Minggu, 07 Februari 2021

10. Beda Jalur

 Bagian ke-10 dari cerita bersambung Setapak Berliku

Pagi datang lagi. Aku terjaga dengan kelopak mata yang berat tersibak. Seperti masih kurasa pekak di mataku setelah semalam menatap layar laptop berjam-jam. Pasalnya, aku baru menyerah pada kantuk setelah menyelesaikan tulisan opini yang kujanjikan pada Naya, juga setelah melanjutkan ketikan novelku berdasarkan kenyataan pahit dan manis yang kutemui belakangan ini.

Namun seketika, kepalaku kembali disesaki praduga-praduga tentang ibuku dan kakek-nenekku. Aku kembali memikirkan misteri di balik peristiwa kelam yang telah membuat mereka terpisah dengan segenap cinta. Aku masih terus mempertanyakan pertanyaan di dalam rimba kemungkinan, sambil tetap menggenggam harapan untuk menemukan kebenaran.

Di tengah perasaanku yang menggamang, tiba-tiba, aku ingin memastikan kalau-kalau Naya benar-benar menayangkan buah pikiranku di koran terbitannya. Dengan langkah buru-buru, aku lantas beranjak ke teras depan rumah. Hingga akhirnya, aku menemukan Luny tengah duduk dan membaca koran pagi yang kusasar.

“Kau berhasil menuliskan gugatan yang cukup baik untuk para politikus pragmatis di negeri ini,” tuturnya setelah menyadari kedatanganku, sambil tetap memandang halaman koran.

Aku mengintip rubrik opini yang ia baca, dan aku memastikan bahwa Naya benar-benar telah menunaikan sebuah janji yang berarti untukku, juga untuk semua orang yang terusir dari negerinya sendiri.

Ia lantas menutup koran dan menaruhnya di atas meja. “Aku suka caramu menarasikan betapa malangnya kehidupan orang-orang pelarian, juga caramu mengargumentasikan mereka sebagai korban politik.”

Aku lalu duduk di sampingnya, memandang ke halaman. “Sebenarnya, aku lebih mengharapkan kritikanmu ketimbang pujian. Itu lebih baik untukku sebagai penulis.”

Ia pun mendengkus. “Aku hanya kurang sepakat jika kau menyandarkan perubahan pada penyadaran masyarakat secara persuasive sampai mereka sadar untuk tidak larut dalam permainan isu para politikus busuk. Kau terlalu moralis dengan menganggap gerakan literasi sudah cukup.”

“Lalu bagaimana menurutmu?”

“Perubahan hanya mungkin dengan gerakan massa,” katanya, penuh keyakinan. “Kau seharusnya memasukkan itu sebagai saran di dalam tulisanmu.”

Fatih kemudian muncul dengan wajah yang masih mengantuk. Ia lalu duduk di samping kanan kami, lantas mengambil dan membaca koran.

“Lihatlah sekarang, sudah banyak orang yang memiliki pemahaman sejarah yang baik dan pikiran yang adil terhadap orang-orang pelarian, tetapi mereka hanya bersembunyi dan berbisik di dalam ruang mereka sendiri. Mereka tak berani menyuarakan isi pikiran mereka di tengah-tengah masyarakat,” kata Luny dengan nada tegas.

Aku memerhatikan pendapatnya.

“Lalu apa yang terjadi?” kata Luny lagi, seperti menantang. “Orang-orang yang memiliki pemahaman sejarah yang baik tak akan terhimpun sebagai kumpulan massa, sebab mereka tak pernah menunjukkan pemahamannya secara terbuka. Akibatnya, mayoritas massa berpahaman sesat yang berani tampil, selamanya akan menjadi basis motivasi bagi para politikus pragmatis dalam meramu narasi-narasi politiknya.”

Isi pikirannya terdengar menarik. “Aku sepakat dengan pendapatmu. Hanya saja, aku merasa kalau tindakan semacam itu belum saatnya untuk dilakukan.”

“Lalu kapan? Apakah kita harus menunggu sampai semua politikus picik lenyap dari muka bumi?”

“Kita mesti bersabar untuk menghindari risiko. Bagaimana pun, masyarakat sekarang masih sangat sensitif, dan unjuk rasa terbuka akan sangat rentan mengakibatkan konflik dan memakan korban.”

Ia tampak menggeleng-geleng, seolah tidak setuju.

“Kita tidak harus menunggu sampai sebagian besar masyarakat sepaham dengan kita. Kita hanya perlu menunggu sampai masyarakat memandang sejarah dengan kacamata kemanusiaan, yaitu ketika mereka bersedia menerima perbedaan pemahaman sejarah dengan hati dan pikiran yang terbuka, dan perbedaan itu tidak akan berujung pada pertikaian fisik.”

“Jika begitu, kita mungkin akan terlambat. Kalau kita tidak menunjukkan perlawanan massa, para politikus pewaris rezim otoriter itu akan terus menggembar-gemborkan isu miring tentang kalian, tentang kebangkitan komunis, demi mendapatkan dukungan masyarakat jelang pemilu, dan aku takut kalau mereka menang,” sanggahnya, lalu menatapku dengan tatapan yang tajam, seolah hendak memberikan peringatan. “Di masa sekarang saja, saat pemerintah telah melakukan pendekatan yang lebih bijak terhadap para korban sejarah kelam masa lalu, simpatisan mereka masih sangat berani melakukan tindakan semena-mena. Bagaimana jika merekalah yang memimpin negara ini? Mampuslah!”

Aku jadi kebingungan meruntuhkan keteguhan pendapatnya.

Fatih lalu melipat koran dan meletakkannya di atas meja. “Aku sepakat dengan pendapat Rumi. Sekarang memang bukan momentum yang tepat untuk melakukan gerakan massa. Terlalu provokatif dan membahayakan diri kita sendiri.”

“Kalian memang pengecut!” timpal Luny.

“Kau boleh saja mencap aku dan Rumi sebagai pengecut, tetapi kami berhak juga mencapmu sebagai pemberani yang buta-buta,” balas Fatih dengan sikap yang tenang.

Luny jadi kesal. “Kalian memang sama saja dengan lelaki pada umumnya. Kalian terlalu penakut untuk mendaku diri pantas menjadi pemimpin bagi kaum perempuan.”

“Pemimpin itu bukan soal keberanian saja, Lun, tetapi juga soal ketenangan hati dan kejernihan pikiran untuk mengambil keputusan yang tepat,” tutur Fatih, sambil menatap Luny lekat-lekat.

Luny tampak gusar. “Terserah kalian, Laki-laki Lemah!”

Fatih mendengkus. “Aku kira akan sangat baik jika kau turut melakukan tindakan yang tepat seperti Rumi. Menulislah. Berhentilah menggembar-gemborkan gerakan massa yang sedari dulu tak berani juga kau lakukan.”

Luny pun terkekeh. Terdengar merendahkan. “Ya, gerakan literasi. Basi!”

“Gerakan-gerakan penyadaran memang membutuhkan waktu yang lama, tetapi dampaknya sangat efektif karena menyasar langsung pada kesadaran masyarakat,” kata Fatih dengan lemah-lembut, terkesan menasihati. “Janganlah kita bersikap overaktif  dan malah menimbulkan konflik di tengah masyarakat. Jangan bertindak gegabah dan malah mambahayakan diri kita sendiri.”

“Kalian memang hanya peduli pada nyawa. Kalian rela hidup dalam kemunafikan!” tukas Luny.

“Aku memang peduli pada nyawaku. Aku tak ingin mati, sebab kalau aku mati, siapa yang akan melindungimu di dunia yang kejam ini,” balas Fatih, dengan ekspresi menggoda.

Luny pun jadi geram. “Seriuslah! Mana sopan-santunmu? Dasar Laki-laki!”

Fatih malah tertawa lepas.

Seketika, Luny melengos dan beranjak ke halaman rumah, ke arah sepeda motornya.

“Tak mau lagikah kau mencicipi kopi buatanku, Sayang?” seru Fatih, bermaksud meledek.

Luny lalu menyalakan sepeda motornya, kemudian menoleh dan berucap, “Akan kubuktikan kalau kalian memang pengecut!” Ia kemudian berlalu dengan kecepatan tinggi.

Aku menggeleng-geleng saja menyaksikan candaan Fatih yang berlebihan.

“Jangan khawatir. Dia akan baik-baik saja,” katanya, dengan raut kegirangan yang perlahan memudar.

Hening sejenak. Aku membaca koran, dan Fatih beranjak ke dalam rumah.

Berselang beberapa lama, ia datang kembali dengan membawa dua gelas kopi susu.

“Apa kau sudah punya rencana untuk hari ini?” tanyanya, setelah menyesap seduhannya sendiri. “Aku siap menemanimu. Waktuku lowong.”

Aku lalu meletakkan koran yang disesaki berita tentang intrik politik menjelang pemilu. Aku lantas menyesap seduhannya, sambari memikirkan dan menetapkan langkah penelusuranku selanjutnya. “Mungkin sebaiknya kita menuju ke kantor Pak Timan untuk mencari informasi atau petunjuk soal kematian Ibuku.”

“Apakah kau berancana menemui Pak Timan dan menanyainya begitu saja?”

Aku menggeleng. “Itu terlalu tendensius dan berbahaya. Meskipun aku mencurigainya, tetapi aku tak ingin gegabah.”

“Jadi, apa yang akan kita lakukan di sana?”

“Kita mengintai saja, siapa tahu Gopar yang kuyakini mengatahui seluk-beluk peristiwa itu, ada bersamanya. Kita harus mendapatkan kasaksian lelaki itu sebelum melangkah lebih jauh.”

Ia mengangguk setuju.

Kami lalu menikmati kopi susu beberapa lama, sebelum bergegas mempersiapkan diri dan berangkat menuju tempat sasaran.

Setelah bergelut melewati jalanan kota yang macet, akhirnya, kami pun tiba di halaman kantor Pak Timan. Setelah mengetahui dari seorang satpam bahwa ia belum datang, kami pun mumutuskan untuk menunggu di dalam kabin depan mobil. Dan setelah menunggu selama satu jam lebih, ia pun datang dan turun dari mobil dengan iringan tiga orang yang tampak sebagai pengawalnya.

Aku memerhatikan wajah ketiga orang itu baik-baik, dan aku tak membaca gambaran wajah muda Gopar di wajah mereka. Fatih pun merasa demikian.

Pak Timan kemudian melintas di samping mobil kami.

Tiba-tiba, aku jadi tak ingin kehilangan kesempatan. Aku lalu turun dari mobil, lalu menyapa dengan setengah berseru, “Pak Timan!”

Langkah Pak Timan dan rombongannya pun terhenti. Mereka lalu berbalik dan mengamati kami.

“Apa yang kau lakukan?” celetuk Fatih, berbisik.

Seorang pengawalnya menghampiri kami dengan ekspresi yang datar. “Ada apa?”

Seketika, aku jadi kelimpungan. “Aku ada urusan dengan Pak Timan, Pak,” jawabku, sekadar menjeda waktu untuk memikirkan alasan yang tepat.

“Urusan apa?” tanya lelaki itu dengan raut yang menggarang.

Namun entah bagaimana, aku seketika menemukan alasan yang masuk akal. “Mau wawancara, Pak. Aku seorang wartawan.”

“Sudah masukkan surat permohonan wawancara atau belum?” tanya lelaki berkumis itu lagi.

Aku menggeleng.

Pak Timan kemudian menghampiri kami. “Mau wawancara soal apa?”

Aku mengarang lagi, “Mau wawancara Bapak untuk rubrik sosok di media kami. Aku ditugaskan untuk membuat ulasan tentang perjalanan karir Bapak yang barangkali akan bisa menginspirasi orang lain.”

“Dari media mana?”

“Eksepsi, Pak. Media online,” kataku, menyebut satu nama media daring yang pernah kubaca.

Pak Timan pun mengangguk-angguk dengan ekspresi yang tampak bersahabat. “Kau datanglah ke ruanganku besok, jam 9 pagi.”

“Baik, Pak.”

Pak Timan dan rombongannya kemudian berlalu dan masuk ke dalam gedung kantor.

Fatih lantas mengembuskan napas yang panjang, seolah merasa plong. “Ah, kau memang lihai!” pujinya, sambil menepuk-nepuk punggungku.

Aku tergelak dengan ketegangan yang perlahan mereda.

Waktu bergulir.

Sesuai rencana, kami lalu beranjak ke rumah sakit jiwa, tempat si kakek gila berdiam. Kami ingin melakukan penelusuran ulang setelah gagal pada percobaan pertama.

Tak cukup setengah jam, kami pun sampai di tujuan. Beregaslah kami mencari keberadaan si kakek. Sampai akhirnya, kami mendapatinya sedang merapikan kerikil-kerikil yang menyimpang dari jalan setapak taman di antara tanaman hias yang berjajar.

“Kakek benar-benar lihai merapikan jalanan ini,” puji Fatih, sambil turut memunguti dan menyeruk kerikil yang terhambur di samping lintasan.

Sang kakek tak menggubris.

Aku turut saja dengan mereka.

“Aku sudah tahu cara mengerjakannya, Kek. Biar aku saja yang melanjutkan. Kakek istirahatlah,” kata Fatih, kemudian memberinya sebatang rokok.

Sang kakek lalu duduk pada sebuah batu besar di samping lintasan.

Fatih lantas berjongkok dan menyalakan rokok di himpitan bibir sang kakek. “Itu temanku, Kek,” katanya, seolah-olah ia mengenalkan aku pada seseorang yang baru kutemui. “Kalau Kakek kecapekan, Kakek bisa meminta bantuan padanya. Dia ahli dalam soal urut-mengurut,” karangnya, lalu memberi isyarat agar aku segera melakukan pekerjaan yang ia maksud.

Mau tak mau, aku pun berusaha tampil sebagai tukang urut profesional. “Tampaknya, otot lengan dan pundak Kakek menegang. Sepertinya memang butuh diurut,” kataku, kemudian bergeser ke sisi belakangnya, lalu memulai pekerjaan baruku.

Fatih tampak senang.

Aku pun meremas-remas lengan dan punggung sang kakek. Kuabaikan saja bau badannya, juga kulitnya yang berkeringat dan berdaki.

Beberapa saat kemudian, aku pun memulai penelisikanku, “Kakek Darko…”

“Siapa bilang namaku Darko? Jangan panggil aku begitu!” selanya seketika, seolah-olah lupa pada dirinya sendiri.

Aku pun jadi kelimpungan. Dengan perasaan waswas, aku lalu bertanya dengan tutur kata yang lembut, “Jadi, sebaiknya aku memanggil Kakek apa?”

Sang kakek lalu mengepulkan asap rokok yang berembus ke wajahku. “Panggil aku Komandan!”

“Oh, maaf, Komandan,” kataku, dengan nyali yang menciut.

Fatih tampak semakin senang.

“Aku ini orang hebat. Aku punya kuasa. Aku punya anak buah. Mengerti?”

“Mengerti, Komandan,” balasku, lalu berusaha membesarkan kepalanya.

Sang kakek pun tertawa pendek. “Aku ini komandan yang berjasa dalam menumpas musuh-musuh yang tidak setia dengan ideologi negara,” katanya, dengan suara yang menyiratkan kebanggaan, kemudian berucap lemah, “Tetapi orang-orang tak peduli pada jasa-jasaku. Mereka mencampakkan aku seperti seorang pengkhianat,” katanya lagi.

Aku lantas memancing. “Orang-orang zaman sekarang memang kurang ajar, Komandan. Mereka menikmati saja keadaan yang baik ini, dan mengabaikan jasa-jasa para pendahulu yang telah berjuang dengan mengorbankan segalanya,” selaku, sekenanya. “Mereka seharusnya menghargai Komandan sebagai seorang pahlawan.”

Tiba-tiba, ia tertawa terbahak-bahak “Ya, aku seharusnya jadi pahwalan!”

“Ya, Komandan pantas menjadi pahlawan!” timpalku.

Tawanya semakin menjadi-jadi, “Aku seorang pahlawan! Aku pahlawan! Ya, Pahlawan!” tegasnya, lantas berdiri dan berkitar-kitar, sembari menepuk-nepuk dadanya, “Aku seorang pahlawan! Aku Pahlawan! Aku pahlawan!”

Aku pun kelimpingan.

Fatih kebingungan.

Sampai akhirnya, sang kakek berjongkok dan menangis meraung-raung, “Tidak! Tidak! Aku adalah seorang penjahat! Aku penjahat! Aku pengkhianat!” laungnya, sambil meronta-ronta.

Tiga orang perawat laki-laki akhirnya datang membekuk dan berusaha menenangkannya.

“Aku pengkhianat! Aku ini pengkhianat!” serunya, sampai menghilang di balik ruangan.

Dengan sedikit rasa bersalah, aku dan Fatih pun pergi.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar