Minggu, 07 Februari 2021

Lingkaran Dosa

Pohon enau telah menjadi sumber penghidupan bagi Martina. Pohon ajaib yang mengandung banyak manfaat ekonomi yang mampu menyokong kebutuhan hidupnya sekeluarga. Sari-sarinya dibuat menjadi gula aren, buah tandannya diolah menjadi kolang-kaling, dan tulang julur daunnya dikemas menjadi sapu lidi. Kesemua itu bernilai uang setelah terjual.

Tiga hari lalu, Martina pun kembali berangkat ke pasar untuk menjual hasil kerjanya sekeluarga dari pohon enau. Ia tak lagi menjajakan barang-barangnya itu secara langsung seperti dahulu, tetapi langsung menyetornya kepada para pedagang yang menjadi pelanggan setianya. Dengan begitu, barangnya cepat laku, meski secuil keuntungannya mesti menjadi hak para pedagang.

Tetapi hari itu, setermos kolang-kalingnya tidak terbeli. Pasalnya, penjual minuman rasa-rasa yang selama ini menjadi pelanggannya, telah pulang kampung ke pulau seberang, sedang ia tak bisa menemukan pembeli yang lain. Jadi mau tak mau, ia pun memulangkan hasil usahanya itu ke rumah, sembari memikirkan cara agar barang itu terjual dan tidak terbuang percuma.

Seperti yang ia ketahui sendiri, kolang-kaling bukanlah bahan pangan yang awet tanpa perlakuan khusus. Setelah berhari-hari direndam di dalam air, warna dan aromanya akan berubah. Karena itu, sebelum hasil kerjanya itu rusak, ia mesti segera mendapatkan pembeli. Apalagi ia memang tidak memiliki lemari pendingin untuk membuatnya bertahan lebih lama.

Namun keadaan kolang-kaling yang telah dikuliti selama berhari-hari itu, rupanya semakin mengkhawatirkan. Takut hasil kerjanya terbuang sia-sia, ia pun melakukan siasat terlarang atas saran keras dari sang suami. Dengan setengah tega, ia merendam kolang-kaling itu dengan bahan kimia yang ia tahu sendiri tidak baik untuk kesehatan.

Sampai akhirnya, pagi hari tadi, Martina merasa lebih tenang. Setelah mendapatkan petunjuk dari seorang warga, ia pun berhasil menjual kolang-kaling itu pada Sami, kenalan baiknya, seorang pemilik gerai yang baru menjual minuman segala macam rasa, yang jualannya tampak laku diserbu warga dan anak sekolah dari segala sisi.

Setibanya di rumah dengan perasaan lega karena berhasil mengantongi uang penjualan kolang-kaling, Martina pun terheran melihat Ruli, anaknya, yang masih terdiam di depan televisi sambil mengenakan seragam sekolah.

“Kenapa tidak berangkat ke sekolah, Nak?” tanya Martina.

Ruli yang tampak cemberut, kemudian menjawab malas, “Bensin motorku hampir habis. Kalau dipaksakan, bisa-bisa macet di tengah jalan.”

Martina yang pengertian, segera merogoh kantongnya, lalu memberikan sejumlah uang kepada sang anak. “Selebihnya, kau pakailah untuk jajan.”

Seketika, tampaklah kesenangan di wajah Ruli yang coba ia tutup-tutupi.

“Tetapi ingat, jangan jajan sembarangan,” pesan Martina, sambil berharap anaknya tak lagi menenggak minuman bersoda merek internasional yang menurutnya membahayakan bagi kesehatan, sebagaimana informasi yang ia saksikan di televisi.

Ruli mengangguk sopan. “Baik, Bu.”

Tetapi tampaknya, pesan Martina untuk peruntukan uang jajan itu, tidak dicamkan oleh sang anak. Pasalnya, sore ini, ketika babak final lomba lari antardesa yang diselenggarakan oleh mahasiswa KKN akan dilangsungkan, Ruli sebagai salah satu peserta, malah meringkuk di kamar karena mengalami sakit perut sepulang dari sekolah.

Keadaan itu pun sungguh memilukan bagi Martina. Ia harus menguburkan harapannya untuk melihat Ruli menang dan membangga-banggakan sang anak di tengah-tengah warga desa. Apalagi, kebanyakan warga menjagokan anaknya itu untuk menjadi juara.

“Kenapa bisa sakit perut begini, Nak?” tanya Martina, penuh keprihatinan.

Ruli menggeleng tak mengerti.

Martina lantas menuding, “Kau pasti sudah jajan sembarang, kan?”

“Aku cuma jajan seperi biasa, Bu. Hanya jajan nasi goreng saat jam istirahat sekolah,” balasnya, dengan raut lemas. “Lepas itu, aku jajan es cincau sepulang sekolah. Itu saja.”

Martina jadi curiga. “Jajan es cincau di mana?”

“Di gerai Ibu Sami,” jawab Ruli.

Martina pun terkejut hebat.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar