Sabtu, 13 Maret 2021

Lelaki Pengantar Kado

Rusdik merasa bingung. Ia masih berada di luar kota untuk urusan pekerjaan, sedangkan hari ini adalah hari ulang tahun pernikahannya. Ia mesti berupaya untuk memberikan tanda perayaan kepada sang istri, sebagaimana yang selalu didambakan oleh perempuan itu.

Sejujurnya, di usia ke-4 tahun pernikahan, Rusdik tidak antusias lagi untuk melakukan peringatan. Ia merasa sudah cukup jika saling berbagi kabar dan perhatian setiap waktu. Tetapi ia tetap saja takut kalau sang istri merajuk dan menuding kalau ia telah kehilangan rasa cinta.

Karena itulah, di sebuah hotel, di tempat yang jauh, ia terus memikirkan cara terbaik untuk memberikan kejutan kepada sang istri di rumah. Meski raganya alpa, ia bertekad untuk menghadirkan persembahan berkesan di hadapan kekasihnya itu, sebelum hari berganti.

Hingga akhirnya, malam ini, ia pun menetapkan untuk menjalankan rencananya dengan bantuan Husni, seorang rekannya di kantor, teman baiknya selama kuliah.

“Jadi, tolong kau belikan satu setel pakaian pesta untuknya. Cari yang warna pokoknya hijau, karena ia suka warna begitu,” petunjuk Rusdik kemudian, melalui sambungan telepon.

“Bagamana detail setelannya? Aku takut kalau setelan yang aku pilih tidak sesuai dengan yang kau maksud,” tanggap Husni.

“Soal bagaimana tepatnya, kau sajalah yang tentukan. Kau rasa-rasa sendirilah, sebagaimana ketika kau membelikan hadiah pakaian untuk wanita pujaan hatimu,” balas Rusdik.

“Baiklah kalau begitu,” pasrah Husni. “Lalu, apa yang harus aku lakukan dengan setelan pakaian itu?”

“Ya, seperti biasanya. Kau kemaslah pakaian itu dengan kotak dan bungkusan yang menarik. Nah, setelah itu, kau letakkan saja di depan rumah kami. Tetapi jangan sampai ketahuan olehnya,” terang Rusdik. “Untuk selanjutnya, biar menjadi urusanku.”

Husni pun mendengkus. “Baiklah. Akan aku lakukan.”

Setelah percakapan itu, Husni kemudian bergegas ke toko pakaian yang telah disarankan oleh Rusdik. Untuk beberapa lama, ia pun melihat-lihat pajangan setelan pakaian pesta yang berwarna hijau. Setelah menimbang-nimbang, sembari mengingat-ingat motif pakaian yang sering dikenakan istri sahabatnya itu selama kuliah, ia pun menetapkan pilihannya.

Beberapa waktu kemudian, setelah mengemas pakaian itu dalam kotak kado yang terlihat cantik, Husni lantas berangkat ke rumah sepasang sahabat baiknya itu. Setelah sampai, ia lantas berjalan mengendap-endap ke depan pintu dengan mengenakan jaket dan topi di tengah hujan rintik-rintik, juga mengenakan masker di tengah pandemi yang masih mengganas.

Tetapi kemudian, aksinya tidak berjalan sesuai rencana yang telah digariskan. Ketika hendak meletakkan kado di teras, tiba-tiba, Lira, istri sahabat baiknya itu, yang juga merupakan perempuan teman dekatnya selama di kampus, akhirnya membuka pintu dan menjumpainya.

“Bapak!” seru Lira, dengan senyum senang di wajahnya, kemudian memeluk Husni atas terkaannya yang keliru, tanpa memedulikan situasi pandemi.

Husni mematung saja, tanpa daya berkata-kata.

Lira kemudian mengurai pelukannya. “Aku tahu, Bapak tidak akan lupa kalau hari ini adalah hari ulang tahun pernikahan kita,” kata Lira lagi, dengan raut bahagia.

Husni mengangguk-angguk saja dengan memperturut kesenangan hatinya, lantas menyodorkan kado di tangannya.

Lira lalu menyambut pemberian itu. “Wah, terima kasih, Pak. Ini pasti kado yang menyenangkan.”

“Tentu,” balas Husni, pendek, dengan nada suara yang ia buat-buat serupa dengan suara Rusdik.

“Ayo, cepat, masuk, Pak. Di sini dingin,” ajak Lira.

Seolah tak bisa mengendalikan dirinya sendiri, Husni pun turut saja, dengan masih mengenakan topi dan maskernya.

Dengan rasa penasaran, Lira pun menyibak kotak kado itu, kemudian menguak isinya dengan wajah semringah. “Ah, aku suka!”

Husni hanya terdiam, sembari menonton tingkah mantan pujaan hatinya di masa-masa kuliah itu.

Lira kemudian mengganti pakaiannya dengan pakaian baru tersebut.

Husni sontak terpaku menatap keadaan di depannya, seperti tengah memandang keajaiban surga. Ponselnya bergetar, tetapi ia tak memedulikannya.

“Setelan ini sangat cocok dengan aku, kan, Pak?” tanya Lira, meminta persetujuan.

Husni mengangguk keras. “Tentu,” tanggapnya, tetap dengan suara tiruan.

Tetapi kemudian, ponsel Lira berdering. Dengan wajah kesenangan yang masih merona, ia lantas mengecek ponselnya. Sampai akhirnya, ia terkejut setengah mati, sebab di layar, Rusdik, nama suaminya, tampak sedang memanggil.

Husni yang masih terpana, tampak tidak peduli.

Lira kemudian menjawab panggilan suaminya itu.

“Halo, Sayang, apa kau sudah menerima kado dariku?” tanya Rusdik di ujung telepon.

Sontak, Lira pun menjerit ketakutan. Ponselnya lantas jatuh keras ke lantai.

Seketika, Husni jadi kalang kabut.

Di tempat yang jauh, Rusdik pun menjadi khawatir dan bertanya-tanya.

“Siapa kau?” sergah Lira, dengan langkah mundur.

Tanpa menjawab, Husni pun pergi dengan setengah berlari.

Sesaat kemudian, setelah panggilannya kepada sang istri tidak tersambung lagi, Rusdik pun kembali menghubungi Husni.

Pikiran Husni lantas bekerja cepat dan berhasil meramu alasan jitu. Ia lalu menghentikan langkahnya, kemudian menjawab panggilan tersebut. “Ya, kenapa?”

“Apa kau sudah melaksanakan semuanya sesuai dengan petunjukku?” selidik Rusdik.

Husni kemudian mendengkus, lalu menuturkan kilahannya dengan nada menyesal. “Maaf, aku punya urusan keluarga yang mendadak setelah mengemas kado itu. Ya, akhirnya aku meminta tolong kepada seorang kawanku untuk menempakan barang itu di depan rumahmu.”

Rusdik pun mengaduh. “Apa kau percaya dengan temanmu itu? Apa dia orang yang baik-baik?”

Seolah tak tahu apa yang telah terjadi, Husni pun balik bertanya. “Memangnya kenapa?”

“Tadi, aku menelepon istriku, dan aku mendengar kalau ada sesuatu yang tidak beres sedang terjadi padanya. Aku kira, itu ada sangkut pautnya dengan temanmu itu. Jadi, aku mohon, pergilah ke rumahku sekarang, dan pastikan kalau istriku baik-baik saja,” pinta Rusdik.

Tanpa perasaan khawatir dan penasaran, Husni kemudian mengiyakan permohonan sahabatnya itu. “Baiklah. Aku segera ke sana.”

Sambungan telepon pun terputus.

Dan akhirnya, Husni melipat jejaknya untuk kembali menemui Lira dengan maksud hati yang terselubung, sebelum kemudian menyampaikan kabar baik tentang perempuan itu kepada sang suami.

 

Toilet

Piga merasa jemu. Lisa, istrinya, selalu saja meminta toilet. Padahal, di puncak bukit tempat mereka berada, urusan pembuatan toilet bukanlah perkara yang mudah. Pengantaran untuk bahan pembangunannya saja, membutuhkan biaya yang mahal. Itu pun kalau ada tukang ojek handal yang berani membawa beban seberat itu sampai ke tengah lahan perkebunan mereka

Menolak, bukan berarti Piga tidak mengasihi istrinya. Ia sungguh ingin memanjakan sang istri agar betah menemaninya. Ia hanya ingin sang istri bersabar sementara waktu, sampai musim kemarau datang, dan bagian jalanan setapak yang buruk, telah dibeton atas swadaya masyarakat. Saat begitu, para tukang ojek akan enteng mengangkut bahan bangunan, dan ongkosnya akan sepantasnya saja.

Tetapi alasan apa pun, seolah tak berguna lagi bagi Lisa. Ia sudah tak tahan membuang air besarnya seperti kucing. Ia sangat keberatan untuk berjalan ke tepi lahan perkebunan, ke semak-semak, kemudian menggali dan menutup tanah untuk melaksanakan hajatnya. Ia sungguh takut dan kerepotan. Karena itu, ia  terus saja menuntut, agar permintaannya atas toilet, dikabulkan sesegera mungkin.

Akhirnya, kengototan istrinya membuat Piga teringat lagi pada peringatan almarhum ibunya. Sang ibu pernah menasihati agar ia mencari pasangan hidup bukan atas dasar perpaduan perasaan semata, tetapi juga kesanggupan untuk menjalani pahitnya kehidupan bersama-sama. Sang ibu menyarankan agar ia menikah saja dengan gadis desa yang sederajat dengannya, supaya hidupnya tenteram.

Namun langkah Piga yang jauh sampai ke kota, telah menggariskan jalan jodohnya. Ia terlanjur bertemu dengan Lisa pada masa kuliah, yang seketika membuatnya jatuh hati dan tak bisa berpaling pada yang lain. Hingga akhirnya, dengan usaha yang keras, ia pun berhasil manaklukkan dan menikahi Lisa yang merupakan anak sepasang pegawai kantoran dengan kehidupan yang sangat mapan.

Sialnya, jalan jodoh Piga tak sebaik jalan rezekinya. Dahulu, ia yakin akan mendapatkan pekerjaaan yang bergengsi dan menjamin untuk kehidupan keluarga kecilnya. Tetapi empat tahun setelah menikah dan menyandang gelar sarjana ekonomi, ia tak juga berhasil. Akhirnya, dengan perasaan berat, ia pun memutuskan untuk pulang ke kampung dan mengurus pohon cengkih muda warisan orang tuanya di puncak bukit.

Kini, Piga terus berjuang membangun rumah tangganya demi sang wanita pujaannya, di tengah kondisi kehidupan yang tak pernah ia impikan. Segalanya telah terjadi atas keputusannya sendiri, dan ia harus bertahan untuk menjaga janji sucinya. Ia mesti bersabar hingga beberapa tahun ke depan, ketika hasil panen cengkihnya melimpah, dan ia bisa memberikan apa pun untuk sang istri.

Namun di tengah masa-masa pembangunan seperti sekarang, Piga memang harus menebalkan kuping atas keluhan sang istri, terutama soal toilet. Meski ia sendiri bertekad untuk membangun tempat pembuangan itu demi sang istri yang tak biasa membuang kotoran di sembarang tempat, tetapi tidak dalam waktu dekat. Karena itu, demi menghindari percekcokan yang membahayakan hubungan mereka, ia pun lebih banyak diam dan menghindari persinggungan dengan sang istri.

Sampai akhirnya, malam ini, di malam ke-21 keberadaan mereka di puncak bukit, Piga kembali memutuskan untuk tidak tidur setikar dengan istrinya di dalam bilik kamar, untuk malam yang ke lima. Ia memilih untuk tidur di badan rumah, meski harus merasakan hawa dingin dan gigitan nyamuk. Ia ingin mengesankan kepasrahannya, dan berharap sang istri iba dan mau mengerti tentang keadaan sulit mereka.

Tetapi perkara kemudian menyusul. Atas terpaan angin malam lewat dinding kayu rumah kebunnya, Piga merasakan kembung di perutnya, seperti masuk angin. Beberapa waktu kemudian, saat tengah malam, ia pun terdesak untuk segera mengeluarkan isi perutnya itu. Maka di bawah bulan yang cerah, ia lantas menuruni gubuk panggungnya dengan langkah buru-buru, kemudian menuju ke tepi kebun dengan membawa segayung air.

Dan akhirnya, Piga berhasil menunaikan hajatnya dengan penuh kekhidmatan, di tengah kegelapan dan keheningan malam. Ia kemudian cebok dengan perasaan lega, dengan kesadaran bahwa perkara berak memang tidak akan terasa sebagai siksaan kalau ia telah memiliki toilet.

Sesaat kemudian, di tengah istinjanya, Piga merasa geli dengan dengungan serangga di sekitar kepalanya. Dengan kesal, ia pun mengambil ranting kayu dan memukul-mukulkannya ke sisi atasnya, ke semak-semak yang menyelubungi tubuhnya. Sampai akhirnya, dengung makhluk itu terdengar semakin keras. Dan seketika, ia mendapat sengatan di seluruh sisi tubuhnya secara bertubi-tubi.

Piga sontak menandaskan ceboknya. Ia lalu menyelubungi tubuhnya dengan sarung, sembari berlari pontang-panting menuju ke rumah kebunnya. Tetapi kawanan serangga yang ia duga tawon itu, seperti masih juga menyerangnya. Maka, dengan kesakitan yang tiada tara, ia pun cepat-cepat naik ke atas rumah, lantas masuk ke bilik kamar, kemudian menyusup ke dalam kelambu istrinya.

Sontak, istrinya terbangun kaget. “Apa? Apa?”

Piga yang ngos-ngosan, tak kuasa berkata-kata.

Sang istri lalu menyalakan senter, dan terkejut menyaksikan satu wajah yang asing. “Heh, siapa kau?” sergahnya, ketakutan, sembari menarik tubuhnya ke belakang.

Piga pun mendengkus, sambil mengaduh-aduh. “Ini aku, Bu. Piga. Suami Ibu.”

“Apa?” Sang istri lalu mengarahkan sorotan senter ke wajah itu, dan akhirnya bisa membaca wajah sang suami di balik benjolan-benjolan yang parah. “Apa yang terjadi, Pak?”

“Aku diserang tawon, Bu,” terang Piga, sambil mengeluh-ngeluh kesakitan.

“Kok bisa? Bagaimana ceritanya, Pak?” tanya sang istri, dengan perasaan prihatin dan penasaran.

Pikiran Piga cepat bekerja. Ia berupaya mengarang cerita untuk berkilah, agar kenyataan yang sesungguhnya terjadi, tak membuat sang istri semakin kekeh menuntut toilet sesegera mungkin. “Aku menepuk seekor tawon saat sedang berbaring-baring, Bu. Aku kira hanya serangga biasa. Dan akhirnya, kawanannya datang menyerangku.”

Sang istri pun mendengkus dengan rasa kasihan. Ia lantas mengambil minyak gosok yang ia duga akan mampu meredakan rasa sakit akibat gigitan tawon. Dengan lembut, ia lalu mengusapkan minyak itu pada wajah dan badan sang suami. “Harusnya Bapak hati-hati. Jangan asal menepuk dan membunuh makhluk kecil. Bahaya.”

Piga pun merasa senang atas perhatian sang istri. “Iya, Bu.”

Hening beberapa saat.

“Jadi, kapan Bapak akan membuat toilet?” tanya sang istri kemudian.

Sontak, Piga terkejut mendengar singgungan perihal persoalan yang beberapa hari belakangan, berusaha ia hindari. Namun atas apa yang telah terjadi padanya, akhirnya, ia pun mengungkapkan tekadnya, dengan kesadaran bahwa toilet memang hal yang perlu, “Aku akan segerakan, Bu,” katanya, lalu membelai pipi sang istri. “Selama aku mampu, aku akan melakukan apa pun demi kebahagiaan Ibu.”

Baru saja tersanjung, sang istri lantas mengendus-endus keras. “Kok, ada bau tidak enak, Pak.”

Piga turut mengendus, kemudian membaui telapak tangan kirinya yang busuk.

“Aduh, Pak!” kesal sang istri.

Piga pun merasa kelimpungan.

“Kalau cebok, yang bersih-bersihlah, Pak!” keluh sang istri.

Dengan perasaan bodoh, Piga lalu menyenter keadaan di luar kelambu. Dan setelah memastikan keadaan sudah aman, ia pun bergegas keluar untuk menyempurnakan ceboknya.

 

Jari-Jari

Kita adalah segenggaman jari yang saling mengurai
Anak jari kita terlalu labil untuk saling menguatkan
Kita bertengkar, dan jari telunjuk kita saling menyalahkan
Sampai ketika jari tengah menegak, menutup jalan tengah
Meski masih ada harapan untuk memerangkap jari manis
Tetapi ibu jari telah tumbang sebelum melahirkan kata maaf
 

Akhir Pembalasan

Ada anak yang menangis dalam tubuh seorang dewasa
Sepatunya bolong, celananya sobek, kerah bajunya berjamur
Tetapi ia harus pergi ke sekolah, menggendong tas berisi mimpi
Sebab kenyataan masih menggantungkan harapannya, esok demi esok
Dengan ayah-ibu yang terlalu matematis dalam menghitung kemiskinan
 
Betahun-tahun penantian, sampailah ia di hari pembalasan
Raganya berbalut kekayaan, dengan nafsu yang begitu fakir
Membeli kesenangan untuk memanja kekanak-kanakannya
Berpesta-pora hingga senja usianya, dan terpenjara tubuhnya
Bersama keinginan yang tak kunjung memuaskan dendamnya
 

Maring

Leon kembali bertandang di sebuah warung makan favoritnya, di tepi kompleks terminal. Seperti sebelumnya, setiap kali akan pulang ke kampung di tengah libur kerjanya sebagai karyawan swasta, ia akan mengisi perutnya di warung itu sebelum berangkat dengan mobil sewa tumpangannya.

Seketika saja, di tengah makan, ia teringat lagi pada peristiwa yang terjadi setahun yang lalu. Saat itu, ketika hendak mengambil uang untuk membayar tagihan makanannya, tiba-tiba, dompet di dalam kantongnya hilang. Ia  pun jadi kelimpungan dan segera mengecek keadaan di sekitarnya.

Sontak, teman semeja makannya menoleh. “Ada apa, Pak?” tanya lelaki dengan jaket kulit dan topi hitam itu.

“Dompetku hilang,” jawab Leon.

Lelaki itu pun tampak terkejut. “Bagaimana bisa?”

“Aku sendiri tidak tahu, Pak,” bingung Leon, dengan sikap kalang-kabut. “Padahal, tadi, aku masih memegang dompet itu saat membeli buah-buahan di kios sebelah.”

Lelaki itu lantas menenggak air putih dan mengelap tangannya dengan tisu, seperti telah menandaskan santapannya. “Tenang, Pak. Sebaiknya, Bapak ingat-ingatlah dulu, kemudian kembali mengunjungi tempat-tempat persinggahan Bapak sebelum ke sini. Siapa tahu, Bapak menemukan dompet itu di suatu tempat.”

Leon masih tampak bingung. “Tetapi, bagaimana ini?” tanyanya, sambil menuding pada menu lengkap yang telah habis ia santap.

Lelaki itu pun tersenyum. “Biar aku yang talangi, Pak.”

Namun Leon merasa tidak enak hati, “Tetapi…”

“Tak apa-apa, Pak. Izinkan aku beramal,” sela lelaki itu seketika.

Leon pun mengangguk pasrah.

Akhirnya, mereka berdua keluar dari warung itu setelah sang lelaki menyelesaikan urusan pembayaran.

Namun sebelum benar-benar berpisah arah untuk tujuan masing-masing, mereka pun berkenalan secara singkat. Dari penuturannya, Leon lantas mengenal lelaki itu dengan nama Maring, yang bekerja sebagai kernet.

Atas peristiwa itu, Leon masih terus mengingat Maring. Lima bulan yang lalu, ketika ia kembali berada di terminal untuk pulang berlebaran di kampung, ia pun mengecek-ngecek pangkalan mobil semua jurusan, tempat Maring kemungkinan berada sebagai kernet, tetapi ia tak menemukannya.

Sampai kini, Leon sangat ingin bertemu dengan Maring. Ia merasa berutang budi dan sangat ingin membalas. Ia ingin mengembalikan pemberian Maring berkali-kali lipat, sebab ia menyadari bahwa Maring yang seorang kernet, jelas tak lebih baik daripada dirinya dalam soal keuangan.

Demi niat besarnya, selepas makan, Leon pun segera menuju ke kasir untuk membayar tagihannya, sebelum kembali berjalan-jalan di lingkungan terminal untuk mencari-cari keberadaan Maring.

“Eh, kau mengenal seorang kernet bernama Maring?” tanya Leon pada perempuan muda, anak pemilik warung yang bertindak sebagai kasir.

Gadis itu menggeleng. “Tidak. Memangnya kenapa, Om Cadel,” tanyanya balik, dengan sapaan akrab untuk Leon yang ketika mengeja huruf R, lebih terdengar sebagai huruf L.

“Aku punya urusan dengannya. Urusan orang dewasa. Kau tak pantas tahu,” balas Leon, bercanda.

Sang gadis mendengkus dengan raut kecewa yang dibuat-buat “Baiklah. Aku mengelti.

Leon pun tertawa gemas, kemudian beranjak ke luar. Ia lalu melangkah ke segala sisi terminal, sambil menilik wajah orang-orang di setiap pangkalan demi menemukan Maring. Namun sejauh langkahnya, ia tak juga menemukan lelaki bertubuh kurus dan berambut panjang itu.

Sampai akhirnya, pencariannya menjeda sementara waktu setelah ia singgah di sebuah warung untuk membeli minuman, lantas menemukan seorang perempuan tua di sampingnya tampak berkitar-kitar sambari menunduk-menyorot sekitar tapakannya.

“Ibu cari apa?” tanya Leon.

Perempuan itu pun mengangkat wajah bingungnya. “Dompetku hilang, Nak.”

Dengen perasaan prihatin, Leon turut melihat-lihat ke segala sisi untuk mencari keberadaan dompet tersebut.

Lalu tanpa terduga, sudut matanya menangkap wajah Maring. Ia sontak melangkah ke arah Maring, tanpa peduli lagi pada kemalangan sang perempuan tua.

Tetapi langkah Maring yang tampak terburu-buru, akhirnya membuat ia terpaksa berseru, “Maring! Maring! Hai, Maring!”

Bukannya berhenti, Maring malah mempercepat langkahnya.

Beberapa orang pun tampak mendekati Maring, dan ia menduga kalau orang-orang itu ingin memberikan penjelasan kepada Maring bahwa ia sedang memanggilnya.

“Maring…! Maring…!” seru Leon lagi, semakin keras, dengan langkah setengah berlari, tanpa kesadaran sedikit pun bahwa atas pelafalannya yang cadel, seruannya itu akan terdengar sebagai kata “maling” di telinga orang-orang.

Sampai akhirnya, orang-orang mengerumuni Maring. Dan tanpa meminta penjelasan, beberapa orang lalu menghantam Maring dengan pukulan dan tendangan.

Leon pun terperanjat, lantas tersadar atas kekeliruannya.

Tetapi keadaan sudah terlanjur.

Akhirnya, terdengarlah kalimat-kalimat dakwaan dari mulut orang-orang:

“Maling sialan!”

“Geledeh dia!”

“Kasih pelajaran sebelum diserahkan ke polisi, biar kapok!”

“Berhenti, Pak! Berhenti!” seru Leon, sambil menyeruak dalam kerumunan massa untuk menyelamatkan Maring dari amukan. Tetapi, suaranya sama sekali tidak jelas di antara sumpah-sumpah serapah.

“Ini dompetmu? Iya? Jadi, namamu Sumiati? Kau perempuan?” sidik seseorang di antara massa.

Perempuan tua yang baru saja kehilangan dompet, kemudian berseru keras, “Pak, aku Sumiati! Itu dompetku!”

Sontak, perasaan Leon tersentak atas kebetulan yang telah terjadi.

 

Cukuplah Diam

Basa-basi melanggengkan penjajahan
Yang miskin menghormati penjarahnya
Memuji kemunafikan demi kehidupan
Menidurkan pisau di dalam sarungnya
 
Hari-hari raya adalah sandiwara
Embel-embel menyambut pembohong
Menodai mimbar dengan lidahnya
Mendulang jilatan yang memabukkan
 
Pengkhianatan ini akan selamanya
Kecuali tubuh bangkit melawan
Atau mulut keras mengutuk
Atau sekadar diam mengabaikan
 

Babi

Kekesalan telah menumpuk di dalam hati Damhuri. Babi-babi masih saja sering menggerayangi tanaman singkongnya. Padahal, ia telah memasang pagar bambu di sekelilingnya. Bahkan ia sering bermalam di tengah kebun untuk berjaga-jaga. Tetapi kawanan penjarah itu tetap menerbos benteng buatannya saat ia lengah atau sedang tidak meronda.

Akibat keberingasan para babi, Dumhari terancam menunda rencana besarnya. Ia sudah ingin menikah, tetapi biaya pernikahannya tak akan pernah cukup jika panen singkongnya selalu mengecewakan akibat ulah hewan liar itu. Padahal, ibunya yang sudah lanjut usia, terus-menerus meminta agar ia segera menikah di usianya yang sudah 37 tahun.

Tetapi atas keadaan kebun singkongnya yang memprihatinkan, orang-orang di desanya memang meragukan kemampuannya secara pribadi. Ia dipandang manja dan lembek. Ia dinilai jauh berbeda dibanding almarhum ayahnya yang pekerja keras. Bahkan ia dianggap lebih cocok mengurus pekerjaan rumah yang tidak terlalu menguras tenaga ketimbang berkebun.

Keraguan para warga terhadap kemampuan Damhuri, bermula sejak lama. Pasalnya, dahulu, ia lebih suka bermain masak-masakan dengan teman perempuannya ketimbang bermain bola dengan anak laki-laki. Kecenderungannya itu berlanjut ketika ia memilih menjadi penata rias pada sebuah salon di ibu kota kabupaten daripada mencari pekerjaan yang tampak lebih cocok untuk lelaki.

Tetapi akhirnya, tiga bulan yang lalu, Damhuri pasrah untuk pulang kampung dan menetap sebagai petani. Itu terjadi setelah ayahnya yang terus berharap dan berusaha untuk mendidiknya menjadi lelaki yang tangguh, meninggal dunia. Sedangkan pada saat yang sama, ibunya yang sedari dahulu memanjanya sebagai anak semata wayang, mulai mengidap berbagai macam penyakit

Namun sikap Damhuri yang sekian lama cenderung pada keperempuanan, tidak bisa mengubah persepsi warga dalam sekejap waktu. Biarpun ia telah menggarap tanah sebagaimana lelaki desa pada umumnya, mereka tetap mempertanyakan kelaki-lakiannya. Bahkan sebagian besar mereka meragukan kalau kelak ia akan menikah dengan seorang perempuan.   

Anggapan yang sama, juga bercokol di benak Wiro, kepala dusun di alamat rumah Damhuri. Bahkan lelaki itu menduga keras bahwa Damhuri tak punya hasrat kepada perempuan. Hingga dengan maksud bercanda, ia pun pernah berseloroh kepada teman seperdomiannya, bahwa Damhuri tidak memiliki kelamin yang serupa dengan kelamin laki-laki sejati.

Sampai akhirnya, tudingan Wiro, sampai juga di telinga Damhuri. Ia pun merasa sangat tersinggung. Tetapi sebagaimana selalu, ia akan memendam sakit hatinya dan berusaha tampil seperti biasa. Apalagi, lelaki berkumis tebal itu adalah ayah dari seorang perempuan yang selama ini ia idam-idamkan sebagai pendamping hidup, yang memotivasinya merawat singkong.

Dan hebatnya, sampai sekarang, Damhuri bisa menahan diri. Ia sanggup bersabar menyikapi singgungan orang-orang atas kelaki-lakiannya. Ketimbang membalas dengan sumpah serapah, ia memilih diam dan melaksanakan rencananya untuk mementahkan anggapan tersebut. Makanya, ia fokus saja memerhatikan tanaman singkongnya demi menikahi wanita pujaannya.

Sampai akhirnya, saat hari sudah sore, tiba-tiba, warga desa menjadi riuh. Di balik dinding seng kamar mandinya, Damhuri pun bisa mendengar kalau mereka sedang mengejar babi. Karena itu, ia lekas memakai baju dan mengilas sarung di pinggangnya. Sekejap kemudian, ia bergegas keluar, lantas ikut berburu setelah mengambil lembing di bawah kolong rumahnya.

Atas kekesalannya yang memuncak terhadap babi, Damhuri pun tak kalah gesit dengan pemburu yang lain. Setelah membaca keadaan, dengan perhitungan instingnya, ia memilih arah berbeda, ke titik yang mungkin menjadi pelarian bagi buruan itu. Ia menyimpang jalan setapak, menuju ke sungai. Ia berlari, sambil terus menggulung sarungnya yang melorot dari pinggangnya.

Sesaat berselang, Damhuri sampai di pelataran sungai. Ia menunggu saja, sambil bersiap-siap menyasar. Hingga lima detik kemudian, babi itu pun muncul dari balik semak-semak, lalu terjun ke sungai setelah terpojok oleh kepungan orang-orang. Maka tanpa melewatkan kesempatan, ia pun melecutkan lembingnya, dan berhasil mendarat tepat di sisi perut buruan tersebut.

Seketika, redamlah teriakan-teriakan belasan lelaki pemburu yang kemudian datang menyusul. Begitu pula pekikan beberapa perempuan yang tengah mandi di sungai. Mereka tampak terkesima setelah menyaksikan keberhasilan Damhuri. Mereka seperti sukar memercayai bahwa Damhuri bisa melakukan aksi semacam itu.

Damhuri yang turut tercengang atas kejituan bidikannya sendiri, kemudian melayangkan senyuman puas kepada orang-orang. Ia tampak berbangga diri karena menjadi pemenang dalam perburuan itu. Ia merasa berhasil menunjukkan keberaniannya sebagai seorang lelaki kepada para warga yang selama ini memandangnya sebelah mata.

“Ya, aku hebat!” gumam Damhuri, kemudian menghela-embuskan napas untuk menenangkan debaran jantungnya.

Tetapi kemudian, tatapan kekaguman pada wajah orang-orang, malah berubah menjadi tawa yang lepas.

Damhuri pun menjadi bingung. “Kenapa? Kok, ketawa? Apa yang lucu?” tanyanya, penasaran, sambil menoleh kepada para lelaki pemburu yang terus saja tergelak, juga kepada para perempuan yang tengah mandi, yang tampak memalingkan wajah mereka yang tersipu-sipu, termasuk gadis pujaan hatinya.

Wiro, sang kepala dusun yang tampak sebagai komandan pemburu, kemudian berdeham keras, lalu melirik dan menunjuk ke sisi bawah tubuh Damhuri.

Perlahan-lahan, Damhuri pun menoleh pada tubuhnya sendiri, lantas mendapati kalau sarungnya telah tergulung sampai di atas pangkal pahanya. Seketika, dengan sikap malu-malu, ia pun memalangkan telapak tangannya di pusat kejantanannya, kemudian mengulur kilasan sarungnya sampai ke sisi bawah lututnya.

Detik demi detik, tawa orang-orang pun mereda. Mereka lantas mengerumuni seekor babi yang sekarat.

Akhirnya, kini, mereka harus menerima kenyataan bahwa Damhuri adalah lelaki pemberani yang ternyata memiliki pusat raga yang tampak perkasa, seperti lelaki sejati pada umumnya.

 

Persimpangan

Duka kehilangan belum terhapus kemarin
Lalu mata menyaksikan kehilangan yang baru
Sebuah kepulangan menuju penantian lebih dahulu
 
Yang tinggal, menyambut di persimpangan
Berhimpun bersama sebelum berpulang juga
Menanggalkan kesementaraan menuju keabadian
 
Entah untuk apa air mata itu sesungguhnya
Sukacita kedatangan, atau dukacita kepulangan
Karena setiap manusia adalah kefanaan yang baka