Minggu, 07 Februari 2021

Penulis Cerpen

Lima hari yang lalu, ia benar-benar gusar setelah menyimak halaman fiksi sebuah koran nasional. Di sana, tampak sebuah cerpen yang menurutnya sangat buruk. Hanya berkisah tentang perasaan suka yang dipendam seorang perempuan kepada seorang lelaki yang tak peka-peka. Diuraikan dengan alur  datar dan bahasa polos yang bertele-tele, lalu tamat tanpa konflik yang mengesankan.

Demi meluruhkan kegusarannya, ia lantas menuliskan kritik tentang kualitas cerpen koran yang mengecewakan, sebagaimana bacaannya selama ini. Satu cerpen dari penulis dengan nama pena yang asing baginya itu pun, jadi contoh atas penghakimannya. Hingga tanpa terduga, ulasan lugas yang kemudian ia unggah di blog pribadinya, viral di dunia maya, seolah berhasil mewakili keresahan dari banyak penulis yang membacanya.

Sebenarnya, ia bukanlah seorang penulis cerita fiksi yang bernama. Tak sekali pun tulisannya termuat di koran sebagai pengesahan bahwa ia adalah penulis hebat sesuai anggapan umum. Tetapi itu bukan karena ia tidak bisa, melainkan tidak mau saja. Lebih tepatnya, ia ogah mencari pembuktian semu semacam itu. Ia bahkan merasa kalau tulisannya di blog terlalu bagus untuk media koran yang acap kali memuat tulisan yang menurutnya jelek.

Baginya, penulis sejati adalah mereka yang menulis bukan untuk mendapatkan apa-apa, melainkan untuk menyumbangkan pemikirannya. Karena itu, ia menulis untuk berpendapat secara merdeka, tanpa mau tunduk pada aturan editor media massa demi uang atau popularitas. Sekadar memastikan bahwa tulisannya bisa diakses oleh siapa pun secara sengaja atau tidak sengaja di dunia maya, sudah cukup sebagai tujuan akhirnya.

Tetapi kesungguhannya menulis, mau tak mau, memberikan pengaruh bagi namanya. Dua bulan lalu, seseorang yang mengaku pembaca setianya mengirimkannya surel atas nama sebuah komunitas blogger. Lewat surel itu, ia diundang untuk menjadi pemateri pada pelatihan penulisan cerita fiksi. Maka sebagai orang yang menganggap menulis adalah hak semua orang, ia pun bersedia, sembari berniat untuk mencetak penulis blog yang akan menumbangkan arogansi penulis koran.

Akhirnya, di acara pelatihan itu, ia pun bertemu dengan sang pengundang. Namanya Rima. Seorang perempuan yang tanpa sungkan memuji-muji cerpen di blog pribadinya sebagai tulisan fiksi yang bermutu dan layak mendapatkan perhatian. Seorang perempuan yang tanpa malu meminta kontak dan alamat akun media sosialnya, sembari memohon agar ia bersedia menjadi tutor untuk pengembangan keterampilan penulisan cerita fiksinya.

Hari demi hari setelah pertemuan itu, Rima pun senantiasa menghubunginya. Setiap kali menghadapi masalah tentang proses penulisan cerpennya, perempuan itu akan meminta solusi melalui segenap saluran komunikasi. Ia selalu mendesak untuk segera mendapatkan respons, bahkan terkadang merengek untuk meminta pertemuan dan bimbungan secara langsung, seolah tak mau peduli pada kesediaannya sebagai tutor yang semestinya berhak merundingkan jadwal.

Atas sikap Rima yang berlebihan, kadang-kadang ia merasa risih. Namun setiap kali berencana untuk abai, ia seketika menjadi iba dan tak tega mematahkan semangat perempuan itu untuk menjadi penulis yang baik. Ia akan merasa sangat bersalah kalau sebab kecuekannya, perempuan itu berhenti menulis, atau malah berguru kepada para penulis narsis dan materialis. Karena itulah, ia tetap berusaha bersabar untuk menanggapi setiap keluh kesah darinya.

Tetapi seiring waktu, ia tak juga melihat perkembangan yang berarti pada kreativitas penulisan Rima. Dan itu ia yakini bukan karena bias pandangannya soal kriteria tulisan fiksi yang baik seiring dengan pengalamannya, tetapi karena Rima memang tak pernah belajar dari kekeliruan-kekeliaruannya. Paling tidak, itu tampak dari ketidakbecusan perempuan itu dalam soal tata penulisannya yang baik dan benar, sesuai dengan pedoman berbahasa.

Akibat kelambanan Rima dalam berbenah, ia pun menilai hasil karya perempuan itu masih berada di bawah kata layak untuk dipublikasikan pada khalayak umum. Belasan cerpen Rima yang ia anggap rampung secara terpaksa agar tak menghabis-habiskan waktu untuk mengulang kritik dan saran, menurutnya, cuma pantas dituliskan di buku harian, atau setidaknya diunggah di blog pribadi sebagai racauan tak jelas.

Sampai akhirnya, untuk ke sekian kalinya, Rima kembali mengirimkan cerpen yang baru saja ia rampungkan melalui alamat surel, sambil meminta pendapatnya dengan sangat. Tetapi karena ia sungguh telah berada di puncak kebosanan untuk memberikan koreksi berulang-ulang, ia pun mencoba untuk tak lagi acuh, sembari berharap perempuan itu mampu mengembangkan kemampuannya sendiri tanpa bergantung padanya.

“Hai, Kak, tulisan cerpenku bagaimana?” tanya Rima lewat sambungan telepon, tujuh hari yang lalu.

Ia yang belum juga membaca cerpen yang dimaksud, akhirnya menjawab dengan seadanya, dengan pujian yang ia harap bisa menyenangkan dan menghentikan celotehan perempuan itu. “Bagus. Lebih bagus dari sebelumnya.”

Rima pun tertawa senang. “Apa tak ada lagi kesalahan yang perlu aku perbaiki?”

“Kukira sudah sangat baik,” balasnya seketika, tanpa rasa berdosa atas kebohongan hatinya. “Cerpenmu itu sudah sangat layak dipublikasikan. Bahkan lebih layak daripada cerpen orang-orang di koran,” tambahnya lagi, sambil berharap perempuan itu merasa puas atas pujiannya dan mengakhiri sambungan telepon.

Dan benar saja. Setelah mengulang tawa kesenangannya, Rima pun menandaskan obrolan mereka, “Terima kasih, Kak,” katanya, lalu menutup telepon.

Setelah pembicaraan itu, ia pun memutuskan untuk tidak lagi merespons pesan-pesan dari Rima lewat saluran komunikasi apa pun, entah sampai kapan. Upaya pelariannya itu rupanya berjalan baik, sebab setelah ia tak menjawab telepon dan tak menyibak pesan singkat dari Rima sejak enam hari yang lalu, perempuan itu pun tak lagi berupaya mengontaknya di hari-hari selanjutnya.

Sampai akhirnya, hari ini, setelah ia membuka akun surelnya untuk mengecek kalau-kalau ada kabar penting, ia pun membuka pesan dari Rima tentang satu tulisan cerpennya itu. Dan seketika, ia menemukan sebuah naskah cerpen beserta nama pena yang serupa dengan cerpen yang telah ia kritisi habis-habisan lewat sebuah unggahan di blognya, yang viral lima hari yang lalu.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar