Sabtu, 30 November 2019

Saluran Ego

Midah mencintai Barli lebih dari siapa pun. Apalagi, Barli adalah anak semata wayang untuk dirinya yang telah menjanda. Sebab itulah, ia sangat memanjakan buah hatinya itu. Segala urusan rumah tangga ia tunaikan demi menyenangkan hatinya. Segala urusan mencari nafkah ia kerjakan demi memenuhi keinginannya.
 
Pagi ini, sebagaimana pagi-pagi sebelumnya, Midah kembali mempersiapkan hidangan untuk Barli sebelum berangkat ke pasar untuk menjual sayur-mayur dari hasil budi dayanya sendiri. Ia jelas tahu, sang anak yang baru saja duduk di bangku sekolah menengah pertama itu, sungguh tak bisa diandalkan dalam soal memasak.

Sebelum matahari meninggi dan setelah urusan rumah selesai, Midah lantas mempersiapkan diri untuk bertemu dengan para pemberi. Apalagi, hari Minggu ini adalah hari pasar. Para pembeli telah memadati kawasan pasar di waktu-waktu pagi. Dan tentu saja, ia tak ingin melewatkan peluang untuk memperoleh keuntungan yang lebih daripada hari-hari biasa.

Maka dengan sikap yang buru-buru, Midah pun beranjak meninggalkan rumah ketika Barli masih bermalas-malasan seperti biasa. Barli hanya duduk di teras depan rumah, sambil memerhatikan layar telepon genggamnya. Ia asyik berselancar di media sosial sambil membungkam telingannya dengan headset kualitas terbaik yang dibelikan sang ibu dua hari yang lalu.

Namun setelah mengunci pagar dan hendak melajukan sepeda motornya, Midah pun terpikir untuk menyampaikan pesan pengingat kepada sang anak yang sering lalai. Ia pun berseru.

Tetapi Barli hanya tertunduk menatap layar telepon genggamnya sembari menggoyang-goyangkan kepala seiring lagu favoritnya melalui pelangkat jemala. Ia tak mendengar suara Ibunya.

Midah kembali mengulang seruannya dengan nada yang lebih tinggi. 

Sayup-sayup, Barli pun mendengar sapaan sang ibu. Ia lantas menurunkan volume suara yang menyesaki pendengarannya. “Ada apa?” tanya Barli kemudian, dengan perasaan dongkol, seolah-olah kesenangannya terganggu.

Midah lantas menyampaikan pesan yang telah ia sampaikan beberapa kali sejak seminggu yang lalu, sejak maling memasuki pekarangan rumahnya dan membawa pergi sekarung sayur-mayur, “Kalau kau keluar rumah, jangan lupa mengunci pagar,” katanya, kemudian menimpali, “Jangan lupa juga untuk memungut jemuran jika tiba-tiba hujan. Oh, ya, jangan…”

Dengan tetap menatap sang ibu seolah-olah memerhatikan, Barli lekas menaikkan kembali volume suara telepon genggamnya, sampai ia tak lagi mendengar pesan-pesan selanjutnya dari sang ibu. Pasalnya, ia merasa bosan mendengar pesan yang berulang, dan ia merasa sudah terlalu dewasa untuk selalu diperingati. 

Setelah sang ibu benar-benar pergi, perhatian Barli pun kembali terfokus pada layar telepon genggamnya. Ia larut menyaksikan video-video musik grup band favorinnya pada situs berbagi video, dan ia sangat menikmatinya. Setelah bosan, ia pun beralih pada nuansa lain dengan memainkan audio lagu-lagu favoritnya, sembari memerhatikan kabar dari kawan-kawannya di dunia maya.

Setelah lebih dari dua jam duduk-berbaring dan bercengkerama dengan telepon genggamnya, Barli pun merasa perlu menyegarkan penglihatan. Ia lantas memandang ke arah depan, hingga matanya tertuju pada seseorang yang tak ia kenal di luar pagar rumahnya. Lelaki berpenampilan kumal itu tampak melambaikan tangan dan berkuap-kuap, seperti hendak bertamu.

Namun Barli tak peduli. Ia segera saja menunduk-memerhatikan layar telepon genggamnya, seakan-akan tak tahu atas kehadiran orang asing itu. Ia jelas tak ingin seseorang bertamu dan mengganggu ketenangannya kali ini. Apalagi ia menaksir kalau seseorang di luar pagar itu hanyalah seorang peminta-minta sumbangan yang hendak mencuri uang belanjanya dengan aksi tipu-tipu.

Setelah beberapa menit berlalu, Barli melirik lagi ke arah pagar. Orang asing itu ternyata masih saja di sana. Barli pun kembali menetap layar dengan suara musik yang terus membungkam telinganya.

Sesaat berselang, ia kembali melirik ke arah pagar, hingga ia pun terkejut dan terheran setelah menyaksikan ada sembilan orang yang kini berkuap-kuap dan melambaikan tangan ke arahnya.

Sontak saja, ia menurunkan volume suara musik yang menutupi pendengarannya. Dan seketika, ia mendengar teriakan dari orang-orang itu: “Kebakaran…! Kebakaran…!

Perlahan-lahan, asap pun muncul dari arah belakangnya sendiri, melalui celah-celah ventilasi di dinding.


Kumis

Untuk sesuatu yang tertahan sejak lama, Roman ingin menyelesaikannya malam ini juga. Setelah bertahun-tahun menjalani masa perkenalan, ia merasa sudah waktunya untuk melangkah ke jenjang pernikahan, bersama Rima, pujaan hatinya. Ia merasa kalau gadis itu adalah seseorang yang tepat untuk menjadi pendamping hidupnya, dan ia pasti akan bahagia.
 
Sejak pertama kali memandang Rima, Roman memang merasa telah menemukan perempuan yang ia idam-idamkan. Seorang yang serupa dengan ibunya sendiri. Tidak hanya serupa pada perihal rupa, tetapi juga perihal watak. Karena itu, Roman yakin kalau kelak, sang pujaan akan mendampinginya dengan sepenuh hati, sebagaimana sang ibu mendampingi ayahnya.

Roman memang sangat mengagumi ibunya yang sabar mencintai ayahnya yang pemarah. Ia menyaksikan sendiri, di usai pernikahan mereka yang lebih dari 25 tahun, sang ibu selalu sabar mencintai sang ayah, hingga tali pernikahan mereka tetap terjaga sampai saat ini. Atas gambaran itulah, ia pun mendambakan seorang pendamping hidup yang sempurna seperti ibunya.

Tak ingin kehilangan kesempatan, Roman pun tak ingin menunda waktu. Malam ini juga, ia bertekad untuk mengikat hati Rima yang ia yakini akan mencintainya dengan sempurna. Tentu saja, ia pun akan mencintai sang pujaan dengan sungguh-sungguh ketika kelak mereka menjadi suami-istri, dan ia tidak akan berperilaku temperamental seperti ayahnya terhadap ibunya.

Maka, di sebuah sudut ruang restoran yang lengang saat ini, Roman pun memulai kalimat yang akan berujung pada inti persoalan hatinya, “Aku kira kita sudah terlalu lama berbasa-basi dalam hubungan kita,” katanya, dengan mata yang seketika segan memandang sang pujaan yang duduk tepat di hadapannya.

“Kau tak menikmati hubungan pertemanan kita?” selidik Rima dengan raut wajah yang biasa, seolah Roman sedang merancang candaan baru.

Roman menggeleng-geleng dengan raut kalap. “Bukan begitu maksudku,” katanya, kemudian menghela-embuskan napas yang panjang. “Aku hanya berpikir, mungkin sudah waktunya kita memulai hubungan yang serius.”

“Serius? Maksudmu?” sergah Rima dengan raut wajah yang penuh tanya.

Roman lantas mengeluarkan sebuah kotak kecil berwarna merah dari dalam sakunya. “Aku ingin kita menikah,” katanya, lantas menyibak dan menyodorkan benda tersebut ke hadapan sang pujaan. “Aku mohon, terimalah!”

Rima lantas terdiam dengan pandangan yang kosong. Ia lalu menghempaskan diri ke sandaran kursi.

“Aku mohon!” pinta Roman lagi.

Perlahan, Rima menggeleng pelan. “Aku rasa, terlalu buru-buru kau mengucapkan itu. Aku butuh waktu untuk mengenalmu lebih dalam.”

“Bukankah kita telah berteman sejak lama? Bukankah waktu sepanjang itu sudah cukup untuk memberimu keyakinan bahwa akulah lelaki yang terbaik bagimu?” tanya Roman, terkesan mendesak untuk sebuah persetujuan.

“Aku masih butuh waktu. Aku butuh waktu untuk menerima seseorang lelaki sebagai pendamping hidupku,” balas Rima dengan mata berkaca-kaca.

Roman pun terdiam, kemudian mengangguk pelan, seolah-olah menerima jawaban Rima saat ini. Dengan sedikit kecewa, ia lantas mengemas kembali sebuah cincin yang sempat ia tawarkan, kemudian kembali bertanya, “Apa yang harus kulakukan agar kau yakin pada kesungguhanku?”

Rima mendengus. “Kau tak harus melakukan apa-apa. Aku hanya butuh waktu.”

“Tapi, bolehkah aku mengucapkan permintaan itu di hari-hari esok?” tanya Roman dengan kepasrahan.

Rima mendengus. Ia lantas mengangguk pelan, dan lekas menimpali dengan raut serius, “Asal kau melakukannya tanpa kumis panjangmu itu. Kau tahu sendiri, aku tak suka lelaki berkumis.”

Roman pun mengangguk-angguk setuju. Ia paham tentang perasaan Rima. Ia tahu bahwa pujaan hatinya itu hidup tanpa seorang ayah dan ibu. Ia tahu kalau ibu sang pujaan meninggal setelah ditikam oleh ayahnya, seorang preman yang berkumis.

Hening sejenak.

Rima lantas berucap dengan wajah sendu, “Maafkan aku.”

Roman tersenyum singkat. Ia memahami kalau atas perasaannya, Rima memang membutuhkan waktu untuk berdamai dengan kenangan buruknya sendiri.

Sesaat kemudian, mereka pun kembali menyesap sisa-sisa minuman, meski tanpa banyak bercakap, seolah-olah mereka terjebak dalam nuasa hubungan yang menggantung dan penuh teka-teki.

Perkenalan

Aku memahamimu di ujung napas
Bersama cerita kita yang bertahan
Melawan candu-candu masa muda
Tentang kesenangan untuk menetap
Karena begitulah mustinya perubahan
Tak akan menggoyahkan cinta yang sederhana
Seperti pula cintaku yang selamanya
Sejak kutatap wajahmu saat ini,
“Bolehkah aku mengenalmu?”

Batas Akhir

Jumlah angka tak terhingga
Untuk kali-kali setiap keinginan
Yang menjalar-menerobos batas janji
Perdagangan, permusyawaratan, dan pernikahan
Bagi para pengejar bayang-bayang dunia
Tiada batas waktu untuk berhenti
Sampai mati membatasi segalanya

Abai

Nasib baik telah sampai pada Ruki. Ia telah menjadi seorang pengusaha kuliner yang sukses setelah sembilan tahun hidup dalam ketidakjelasan selepas kuliah. Tidak saja kebutuhan pokoknya yang terpenuhi, tetapi juga keinginan-keinginan yang dahulu ia gantungkan sebagai cita-cita. Kini, ia telah memiliki dua buah rumah dan sepasang mobil mewah.
 
Meski begitu, Ruki bukanlah tipe orang kaya baru yang lupa daratan. Ia sadar diri berasal dari keluarga yang pas-pasan, dengan ayah seorang tukang becak, dan ia tahu betapa menyedihkannya hidup dalam kekurangan. Karena itulah, ia rutin berderma untuk kepentingan umum, semisal pembangunan tempat ibadah, atau menyantuni orang-orang miskin. 

Tapi nasib sebaliknya menimpa Delan, tetangga samping rumahnya, seorang teman baiknya sejak kecil. Delan yang terlahir dari keluarga yang kaya raya, harus menerima kenyataan bahwa roda nasib terus berputar, dan kini ia berada tepat di sisi bawah. Bisnis ritel peninggalan orang tuanya, bangkrut, dan ia tak punya perkerjaan apa-apa.

Kini, atas kondisi ekonominya, Delan pun berubah sikap. Ia tak lagi berderma untuk orang lain. Ia lebih mengutamakan harta bendanya untuk memenuhi kebutuhan pokoknya sendiri. Namun itu bukan berarti ia seseorang yang kikir. Dahulu, saat usaha peninggalan ayahnya masih berjaya, ia suka menyantuni orang lain, termasuk Ruki yang masih hidup pas-pasan.

Dan sore ini, sebagai dua orang sahabat baik, Ruki dan Delan pun mengobrol di balai-balai depan rumah mereka, di sela-sela kesibukan Ruki yang tak kenal waktu. Mereka bertukar pendapat soal dunia bisnis, meski Delan lebih tampak seperti pelajar bagi Ruki yang mentor.

Beberapa waktu kemudian, di ujung obrolan, Ruki pun menuturkan kiat berbisnis kepada Delan, “Kalau mau bisnis sukses, kita memang harus banyak-banyak berderma.”

Delan yang merasa rendah diri di hadapan sahabatnya sendiri, hanya menanggapi dengan bahasa tubuh.

“Aku kira-kira, nasib baik yang datang kepadaku saat ini, terjadi karena aku rutin menyumbangkan sebagian penghasilanku untuk pembangunan fasilitas umum atau menyantuni orang-orang miskin,” lanjut Ruki. 

Delan bergeming saja.

Ruki lalu menoleh pada sahabatnya, dan berkata, “Kau tahu, aku turut berdonasi untuk korban-korban bencana alam di negeri ini. Aku bahkan turut menyumbang untuk saudara-saudara kita di negara lain.”

Delan hanya mendengus dan mengangguk-angguk.

“Kukira, doa-doa merekalah yang membuat bisnisku sukses,” kata Ruki lagi. “Aku sarankan, kau sebaiknya melakukan hal semacam itu agar nasibmu segera membaik.”

Sedikit kikuk, Delan pun melirik sahabatnya sejenak, kemudian berucap dengan raut lesu, “Tapi bagaimana mau menyumbang. Kau tahu sendiri, aku benar-benar bangkrut. Untuk kebutuhan pokok saja, kadang-kadang, aku harus meminjam kepada saudara-saudaraku.”

Ruki tertawa pendek. “Karena itulah, di posisimu yang seperti sekarang, kau seharusnya banyak-bayak menyumbang. Aku yakin, Tuhan akan segera mengembalikannya dalam jumlah yang berlipat ganda.”

Delan tersenyum kecut. “Untuk sekarang, aku benar tak punya apa-apa. Kalau harus menyumbang untuk orang lain, aku makan apa?”

Ruki sontak tergelak. “Ah, kau ini. Jangan selalu mengeluh! Banyak-banyaklah bersyukur!”

Delan mendengus saja.

Sesaat kemudian, obrolan di antara mereka pun berakhir.

Waktu bergulir.

Malam pun tiba.

Ketika subuh hampir menjelang, tiba-tiba, terdengarlah teriakan minta tolong dari dalam rumah Ruki.
Warga sekitar pun terbangun dan bergegas memberikan pertolongan.

Tak berselang lama, warga pun tiba di sekitar rumah Ruki. Namun terlambat. Menurut keterangan sang pembantu, si maling telah kabur ke sisi samping rumah, lewat rumah Delan, sambil memboyong setengah karung beras.

Kesendirian

Betapa sendu hariku
Orang-orang berlalu tanpa bertukar nama
Meninggalkan kisah yang kubawa entah ke mana
Tentang basa-basi atau pelukan yang tak berbalas
Tentang harapan yang tak pernah diharapkan

Sungguh kelabu hatiku
Hitam dan putih berpadu di ruang hampa
Menggantung cinta yang tak bertuan atau luka-luka setelahnya
Untuk kisah yang belum atau tidak akan pernah ada
Untuk kejadian yang masih berupa rencana

Dingin nian sendiriku
Tameng dan topeng gagal menghalau waktu
Berkerut kulit dan wajah yang pasi
Menanti sosok yang menghidupkan duniaku
Menanti dirimu mengajariku tentang rasa

Jumat, 29 November 2019

Niat Terlambat

Sejak kemarin, suasana rumah menghening. Bisran, seorang duda, sudah kehabisan cara untuk menenangkan hati seorang taman hidupnya, Baim, usia lima tahun, anak tunggalnya, yang merajuk karena tak kunjung dibelikan mobil-mobilan seperti yang ia pinta. Dan sepertinya, anak itu akan bermuram durja selama mainan yang ia maksud tak sampai di tangannya.
 
Sebenarnya, sudah jauh-jauh hari Bisran hendak mewujudkan permintaan sang anak. Ia pun telah menyisikan sedikit demi sedikit upahnya sebagai buruh bangunan untuk melakukan hal itu. Tetapi kemarin, sebagai hari perwujudan yang telah ia janjikan, satu mainan itu belum juga terbeli, dan itulah yang membuat sang anak benar-benar murka.

Namun Bisran tak benar-benar melanggar janji. Sore kemarin, sepulang kerja, ia sudah bertekad untuk singgah di toko mainan dan membeli sebuah mainan yang sedari dulu diinginkan sang anak. Tapi kenyataan tak terduga terjadi. Setelah hendak membayar tagihan untuk mainan itu, uang di dompetnya ternyata kurang Rp. 50.000 dari total harga Rp. 150.000.

Seketika juga, Bisran sadar telah salah memberikan uang kepada seorang ibu tua, seorang pengemis, yang mengadangnya sebelum sampai di toko. Ia sadar telah salah mengambil lembaran uang Rp. 50.000 dari dompetnya ketika ia hanya memaksudkan uang lembaran Rp. 10.000. Akhirnya, ia pun kehilangan separuh dari upah hariannya sebagai buruh.

Sesungguhnya, Bisran tidaklah terlalu fakir untuk mewujudkan permintaan sang anak. Hari kemarin pun, ia bisa saja melakukan itu. Namun sebagai buruh kasar, ia merasa terlalu berlebihan jika uang hasil kerjanya diutamankan untuk membeli mainan anak-anak. Baginya, uang lebih perlu ditabung untuk kebutuhan hidup, termasuk rokok yang telah ia anggap sebagai kebutuhan pokok.

Tapi hari ini, ia ingin berdamai dengan sang anak. Ia akan mengesampingkan keegoisannya sebagai orang dewasa yang merasa lebih butuh segala hal dan mengabaikan kesenangan sang anak, termasuk menekan konsumsi rokoknya. Karena itu, sepulang bekerja, ia pun meminta upah harian yang semestinya diberikan setiap minggu, dan ia menunda untuk membeli rokok.

Sesaat kemudian, ia pun singgah di toko mainan yang ia lalui sepulang kerja. Dan ketika baru saja turun dari sepeda motor, matanya tertuju pada seorang pengemis yang kemarin telah menerima uang yang ia sumbangkan secara tidak sengaja. Pengemis itu tampak duduk di teras toko, tepat di samping sang anak yang sejak seminggu lalu seringkali berdiam diri di sekitar toko.

Dengan pandangan seksama, Bisran pun mengamati gerak-gerik kedua orang itu. Ia merasa perlu mengetahui apa urusan si pengemis dengan anaknya. Ia juga merasa perlu mengetahui, akan diapakan uang santunannya kemarin oleh si pengemis, dan ia merasa berhak untuk mengutuk jika si pengemis ternyata berfoya-foya atas belas kasihnya.

Sejenak berselang, tampaklah si pengemis itu menyodorkan sekantong plastik bercap nama toko mainan di belakang mereka. Perlahan, sang anak lantas menyibak isi kantongan tersebut dengan raut yang penuh kesenangan. Sampai akhirnya, terlihatlah sekardus mainan mobil-mobilan dengan rupa seperti yang kemarin batal Bisran beli. 

Sang anak sontak memeluk si pengemis.

Bisran pun terperangah. Ia sungguh tak menduga si pengemis akan menyantuni anaknya. Dan tentu saja, ia merasa dipecundangi sebagai seorang ayah. 

Namun perlahan-pahan, pikiran kikirnya kembali menyeruak. Ia berpikir kalau kenyataan itu memang hal yang wajar, sebab si pengemis memang semestinya mengembalikan sumbangan berlebih yang ia berikan kemarin.

Setelah si pengemis pergi, Bisran pun menuju ke arah sang anak. Ia berlakon seolah-olah tidak tahu apa yang baru saja terjadi, dan ia berusaha tampil seramah mungkin.

“Nak, hari ini, ayah sudah punya cukup uang untuk membeli mainan yang kau inginkan,” katanya, lemah lembut, sambil berjongkok di depan sang anak.

Sang anak bergeming.

“Kenapa cemberut, Nak? Ayo kita masuk ke dalam toko dan membeli mainan itu!” tawar Bisran.

“Tidak usah!” ketus sang anak. “Aku sudah tak butuh ayah untuk membeli mainan itu! Aku sudah punya!” katanya, lalu berdiri dan beranjak dengan sikap judes, sembari menenteng sekantong plastik berisi mainan yang ia idam-idamkan sejak seminggu yang lalu.

Seketika, Bisran merasa tak berarti sebagai seorang ayah.

Penemuan Terbesar

Lama sudah aku mencari
Untuk duniaku yang hilang sejak lahir
Sampai aku menemukannya di balik matamu
Sempurna di bawah alismu yang teduh

Aku ingin selamanya
Terus menatap bunga-bunga yang kau tanam
Sampai kau tak sanggup lagi berkedip
Terlelap pulas di dalam pelukanku

Ragu

Di hadapan gelap
Harapan bersinar di sisi belakang
Seperti janji segala kemungkinan
Untuk iman yang selalu dipertanyakan
“Apakah aku akan berhasil?”

Sekian kali sudah
Lipatan langkah kembali menjadi awalan
Setitik asa membungkam tangisan
Hingga doa berubah menjadi sorakan
“Di manakah titik terakhir?”

Akhirnya diam
Membisu di hulu takdir
Di ujung jalan yang tak sampai
Jawaban tiba pada pertanyaan
“Apakah aku salah memulai?”