Minggu, 07 Februari 2021

4. Jejak Kembali

 Bagian ke-4 dari cerita bersambung Setapak Berliku

Detik-detik membuat hidupku begitu bergairah. Di tengah perjalanan pulang, aku jadi sangat berselera mengamati bentangan alam di tanah airku. Aku seolah bertamasya di alam surga, hingga setiap penampakan adalah kejutan yang menyenangkan.

Sampai akhirnya, menapaklah aku di tanah nusantara yang terbasuh cahaya matahari. Seluasan tanah yang direkatkan oleh sungai dan lautan. Satu kondisi yang menciptakan sehamparan alam yang subur untuk memakmurkan makhluk hidup di dalamnya.

Di tengah perasaanku yang berbunga-bunga, mataku lalu menyela-nyela kerumunan orang di pelataran kedatangan bandara. Aku mencari seseorang yang berjanji akan datang menjemputku. Hingga dalam sekejap waktu, kulihatlah teman masa kecilku, Fatih, lelaki yang mengenakan kacamata riben, topi putih, dan jaket hitam, sebagaimana tanda-tanda yang telah ia sampaikan kepadaku melalui pesan singkat.

Seketika juga, kami saling menghampiri, bersalaman, dan berpelukan. Kami lalu saling memandangi, seperti sama-sama sedang membandingkan-bandingkan gambaran rupa raga kami di masa lalu dengan masa kini. Aku melihat banyak perubahan pada tampakannya, dan kukira, ia pun berpendapat demikian terhadap diriku.

“Sudah lama menunggu?” tanyaku, sambil melayangkan senyuman, seiring langkah kami menuju area parkir.

 “Lumayan. Hampir dua jam,” jawabnya, dengan raut setengah meledek.

Aku pun tergelak. “Kalau begitu, maaf karena telah membuatmu menunggu.”

Ia menepuk pundakku. “Jangan merasa bersalah. Aku tahu kalau tak ada yang bisa dilakukan untuk mempercepat penerbangan yang tertunda.”

Aku kembali tergelak.

“Bagaimana kesanmu setelah kembali menginjakkan kaki di tanah air ini?” Ia lalu menyulut sebatang rokok di bibirnya.

“Menyenangkan,” tangggapku, sambil menolak tawaran rokoknya.

Ia mendengus. “Rupanya kau masih seorang anak kecil yang baik dan lugu, seperti yang kukenal dahulu.”

Aku tertawa pendek.

Kami lalu naik ke atas mobil miliknya untuk menuju ke rumah pribadinya.

“Kelihatannya, pembangunan di negara tampak maju. Jauh berbeda dari yang kuperkirakan sebelumnya,” kataku, memancing pembahasan yang lain.

Ia mendengus. “Ya, kalau tolok ukurannya adalah tampilan ibu kota ini. Di daerah lain, kan beda lagi ceritanya.” Ia mengembuskan asap rokoknya, kemudian melanjutkan penuturannya, “Tetapi kau mesti tahu juga kalau di balik gedung-gedung bertingkat itu, banyak gelandangan yang tak punya rumah. Kesenjangan ekomomi masih menjadi persoalan yang rumit di negara ini.”

“Aku kira, 22 tahun reformasi telah berhasil mewujudkan perekonomian yang adil,” timpalku, sekenanya.

Ia menggeleng. “Rezim otoriter memang telah tumbang, tetapi warisan sisitemnya masih awet sampai sekarang,” katanya, lalu menghela-embuskan asap rokoknya. “Praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, masih sangat marak. Akibatnya, cuma mereka yang punya jaringan dalam pemerintahan yang akan menguasai roda perekonomian, entah karena modal persababatan, kekeluargaan, atau kekayaan.”

Aku mengangguk-anggukkan kesaksiannya. “Ternyata aku banyak salah sangka tentang keadaan di negeri ini.”

Ia lalu melepas batuk, seperti tersedak asap rokoknya sendiri. “Tetapi warisan rezim otoriter yang tak kalah buruknya adalah doktrin tentang hantu komunisme yang masih menancap di alam bawah sadar sebagian anak bangsa. Kepercayaan fiktif itu akan selalu rentan menimbulkan konflik dan diskriminasi di tengah masyarakat.”

“Menyedihkan memang,” tanggapku, dengan kesepahaman yang sama. “Tetapi kalau dipikir-pikir, bukankah pemerintahan setelah reformasi, termasuk pemerintahan saat ini, memiliki sikap yang bijak dalam menyikapi sejarah kelam itu? Maksudku, apakah upaya pencerahan sejarah yang dilakukan oleh pemerintah selama ini, sama sekali tak berdampak pada pemikiran masyarakat?”

Ia memanyunkan bibirnya. “Aku tidak melihat dampak yang berarti. Bagaimana pun, kepercayaan yang diwariskan secara turun-temurun itu, masih tetap melekat di hati dan pikiran sebagian masyarakat. Yang bisa dilakukan hanyalah menghindari tindakan-tindakan provokasi yang rentan memancing mereka bertindak kasar dan diskriminatif terhadap orang-orang yang tertuduh.”

Aku mendengus. “Tetapi provokasi-provakasi tentang kebangkitan komunis, malah semakin marak menjelang pemilu, kan?”

“Ya. Dan aktor-aktornya adalah lawan politik dari pemerintahan saat ini. Mereka, yang ingin memenangkan pemilu dengan cara-cara yang picik. Mereka, yang merupakan pewaris rezim otoriter yang punya kaitan dengan kekacauan menjelang reformasi yang telah mengorbankan nyawa ibumu.”

“Ya,” sahutku, mengerti. Aku pun teringat pada ibuku yang meningggal secara mengenaskan di tengah kekacauan menjelang runtuhnya rezim otoriter itu.

“Maaf, telah membuatmu terkenang,” katanya, setelah melihat raut kesedihanku.

“Tidak apa-apa.”

Hening beberapa saat. Kami terdiam dengan isi pikiran masing-masing.

Namun tiba-tiba, aku ingin mengetahui praduganya tentang nasib penyingkapan tabir sejarah yang kelam di masa yang akan datang. “Apakah kita punya harapan bahwa pemerintahan saat ini benar-benar akan menuntaskan perkara kejahatan hak asasi manusia di masa lalu jika mereka terpilih untuk periode kedua, seperti yang mereka janjikan?”

“Entahlah. Tetapi setidaknya, kita punya harapan ketimbang tidak sama sekali,” katanya, terdengar setengah pesimistis.

Tak berselang lama, mobil pun berbelok ke arah kiri. Setelah melintasi jalan lurus sekitar dua ratus meter, mobil lantas berhenti di puncak jalan yang menanjak.

“Kita sudah sampai,” katanya.

Ia lalu turun untuk membuka pagar besi setinggi sekira dua meter setengah di sebelah kanan jalan, kemudian mamasukkan dan memarkirkan mobilnya di depan rumahnya yang berada di dataran yang lebih tinggi dibanding rumah-rumah yang lain.

Kami lantas turun dari mobil.

Kupandangilah sebuah rumah berlantai satu, dengan halaman yang lapang. Fondasinya meninggi sekitar satu meter di atas permukaan tanah, yang menopang tembok beton yang bercat putih. Kecuali sisi pagar depan, seluruh sisi halamannya dilingkupi tembok setinggi dua meter setengah.

“Masuklah!” serunya, kemudian melangkah ke dalam rumah.

Aku pun menyusul sambil tetap melihat-lihat pemandangan asri di sekitar rumah.

Setelah melewati daun pintu, aku pun melihat seisi rumah yang tampak bersahaja. Di ruang depan, ada sejumlah kursi dan rak-rak di sisi kiri, serta sofa yang berhadapan dengan televisi di sisi kanan. Di ruang tengah, terdapat dua kamar yang saling berhadapan dan terpisah lorong selebar dua meter. Di ruang belakang, tampak dapur bersekat tirai di sisi kiri, sedang kamar mandi dan toilet bersekat tembok di sisi kanan.

“Ayo, ikutlah!” ajaknya, setelah menaruh barang-barangku di kamar sebelah kiri.

Aku pun mengikutinya ke halaman belakang rumah.

Ia lantas menanjaki sebuah tangga besi yang tersandar pada teras loteng. “Ayo, naiklah!”

Aku menyusul saja.

Ia lalu membuka sebuah pintu kecil dan masuk ke dalamnya dengan sedikit menunduk.

Aku masuk juga, hingga aku terperangah melihat sebuah ruang loteng yang begitu lapang. Panjang dan lebar lantainya setara dengan ukuran lantai dasar, sedangkan ketinggiannya mengikuti lekukan atap yang berbentuk prisma.

Di pangkal ruangan, terdapat sebuah kasur di sudut sebelah kanan, Di tengah ruangan, terdapat dua deretan lemari berisi buku-buku. Di ujung ruangan, terdapat empat buah kursi di sekitar sebuah meja yang memanjang. Sedang di depan meja itu, terdapat dua bukaan jendela geser yang menampakkan pemandangan asri di hamparan lembah dan bebukitan.  

“Inilah ruang markas kami; markas kita,” katanya, memperkenalkan. “Bagaimana pendapatmu?”

“Mengagumkan!” pujiku. “Kau ternyata memiliki bakat arsitektur.”

Ia tertawa pendek. “Semua ini untuk mengamankan diri dari endusan orang-orang yang takut pada buku dan kata-kata.”

“Ini lebih dari aman,” timpalku, sambil menilik buku-buku dengan genre yang sangat beragam. “Orang-orang di sisi luar tak akan pernah mengendus keberadaan ruangan ini.”

“Setiap yang tersembunyi, masih mungkin ditemukan. Setiap sistem punya celah.” Ia kembali membakar dan mengisap sebatang rokok. “Markas ini adalah rahasia besar yang harus kita jaga dari pengetahuan orang-orang baru yang belum bisa dipercaya.”

“Aku akan menjaga kepercayaan itu,” kataku, lalu duduk di sampingnya.

Untuk beberapa saat, kami hanya terdiam sambil memandangi bentangan alam dari balik jendela.

Ia kemudian bertanya, “Jadi apa rencanamu selama di sini?”

“Seperti seharusnya, aku hendak mencari kebenaran di balik tragedi yang menimpa Ibuku, juga Kakek-Nenekku.”

“Tetapi kau sudah punya rencana awal, kan?”

“Aku ingin berziarah ke makam Ibuku, lalu ke bekas toko kami; ke bangunan toko milik orang tuamu. Setelah itu, aku ingin ke bekas rumah Kakek-Nenekku; ke bekas rumah Ayahku semasa kecilnya. Aku ingin menyesuaikan diri dengan suasana dan keadaan terlebih dahulu, sambil mencari-cari petunjuk.”

Ia mengangguk. “Aku siap mengantarmu.”

“Terima kasih.”

Hening beberapa saat.

Ia lalu berdeham. “Sebenarnya, aku sedang meneliti nasib orang-orang pelarian. Namun sepanjang yang aku temukan, tak ada catatan kepengurusan partai dan instruksi penangkapan dari pihak resmi di bekas tempat tinggal Kakek-Nenekmu dahulu, seolah-olah tempat itu bukan kawasan bagi orang-orang terlarang.”

“Bagaimana bisa?” sergahku.

“Aku sendiri tak mengerti. Tetapi itu bisa menjadi indikasi bahwa Kakek-Nenekmu memang tidak seperti yang dituduhkan orang-orang.”

Aku pun semakin meyakini penuturan nenek angkatku, Ibu Sumi, bahwa kakek-nenekku hanyalah korban rekayasa orang-orang biadab. “Apa kau tidak punya sumber penelitian yang kira-kira bisa memberikan informasi atau petunjuk dasar?”

“Aku punya narasumber penelitian di rumah sakit jiwa.”

“Orang gila?”

Ia mengangguk. “Dia pernah menjadi kepala kampung di tempat tinggalmu dahulu. Dia memang kurang waras dan sudah sangat tua. Tetapi kukira, dia masih mungkin mengungkapkan keterangan dasar yang dibutuhkan.”

“Patut dicoba!”

Kami kembali terdiam untuk beberapa lama. Ia tampak asyik dengan isapan rokoknya, dan aku kembali larut dalam menunganku. Tetapi, aku tahu kalau pada dirinya, ada keseganan untuk membahas peristiwa yang telah membuat ibuku meninggal. Aku tahu kalau di awal waktu kedatanganku ini, ia tak ingin kembali membuatku terkenang dan bersedih atas kematian ibuku.

Namun rasa penasaran malah membuatku tak sabar untuk mengulik peristiwa itu. “Apa yang terjadi dengan bekas toko kami dahulu?” tanyaku.

Ia lalu mematikan rokoknya yang nyaris tandas. “Orang tuaku membangunnya kembali dan menyewakannya kepada seorang pebisnis.”

“Siapa?”

“Warga keturunan. Sama sepertimu. Tetapi dia mengaku sama sekali tak mengenal keluarga dari garis ibumu.”

Hening lagi.

Aku kembali bertanya, “Apa ada informasi yang kau tahu tentang apa-apa di balik kematian ibuku?”

Ia menggeleng.“Yang aku tahu, hanya seperti apa yang terjadi setelahnya, seperti apa yang kulihat di masa itu,” katanya, lalu menghela-embuskan napas yang panjang. “Tak ada kabar apa-apa setelah kerusuhan itu. Peristiwa itu seolah dilupakan begitu saja. Kau tahu sendiri, kalau sampai sekarang, belum ada upaya dari negara untuk mengusut tuntas kejadian itu.”

Aku kecewa atas kenyataan itu, dan aku semakin berhasrat untuk mencari kebenaran dengan caraku sendiri. “Apa kau ingat dengan seorang lelaki yang kerap menghabiskan waktu dengan bermain kartu di pojok kompleks pertokoan waktu itu; seorang lelaki yang pernah menghardik kita setelah bertikai dengan Topan gaga-gara saling mengejek model sepeda?”

Ia tampak mengingat-ingat. “Ya. Kalau tidak salah, namanya Gopar. Ada apa dengannya?”

“Aku yakin ia tahu banyak soal kekacauan itu. Aku melihat tato kalajengking di pergelangan tangan kanan salah seorang pelaku kekacauan yang mengenakan masker, dan tato itu mirip dengan tato di pergelangan tangan kanan Gopar.”

Seketika, ia terkejut mendengar penuturanku.

“Apa kau tahu di mana keberadaan lelaki itu?”

Ia menggelang. “Tetapi kita patut menanyakannya kepada Ayahku.”

Aku mengangguk.

Kami kembali terdiam dalam menungan masing-masing.

“Sudah dulu. Lebih baik kau istirahat,” sarannya kemudian. “Sore nanti, teman-temanku akan datang kemari. Kuduga mereka akan memberondongmu dengan pertanyaan-pertanyaan, dan kau butuh kesiapan untuk menjawabnya dalam waktu yang panjang.”

“Siapa mereka?”

“Hanya tiga orang. Mahasiswa tingkat lanjut dan aktivis sosial. Mereka punya perhatian yang sama seperti kita.”

“Sepertinya menarik.”

Sesaat kemudian, aku pun menuruni anak tangga menuju ke lantai bawah. Aku lalu berbaring dan terlelap di dalam kamar yang telah dimaksudkan Fatih untukku.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar