Bagian ke-3 dari cerita bersambung Setapak Berliku
Kelabu. Begitulah warna sejarah. Seperti perangkat embun yang menyamarkan arah. Tersesat, kecuali berharap pada matahari yang masih akan bersinar. Bahwa musim akan terus berganti, dan kami hanya berharap keadaan berpihak pada kami untuk menyingkap tabir yang kabur.
Di dalam garis waktu, hidup kami mungkin akan tandas sebagai cerita buruk yang memilukan. Hari-hari kami telah tercuri dalam puluhan tahun usia. Kenangan kami pecah berserakan, seperti kepingan-kepingan kaca yang coba kami susun kembali, hanya untuk melihat bayangan luka.
Tetapi demi waktu, harapan tentang penyatuan kisah, masih terus kami gantungkan. Pada diriku, pada diri ayahku, dan pada diri nenek angkatku, yang telah tercerabut dari akar sejarah. Setidaknya, sepanjang sisa usia, kami berkehendak menambal kebohongan masa lalu dengan kebenaran kami.
Aku tak tahu apakah niat kami akan berhasil. Mempersoalkan sejarah di negeri kami berarti melawan versi cerita yang terlanjur bercokol di kepala banyak orang. Mereka tak lagi memepertanyakan kebenaran sejarah, bahkan mungkin telah melupakannya.
“Kita mungkin selamanya akan kalah. Tetapi setidaknya kita kalah dalam memperjuangkan kebenaran,” kata ayahku, pada satu waktu ketika kami membincangkan kisah pilu kami.
Aku bisa mengerti tentang sikap pesimistis ayahku yang sekaligus membuatnya ingin mati dengan tekad untuk memperjuangkan kebenaran sejarah. Sampai kini, di usia 61 tahun, ia tak pernah benar-benar menikmati hidup sebagai anak bangsa di tanah airnya sendiri. Peristiwa kelam di dalam kabut sejarah yang kelabu, telah merampas segenap cinta dalam dirinya.
Ayahku telah menjadi seorang pelarian sekitar 54 tahun yang lalu, saat berumur 7 tahun, akibat peristiwa kelam yang melenyapkan ayah-ibunya; kakek-nenekku sendiri. Ia lantas pulang untuk menyusun kepingan masa lalunya, tetapi ia malah kembali menjadi pelarian pada 21 tahun yang lalu, saat ia berumur 40 tahun, akibat peristiwa kelam yang menewaskan istrinya; ibuku sendiri.
Tak ada lagi semangat hidup yang tersisa pada diri ayahku selain harapan. Hanya harapan yang teguh untuk menguak tabir sejarah, meski dengan keraguan atas perwujudannya. Itu karena ia mengerti bahwa seiring waktu, bangsa kami telah jauh melangkah. Namun deretan langkah dari satu langkah awal yang sesat di masa lalu, hanya mengantar pada kesesatan yang lebih jauh, hingga tak ada lagi jalan untuk menelusuri kebenaran masa lalu.
Tetapi setidaknya, ia punya aku, yang mewarisi kenangan dan harapannya. Sebagai anaknya yang terlahir dari garis keturunan yang hancur dikoyak tragedi masa lalu, aku punya semangat yang sama untuk merajut kembali untaian cerita kami yang terberai. Aku akan melanjutkan perjuangannya untuk mengambalikan hak-hak kami pada tempat yang semestinya; di tanah air kami sendiri.
Dan pada pagi yang cerah ini, di negeri pelarian ini, aku pun terbangun lagi dengan kantuk yang belum sirna sempurna. Semalam, aku kembali terkenang masa kecilku yang kelam, dan aku pun jadi sangat bersemangat untuk melanjutkan ketikan novelku hingga lewat tengah malam, sampai ketika pikiranku kembali buntu menuju jalan cerita selanjutnya.
Seperti biasa, setelah menyegarkan mata dengan memandang dedaunan hijau di teras depan rumah, aku kembali mengawali hari dengan membaca apa saja. Aku mengerti bahwa di tengah ketidaktahuanku tentang banyak hal, bahkan tentang jati diriku sendiri, membaca adalah jalan terbaik untuk mencari tahu.
“Nahas! Kita kembali menjadi bahan kutukan di negeri kita sendiri!” ketus ayahku, kemudian melipat dan meletakkan koran yang baru saja ia baca.
Aku menutup halaman buku, lalu meletakkannya di atas meja. “Keadaan di sana sepertinya menegangkan gara-gara intrik politik jelang pemilu.”
Ayahku mengembuskan napas kekecewaan. “Ya. Aksi massa kembali marak dilakukan kelompok-kelompok berbasis agama setelah para politikus melancarkan taktik politik pecah belah dengan menggembar-gemborkan isu kebangkitan komunis.”
“Demi kepentingan politik, orang-orang seperti kita akan tetap dijadikan sebagai anak haram di negeri kita sendiri, sedang kelompok mayoritas yang mengatasnakaman agama akan tetap menjadi anak emas,” timpalku, dengan kekecewaan yang sedalam dengannya.
“Kenyataannya begitu.” Ia kemudian menjeda untuk melepas batuk keringnya beberapa kali. “Dan tragisnya, orang-orang yang masih punya hubungan kuat dengan rezim otoriter, juga terlibat langsung dalam tragedi kelam menjelang reformasi, kini menjadi pemain-pemain utama di perpolitikan bangsa kita. Mereka menjanjikan keadilan, sedang mereka sendiri belum diadili.”
“Negara kita tetap akan terperangkap di dalam tragedi dan tidak akan berkembang jika bangsa kita membiarkan orang-orang semacam itu memegang kendali pemerintahan,” tanggapku, di tengah harapan dan keputusasaan. “Namun sayangnya, sebagian anak bangsa memang buta sejarah. Mereka malas membaca. Mereka tak tahu apa-apa tentang latar belakang para politisi itu.”
“Nahas memang,” timpalnya, sambil membelai jenggotnya yang panjang. “Tetapi mereka yang tak memahami kebenaran sejarah belum tentu juga patut dipersalahkan. Bagaimana pun, sejarah yang mereka baca adalah tafsir penguasa rezim masa lalu yang dipropagandakan secara sistematis selama puluhan tahun.”
“Tetapi tindakan beringas sebagian anak bangsa terhadap orang-orang seperti kita dengan alasan mereka tidak tahu tentang kebenaran sesungguhnya, tidak juga patut dibenarkan, kan?” sergahku.
“Tentu saja. Mereka tetap salah. Setidaknya, mereka telah mengabaikan sisi kemanusiaan mereka sebagai petunjuk hakiki atas kebenaran dan kebaikan. Mereka tega menindas anak manusia yang lain hanya karena perbedaan keyakinan, ideologi, atau etnis.”
Aku lantas menghela-embuskan napas yang panjang. “Ya, hanya pada kemanusiaanlah, kita terus menggantungkan harapan untuk tanah air kita yang lebih baik.”
Ayahku pun mengangguk-anggukan kesepahamanku. Ia lalu berdiri, kemudian melangkah ke dalam rumah.
Di tengah kedamaian pagi, aku pun kembali meneguk kopi hitamku yang menghangat, sambil membaca kabar-kabar aktual tentang tanah air lewat telepon pintarku. Sesaat kemudian, aku menemukan sebuah berita tentang calon presiden petahana yang berjanji akan terus berupaya menyelesaikan perkara sejarah kelam masa lalu dan menegakkan keadilan demi hak asasi manusia jika terpilih pada periode keduanya.
Seketika juga, perasaanku kembali disesaki keinginan untuk pulang ke negeri kelahiranku sendiri, sebagaimana yang telah kupikirkan sejak lama. Aku ingin memberi sumbangsih pada pihak yang ingin memperjuangkan keadilan masa lalu. Aku ingin mewujudkan narasi perlawananku kepada pihak politisi yang masih mewarisi dan menyebarluaskan doktrin sejarah masa lalu yang sesat.
Aku lantas tergerak untuk menghubungi seorang teman dunia mayaku di negeri seberang. Namanya Naya Rulina, seseorang teman Facebook yang belum pernah kuindrai secara langsung. Seorang pemimpin redaksi sebuah media yang senantiasa memberiku gambaran yang cukup tentang keadaan tanah airku dari waktu ke waktu, juga memfasilitasi penerbitan tulisan-tulisan opiniku selama ini.
Aku: Apa benar calon presiden petahana menyampaikan tekad kuatnya untuk benar-benar mewujudkan keadilan bagi orang-orang pelarian jika terpilih pada periode keduanya?
Setelah beberapa menit, ia pun membalas: Benar. Ia teguh menunjukkan keberpihakannya pada kemanusiaan demi semua anak bangsa. Ia berjanji akan menuntaskan proses penyelesaian kasus kejahatan HAM masa lalu jika dipercayakan kembali untuk memegang kekuasaan negara. Ia telah menuturkan rencana penuh kebijaksanaan yang jelas tidak menguntungkan baginya secara politik.
Aku: Ya, aku sendiri merasa terkejut karena itu jelas rencana yang tidak popular, apalagi menjelang pemilu seperti sekarang. Tetapi bagaimana pun, itu bisa jadi momentum yang baik dalam upaya memulihkan harkat dan martabat kami sebagai anak bangsa.
Naya: Kalau begitu, pulanglah. Otoritas negara telah mengambil sikap yang berisiko, dan mereka butuh dukungan langsung dari para korban sepertimu.
Aku: Ya. Akan kusegerakan!
Sesaat kemudian, aku pun masuk ke dalam rumah untuk membicarakan niat besarku kepada ayahku, juga kepada Ibu Dumi, nenek angkatku. Aku lalu menemukan Ibu Dumi tengah duduk di sofa, sambil menonton tayangan sebuah saluran televisi dari negeri kami yang senantiasa menayangkan berita perpolitikan yang hangat.
Aku lalu duduk di sampingnya. “Apa lagi yang sedang terjadi di negeri kita, Nek?” tanyaku, sekedar basa-basi sebelum aku menuturkan rencanaku.
Ia menoleh padaku dengan senyuman singkat yang menampakkan gigi palsunya. “Angin segar kembali berembus dari negeri kita, Nak,” katanya, dengan suara parau, sambil tetap memandangi layar televisi yang sedang menayangkan berita tentang pernyataan calon presiden petahana yang seketika menimbulkan pro dan kontra.
“Mudah-mudahan pernyataan itu bukanlah omong kosong belaka, dan kita bisa hidup kembali di tanah air kita, sebagaimana seharusnya,” timpalku, bermaksud menghangatkan pembicaraan.
“Setidaknya, ada harapan,” tutur ayahku dari sisi belakang kami, kemudian duduk di sampingku.
Tiba-tiba, lidahku kelu untuk menuturkan keinginanku untuk pulang. Aku bimbang. Apalagi aku tahu kalau mereka yang merupakan seorang lelaki tua dan seorang perempuan lanjut usia yang tak lagi cekatan mengurus keperluannya sendiri, sangat membutuhkan kehadiranku. Namun setelah kupikir-pikir lagi, aku pun jadi khawatir kalau-kalau aku melewatkan kesempatan untuk turut berkontribusi dalam upaya membuka jalan menuju kebenaran sejarah melalui pentas politik.
Sampai akhirnya, aku memberanikan diri untuk berucap, “Tidakkah Nenek dan Ayah keberatan jika…” aku menelan ludahku, “jika aku pulang ke tanah air?”
Tak ada jawaban seketika.
Aku memandang mereka, dan mereka balik memandangku dengan tatapan yang tak bisa kumaknai.
Aku lalu melempar pandangan kosongku pada layar televisi.
“Kau sungguh ingin pulang?” tanya ayahku, kemudian.
Aku menggguk. “Asalkan Ayah dan Nenek mengizinkan.”
Ayahku malah kembali bertanya, “Memangnya kau punya rencana apa di sana? Apa kau sudah pikirkan masak-masak?”
Seketika aku bingung harus menjawab apa. Aku takut salah meramu alasan. Hingga akhirnya, aku memutuskan untuk jujur saja tentang keresahan-keresahanku selama ini. “Aku tahu perasaan Ayah dan Nenek soal masa lalu, sesungguhnya sama dengan perasaanku; sama-sama risau atas pertanyaan-pertanyaan. Kita telah terusir dari negara kita sambil meninggalkan setumpuk rahasia yang terus menggantung. Kita telah menjadi korban dari sejarah yang kelam, yang membuat kita kehilangan orang-orang yang kita cintai di negeri kita sendiri. Tentang keberadaan Kekek dan Nenek, juga kematian Ibu…” Aku tak kuasa membendung air mataku.
Ibu Dumi lalu mengusap-usap punggungku.
“Aku ingin pulang untuk mencari semua jawaban atas semua pertanyaan itu. Aku ingin pulang untuk menemukan dan mengembalikan semua yang telah tercuri dari kita.” Aku lalu menyeka air mataku yang bergelimang. “Aku sudah tak sabar jika hanya berdiam di sini dan menunggu keajaiban mengubah watak seluruh anak bangsa kita untuk bersikap adil terhadap sejarah dan masa depan kita. Aku tak sabar menunggu ketidakpastian itu hingga mati bersama segudang pertanyaan dan harapan.”
Aku mencoba menenangkan diri.
Kulihat, ayahku dan Ibu Dumi pun turut meneteskan air mata.
“Cukuplah derita bagi Ayah dan Nenek Dumi atas semua yang telah terjadi selama ini,” kataku lagi, dengan emosi yang mulai terkendali. “Untuk kali ini, izinkanlah aku pulang untuk memperjuangkan segela hal yang selama ini mendera perasaan kita.
Ayahku lantas menepak-nepak lenganku. “Keputusan, ada di tanganmu, Nak,” katanya. “Tak ada sedikit pun niatku merintangi jalanmu untuk pulang. Jika kemarin-kemarin aku berkata tidak, itu karena aku merasa kau belum siap, dan aku khawatir atas keselamatanmu.”
Ibu Dumi lalu menggenggam tanganku. “Aku pun demikian, Nak. Soal kepulanganmu itu, adalah keputusanmu sendiri. Tetapi, kau janji untuk menjaga dirimu baik-baik, kan?”
Aku senang dan terharu mendengar restu mereka berdua. Aku lantas mengangguk tegas. “Aku janji. Tetapi selama aku pulang, Ayah dan Nenek, juga akan baik-baik saja, kan?”
“Jangan mengkhawatirkan aku,” kata Ibu Dumi, sembari melayangkan senyuman. “Kau lihat sendiri, meskipun aku sudah tua, aku masih sangat kuat untuk mengurus diriku sendiri.”
Ayahku lekas menimpali, “Apalagi aku yang lebih muda ini,” katanya, seolah mencoba mencairkan suasana.
Aku pun tersenyum mendengus. Aku merasa senang dan tenang mendengar ketulusan mereka untuk melepasku pulang.
Waktu demi waktu bergulir.
Akhirnya, keesokan harinya, aku pun kembali ke tanah kelahiranku sendiri, sembari membawa segala macam dokumen dan benda-benda yang kuperlukan untuk aksi penelurusanku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar