Rabu, 15 Mei 2019

Selembar Surat di dalam Vas Bunga

Dia masih saja merenung di teras depan rumahnya seorang diri. Matanya kembali terpaku pada jejeran bunga yang tak lagi ia rawat semanja dahulu, atau pada api yang melahap dadaunan dan sesampahan. Sedang pada saat yang sama, pikirannya malah tertuju pada beragam momentum di masa lalu, di kala ia masih bersama seseorang yang ia cintai dan seseorang yang mencintainya.
 
Takdir memang telah membawa ia pada kenyataan yang mengenaskan. Seminggu yang lalu, seorang lelaki yang hadir untuk menemani hidupnya, juga seseorang lelaki yang senantiasa mengisi relung hatinya, telah beralih ke dunia yang lain. Sajak saat itu, semangat hidupnya pun menghilang, meski orang-orang terdekat telah berusaha menghiburnya silih berganti.

Namun sesungguhnya, di luar dari terkaan orang-orang, kesedihan hatinya yang mendalam bukanlah karena ia kehilangan orang terkasih, tetapi karena ia merasa bersalah kepada mendiang suaminya. Selama hidup bersama sang suami, ia merasa tak bisa dan tak pernah meluruhkan cintanya setulus hati, dan ia mempersalahkan dirinya atas kenyataan itu.

Semua berawal dari tiga tahun silam, ketika keinginan yang ia doakan berbeda dari kenyataan yang terjadi. Kala itu, di tengah waktu yang terus bergulir, ia tak kunjung juga mendapatkan penegasan cinta dari seorang lelaki yang ia harapkan. Sampai akhirnya, seorang lelaki yang kelak menjadi suaminya berhasil merenggut harapannya yang menggantung. 

Sejak saat itu, setelah menikah, ia merasa berselingkuh dari sang suami. Ia merasa telah mengkhianati sang suami yang tampak tulus menyayanginya hari demi hari. Meski ia berhasil menyembunyikan penyelewengan hatinya, namun ia tetap tak bisa lepas dari dosa-dosa hatinya yang tak terucap, dan ia merasa tersandera karena itu.

Kini, setelah kenyataan membuatnya harus menyimpan rahasia hatinya sendiri, ia pun semakin terpuruk. Sembari merenungi pengkhianatan hatinya sepanjang waktu, ia pun kembali mengusap-usap karangan bunga bervas keramik yang merupakan pemberian sang suami kala mereka mengikrarkan cinta untuk pertama kalinya. Sebuah  benda yang telah menjadi memorial pernikahan mereka selama ini.

Di tengah perasan yang bergelora, ia lantas mencabut serangkaian bunga dari dalam vas. Ia lalu membalik vas dan menarik selembaran kertas dari dalamnya. Dengan rasa yang berkecamuk, ia pun kembali membaca surat dari sang lelaki pujaan hatinya di masa lalu. Sebuah surat yang datang dari pulau seberang, sehari setelah hari pernikahannya.

Seketika, perasaannya kembali pilu mengeja kata-kata pengakuan dari sang pujaan yang belakangan hari ia tahu punya perasaan yang sama terhadap dirinya. Seperti kemarin-kemarin, hatinya pun kembali terenyuh saat membaca pesan inti dari serangkaian paragraf yang tertulis:


Aku tahu semuanya sudah terlambat. Aku tahu kau akan menikah dengannya. Namun sebelum itu terjadi, aku hanya ingin kau tahu bahwa aku mencintaimu. Setidaknya, kau tahu.

Besok-besok, setelah kau menerima surat ini, aku mohon, kirimkanlah balasan untukku. Katakanlah bentuk perasaanmu kepadaku. Setidaknya, aku tahu.


Tiba-tiba, air matanya berderai lagi untuk sebuah surat yang tak pernah ia balas sampai saat ini.

Perlahan-lahan, renungannya pun kembali ke masa lalu, dan terhenti di satu momentum yang menjadi awal cinta segitiganya. Di saat itu, sang lelaki pujaan yang telah menjadi teman baiknya di awal kuliah, memperkenalkannya dengan seorang lelaki lain yang kelak menjadi suaminya.

Dan lagi-lagi, memorinya kembali mengulang penggalan percakapan yang mengakhiri harapan cintanya terhadap sang pujaan dan memulai kenyataan cintanya terhadap sang suami.

“Apa hubungan kalian…?” tanya seorang lelaki yang kelak menjadi suaminya, tanpa kuasa melugaskan maksud.

Lelaki pujaan hatinya pun menggeleng-gelengkan kepala, kemudian bertutur dengan raut yang penuh keyakinan, “Kami hanya teman biasa. Tidak lebih.”

Sejak saat itu, ia pun berusaha meredam perasaan cintanya terhadap sang lelaki pujaan. Ia terus meyakinkan dirinya sendiri bahwa hubungan mereka tak akan beranjak ke tingkat yang lebih dari hubungan pertemanan. Sampai akhirnya, ia memasrahkan diri untuk menerima pinangan sang suami di saat sang lelaki pujaan berada di pulau seberang untuk melanjutkan studinya, tanpa pernah berbagi kabar.

Dan akhirnya, seminggu yang lalu, terjadilah satu peristiwa yang membuat kenyataan dan harapannya atas cinta, lenyap secara bersamaan: sang suami dan sang lelaki pujaan meninggal di dalam sebuah kamar hotel dengan luka tikaman di tubuh mereka masing-masing.

Tepat di hari kejadian itu, ia pun mendapati telepon genggamnya telah berpindah tempat. Ia lantas menemukan sebuah pesan yang telah terbuka di layar utama. Sebuah pesan dari nomor kontak yang tak anak pernah ia lupakan:

Kau di mana? Aku di kotamu saat ini. Aku merindukanmu! Boleh kita berjumpa?

Kini, dengan perasaan yang berkecamuk, ia pun melangkah menuju kobaran api yang tengah melahap dedaunan dan sesampahan di depan teras rumahnya. Dengan sekuat hati, ia pun melayangkan sevas rangkaian bunga dari sang suami ke dalam api, hingga akhirnya benda itu lenyap bersama selembar surat cinta dari sang pujaan hatinya.

Buah Hati

“Ini siapa, Ayah?” tanyamu lagi, khas kanak-kanak, saat aku kembali membuka album foto masa silamku.
 
Aku pun merangkulmu, lantas menunjuk wajah perempuan yang tampak berdiri di samping kananku, “Ini Bibimu,” kataku, kemudian menunjuk wajah seorang lelaki yang tampak berdiri di samping kiriku, “Dan ini Pamanmu.”

Kau hanya mengangguk-angguk polos dan memercayai perkataanku begitu saja.

Seketika, aku kembali merasa berdosa telah membohongimu untuk ke sekian kalinya.

Sesaat kemudian, kau pun turun dari sofa, lantas duduk di lantai untuk bermain-main dengan seperangkat boneka.

Kau memang tak tahu apa yang terjadi. Kau tak tahu bahwa kau lahir secara prematur sekitar tiga tahun yang lalu. Kau lahir di hari ketika kedua orang tuamu meninggal dalam sebuah kecelakaan lalu lintas yang tragis. Ayahmu meninggal seketika, sedang Ibumu masih sempat bertahan beberapa jam, hingga kau berhasil menghirup udara dunia.

Kau tentu belum mengetahui kenyataan tentang kedua orang tuamu. Bahkan kau belum memahami tentang hubungan kekerabatan yang membuat seseorang bersedih atas kepergian orang-orang terkasih. Kalaupun kau mengerti, kau tak akan merasa kehilangan sebab kau belum sempat merekam kenangan bersama mereka.

Namun aku menduga bahwa kehidupan yang kau jalani saat ini tak akan membuatmu merasa kekurangan. Sejak kedua orang tuamu meninggal, aku dan istriku hadir sebagai orang tua pengganti bagimu. Sedang sebaliknya, kau pun hadir sebagai anak pengganti bagi kami yang tak kunjung dikaruniai buah hati di enam tahun usia pernikahan.

“Ralika…!” seru istriku, lalu mengangkat dan mengecup dahimu.

Lagi-lagi, aku merasa senang mendengar ia menyebut sepenggal nama yang kuberikan padamu. Sebuah nama yang persis dengan nama Ibumu.

Setelah memanjamu beberapa saat, ia lalu duduk di sampingku dengan raut wajah yang sayu.

“Ada apa?” tanyaku.

Ia lantas mengembuskan napas yang panjang, sambil memandang ke arahmu. “Apakah ia akan tetap bersama kita? Apa kelak ia tak akan membenci kita setelah mengetahui kenyataan yang sesungguhnya?”

Aku pun menatapnya lekat-lekat. “Dia pasti bisa mengerti,” kataku, lalu menggenggam tangannya. “Ia malah patut bersyukur atas kita. Ia patut berterima kasih kepadamu sebagai sosok ibu yang penuh perhatian.”

Ia pun mengangguk-angguk, sembari tersenyum canggung.

Perlahan-lahan, aku pun kembali larut di dalam menungan. Aku kembali terbayang masa-masa bersama ayah dan ibumu sebagai tiga orang teman baik semasa sekolah dan kuliah. Aku kembali terkenang pada seberkas kenangan yang barangkali tak akan kuutarakan sejujur-jujurnya kepadamu, juga kepada ibu angkatmu, istriku.

Bagaimana pun, demi keharmonisan kita, aku tak sepatutnya menuturkan bahwa lima tahun yang lalu, aku menyesal telah melewatkan kesempatan untuk mengungkapkan perasaanku kepada ibumu, sang gadis pujaanku. Aku tak selayaknya mengungkapkan kepada kalian bahwa aku telah menggantungkan perasaanku sendiri, sampai ayahmu meminangnya terlebih dahulu, dan aku tak punya hak untuk memprotes.

Sampai akhirnya, mereka menikah, dan aku kehilangan dua hal yang berarti dalam hidupku: teman baik dan gadis pujaan. Aku lantas mengasingkan diri dan tak ingin merecoki kehidupan mereka yang tampak bahagia. Hingga aku pun memutuskan untuk menikahi seseorang yang kini menjadi istriku demi melepaskan diri dari belenggu harapan atas ibumu.

“Maafkan aku yang berangkali tak akan mempersembahkan buah hati untuk kita,” kata istriku, ibu angkatmu, sembari mengusap-usap perutnya yang telah tiga kali gagal mengandung bayi dengan selamat. 

Aku pun mendesis. “Jangan bilang begitu. Kau tak bersalah atas takdir yang telah digariskan Tuhan.”

“Tapi…”

“Tapi kenapa?”

“Apa kau akan tetap mencintaiku dengan kenyataan yang seperti ini?”

Aku sontak merasa terenyuh. Aku lantas membelai rambutnya yang menjuntai. “Aku akan tetap mencintaimu, apa pun yang terjadi! Kalaupun Tuhan tak menganugerahkan buah hati untuk kita lewat rahimmu, bagiku, dia sudah cukup,” kataku, sambil menuding padamu.

Ia pun tersenyum haru.

Sesaat kemudian, kau lantas menghampiri kami. Dari balik wajahmu yang ceria, aku pun kembali membaca raut wajah teman baikku, juga raut wajah gadis pujaanku, pada masa dahulu, dan aku kembali larut di dalam kekalutanku sendiri.

Yang Telah

Telah kuterbangkan cinta
Melayang di ruang udara
Dari desau napas relung jiwa
Yang dingin dan tak tersentuh

Telah kuhanyutkan rindu
Mengalir di sepanjang sungai
Dari mata air lubuk hati
Yang dalam dan tak tersambut

Telah kukuburkan harapan
Mendekam di selubung tanah
Dari sisi sendiri pelukan raga
Yang hangat dan tak terbalas

Demi Nama

Orang-orang mencari nama
Keluar dari diri mereka sendiri
Kata-kata yang penuh pertimbangan
Terlontar mengguncang nurani

Sekelebat seperti kilat
Mereka terlahir kembali
Dengan nama besar
Tanpa nama baik

Saksi Mata

Setelah sekian lama menunggu waktu, akhirnya, aku memutuskan untuk bertemu denganmu di hari ini, tepat sembilan tahun sejak suamimu meninggal. Sudah hampir sepuluh tahun aku mengamatimu secara diam-diam, dan hari ini, saat kau datang lagi seorang diri di sini, seperti yang kusaksikan beberapa hari belakangan, aku akan menampakkan kehadiranku kepadamu.
 
Entah bagaimana bentuk perasaanmu setelah bertatapan denganku di saat nanti. Barangkali kau akan merasa aneh atas diriku yang asing dan muncul tanpa aba-aba. Namun sebaliknya, aku akan merasa biasa saja, sebab aku merasa telah mengenalmu. Aku mengetahui banyak hal tentang dirimu, bahkan untuk sesuatu yang kau sendiri tidak tahu.

Untuk keputusanku hari ini, juga atas sikapku terhadapmu di masa lalu, aku jadi tak mengerti atas diriku sendiri. Aku merasa bodoh telah menghanyutkan diri ke dalam persoalan hidupmu yang pelik. Aku telah melibatkan diri begitu saja tanpa kepentingan apa-apa pada awalnya, kecuali bahwa aku dilanda kesepian.

Namun bagaimana pun, aku telah terjerembap ke dalam kubangan misteri kehidupanmu, dan aku merasa punya tanggung jawab untuk menyampaikan kesaksianku. Bagaimana pun, aku tak selayaknya terus-menerus menahan perasaanku untuk berterus terang kepadamu atas rahasia yang kusimpan tentang persoalan yang semestinya kau tahu.

Sampai akhirnya, ketika hari telah berada di ujung pagi, kau pun muncul di pangkal jalan setapak. Kau muncul dengan bedak kunyit di wajahmu, juga simpul sarung di kepalamu. Kau muncul sembari menenteng rantang makanan sebagai bekalmu dalam mengurus tanaman jagung dan kacang, hingga lewat tengah hari, sebagaimana biasa.

Seperti tahun-tahun sebelumnya, di hari peringatan kedukaanmu, kau pun kembali turun ke tepi sungai melalui lintasan penyeberangan. Kau lantas berjongkok sembari merenungi almarhum suamimu yang hanyut entah ke mana, tepat sembilan tahun silam. Untuk beberapa saat, kau akhirnya menengadahkan tangan dan berkomat-kamit dengan penuh kekhidmatan.

Berselang kemudian, kau pun kembali menanjak ke lahan tanimu, hingga kau melihat keberadaanku di bawah kolong rumah panggung peristirahatanmu. Detik demi detik pun bergulir, dan kau semakin mendekat padaku dengan raut keheranan, sebagaimana kesan seseorang yang menyaksikan orang asing masuk ke dalam kawasan pribadinya tanpa permisi.

“Bapak siapa?” tanyamu seketika.

Aku pun menyalamimu. “Aku Rahim.”

Dahimu berkerut. Kau seperti mencoba membaca wajahku yang jelas tak kau kenal. “Ada urusan apa di sini?”

Aku berdeham dan tak tahu harus memulai penuturanku dari mana. Tetapi demi meluruhkan segala kerisauan yang kupendam sesegera mungkin, aku pun memutuskan untuk mengarahkan pembicaraan pada inti persoalan, “Aku teman almarhum suami Ibu dari pulau seberang.”

Kau pun sontak tercengang. “Bapak ada urusan apa dengan Almarhum?”

Aku mendengkus dan tersenyum untuk menampakkan kesan bersahabat. “Aku rindu padanya, dan aku tahu kalau ia meninggal di sini, tepat di hari ini.”

“Bagaimana Bapak bisa tahu?” sergahmu dengan raut penuh tanda tanya.

Tiba-tiba, lidahku kelu untuk menuturkan inti rahasiaku terhadapmu. Aku lalu berpaling pada jejeran gedung lembaga pemasyarakatan dari jarak sekitar dua ratus meter. Mataku lantas terpaku pada jerjak ventilasi ruangan yang menjadi celah bagiku meneropong segenap hal tentang kehidupanmu di sini selama hampir sepuluh tahun.

“Apa yang Bapak tahu tentang kematian suamiku?” desakmu lagi, seperti tak sabaran.

Aku pun menelan ludah yang tertahan di tenggorokanku, sembari menguatkan hati untuk bersaksi.

Namun tanpa kuduga, seorang lelaki yang kupastikan telah menjadi suamimu, muncul dan tampak menghampiri kita dengan langkah pincang. 

Akhirnya, aku kembali menelan kata-kata yang nyaris saja kuutarakan.

“Aku tak tahu apa-apa soal itu, Bu,” kataku, berkilah, dengan senyuman terpaksa. “Yang aku tahu dari cerita orang-orang, ia hanyut terseret arus sungai. Bukankah begitu?”

Kau pun mengangguk lemah dengan raut kecewa.

Tanpa menjeda lagi, aku pun memutuskan untuk segera pulang. “Maaf, Bu, aku ada urusan mendadak. Aku harus pulang.”

Kau kembali mengagguk dengan raut yang masih menyiratkan tanda tanya.

Aku lantas bergegas pergi sebelum suamimu sampai pada kita dan menjeratku ke dalam percakapan yang rumit. Aku sudah tak punya nyali untuk bersaksi, apalagi dengan penuh tendensi, sebab sebelum-sebelumnya, kesaksianku yang tanpa bukti, hanya menjadi bumerang untuk diriku sendiri.

Akhirnya, aku mengurungkan niat untuk bercerita bahwa almarhum suamimu meninggal sembilan tahun silam setelah ditikam di tengah pertarungan yang sengit, kemudian jasadnya dihanyutkan ke sungai yang tengah banjir. Aku batal menuturkan bahwa pelakunya adalah seseorang yang selama ini tampak membuatmu bahagia; seseorang yang saat ini menjadi suamimu.

Selasa, 14 Mei 2019

Keributan

Kemarahan menyesaki ruang udara
Dari suara-suara yang tak bersepakat
Doa-doa dilafalkan dengan amarah
Seperti gertakan anak kepada ibunya
Demi nafsu yang membutakan
Atau demi tahta tuan-tuan yang buta

Telinga telah membenci keheningan
Dan mulut terlalu mencintai keributan
Sampai semua mati dan diam

Selasa, 07 Mei 2019

Takluk

Bumi masih berputar dan berkitar
Antara gelap dan terang pada hari yang berganti
Segenap cita membaru di tengah waktu yang menua
Sampai raga tak kuasa membela jiwa yang serakah

Senin, 06 Mei 2019

Harapan Baru

Setelah seorang perempuan berambut poni, gadis harapanku, pergi entah ke mana, aku jadi terpasung dalam kehidupan yang semu. Aku betah hidup di dalam dunia imajinasi dan merasa cukup dengan kehidupan khayali. Aku tak peduli lagi pada segenap kemungkinan untuk kembali menyatakan perasaanku pada yang lain, dan aku merasa cukup begini saja.

Lambat-laun, aku pun kebal dari siksaan sepi. Aku jadi terbiasa menyendiri di kamar sunyiku tanpa berhasrat untuk mencari seorang teman. Aku terus saja berkutat dengan huruf-huruf demi mengukir harapanku yang tinggal kenangan. Sampai akhirnya, aku jatuh hati pada seorang gadis berkacamata yang seketika saja menjadi harapan baruku.

Dan pagi ini, aku kembali melakukan kebiasaan terselubung seperti kemarin-kemarin. Aku kembali menerawang di balik kaca jendela, sembari berharap si gadis berkacamata melintas di depan rumahku. Pasalnya, aku merasa haus fantasi, dan aku perlu melihat penampakan barunya untuk membangkitkan imajinasiku.

Sudah seminggu berlalu sejak pertama kali aku melihatnya. Namun seiring waktu, aku malah semakin berhasrat menatapnya lagi, dan lagi. Kurasa, cuma dengan menatapnya, aku bisa melanjutkan serangkaian cerita gubahanku yang sedang tersesat di tengah alur, tentang aku yang jatuh hati padanya secara diam-diam.

Aku tahu, Koki, bentuk perasaanmu sama dengan bentuk perasaanku. Sebelum seminggu yang lalu, pada hari yang sama dengan hari kedukaanku, kau pun turut berputus asa atas dambaan hatimu, Kiki. Hingga, setiap kali aku menanti kehadiran gadis berkacamata di balik jendela, kau akan duduk di kusen dan turut menatap ke jalan bawah sana.

Belakangan ini, atas luka hatimu, aku melihat jelas bahwa kau tak lagi sesemangat saat kau masih melalui hari-hari bersama Kiki di jalan lorong. Kau tak lagi terdengar mengeong keras seperti kala pejantan dari sebangsamu mencoba menggoda betina pujaanmu itu, atau ketika hasrat cintamu sedang menggebu-gebu terhadapnya. Entahlah.

Yang pasti, untuk hari kedelapan ini, kita adalah dua sosok yang kehilangan gairah hidup setelah ditinggal pergi pujaan hati masing masing. Sampai akhirnya, kita tak lagi berbagi keceriaan dengan saling mengusap seperti dahulu, kala aku merasa senang mendapatkan senyuman dari si gadis berponi, dan kau pun senang telah puas bermain bersama Kiki.

Namun hari ini, doaku kembali terkabul saat kau belum juga menemukan betina barumu di antara banyak betina yang hidup liar. Di bawah terpaan sinar matahari pagi yang lembut, si gadis berkacamata tampak lagi di pangkal lorong. Langkahnya pelan sambil memandang ke depan dengan sikap biasa, dan aku sungguh terkesima. 

Tetapi sesaat kemudian, langkahnya terhenti saat ia hampir berada di depan rumahku. Lambat-lambat, ia pun melangkah ke jejeran bunga di samping jalan. Tanpa kuduga, kau yang kukira pergi untuk mencari pujaan hati yang baru, telah berada di dalam pelukannya dengan sikap manja. Kau tampak menikmati usapan tangannya, dan kau berhasil membuatku cemburu.

Lalu tiba-tiba saja, hujan turun di bawah langit yang cerah. Ia pun bergegas berteduh di bawah teritis rumah indekos yang tepat berada di depan rumahku, sembari membawamu juga. Ia lantas mendudukkanmu di sampingnya, di atas sebuah bangku, sambil mengelus-elus sekujur tubuhmu dengan penuh perhatian.

Di tengah perasaan yang penuh pengharapan, aku pun berkhayal menjadi dirimu, sementara mataku terus memerhatikan dirinya di balik bulir-bulir hujan. Perlahan, berkas-berkas wajahnya pun tersusun di dalam benakku secara utuh. Aku pun merasa semakin terpikat, dan semangatku jadi bergelora untuk melanjutkan kisah khayalanku tentang kami.

Sesaat kemudian, hujan pun reda, dan aku merasa sangat beruntung telah mengamatinya dalam waktu yang cukup. Aku telah berhasil merancang alur cerita yang utuh tentang kami. Aku berencana mengakhirinya dengan adegan yang mengesankan, kemudian beralih pada cerita-cerita selanjutnya.

Namun akhirnya, imajiku hancur-lebur. Seorang lelaki datang menjemputnya dengan sikap yang mencurigakan, dan ia tampak menyambut dengan senang hati. Mereka saling bercakap beberapa waktu dengan begitu akrab, lantas masuk ke dalam kabin depan mobil dan menghilang di tengah perasaanku yang berkecamuk.

Akhirnya, aku kembali duduk di belakang meja. Aku kemudian merangkai cerita kami dengan penuh kegetiran. Tanpa ragu, aku lantas menuliskan akhir cerita yang sebaliknya dari yang kurencanakan sebelumnya. Tanpa pikir panjang, aku lalu menuliskan bahwa aku tak pernah jatuh hati dan tak pernah berharap padanya.

Berselang beberapa saat, kau kembali masuk ke dalam kamarku. Kau lantas melompat ke atas meja, lalu menatapku dengan penuh keprihatinan, seolah-olah kau pun merasakan keputusasaanku saat ini.

Akhirnya, pikiranku kembali pada peristiwa delapan hari yang lalu, saat Kiki pergi meninggalkanmu setelah seorang perempuan yang telah membuatku jatuh hati, membawanya ke sisi dunia yang lain.

“Kiki! Kemari! Kita harus pergi sekarang!” seru sang pujaanku, sang gadis berponi, di hari itu, saat Kiki, kucing kesayangannya, terpikat oleh pesonamu.

Aku pun jadi kelimpungan.

Sang gadis pujaanku akhirnya menghampiri kalian berdua, lantas merenggut Kiki darimu.

Demi harga diri, aku pun segera menjemputmu.

Tiba-tiba, ia bertanya, “Namanya siapa?”

Aku pun gelagapan. “Kiko!” jawabku, berusaha menyama-nyamakan nama kalian, dan kau pun memiliki sebuah nama.

“Kebetulan sekali, nama keduanya serasi,” katanya, sambil tersenyum. 

Aku hanya tersenyum mendengkus.

“Sepertinya, kucing kita sama-sama merasa berat untuk berpisah.”

Aku pun berusaha bertutur dengan sekuat hati, “Sepertinya mereka saling jatuh hati.”

Ia kembali tersenyum, lantas bergegas mengemas barang-barangnya ke atas mobil. Dalam sekejap, ia pun pergi entah ke mana setelah sebulan lebih tinggal di rumah indekos yang berada tepat di depan rumahku. Ia pergi bersama Kiki, meninggalkan aku bersamamu.

Akhirnya, saat ini, dengan hati yang terpuruk lagi, aku kembali memandang jalan bawah sana sambil berharap ada seseorang yang kembali mengalihkan harapanku dari gadis berponi, juga dari gadis berkacamata.

Aku ingin harapan yang baru untuk kembali berkisah.