Aku
tak mengerti bagaimana ceritanya kita selalu bersama. Sejak baru lahir, kata
ayahku, kita telah saling mengenal. Kita lahir di hari dan rumah sakit yang
sama. Entahlah, aku tak ingat. Yang pasti, saat aku sadar pentingnya mengenal
beberapa orang dalam hidup, kuakui kau salah satunya yang lama kukenal. Kau
adalah teman kecilku. Mungkin karena keluarga kita saling akrab, jadi kita
keseringan bersama. Ayahku dan ayahmu adalah teman baik semasa kuliah.
Mulai
dari kanak-kanak, kita sudah sering main bersama. Jadinya sering juga kita
saling benci karena perkara sepele, lalu berbaikan lagi tanpa kata maaf. Kau mungkin
masih ingat kebiasaan kita bertengkar hanya karena memperebutkan rerumputan untuk
dijadikan bahan masak-masakan. Lalu setelah bangun pagi, kau akan datang mengajakku
bermain bersama lagi. Aku pun tak menolak. Kita jadi lupa kalau kemarin saling
marah-marahan.
Hal
lain yang sangat kuingat adalah kesan jijikmu kala menemukan tulisan “Rita
& Rudi” di tanah kolong rumah panggungku. Entah siapa yang menulisnya. Yang
pasti, kau akan segera mengacak-acak tulisan namamu sambil meludah-ludah. Tentu
saja, aku lebih jengkel. Kusiram namaku dengan air. Aku sangat tidak suka
padamu waktu itu, lelaki galak yang ingusan. Akhirnya, kita saling tak mengakui
sebagai teman, tapi untuk beberapa saat saja.
Kekekian
antara kita berlanjut saat duduk di bangku sekolah. Di masa SD, kau sangat
gusar jika teman sekolah menyoraki kita sebagai sepasang raja dan ratu. Itu
sulit dihindari. Kita memang sering jalan berbarengan saat ke sekolah. Orang
tuaku akan meminta menunggumu sebelum berangkat sekolah. Kita pun berjalan
beriringan, menempuh jarak dua ratus meter. Tapi setelah sampai, kita akan
berpisah dan saling cuek. Aku akan meninggalkanmu sepulang sekolah.
Lebih
parah lagi waktu kita di bangku SMP dan SMA. Kita selalu berangkat dan pulang
sekolah bersama-sama. Kutahu, orang tuamu memerintahkan agar kau memperlakukan
aku dengan baik, termasuk menjadi tukang ojek privatku. Akhirnya, bisik-bisik
teman sekolah pun menggema di mana-mana. Mereka menebak-nebak tentang hubungan
kita. Sebagian besar menyangka kita adalah dua sejoli yang kasmaran, sebagian lagi
malah menganggap kita saudara kandung. Tapi tentu saja, saat itu, kita tak ada
hubungan apa-apa.
Lagi
dan lagi. Saat di bangku kuliah, kita satu kampus. Tapi beruntung, kita tak
berada di satu fakultas. Aku tak bisa menolak kala ayahku memaksa untuk kuliah
di kampus yang kau idamkan. Kampus itu memang favorit. Sebagai syarat, aku
minta padanya untuk tak mencampuri tentang pilihan disiplin ilmu yang ingin
kugeluti. Lama-lama kutahu, kesamaan kampus kita juga atas penawaran ayahmu.
Katanya, kau dapat menjagaku di kampus. Tapi terus terang, aku tak pernah
mengandalkanmu.
Dari
sejarah kebersamaan itu, kita benar-benar tak mengerti alasan mereka begitu
kompak menyempitkan dunia kita.
Setelah
memperoleh gelar sarjana, kita akhirnya menjadi manusia merdeka. Kita bebas
untuk menentukan jalan hidup sendiri. Kurasa, orang tua kita sudah tak berdaya
menyikapi pembangkangan kita. Mereka sepertinya sudah capek melihat kita sering
saling mengabaikan dan tak akur-akur. Akhirnya, kau memutuskan untuk
melanjutkan studimu ke luar negeri, sedangkan aku memutuskan untuk bekerja di
sebuah perusahaan swasta.
“Rita,
aku akan berangkat besok. Tak mengapa kan?” tanyamu padaku, saat aku mengantarkan kue
buatan ibuku ke rumahmu, sehari sebelum kepergianmu.
“Ya,
baguslah kalau begitu. Kurasa kita sudah tak saling membutuhkan. Sebelumnya
juga begitu. Kau tentu tahu, aku bisa melakukan semuanya tanpamu. Ya, kau
tahulah, kita keseringan bersama-sama di waktu lampau. Aku hanya tak ingin kau
meremehkanku dan menganggap dirimu terlalu penting begiku,” balasku dengan
mimik datar. “Hati-hati saja di sana.”
“Aku
tahu kau perempuan yang cerdas dan tangguh,” akumu, membuatku sedikit
tersanjung. “Ya, seharusnya memang begitu. Kita sama-sama terlalu dewasa untuk
selalu berbarengan. Sejak dulu, duniaku
terasa sempit. Seakan di dunia ini hanya ada kau. Aku ke luar negeri pun hanya
untuk merasakan luasnya dunia. Di sana ada banyak wanita tentunya. Aku akan
membawa seseorang dari sana.”
“Ya,
tentu saja. Sudah waktunya kau memikirkan masa depanmu,” balasku, berusaha
terlihat tak berperasaan. “Baiklah, aku pulang dulu.”
“Ok.
Sepertinya sudah tak ada yang penting untuk dibicarakan. Semoga kau bahagia
dengan Si Dia,” pungkasmu.
Aku
tak merespons, berbalik badan, lalu bergegas pulang.
Jujur,
aku melewati percakapan kita sore itu dengan begitu canggung. Kulihat di
matamu, kau juga merasa aneh. Meski ucapan kita tak saling menghargai, tapi aku
yakin, kau tak mungkin mengabaikan kebersamaan kita di waktu yang lalu. Kebersamaan
yang telah menjadi kenangan itu, juga membuatmu tak tega berpisah denganku. Kau
pasti merindukan semua itu saat jauh, sama sepertiku.
Sore
itu adalah waktu terakhir kalinya aku melihatmu, sebelum kau ke luar negeri. Aku
sudah tekadkan untuk tak turut dalam prosesi perpisahan denganmu keesokan harinya.
Aku banyak alasan. Sejujurnya, aku tak begitu yakin akan baik-baik saja jika
harus menanti sekitar dua tahun lagi untuk dapat melihatmu kembali. Karena itu
juga, aku tak ingin melihatmu pergi.
Aku
tak berhak menahanmu. Aku hanya berharap, kepergianmu menjadi jalan keluar yang
lebih baik. Semoga ketiadaanmu akan membuat kenangan kebersamaan kita menjadi
tawar, berubah menjadi lembaran hidup yang layak digudangkan. Apalagi kau tahu
sendiri, jika pun rasa tumbuh antara kita, itu tak mungkin berujung pada
jenjang yang lebih serius. Aku pernah bercerita padamu, bahwa aku akan
dijodohkan dengan seorang lelaki pilihan orang tuaku, yang kau sebut “Si Dia”.
Aku sulit menolak. Ia punya alasan yang tak mungkin kuabaikan begitu saja.
Waktu
bergulir. Akhirnya, dua tahun yang kurasa berabad-abad, berlalu. Kau pun kembali
dari kuliahmu di luar negeri. Kau tak membawa seorang wanita pun seperti yang
kau ancamkan. Aku juga belum menikah dengan siapa pun. Orang tuaku menyatakan
bahwa perjodohanku dibatalkan. Si laki-laki yang tak kutahu siapa itu, katanya
tak tertarik denganku. Tentu saja itu adalah kabar baik, tapi sekaligus buruk.
Baiknya sebab aku bisa mendapatkan seseorang sesuai pilihanku sendiri. Buruknya
sebab harapanku agar suatu saat kita menjadi teman hidup, kemungkinan memuncak
lagi.
Nyata
saja. Hanya seminggu sepulangmu dari luar negeri, orang tuamu datang melamarku.
Sungguh tak pernah kuduga bahwa kau punya perasaan yang sama denganku. Tak
pernah kubayangkan kebersamaan kita akan beranjut. Tak lama setelah itu, kita
pun telah resmi menjadi pasangan suami-istri.
Sehari
setelah prosesi pernikahan, keluarga besar kita bertemu.
“Ah,
syukurlah, kalian jadi menikah. Sudah lama kami mengharapkan kejadian ini,”
tutur ayahmu, Pak Dito. “Sebenarnya, sejak lama, kami telah berusaha melakukan
segala upaya agar kalian hidup bersama. Tapi kami juga tak ingin memaksakan
kehendak.”
“Benar.
Kalian tahu, Pak Dito adalah teman baik saya saat kuliah dahulu. Dia begitu
baik padaku dahulu,” cerita Pak Karman, ayahku. “Yang tak mungkin kulupakan,
bahwa ia sangat berjasa untuk kelahiran Rita dahulu. Waktu itu sudah lewat
tengah malam. Istriku ini kebelet malahirkan. Ia mengalami pendarahan berat.
Padahal umur kehamilannya belum genap sembilan bulan. Jika tak ada Pak Dito
untuk segera mengantarnya ke rumah sakit, aku tak tahu apa yang terjadi. Dokter
waktu itu mengatakan bahwa keterlambatan sedikit saja dapat berakibat fatal.
Betapa sedihnya kami jika Rita tak selamat. Kami telah menanti lebih sepuluh
tahun untuk dikaruniai anak.”
“Nah,
pagi-pagi di hari itu, istriku juga kebelet melahirkan. Kehamilannya sudah
memasuki bulan kesembilan. Akhirnya, aku bawalah ia ke rumah sakit. Karena itu
juga, kalian lahir pada hari yang sama, dan di rumah sakit yang sama. Setelah
kelahiran kalian berdua, kami sangat bahagia. Terbersitlah rencana dan doa akan
kelak kalian berjodohkan. Dan sekarang, kalian telah menikah. Kami tentu sangat
bersyukur,” sambung Pak Dito, semringah.
“Jadi
lelaki yang ayah maksud akan dijodohkan denganku dahulu adalah Rudi?” tanyaku
segera, dengan dugaan yang kuyakini benar.
Ayahku
pun tersenyum. “Benar Nak. Rudi itulah lelaki yang aku maksud.”
“Jadi?”
Kau pun ikut tersentak. Seperti tak percaya.
“Benar
Nak. Kami memang sudah merencanakan dan sangat mengharapkannya. Tapi suatu
hari, sebelum Rudi berangkat kuliah ke luar negeri, Pak Dito memberi kabar bahwa
Rudi menolak keras menikah dengan Rita,” tutur Pak Dito. “Dulu, kalian memang
kelihatan tak cocok dan sering bertengkar. Jadi kami pun sepakat untuk
membatalkan kesepakatan itu. Kami tak ingin memaksakan kehendak.”
Akhirnya,
rahasia tentang kebersamaan kita selama ini, terkuak sudah. Malam ini, saat
kita duduk berdua sambil menonton televisi, aku ingin berhenti penasaran. Aku
ingin tahu, apa dahulu, kau memang tak menginginkanku. “Kata ayahmu, dulu
kau tak ingin menikah denganku. Apa iya? Apa kau tak menyukai gadis secantik
aku?”
Kau
sontak memandang wajahku. Menatap mataku dalam-dalam. “Sebenarnya, aku
berangkat keluar negeri untuk membuang rasa kecewaku. Aku harap, di tempat yang
jauh di sana, aku dapat mengikis semua kenangan kebersamaan kita. Menghilangkan
semua rasa ketertarikanku padamu. Kau tahu? Aku benar-benar terpukul saat kau
bercerita akan dijodohkan dengan seseorang. Karena itu juga, aku menolak
tawaran ayahku untuk meminangmu. Dan sekarang, aku malah bersyukur perjodohan
itu dilangsungkan. Terus terang, aku mencintaimu sejak sadar kau perempuan dan
aku lelaki.”
Jawabanmu
membuatku sangat bersyukur. Aku sungguh bahagia. Kini aku mengerti, bagaimana bisa
kita selalu bersama. Aku suka cara itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar