“Samin,
cita-citamu apa?” tanya ibu guru, sewaktu aku masih duduk di kelas I SD.
Waktu
itu, aku bingung harus jawab apa. Apalagi, aku yang lebih dahulu ditanya. Tak
ada cita-cita teman sekelasku yang bisa kutiru. Tapi sepengetahuanku, cita-cita
adalah pekerjaan. Maka teringatlah olehku sosok ayah yang bekerja sebagai
petani. Ia mengurus sepetak sawah setiap hari.
“Aku
ingin jadi petani Bu!” pungkasku.
Sontak,
seisi ruang kelas menertawakanku. Mereka seakan menganggap jawabanku adalah
lelucon. Padahal sungguh, aku ingin jadi petani!
Berselang
beberapa saat, teman sekelasku pun ditanyai satu persatu. Cita-cita mereka
beragam. Ada yang ingin jadi dokter, polisi, tentara, atau guru. Dan akhirnya,
hanya aku yang bercita-cita jadi petani.
Setelah
kejadian itu, julukan petani menjadi olok-olokan untukku. Kala masih
kanak-kanak, aku tentu gusar dengan keadaan itu. Menangis dan marah menjadi
senjata ampuhku untuk membela diri. Tapi beranjak usia remaja, pemuda, dewasa,
sampai menjadi orang tua seperti sekarang, aku tak mempersoalkannya, walaupun
masih ada yang mempermasalahkannya.
Entah
kanapa masih banyak orang menganggap petani adalah pekerjaan murahan. Kupikir
sebaliknya, petani adalah pekerjaan yang mulia dan memberi banyak manfaat bagi
sesama. Karena petanilah, orang kota yang gengsian dan hedonis, bisa makan.
Presiden dan para politisi yang mengobrol tentang pertanian tanpa aksi nyata,
juga tak akan kuat berpotek-potek tanpa pangan dari petani. Cara pikir inilah
yang ditegaskan ayahku dahulu.
Masyarakat
di kampungku sendiri, masih menganggap petani adalah pekerjaan yang harus
dihindari. Anak-anak disekolahkan agar kelak menjadi pegawai kantoran, jangan
petani. Kala aku memilih fakultas pertanian sebagai bidang keilmuan yang kugeluti
di kampus, banyak cibiran menerpaku. Sampai selepas aku sarjana, mereka menganggap
pendidikanku gagal, sebab aku hanya sarjana pertanian, dan kembali jadi petani,
seperti orang tuaku.
Tak
masalah bagiku dianggap sarjana gagal. Kupikir, keberhasilan pendidikan
bukanlah tentang pekerjaan apa yang akan kita geluti, tapi bagaimana kita
melaksanakan sebuah pekerjaan. Pendidikan seseorang tercermin pada cara
kerjanya yang penuh tanggung jawab, bukan pada tampakannya. Dan pastinya, aku
akan bertanggung jawab sebagai petani. Aku sunguh-sungguh.
Untuk
mengamalkan ilmuku, aku juga dengan senang hati mendidik para petani di desaku.
Banyak di antara mereka yang kurang paham tentang teknik penggunaan pupuk dan
racun. Sedangkan pegawai penyuluh dari pemerintah, tak bisa diandalkan. Selain
itu, aku juga mengajari mereka tentang ternik pengolahan dan penjualan hasil
panen, agar mereka tak dijebak para pedagang nakal yang ingin mengeruk
keuntungan secara berlebihan. Kurasa, dengan begitu, ilmuku tak sia-sia.
Sampai
kini, aku tak pernah merasa menyesal menjadi petani. Malah, semakin kusadari,
pekerjaan ini begitu menenangkan. Aku dapat mengatur waktu kerjaku sesuai
kemampuan. Tak seperti pekerja kantoran yang terikat waktu: pergi pagi, pulang
sore. Aku jadi memiliki banyak waktu untuk memerhatikan keluargaku, terutama
mendidik anakku, Raja. Dia adalah anak semata wayangku bersama seorang bunga
desa yang kupersunting enam tahun lalu, Sarminah. Kupikir, orang terdidik harus
mendidik, paling tidak mendidik keluarganya.
Sepulang
dari sawah, kulepas penat dengan berleha-leha di beranda rumah, sembari
menonton berita di televisi yang tak henti-hentinya menyiarkan laku korupsi
orang-orang yang katanya terdidik. Hanya itu yang mendingan ditonton. Siaran
lain hanya menyiarkan sinetron yang semakin tak mendidik.
Di
samping, ada istriku yang tengah melanjutkan jahitan baju pesanan tetangga.
“Pak,
tahun ini Raja akan masuk sekolah. Butuh biaya Pak. Kita tak boleh berpikir
pendek. Mungkin sekarang biaya sekolah masih ringan. Tapi pikirkan belasan
tahun ke depan Pak, saat Raja sudah kuliah di kota, kan biayanya besar. Kalau
dengan penghasilan tak menentu dari sawah, aku khawatir kita kewalahan Pak,”
kelur Sarminah, istriku.
“Ibu ingin aku bagaimana? Sejak kita sepakat
untuk menikah dahulu, kan sudah kubilang kalau aku bukan siapa-siapa. Ibu tahu
sendiri. Orang di kampung malah menjulukiku sarjana gagal. Toh, ibu menerima
lamaranku.” Aku mencoba meledeknya agar pembicaraan tak berujung pada
perdebatan. “Tak usah khawatir. Meski keadaan kita begini, kita masih hidup
berkecukupan. Selama kita bekerja secara sungguh-sungguh, pasti rezeki kita
terjamin Bu,” balasku.
“Karena
itulah. Bukankah sebaiknya Bapak mencari pekerjaan sampingan yang
penghasilannya lebih menjamin. Bapak kan punya ijazah sarjana. Bisa jadi pegawai
penyuluh pertanian, guru, pekerja kantoran, pegawai swasta, atau kepala desa.
Terserahlah. Nanti, sawah kan masih bisa diurus di sela-sela waktu. Dengan begitu, keluarga kita
akan terpandang di mata masyarakat desa Pak,” tangkisnya.
“Ibu
ingin aku jadi pegawai negeri yang makan gaji buta? Jadi pejabat yang korupsi? Ibu
ingin aku jadi kaya raya, lalu tergoda untuk menikah lagi? Bukankah sudah cukup
aku jadi kepala rumah tangga yang baik dan bertanggung jawab? Menjadi suami
yang mengimami Ibu. Menjadi ayah yang mendidik Raja, dan semuanya,” tuturku,
lalu berpaling menatap dalam-dalam matanya.
Istriku
hanya terdiam. Seperti mencoba mendalami makna jawabanku.
“Bu,
aku tak ingin Raja jadi anak yang tidak berguna karena tak terurus. Lihatlah
anak-anak yang tak dididik baik, orang tuanya terpandang, tapi dihinakan
sendiri oleh anaknya. Aku tak ingin Raja begitu Bu,” tambahku, berharap ia
sepakat.
Kurasa,
ia telah paham tentang cara pikir dan jalan hidupku. Tapi ia segera berpaling
dariku, menaruh jahitannya, dan bergegas pergi. Sepertinya ia butuh waktu untuk
menerima pandanganku secara lapang dada.
Kutatap
lagi anakku yang tengah belajar mengenakan seragam sekolahnya yang baru dibeli
kemarin. Sudah sedari tadi ia mengenakan seragam itu, lengkap dengan topi,
dasi, tas, dan sepatu. Sesekali, ia menghadap ke cermin dan mengagumi sendiri
penampilannya.
Dengan
gagahnya, ia menghampiriku.
“Ayah,
aku sudah terlihat gagah kan?” tanyanya, sambil berpose bak model.
“Iya,
anakku memang gagah, pintar, dan baik,” balasku sambil tersenyum bangga
padanya.
Timbullah
inginku untuk menerawang bayangan masa depannya.
“Kalau
sudah besar nanti, Raja ingin jadi apa?” tanyaku.
“Aku
ingin jadi bos Ayah. Bisa memerintah orang-orang dan punya banyak uang. Atau
seperti yang di televisi ayah, jadi hakim, polisi, atau pejabat. Yang penting
berdasi, punya mobil, dan pakaiannya bagus-bagus. Kan keren Ayah. Atau bisa
juga jadi artis ngetop, agar nanti banyak yang minta tanda tangan padaku Ayah,”
tuturnya.
Aku
serius mendengarnya. Berusaha mengesankan bahwa jawabannya tak ada masalah. Ia
ternyata sudah tahu banyak tentang pekerjaan berkelas, sesuai ukuran layar kaca
televisi.
“Atau,
jadi koruptor,” tuturnya, setelah sedari tadi terlihat menerawang pikirannya
sendiri. “Ayahnya temanku di sekolah (baca: taman kanak-kanak), yang punya
mobil dan sering masuk TV, katanya koruptor. Kalau begitu, kan keren Ayah. Aku
bisa diantar pake mobil ke sekolah. Ayah pasti banggakan kalau aku bisa jadi
koruptor?"
Aku
tersentak dengan jawabannya. Memiriskan. “Asalkan pekerjaanmu bermanfaat dan
tidak merugikan bagi orang lain, Ayah bangga Nak. Yang penting jangan jadi
koruptor ya. Itu tidak baik Nak.”
“Lah,
kenapa tidak baik Ayah?” tanyanya segera. “Hidup koruptor kan enak.”
Aku
tak ingin menjelaskannya lebih detail. Bisa jadi ia akan mengejek dan
bertengkar dengan temannya jika aku menguraikannya panjang lebar. Suatu saat ia
akan paham.
“Kalau
jadi petani seperti Ayah, kamu tak mau? Kan, enak, bisa main-main di sawah,”
balasku, mencoba mengalihkan perhatiannya.
“Tidak
ah. Waktu ditanya ibu guru di kelas tentang cita-cita, aku bilang ingin jadi
seperti ayah, petani. Tapi semua teman-teman sekelas, malah menertawakanku. Katanya,
petani kerjanya susah Ayah. Terus dapat uangnya juga sedikit,” jawabnya, penuh
kepolosan.
Pandangan
Raja membuatku bingung sendiri. Entah bagaimana menyanggah dan membuatnya
sepaham denganku. Sepertinya, tak mungkin sekarang. Aku memilih mendiamkannya.
Sepertinya
memang benar kalau cita-cita tak bisa dipaksakan. Dunia memang telah banyak
berubah, termasuk juga cara setiap orang memandang dunia. Aku hanya berharap,
ia paham tentang tujuan hidup, tentang kebahagiaan tak melekat pada kenyamanan
dan kekayaan, tetapi pada kesabaran dan kesyukuran. Entah kelak dia akan jadi
apa. Kalau pun ia tak jadi petani, aku berharap nilai-nilai seorang petani
tetap menjadi prinsip hidupnya, sebagaimana pesan ayahku, kakeknya sendiri.
Nak, kelak ketika kau dewasa dan
menjadi orang yang benar-benar terdidik, kau akan menyadari kalau petani adalah
pekerjaan yang mulia.
Aku
menoleh ke belakang. Ternyata istriku tengah melanjutkan jahitannya. Dia pun
memandang ke arahku, sambil tersenyum. Entah, ia sepakat denganku, atau Raja,
aku tak tahu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar