Senin, 28 November 2022

Pemburu Kepala

"Jangan makan di situ lagi!" sahut Liman, dengan tatapan yang serius, setelah aku mengutarakan rencanaku untuk bersantap siang di warung milik Atik. 

"Kenapa?" tanyaku. 

Ia lalu menggilas bara puntung rokoknya di asbak, lantas menjawab dengan sikap awas, "Atik pakai pelaris. Ada orang yang pernah melihat dalaman perempuan di dalam dandang masakannya."

"Serius?" selisikku, tak menduga.

Ia pun mengangguk, kemudian berdiri dan menyelempang jaketnya. "Kalau kau tidak mau percaya, ya, sudah. Aku hanya bermaksud memberitahukan kenyataan yang sesungguhnya kepadamu," tuturnya, lantas berlalu pergi dari teras depan rumahku. 

Sontak, aku menimbang-nimbang penuturan Liman. Apalagi, aku sering juga mendengar cerita perihal orang-orang yang menggunakan cara mistis untuk melariskan jualannya. Tetapi soal warung Atik, aku sulit percaya. Paling tidak, aku masih kerap melihat orang-orang agamais makan di warung bakso tersebut. Kupikir, mereka seharusnya tak terbuai rayuan setan untuk mampir di situ jikalau isu itu memang benar.

Terlebih lagi, aku memang sulit memercayai hal-hal yang mistis. Bukan berarti aku meragukan adanya perihal yang gaib, tetapi aku hanya tidak percaya kalau semua persoalan yang tidak bisa dijelaskan dengan logika, ada hubungannya dengan makhluk halus. Jadi, kalau warung Atik ramai, ya, tidak berarti juga ia pakai pelaris. Sangat mungkin karena sajiannya memang enak. 

Belum lagi, aku patut mempertimbangkan kenyataan kalau banyak ibu-ibu yang mulai kepanasan melihat suami mereka menjadi pelanggan warung Atik. Pasalnya, janda beranak satu itu memang cantik dan ramah, sehingga banyak lelaki dewasa yang tampak nyaman berada di warungnya, termasuk Liman yang sudah beristri dan beranak tiga. Karena itu, bisa jadi, isu pelaris hanyalah karangan ibu-ibu untuk membuat suami mereka berhenti berkunjung ke warung Atik. 

Tetapi aku jadi bertanya-tanya, kenapa bisa Liman memercayai kabar itu. Aku sulit membayangkan bahwa ia tak akan lagi bertandang ke warung Atik. Jelas-jelas, aku bisa membaca kalau ia punya hasrat yang besar kepada Atik. Karena itu, aku merasa tidak semestinya memercayai Liman begitu saja. Aku mesti mencari kejelasan. Apalagi, aku yang masih lajang ini, juga memendam kagum kepada Atik yang manis itu. 

Akhirnya, aku terbayang kejadian 15 tahun yang lalu, saat aku masih duduk di bangku kelas II SMP. Saat itu, menyebar isu yang mencekam kalau para pemburu kepala manusia, tengah berkeliaran. Kabarnya, mereka akan memenggal kepala siapa saja yang lengah. Kepala itu lantas akan dikuburkan di sisi pondasi jembatan yang dibangun, supaya kokoh. Dan untuk itu, pemburu yang berhasil mendapatkan tumbal akan memperoleh imbalan ratusan juta rupiah.

Cerita tersebut kemudian menghantui aku dan dua puluhan teman seperjalananku. Apalagi, kami berangkat ke sekolah dengan menempuh jalan yang panjang. Kami bisa menghabiskan waktu lebih dari satu jam untuk berjalan kaki menempuh tanjakan-tanjakan sejauh enam kilometer. Dan parahnya, jalan dengan pengerasan kerikil itu, sangat lengang. Perkampungan hanya ada di beberapa titik yang menyelingi panjangnya jalan yang hanya diiringi kebun-kebun warga. 

Keadaan itu, akhirnya membuat kami merasa ngeri. Kami jelas waswas kalau tiba-tiba saja para pemenggal kepala muncul dari balik pepohonan atau semak-semak, lalu memerangkap siapa pun di antara kami untuk dipancung. Sebab itu, kami sepakat untuk selalu pergi dan pulang dari sekolah bersama-sama. Kami akan berjalan bergerombol untuk saling menjaga. Aku dan beberapa temanku bahkan membekali diri dengan pisau atau parang. 

Sebelum situasi yang mencekam itu, kami memang kerap berjalan berkubu-kubu dan berpencar-pencar. Apalagi, kami suka saling mendahului untuk menjarah isi kebun warga di sepanjang jalan. Entah pisang, jambu, mangga, rambutan, langsat, durian, atau apa saja yang bisa meringankan lapar dan dahaga kami. Tetapi demi keselamatan, kami pun menghentikan kebiasaan itu. Kami tidak lagi menyimpang jalan dan masuk ke kebun warga. Kami hanya terus melangkah di sepanjang badan jalan. 

Namun seminggu setelah kabar mulai menyebar, ketakutan malah makin menjadi-jadi. Penyebabnya, tersiar cerita kalau para warga di desa sebelah telah memburu tiga orang asing di perkebunan saat siang bolong. Dua orang berhasil meloloskan diri, tetapi seorang lainnya berhasil tertangkap dan nyaris tewas dimassa. Meski kabarnya seseorang itu hanya mengaku sebagai pemburu hewan liar, tetapi orang-orang tetap meyakini kalau ia adalah pemburu kepala manusia.

Lalu, ketakutan pun memuncak setelah Bakir, seorang warga yang paling awas dan getol menyebar berita, melaporkan bahwa seorang pemburu kepala telah berhasil dibunuh oleh warga di desa yang lainnya. Seketika pula, orang tuaku dan orang tua teman-teman seperjalananku, mengambil sikap perlindungan. Mereka meminta kepada pihak sekolah agar mengizinkan kami untuk tidak ke sekolah sementara waktu, sampai keadaan kondusif. Beruntung, permintaan itu dikabulkan. 

Tak pelak, libur kami membuat isi kebun warga di sepanjang jalan menuju sekolah, benar-benar aman. Kami tak akan lagi menjarah, bahkan untuk sekadar memungut buah dari tanaman yang berada tepat di pinggir jalan. Meski para pemilik kebun tidak pernah jua memperkarakan kami selain hanya meneriaki kami kalau tertangkap basah, seolah memahami tindakan kami yang terpaksa mencuri buah demi meredam lelah perjalanan, tetapi itu tetaplah merugikan mereka. Apalagi, pada waktu itu, sedang musim durian. Buah-buah itu tentu mendatangkan keuntungan yang menggiurkan jikalau terjual. 

Namun nyatanya, yang terjadi tidaklah demikian. Di tengah cerita-cerita yang makin mencekam, para pemilik kebun yang notabene lelaki dewasa, malah kehilangan keberanian juga untuk menjaga kebun dan mengamankan buah durian mereka, apalagi saat malam hari. Mereka baru akan mengunjungi kebun mereka saat matahari mulai naik, untuk memungut buah yang jatuh sepanjang malam. 

Akibat pola yang baru itu, perkara lain pun marak terdengar. Banyak di antara warga yang mengaku tidak mendapatkan pungutan buah durian ketika mereka mengunjungi kebun mereka di pagi hari. Mereka tentu salah kalau menuding aku dan teman-tamanku sebagai orang yang telah mendahului mereka memungut buah-buah tersebut. Sebab itu, akhirnya, dugaan lain mulai menyeruak, bahwa ada orang-orang yang sedang memanfaatkan situasi untuk mencuri. 

Perlahan-lahan, para warga di kampungku mulai memberanikan diri untuk melawan ketakutannya. Mereka bahkan mulai menaksir kalau kabar soal pemenggal kepala hanya isu yang dibuat-buat dan diembuskan oleh mereka yang ingin menjarah. Dugaan itu pun menguat setelah terdengar kabar kalau seorang warga di perkampungan sebelah, yang masih dalam kawasan desaku, telah memergoki kawanan orang yang sedang memanen buah durian otongnya. Beruntung, warga itu berhasil menggagalkan aksi para pencuri dengan berbekal senapan miliknya. Ia bahkan sempat melepaskan sebuah tembakan ke arah seseorang di antaranya.

Pada hari-hari selanjutnya, para warga makin sanggup meredam ketakutannya. Mereka bahkan mulai meyakini kalau berita perihal pemburu kepala, sekadar isapan jempol belaka. Mereka pun makin yakin setelah pihak kepolisian datang dan menegaskan bahwa isu soal kawanan pencari dan pemenggal kepala, hanyalah cerita karangan yang dibesar-besarkan. 

Sampai akhirnya, keberanian para warga pulih setelah menerka-nerka apa yang terjadi dengan diri Bakir. Setelah dua hari menghilang dan mengaku tengah berkunjung ke rumah saudaranya di kecamatan yang lain, ia akhirnya kembali ke kampung kami dengan langkah yang terlihat pincang. Meski ia mengaku telah terjatuh dari atas tangga di rumah saudaranya, lalu pahanya tertusuk paku besar, tetapi banyak warga yang meyakini versi yang lain, bahwa Bakir adalah bagian dari kawanan yang telah memanjat durian otong seorang warga di perkampungan sebelah.

Akhirnya, lebih tiga minggu setelah kabar-kabar pemburu kepala menyebar, keadaan pun kembali normal, dan kami mulai berangkat ke sekolah dengan keberanian yang biasa.

Dan kini, berdasar pada kejadian di masa lalu tersebut, aku jadi sulit memercayai kabar-kabar yang tidak berdasar. Karena itu pula, aku tak mau memercayai penuturan Liman begitu saja. Aku memilih tetap berkunjung ke warung Atik. Aku yakin Atik tidak melakukan hal-hal yang dituturkan Liman. Aku akan meyakini itu sampai bukti terpercaya tampak di depan mataku dan menyatakan sebaliknya. Bagaimanapun, aku tak mau cerita-cerita bohong menghalau kerinduanku untuk bersua dengan janda manis itu. 

Setalah belasan menit mengendarai motor, aku akhirnya sampai di warung Atik, di samping kompleks pasar tradisional. Tetapi selain untuk urusan perut dan perasaan, kali ini, aku bermaksud datang untuk membaca tanda-tanda, entah akan menunjukkan kekeliruan ataukah kebenaran tudingan Liman. 

Dan betapa terkejutnya aku setiba di parkiran warung milik Atik. Dengan jelas, aku melihat Liman tengah bersantap lahap di dalam warung tersebut. Cepat-cepat, aku pun bergegas masuk untuk memperkarakannya.

 

Bintang Mati

Engkau tersesat mencari keindahanmu di dalam cermin
Hasrat membuta, dan kau ingin menjadi alamat semua mata
Melipatgandakan bayangan, lalu bergentangan di layar-layar kaca
Menatap kamera, menghipnotis orang-orang yang kehilangan akalnya
Mengumbar rahasia tubuh, memikat tanya-tanya nafsu mereka
Menebar ilusi, memenjarakan angan-angan mereka
Hingga mereka mengiblatimu
Menguntit gerak-gerik tarianmu
Mengintip isi baju dan celanamu
Menelanjangi hati dan pikiranmu
Menggodamu untuk terus menggila atas nama ketenaran
Sampai tak ada yang tersisa selain serendah-rendahnya nama burukmu
Sampai tak mampu lagi kau mencintai dirimu sendiri sebagai bukan siapa-siapa
 

Bahasa Tubuh

Ada bahasa derita pada daun yang menguning
Atau pada nyanyian binatang dalam sangkar
Namun manusia tak mengerti selain kata
Begitu juga perihal tangisan dan tawa
Yang dimaknai sepolos bunyinya
 
Tubuhlah bahasa yang sempurna
Kalimat terang dari kata-kata tanda
Tetapi mulut mendewasa dan melugu
Fasih berucap dan gagal berbagi paham
Bersuara dan melencengkan maksud hati
 
Tangis tidak selalu berarti sedih
Tawa tidak selamanya berarti senang
Lalu kata menutupi atau mengaburkannya
Sebab manusia mahir berbahasa asing
Sampai awam berbahasa isyarat
 

Taktik Pelunasan

Ogi kehilangan sepeda motor. Seseorang telah mencurinya. Ceritanya, kemarin malam, sekitar jam 1, isi perutnya berkecamuk. Ia lalu bangun dan turun dari rumah panggungnya. Ia hendak buang air besar di kamar kecil, di halaman belakang rumahnya. Dan saat itu juga, sebelum sempat membuang hajat, ia tak lagi menemukan motor kesayangannya di tengah kolong rumahnya. 

Pagi ini, aku pun berencana mengurangi kesedihan Ogi. Aku akan memberikan sejumlah uang untuknya, agar ia tak terlalu terpuruk. Uang itu berasal dari kantong pribadiku, ditambah urunan teman-teman ojek pangkalan kami. Bagaimanapun, aku prihatin, sebab ia telah kehilangan sumber penghidupannya. Ia tak bisa lagi mencari penghasilan dengan menarik ojek.

Sebelum sempat bertandang ke rumah Ogi untuk menyerahkan uang bantuan, mataku malah melihat pemandangan yang mengherankan sekaligus memilukan. Jesi, istri Ogi, berlalu di depan rumahku dengan sikap yang biasa-biasa saja. Ia tampak hendak menuju ke pasar dengan penampilan yang mantap. Ia membonceng pada motor seorang ibu, teman rumpinya. 

Memang memiriskan. Secara kasatmata, aku tak melihat kesedihan di wajah Jesi. Ia seolah tak terpukul atas hilangnya motor sang suami. Sebaliknya, ia malah tampak senyam-senyum saja. Ia bahkan tetap berdandan menor. Wajahnya putih berkilau, bibirnya merah menyala, dan alisnya hitam legam. Ia nyaris seperti pengantin. Ia seolah tak merasa harus mengubah gaya hidupnya setelah suaminya kehilangan mata pencarian.

Tetapi memang begitulah kebiasaan Jesi. Ia senantiasa merias dan menghias dirinya setiap waktu. Jangankan ke pasar, berdiam diri di rumah saja, ia akan tetap tampil dengan versi terbaik menurut dirinya. Ia seolah aktris yang selalu ingin menampakkan raganya di mata orang-orang dalam balutan dandanan yang sempurna, agar tak ada seorang pun yang melihat celanya.

Namun diam-diam, aku bisa mengerti alasan Jesi berdandan meriah. Aku taksir, ia hendak membuat suaminya menilai bahwa ia adalah perempuan yang tercantik. Pun, ia ingin menepis remehan orang-orang bahwa wajahnya biasa saja untuk Ogi yang tampak begitu tampan. Pengabaian dan perendahan itulah yang membuatnya keranjingan berdandan. 

Tetapi masalahnya, hasrat Jesi itu jelas membutuh modal yang tidak sedikit. Tak hanya untuk membeli celak, lipstik, dan bedak, tetapi juga untuk membeli segala macam aksesoris yang membungkus tubuhnya. Dan sayang, Ogi, suaminya, bukanlah orang yang berada. Penghasilannya pas-pasan, sebagaimana aku. Ia bahkan tak lagi berpenghasilan setelah kehilangan motornya.

Kalau dibanding-bandingkan, aku merasa lebih berpunya ketimbang Ogi. Kemarin-kemarin, penghasilanku memang hanya sebanding dengan penghasilannya sebagai sesama tukang ojek pangkalan. Tetapi bukan berarti kemapanan kami setara. Pasalnya, Ogi memiliki kesenangan yang boros. Ia seorang perokok berat yang suka berjudi, menenggak miras, dan bermain perempuan. 

Sialnya, akibat kemiskinan Ogi dan kesenangan Jesi berdandan, akulah yang akhirnya menjadi korban. Sebelas bulan yang lalu, Jesi datang ke rumahku dan meminjam uang tabunganku sebesar 2,5 juta rupiah. Ia beralasan butuh uang untuk mengongkosi kebutuhan sekolah anaknya. Karena percaya dan iba, aku pun meminjamkannya uang tanpa banyak pertimbangan. 

Setelah menerima uang pinjamanku, ia pun berjanji akan mengembalikannya setelah ia punya uang yang cukup. Untuk itu, ia mengaku akan mengumpulkan uang pemberian suaminya, juga uang kiriman putranya yang bekerja sebagai tukang bangunan. Ia pun memintaku agar menagihnya secara langsung, serta tidak mengatakan kepada siapa-siapa perihal pengutangannya tersebut. 

Tetapi nahas. Sampai hari ini, Jesi tak juga melunasi utangnya kepadaku. Bahkan kini, aku melihat kalau ia tak lagi punya kehendak melakukannya. Dari gelagatnya, aku membaca kalau ia sudah tidak peduli. Ia malah sudah begitu pandai bersikap biasa di hadapanku, seolah-olah ia tak punya perkara utang terhadapku. Padahal aku yakin kalau ia tak akan lupa, kecuali hanya pura-pura lupa.

Pada bulan kedua, kelima, dan kedelapan, aku memang pernah mengingatkannya. Aku berharap ia masih punya rasa malu dan segera melunasi utangnya. Aku bahkan berkilah dengan alasan yang genting, bahwa aku butuh uang untuk keperluan biaya sekolah anak-anakku. Tetapi pada akhirnya, ia hanya memberiku uang 500 ribu rupian pada penagihan bulan kedelapan.

Untuk sebagian besar sisa utangnya, aku bingung bagaimana. Masalahnya, aku memang hanya bergantung pada kesadarannya. Aku tak sampai hati menagih Ogi. Bukan saja karena Jesi memintaku begitu, tetapi juga karena aku tahu kalau Ogi temperamental. Aku tak tega jikalau Jesi mendulang amukannya, sebagaimana yang kerap terjadi dan sudah menjadi rahasia umum. 

Atas perkara pelik itu, aku akhirnya mengerti bahwa sikap Ogi yang bobrok pulalah yang membuat Jesi terlihat baik-baik saja setelah Ogi kehilangan motor. Aku menerka kalau Jesi merasa itu hal yang baik, sebab Ogi tidak akan lagi berkeliaran untuk mabuk-mabukan dan bermain-main dengan perempuan lain. Apalagi, kutaksir, Jesi kemungkinan tak memperoleh nafkah yang sepantasnya dari hasil ojekan motor tersebut. 

Sampai akhirnya, kini, setelah motor Ogi hilang, aku tak lagi merisaukan utang Jesi. Seturut itu, aku pun jadi kasihan kepada Ogi. Aku membayangkan, betapa menyesakkannya hidup dalam ikatan suami-istri yang tidak harmonis seperti mereka. Karena itu, dari jumlah uang santunan yang akan kuberikan kepada Ogi, bagian dari kantongkulah yang terbanyak, bahkan lebih dari setengahnya.

Akhirnya, dengan niat tanpa pamrih, aku lantas bertandang ke rumah Ogi yang hanya berselang satu rumah dari rumahku. Tak lama kemudian, aku pun menjumpainya dengan wajah yang muram. 

"Kau tak ke pasar dan mengojek hari ini?" tanyanya, setelah kami duduk berhadapan di ruang tamu rumahnya. 

"Aku mau pergi, kok. Kalau istriku sudah siap, aku akan berangkat," jawabku, lantas melayangkan senyuman yang singkat. 

"Ah, entah bagaimana lagi aku ini. Mau mengojek, tetapi sudah tak punya motor," tanggapnya, terlihat makin murung. 

"Sabarlah. Semua ada hikmahnya," kataku, sekenanya. 

Ia lantas mengangguk-angguk. "Ya."

Aku lalu mengeluarkan uang santun berbungkus amplop dari dalam kantongku. "Ini ada sedikit bantuan dari aku dan teman-teman mengojek kita. Semoga bisa membantumu dalam mengumpulkan modal untuk membeli motor kembali."

Ia pun terkesima. Terlihat sangat senang. "Terima kasih banyak," tuturnya, sembari menerima seamplop uang yang kusodorkan.

Aku membalas dengan anggukan dan senyuman. 

Diam-diam, aku pun merasa telah menuntaskan misiku. Aku telah berhasil mencuri motor Ogi dari kolong rumahnya, kemudian menjualnya seharga 3 juta rupiah kepada seorang penadah motor bodong. Dari uang itu, aku pun mengambil 2 juta rupiah sebagai tebusan utang Jesi, dan memberikan sisanya kepada Ogi sebagai uang bantuan. Aku yakin, Ogi tak akan menemukan motornya, sebab ia tak akan melaporkannya ke polisi, karena ia membeli motor bekas itu tanpa beserta surat-surat. 

Ogi lantas mendengus. "Tetapi, ya, semoga saja motor kesayanganku itu ditemukan. Aku telah mengontak seorang temanku yang mengenal banyak penadah, dan ia akan berusaha mencarinya.” Ia lantas tergelak pendek. “Kalau nanti berhasil, aku akan mengadakan syukuran kecil-kecilan dengan uang urunan kalian ini." 

Seketika pula, kesenanganku padam. Aku mengangguk saja dengan senyuman simpul. Jelas, aku takut ia benar-benar berhasil menemukan motor itu hingga mengetahui kalau akulah pelakunya. Karena itu, aku berharap motor itu segera dipreteli oleh sang penadah, hingga menjelma menjadi motor taksi di lahan-lahan pertanian, sebagaimana akhiran bagi motor-motor bodong pada umumnya. 

Aku lantas mendengar seruan panggilan diri istriku. Aku pun pamit dan meninggalkan Ogi dengan perasaan gamang.


Penonton Kesurupan

Layar depan terkembang
Penonton duduk saling membelakangi
Menyimak pertarungan menjadi bintang
Menjual segala yang mungkin terbeli
Meninggi dengan merendahkan harga diri
Menyohor dengan merusak nama baik
Menghina untuk menyucikan penampilan
Merangsang untuk mencuri perhatian
Membejat untuk mengokohkan eksistensi
Seperti yang terbaca pada cerita fiksi
Atau terpancar dari gambar imajinatif
Atau terpampang di dalam film spektakuler
Hingga seni kehilangan nilai mulia
Sebab pewarta hanya menyorot sensasi
Menggemborkan segala yang murahan
Menyulap ilusi seolah intuisi
Hingga rekaan  menjadi kenyataan
Lalu penonton berlomba jadi kritikus
Menyambung pertikain tak berkesudahan
Ketika kebaikan diperdebatkan dengan keburukan
Sedang segala kendali berada di belakang layar
Pada sutradara yang suka mengadu anak setan
 

Rantai Penumbalan

Kita hidup dari korban-korban
Yang kalah dengan mewariskan kehidupan
Yang menerima lebih sedikit dari hasil kerja kerasnya
 
Betapa banyak yang terbeli dari hal yang terjual untuk kita
Para buruh yang dibayar serendah belas kasih kapitalis
Para pengiklan yang dibandrol sehina modal lintah
Para pedagang yang ditawar sealot pasar bebas
 
Napas masih terus menyambung
Renungkanlah!
 

Habis Harapan

Tandas sudah rasa kecewa
Setelah gagal rupawan, setelah berdandan
Setelah gagal jutawan, setelah bekerja
Setelah gagal berkuasa, setelah berjuang
Setelah gagal bercinta, setelah mencinta
 

Dunia Binatang

Salam telah kehilangan arti keselamatan
Dan senyuman asing sebagai tanda perkawanan
Hingga tak ada lagi ajakan mampir untuk para musafir
Karena basa-basi sudah terlalu basi sebagai selingan
Yang memaksa kata mesti menjurus maksudnya
Seperti komandan memerintah prajuritnya
Atau balita mengadu kepada ibunya
Sebab tak ada kopi untuk berpanjang-lebar
Dan waktu terlalu mubazir untuk tertawa-tawa
Setelah nurani tergerus ego pribadi
Yang membuat setiap orang bernafsu merajai
Menasihati yang khilaf dengan suara yang tinggi
Menyalahkan yang salah dengan cerita berulang
Menuntut maaf dengan ancaman pidana
Dan semua penaklukan mesti disebarluaskan
Via jaringan komunikasi yang menghubungkan perasaan
Yang melambungkan kehebatan dan menguburkan kebijaksaan
Demi mendapatkan kemuliaan dengan cara merendahkan
Sebab musyawarah dianggap sudah kedaluwarsa
Dan bumi hanya berisi iblis dan malaikat
 

Sabtu, 26 November 2022

Pasangan Pengganti

Kita menyatu di persimpangan waktu
Setelah pulang dari masa dahulu
Membawa hati yang berduka
Pun kenangan yang manis
Serta semua harapan
 
Kita lantas melawan
Berdua menepis cemburu
Terhadap kalian ataupun kami
Demi bersama sepenuh selamanya
Untuk rasa dalam kenangan yang baru
 

Pembenci Diri

Buruk rasanya, bertopeng
Iri, cemburu, dengki, terpendam
Mengembang, membendung kesabaran
Lantas meledak, menelurkan kata-kata kotor
 
Berdiamlah, dan dengarkan
Telinga akan mengobati bencinya
Hingga ia menerima kekurangannya juga
Setelah ia hanya memandang kelebihan orang lain