemukan tulisan “Rita & Rudi” di tanah kolong rumah panggungku. Entah siapa yang menulisnya. Yang pasti, kau akan segera mengacak-acak tulisan namamu sambil meludah-ludah. Tentu saja, aku lebih jengkel. Kusiram namaku dengan air. Aku sangat tidak suka padamu waktu itu, lelaki galak yang ingusan. Akhirnya, kita saling tak mengakui sebagai teman, tapi untuk beberapa saat saja. 

Kekekian antara kita berlanjut saat duduk di bangku sekolah. Di masa SD, kau sangat gusar jika teman sekolah menyoraki kita sebagai sepasang raja dan ratu. Itu sulit dihindari. Kita memang sering jalan berbarengan saat ke sekolah. Orang tuaku akan meminta menunggumu sebelum berangkat sekolah. Kita pun berjalan beriringan, menempuh jarak dua ratus meter. Tapi setelah sampai, kita akan berpisah dan saling cuek. Aku akan meninggalkanmu sepulang sekolah.

Lebih parah lagi waktu kita di bangku SMP dan SMA. Kita selalu berangkat dan pulang sekolah bersama-sama. Kutahu, orang tuamu memerintahkan agar kau memperlakukan aku dengan baik, termasuk menjadi tukang ojek privatku. Akhirnya, bisik-bisik teman sekolah pun menggema di mana-mana. Mereka menebak-nebak tentang hubungan kita. Sebagian besar menyangka kita adalah dua sejoli yang kasmaran, sebagian lagi malah menganggap kita saudara kandung. Tapi tentu saja, saat itu, kita tak ada hubungan apa-apa. 

Lagi dan lagi. Saat di bangku kuliah, kita satu kampus. Tapi beruntung, kita tak berada di satu fakultas. Aku tak bisa menolak kala ayahku memaksa untuk kuliah di kampus yang kau idamkan. Kampus itu memang favorit. Sebagai syarat, aku minta padanya untuk tak mencampuri tentang pilihan disiplin ilmu yang ingin kugeluti. Lama-lama kutahu, kesamaan kampus kita juga atas penawaran ayahmu. Katanya, kau dapat menjagaku di kampus. Tapi terus terang, aku tak pernah mengandalkanmu. 

Dari sejarah kebersamaan itu, kita benar-benar tak mengerti alasan mereka begitu kompak menyempitkan dunia kita.

Setelah memperoleh gelar sarjana, kita akhirnya menjadi manusia merdeka. Kita bebas untuk menentukan jalan hidup sendiri. Kurasa, orang tua kita sudah tak berdaya menyikapi pembangkangan kita. Mereka sepertinya sudah capek melihat kita sering saling mengabaikan dan tak akur-akur. Akhirnya, kau memutuskan untuk melanjutkan studimu ke luar negeri, sedangkan aku memutuskan untuk bekerja di sebuah perusahaan swasta. 

“Rita, aku akan berangkat besok. Tak mengapa kan?” tanyamu padaku, saat aku mengantarkan kue buatan ibuku ke rumahmu, sehari sebelum kepergianmu.

“Ya, baguslah kalau begitu. Kurasa kita sudah tak saling membutuhkan. Sebelumnya juga begitu. Kau tentu tahu, aku bisa melakukan semuanya tanpamu. Ya, kau tahulah, kita keseringan bersama-sama di waktu lampau. Aku hanya tak ingin kau meremehkanku dan menganggap dirimu terlalu penting begiku,” balasku dengan mimik datar. “Hati-hati saja di sana.”

“Aku tahu kau perempuan yang cerdas dan tangguh,” akumu, membuatku sedikit tersanjung. “Ya, seharusnya memang begitu. Kita sama-sama terlalu dewasa untuk selalu berbarengan.  Sejak dulu, duniaku terasa sempit. Seakan di dunia ini hanya ada kau. Aku ke luar negeri pun hanya untuk merasakan luasnya dunia. Di sana ada banyak wanita tentunya. Aku akan membawa seseorang dari sana.”

“Ya, tentu saja. Sudah waktunya kau memikirkan masa depanmu,” balasku, berusaha terlihat tak berperasaan. “Baiklah, aku pulang dulu.”

“Ok. Sepertinya sudah tak ada yang penting untuk dibicarakan. Semoga kau bahagia dengan Si Dia,” pungkasmu.

Aku tak merespons, berbalik badan, lalu bergegas pulang.

Jujur, aku melewati percakapan kita sore itu dengan begitu canggung. Kulihat di matamu, kau juga merasa aneh. Meski ucapan kita tak saling menghargai, tapi aku yakin, kau tak mungkin mengabaikan kebersamaan kita di waktu yang lalu. Kebersamaan yang telah menjadi kenangan itu, juga membuatmu tak tega berpisah denganku. Kau pasti merindukan semua itu saat jauh, sama sepertiku. 

Sore itu adalah waktu terakhir kalinya aku melihatmu, sebelum kau ke luar negeri. Aku sudah tekadkan untuk tak turut dalam prosesi perpisahan denganmu keesokan harinya. Aku banyak alasan. Sejujurnya, aku tak begitu yakin akan baik-baik saja jika harus menanti sekitar dua tahun lagi untuk dapat melihatmu kembali. Karena itu juga, aku tak ingin melihatmu pergi.

Aku tak berhak menahanmu. Aku hanya berharap, kepergianmu menjadi jalan keluar yang lebih baik. Semoga ketiadaanmu akan membuat kenangan kebersamaan kita menjadi tawar, berubah menjadi lembaran hidup yang layak digudangkan. Apalagi kau tahu sendiri, jika pun rasa tumbuh antara kita, itu tak mungkin berujung pada jenjang yang lebih serius. Aku pernah bercerita padamu, bahwa aku akan dijodohkan dengan seorang lelaki pilihan orang tuaku, yang kau sebut “Si Dia”. Aku sulit menolak. Ia punya alasan yang tak mungkin kuabaikan begitu saja.

Waktu bergulir. Akhirnya, dua tahun yang kurasa berabad-abad, berlalu. Kau pun kembali dari kuliahmu di luar negeri. Kau tak membawa seorang wanita pun seperti yang kau ancamkan. Aku juga belum menikah dengan siapa pun. Orang tuaku menyatakan bahwa perjodohanku dibatalkan. Si laki-laki yang tak kutahu siapa itu, katanya tak tertarik denganku. Tentu saja itu adalah kabar baik, tapi sekaligus buruk. Baiknya sebab aku bisa mendapatkan seseorang sesuai pilihanku sendiri. Buruknya sebab harapanku agar suatu saat kita menjadi teman hidup, kemungkinan memuncak lagi.

Nyata saja. Hanya seminggu sepulangmu dari luar negeri, orang tuamu datang melamarku. Sungguh tak pernah kuduga bahwa kau punya perasaan yang sama denganku. Tak pernah kubayangkan kebersamaan kita akan beranjut. Tak lama setelah itu, kita pun telah resmi menjadi pasangan suami-istri.

Sehari setelah prosesi pernikahan, keluarga besar kita bertemu.

“Ah, syukurlah, kalian jadi menikah. Sudah lama kami mengharapkan kejadian ini,” tutur ayahmu, Pak Dito. “Sebenarnya, sejak lama, kami telah berusaha melakukan segala upaya agar kalian hidup bersama. Tapi kami juga tak ingin memaksakan kehendak.”

“Benar. Kalian tahu, Pak Dito adalah teman baik saya saat kuliah dahulu. Dia begitu baik padaku dahulu,” cerita Pak Karman, ayahku. “Yang tak mungkin kulupakan, bahwa ia sangat berjasa untuk kelahiran Rita dahulu. Waktu itu sudah lewat tengah malam. Istriku ini kebelet malahirkan. Ia mengalami pendarahan berat. Padahal umur kehamilannya belum genap sembilan bulan. Jika tak ada Pak Dito untuk segera mengantarnya ke rumah sakit, aku tak tahu apa yang terjadi. Dokter waktu itu mengatakan bahwa keterlambatan sedikit saja dapat berakibat fatal. Betapa sedihnya kami jika Rita tak selamat. Kami telah menanti lebih sepuluh tahun untuk dikaruniai anak.”

“Nah, pagi-pagi di hari itu, istriku juga kebelet melahirkan. Kehamilannya sudah memasuki bulan kesembilan. Akhirnya, aku bawalah ia ke rumah sakit. Karena itu juga, kalian lahir pada hari yang sama, dan di rumah sakit yang sama. Setelah kelahiran kalian berdua, kami sangat bahagia. Terbersitlah rencana dan doa akan kelak kalian berjodohkan. Dan sekarang, kalian telah menikah. Kami tentu sangat bersyukur,” sambung Pak Dito, semringah.

“Jadi lelaki yang ayah maksud akan dijodohkan denganku dahulu adalah Rudi?” tanyaku segera, dengan dugaan yang kuyakini benar.

Ayahku pun tersenyum. “Benar Nak. Rudi itulah lelaki yang aku maksud.”

“Jadi?” Kau pun ikut tersentak. Seperti tak percaya.

“Benar Nak. Kami memang sudah merencanakan dan sangat mengharapkannya. Tapi suatu hari, sebelum Rudi berangkat kuliah ke luar negeri, Pak Dito memberi kabar bahwa Rudi menolak keras menikah dengan Rita,” tutur Pak Dito. “Dulu, kalian memang kelihatan tak cocok dan sering bertengkar. Jadi kami pun sepakat untuk membatalkan kesepakatan itu. Kami tak ingin memaksakan kehendak.”

Akhirnya, rahasia tentang kebersamaan kita selama ini, terkuak sudah. Malam ini, saat kita duduk berdua sambil menonton televisi, aku ingin berhenti penasaran. Aku ingin tahu, apa dahulu, kau memang tak menginginkanku. “Kata ayahmu, dulu kau tak ingin menikah denganku. Apa iya? Apa kau tak menyukai gadis secantik aku?”

Kau sontak memandang wajahku. Menatap mataku dalam-dalam. “Sebenarnya, aku berangkat keluar negeri untuk membuang rasa kecewaku. Aku harap, di tempat yang jauh di sana, aku dapat mengikis semua kenangan kebersamaan kita. Menghilangkan semua rasa ketertarikanku padamu. Kau tahu? Aku benar-benar terpukul saat kau bercerita akan dijodohkan dengan seseorang. Karena itu juga, aku menolak tawaran ayahku untuk meminangmu. Dan sekarang, aku malah bersyukur perjodohan itu dilangsungkan. Terus terang, aku mencintaimu sejak sadar kau perempuan dan aku lelaki.”

Jawabanmu membuatku sangat bersyukur. Aku sungguh bahagia. Kini aku mengerti, bagaimana bisa kita selalu bersama. Aku suka cara itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar