Senin, 30 April 2018

Politik di Ruang Agama

Ketua Dewan Kehormatan Partai Amanat Nasional (PAN) Amien Rais kembali menyentak khalayak. Pasalnya, ia melontarkan pernyataan bernuansa politis saat memberikan ceramah dalam acara syukuran satu tahun Ustadzah Peduli Negeri di Balai Kota Jakarta, Selasa, tanggal 24 April. 

Pada kesempatan tersebut, Amien mempersinggungkan persoalan politik praktis dengan agama. Ia menyatakan bahwa kemenangan Anies Baswedan sebagai gubernur Jakarta adalah keajaiban Tuhan, meramal Anies sebagai penyelamat negeri, menyatakan elektabilitas Jokowi akan merosot sambil menunjuk foto sang presiden, juga menyangkutpautkan ibadah kapada Tuhan dengan kemenangan dalam pertarungan politik.[1]

Tapi bagian pernyataan Amien yang paling menyita perhatian adalah ketika ia mengimbau kepada para ustazah yang hadir agar menyisipkan persoalan politik dalam kajian keagamaan. “Saya mohon ya, ini kita jangan kehilangan momentum ini. Ini baru jelang pilpres. Ustazah kalau peduli negara, pengajian disisipkan politik itu harus. Harus itu," kata Amien.[2]

Pernyataan Amien yang juga mantan ketua MPR itu, akhirnya mendapatkan respons sinis dari berbagai kalangan masyarakat. Protes itu berasal dari orang-orang yang menilai bahwa tak sepatutnya forum keagamaan disusupi kepentingan politik praktis, apalagi terang-terangan sebagai program. Alasannya karena aspek agama rentan dipolitisasi, hingga menimbulkan keretakan sosial.

Agama dan Negara

Masuknya unsur politik dalam ruang keagamaan, harus dilihat dalam kerangka hubungan agama dan negara. Hasilnya penting untuk menjadi titik tolak dalam melihat posisi agama pada kontes politik kenegaraan. Yang perlu diketahui adalah terkait sejauhmana politik dan agama dapat dicampur-baurkan. Pun, apakah keduanya punya posisi yang seimbang atau saling mendominasi.

Jawaban atas pertanyaan di atas, tentu harus merujuk pada UUD NRI Tahun 1945 sebagai dasar bangunan kenegaraan. Dan hasil telaah itu menunjukkan bahwa dalam konsitusi, agama dan negara memiliki dimensi yang berbeda, meski tetap berada dalam ruang yang sama. Dalam artian, persoalan agama dan negara, menyatu dalam konteks keindonesian, meski berbeda ranah, seperti minyak dan air dalam sebuah botol.

Posisi agama dalam negara, dapat disandarkan pada Pasal 29 ayat (1) dan (2) UUD NRI Tahun 1945, yang berada dalam Bab XI tentang Agama. Pada ayat (1) pasal tersebut, jelas dinyatakan bahwa “Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa.” Ini berarti bahwa negara Indonesia dilingkupi oleh semangat keagamaan, dan tidak diperkenankan sebaliknya. 

Secara tersirat, maksud negara berketuhanan, juga berarti bahwa negara mengakui dan menghormati keberadaan semua agama. Negara tidak hanya mengakui satu agama sebagai agama kenegaraan, tetapi semua agama ditempatkan pada kedudukan yang sama dalam tubuh negara. Oleh karena itu, yang dikehendaki oleh konstitusi adalah negara yang beragama, tanpa adanya agama negara.

Untuk menjamin prinsip negara berketuhanan, Pasal 29 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 menyatakan bahwa “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.” Ini artinya, setiap orang yang berada di negara Indonesia, baik warga negara maupun warga asing, diberikan jaminan oleh negara untuk menjalankan ibadat agamanya.

Lalu, jika tidak ada satu agama sebagai pedoman bernegara, pada apakah negara ini berdasar? Pasal 1 ayat (1), (2), dan (3) UUD NRI Tahun 1945, jelas menggariskan bahwa negara Indonesia yang berbentuk kesatuan, menganut sistem kedaulatan rakyat yang berdasarkan hukum. Artinya bahwa negara ini tidak didasarkan pada sistem teokrasi yang menjadikan perintah Tuhan melalui kitab suci sebagai dasar bangunan negara, melainkan pada kehendak umum setiap individu yang dirumuskan dalam bentuk aturan hukum.

Pada hakikatnya, pemisahan dimensi negara dan agama, bukanlah berarti bahwa negara tak punya kepentingan untuk mengembangkan agama. Alasannya lebih pada menghindari kemungkinan penyelewenang, pembatasan, atau pembungkaman ajaran agama oleh pemegang kekuasaan dengan mengatasnamakan kepentingan negara. Agama pun jadi tak mungkin terkungkung dalam batasan negara yang sempit, tapi hidup dalam diri setiap individu, tanpa paksaan ataupun pembatasan.

Soal hubungan agama dan negara ini, kiranya perlu merujuk pendapat Presiden Soekarno kala mengkaji terkait sekularisasi di Turki yang digagas oleh Kemal Attaturk. Pada soal itu, Soekarno menilai bahwa agama harus hidup pada diri setiap individu bangsa dengan kesadaran dan kehendak sendiri, bukan malah dipaksakan hidup melalui sistem kenegaraan.

Soekarno menuliskan, “Jika rakyat berkobar-kobar keislamannya, tentu parlemen dibanjiri oleh ruh Islam, dan semua putusan parlemen adalah bersifat Islam; rakyat padam keislamannya, tentu parlemen sunyi dari ruh Islam dan semua putusan parlemen tidak bersifat Islam. Kalau berkobar-kobar keislaman itu, maka itulah benar-benar ruh Islam yang sejati, yang “laki-laki”, oleh karena berkobar-kobarnya itu karena tenaga sendiri, ikhtiar sendiri, jerih payah sendiri, tekad dan jiwa sendiri, zonder asuhannya negara, zonder pertolongannya negara, zonder perlindungannya negara. Bukan lagi keislamannya itu satu keislaman peliharaan yang hidupnya karena selalu mendapatkan “cekokan obat” dari negara dan bukan satu keislaman bikin-bikinan.”[3]

Akhirnya, nyatalah sudah, bahwa dalam konteks Indonesia, penyelenggaran negara tidak punya kuasa untuk mengatur agama. Dalam batas-batas tertentu, negara hanya boleh mengadakan aturan hukum sepanjang itu untuk kepentingan perlindungan penganut agama dan kepercayaan. Sebaliknya, penganut agama juga tak punya kuasa untuk memaksakan dalil-dalil agamanya menjadi ketentuan yang harus diberlakukan oleh negara. Agama dan negara berbeda dimensi di dalam satu ruang, tidak terpisah, dan saling mendukung untuk perkembangan masing-masing.
 
Ruang Politik dan Agama

Berangkat dari kerangka hubungan negara dan agama yang digariskan dalam konstitusi, maka perhubungan politik kenegaraan dan aktivitas keagamaan pun, disusun berdasarkan nilai-nilai konstitusi. Karena itu, politik kenegaraan, khususnya terkait proses seleksi dan eleksi kepemimpinan melalui memilihan umum, diatur secara khusus, termasuk mengantisipasi persinggungan yang tidak tepat antara urusan politik kenegaraan dengan agama.

Perlindungan dimensi agama dari permainan politik praktis dalam lingkup negara, dapat dilihat dalam kerangka peraturan perundang-undangan pemilihan umum. Dalam Pasal 280 ayat (1) huruf c UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dinyatakan bahwa pelaksana, peserta, dan tim kampanye pemilu dilarang “menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan, calon, dan/atau Peserta Pemilu yang lain.” Pelanggaran atas ketentuan tersebut, berdasarkan Pasal 521 UU yang sama, diancam dengan pidana penjara paling lama 2 tahun dan denda paling banyak Rp. 24 juta.

Klausul yang sama juga tercantum dalam Perpu No. 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, yang telah disahkan sebagai undang-undang melalui UU No. 1 Tahun 2015, dan terakhir diubah melalui UU No. 10 Tahun 2016. Pasal 69 huruf b UU tersebut menyatakan bahwa dalam kampanye dilarang, “menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan, Calon Gubernur, Calon Bupati, Calon Walikota, dan/atau Partai Politik”. Setiap orang yang melanggar ketentuan itu, berdasarkan Pasal 187 ayat (2) aturan yang sama, diancam dengan pidana penjara paling singkat 3 bulan atau paling lama 18 bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 600 ribu atau paling banyak Rp. 6 juta.

Aturan di atas, selanjutnya, ditegaskan pula dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum No. 4 Tahun 2017 tentang Kampanye Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota. Pasal 17 huruf b peraturan tersebut menegaskan bahwa materi kampanye harus “menjaga dan meningkatkan moralitas dan nilai-nilai agama serta jati diri bangsa.” Sedang pada huruf f pasal yang sama, ditegaskan bahwa materi kampanye harus “menghormati perbedaan suku, agama, ras, dan golongan dalam masyarakat.”

Di luar dari konteks pesta demokrasi, memainkan isu-isu agama untuk kepentingan politik, juga dapat bersinggungan dengan pasal pidana dalam beberapa peraturan perundang-undangan, khususnya jika masuk dalam kualifikasi perbuatan provokasi unsur sara dan ujaran kebencian. Hal itu misalnya terkait pidana penghasutan dalam Pasal 160 ayat (1) KUHP, atau pidana penodaan agama dalam UU No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama.

Jika aturan hukum negara menghendaki perlindungan agama dari permainan politik, sebaliknya, institusi keagamaan juga mengambil sikap untuk menghindari masuknya dimensi agama dalam ruang politik praktis. Paling tidak, Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kiai Ma'ruf Amin menegaskan hal itu ketika angkat bicara terkait imbauan Amien Rais agar persoalan politik disisipkan dalam forum pengajian agama. Menurutnya Ma’ruf, pengajian tidak boleh dipolitisasi untuk kepentingan politik jangka pendek. "Itu yang kita harapkan. Jangan tempat ibadah, kantor pemerintahan, pengajian-pengajian, dijadikan sebagai forum untuk kampanye," katanya, Jumat, 24 April 2018.[4]

Pernyataan serupa, sebelumnya juga pernah disampaikan oleh Wakil Sekretaris Jenderal MUI Amirsyah Tambunan. Ia bahkan mengatakan bahwa sikap dan perilaku orang-orang yang melakukan politisasi agama untuk kepentingan tertentu adalah haram. Menurutnya, jika agama disalahgunakan dan dijadikan alat untuk mempolitisasi suatu kepentingan tertentu, hal tersebut merupakan perbuatan yang sesat. “Menyesatkan. Lebih tinggi dari haram. Sesat itu kalau agama dipolitisasi,” ujarnya, Selasa, 26 Desember 2017.[5]

Adanya sikap pemuka agama untuk menghindarkan agama dari tindak politisasi demi kepentingan pragmatis, jelas menunjukkan bahwa agama harus dilindungi dari kepentigan politik praktis yang seringkali berpandangan sempit dan lebih suka menonjolkan perbedaan ketimbang persamaan. Tujuannya tentu untuk menghindari “pembusukan” nilai-nilai agama dalam ruang politik.

Menyikapi Politisasi Agama

Politisasi agama, dalam hal ini, menyusupkan unsur aksidental agama dalam pertarungan politik, akhirnya kontraproduktif dengan semangat pluralisme-kebangsaan di negara ini. Politik praktis, khususnya dalam soal pemilihan pejabat publik, jelas bergelimang dengan kepentingan sempit, yang bisa saja menodai kesucian agama, sebagaimana adagium dalam dunia politik bahwa “tak ada kawan sejati dalam politik, kecuali kepentingan.” 

Pembauran dimensi agama dengan politik praktis yang pragmatis dan cenderung menghalalkan segala cara demi kepentingan pribadi atau kelompok, jelas mengandung potensi yang membahayakan. Dalil agama yang pada dasarnya mengandung nilai humanisme yang universal, bisa saja dipelintir demi kemenangan di kontes politik. Akhirnya, agama yang harusnya menyampaikan pesan perdamaian di tengan suasana politik yang gaduh, malah menjadi bahan bakar kegaduhan.

Tak salah kemudian kalau dimensi-dimensi keagamaan yang sifatnya aksidental, menjadi terlarang untuk diumbar-umbar demi kepentingan politik praktis. Tujuannya bukan untuk menghilangkan nilai-nilai keagamaan dalam percaturan politik, tapi lebih pada menghindari penodaan agama dalam ruang-ruang politik. Politik yang berdasarkan nilai agama, jelas saja berdampak baik. Namun dalam kenyataannya, gelanggang politik praktis senantiasa tak bicara soal nilai agama yang menyatukan, tetapi memperalat sisi aksidental agama untuk memecah-belah para pihak.

Lalu, bisakah disimpulkan bahwa politik praktis hanya baik untuk orang-orang yang tidak peduli agama? Atau bisakah dikatakan bahwa orang-orang yang hendak menegakkan agama tak patut terjun dalam pertarungan politik praktis? Tentu saja jawabannya, tidak. Pada konteks politik dalam arti luas, yang melampaui soal-soal pemilihan pejabat publik semata, nilai-nilai agama harus tetap digaungkan, semisal perspektif keagamaan soal konsep kesejahteraan dan keadilan mayarakat secara umum.

Di sisi lain, pembauran agama dengan aspek politik dalam arti sempit dan praktis, sudah seharusnya dihindari semua pihak. Sentilan-sentilan agama dalam pesta politik, khususnya dalam prosesi pemilihan umum, sangat berpotensi menimbulkan pertikaian antarumat beragama. Terlebih lagi jika yang terlibat dalam pertempuran politik adalah orang-orang pragmatis yang sudi menghalalkan segala cara untuk mencuri kemenangan, bahkan sampai mengharamkan sesuatu yang halal dalam agama, atau sebaliknya.

Dalam soal ini, perlu kiranya merenungi pernyataan seorang humanism, Mahatma Gandhi, “Untuk dapat melihat semangat kebenaran yang universal dan mencakup segala itu, seseorang harus menyayangi ciptaan paling buruk sebagaimana dirinya sendiri. Dan orang yang beraspirasi demikian tidak akan mampu menghindari setiap bidang kehidupan. Inilah sebabnya mengapa kecintaan saya pada kebenaran telah membawa saya masuk ke bidang politik. Maka saya dapat mengatakan tanpa ragu sedikit pun, tetapi tetap dengan segala kerendahan hati, bahwa mereka yang menyatakan bahwa agama tidak ada hubungannya dengan politik, tentu tidak tahu, apakah sebenarnya agama itu.”[6]

Sekali lagi, bolehkah politik disusupkan dalam ruang agama, atau sebaliknya? Tentu saja, jawabannya, boleh dan layak, selama seseorang yang berpolitik praktis memiliki pandangan-pandangan keagamaan yang tidak sempit, yang tidak melihat kepentingan lain selain kebaikan untuk semua manusia yang hendak di wakilinya. Paling tidak, sebagaimana maksud Mahatma Gandhi, bahwa politik adalah untuk kepentingan kemanusiaan, bukan untuk segelintir orang. Lalu, sudahkan para politisi yang mengaku agamais di negara ini menghayati dan bicara tentang kemanusiaan sebagai nilai luhur agama dalam percaturan politik, bukan tentang kepentingan diri sendiri dan kelompok?



[1] Kompas.com, "6 Hal Politis yang Disampaikan Amien Rais di Balai Kota", https://megapolitan.kompas.com/read/2018/04/25/07430421/6-hal-politis-yang-disampaikan-amien-rais-di-balai-kota, diakses pada 29 April 2018, pukul 10.00 Wita.
[2] Ibid.
[3] Soekarno, 2017, Islam Sontoloyo, Cetakan XI, Sega Arsy: Bandung, hlm. 106-107.
[4] Jawapos.com, Tegas! Begini Tanggapan Ma'ruf Amin Soal Amien Rais, https://www.jawapos.com/read/2018/04/27/208101/tegas-begini-tanggapan-maruf-amin-soal-amien-rais, diakses pada 29 April 2018, pukul 10.20 Wita.
[5] Tempo.co, MUI: Politisasi Agama itu Menyesatkan dan Lebih dari Haram, https://nasional.tempo.co/read/1045158/mui-politisasi-agama-itu-menyesatkan-dan-lebih-dari-haram, diakses pada 29 April 2018, pukul 10.28 Wita.
[6] Mahatma Gandhi, 2016, Semua Manusia Bersaudara, Cetakan III, Yayasa Pustaka Obor Indonesia: Jakarta, hlm. 72.

Gejolak Batin Sang Koruptor

Sungguh tak nyaman menjadi seorang koruptor. Sekali menyandang gelar itu, kehidupan jadi tak menentramkan lagi. Ada gejolak batin yang benar-benar mengusik ketenangan hidup, karena di dalam diri sendiri, nurani bertarung hebat dengan nafsu. Ada kebiasaan terdahulu yang mesti pura-pura dibiasakan, agar kedok terselubung, tak terbaca orang-orang di luar.  
 
Setidaknya, kekalutan itulah yang hendak dikesankan Pramoedya Ananta Toer dalam gubahan ceritanya berjudul Korupsi, yang ditulis tahun 1953. Dengan menggunakan sudut pandang penokohan orang pertama, Pramoedya menarasikan isi hati dan pikiran tokoh utama, Bakir, sang koruptor, secara utuh. Bagi siapa pun yang membacanya, akan terenyak mengamati pertempuran hebat dalam diri seorang koruptor.

“Ah, orang selalu memilih di antara dua. Dengan mengambil yang satu, ia kehilangan yang lain. Dengan mengambil harta benda kantor, aku kehilangan ketenangan batinku. Tapi aku ingin juga memiliki ketenangan batin itu beserta harta benda ini. Serakah! Serakah! Keserakahan inilah yang tiba-tiba membuat aku merasa sengsara. Sengsara karena tidak memiliki segala-galanya. Dan milik adalah kemerdekaan. Kalau diri tak punya milik, diri menjadi budak. Dan karena diri takkan dapat memiliki segala-galanya, diri tetap menjadi milik dari segala-galanya yang tidak dimilikinya,” renung Bakir (hlm. 18).

Jelas saja, menjajaki jalan sebagai koruptor, tak mudah bagi Bakir. Sepanjang hidup sebagai pegawai negeri selama 20 tahun, ia telah menjadi pengabdi yang bertanggung jawab. Citra pribadinya sebagai orang jujur, bahkan telah kokoh di mata orang-orang sekitar. Dan menodai sejarah hidup yang telah terukir sebagai lembaran yang suci, tentu keputusan berat. Bak mengakhiri cerita dengan antiklimaks yang tak masuk akal.

Tapi akhirnya, nama baik, bagi Bakir, bukanlah alasan untuk terus menjadi baik. Ia telah memperoleh kesadaran baru bahwa nama baik, sungguh tak memberinya apa-apa. Terbersitlah penyesalan dalam hatinya, sebab nama baik telah membuat kehidupannya sebagai pegawai negeri, tak kunjung membaik. Sedang teman-temanya sesama pegawai, yang tak peduli soal itu, malah berhasil melesat jauh dalam soal perolehan harta-benda.

“Tak mengerti aku mengapa keadaanku tinggal bobrok sedang orang yang dahulu hanya klerk-ku belaka sudah menjadi anggota parlemen. Dia cerdik mestinya. Aku yang kurang cerdik. Dan sekaranglah saatnya. Kalau tidak, awak tinggal kulit dan tulang melulu, itu pun kulit kering dan tulang yang kehabisan sungsum,” keluh Bakir (hlm. 11).

Kukuh menjadi seorang idealis di tengah orang-orang yang pragmatis, berhasil membuat Bakir merasa aneh sendiri. Seperti orang gila yang mengaku waras di tengah orang-orang waras. Karena itulah, ia bertekad keluar dari jalur lama yang sepi, lalu bergabung di jalur yang ramai, di jalur para koruptor. Baginya, itu bukan penyelewenangan dari jalur yang benar, tetapi hanya upaya untuk lebih “bersosial”, seperti orang-orang pada umumnya. Menjadi lebih realistis.

“Tidak! Tidak! Bertahun-tahun aku sudah menderita jadi pegawai. Kalau aku mengerjakan korupsi, tidak akan kena sial. Kesengsaraan sudah aku jalani terlebih dahulu. Semua itu adalah celengan. Dan yang aku kerjakan sekarang semata-mata memecah celengan. Tidak! Itu bukan kejahatan, bukan peanggaran  -itu sudah selayaknya,” pikir Bakir, menguatkan tekadnya sendiri (hlm. 10).

Mulailah Bakir mengawali langkahnya menuju tahta koruptor. Pertama-tama, ia mengubah penampilannya yang sedari dulu cukup sederhana. Ia mulai mengenakan dasi, jas, dan sepatu mengkilap, yang sungguh tak biasa ia kenakan. Semua demi meluluskan rencana. Ia sadar, menjadi seorang koruptor, berarti tak menjadi diri sendiri yang apa adanya. Bagaimana pun juga, seorang koruptor harus tampil keren dan berwibawa, agar mampu menghegemoni dan mengintimidasi batin orang-orang di bawah kuasanya, sehingga rencana pun berjalan lancar.

Selesai soal penampilan, Bakir kemudian mulai mengadaptasikan niatnya dengan lingkungan sekitar. Menjadi bak orang asing yang belajar bersosialisasi dengan orang lain. Mencoba memperkenalkan dirinya sebagai calon koruptor secara perlahan, baik kepada kawan kerja maupun keluarganya. Melakukan semua itu senatural mungkin, sembari berharap mereka mau menerima dan tak mempermasalalahkan perubahan jalur hidup yang ia pilih.

Tapi prediksi Bakir, ternyata menghadapi rintangan di dalam kenyataan. Sirad, sekretarisnya di kantor, sosok yang yang berperangai jujur dan berjiwa muda, kadung percaya bahwa ia adalah orang suci yang tak mungkin berniat jadi koruptor. Sirad yang peka atas perubahan sikap Bakir, pun, mulai bertanya-tanya dan menampakkan ketidaksukaannya. Dan karena itu, Bakir pun membatalkan niat untuk mendaulat sang sekretaris sebagai kawan aksi.

Pun, sikap penolakan datang dari Mariam, istrinya yang kelewat jujur. Ia mulai curiga dan mempertanyakan perubahan tampilan dan sikap Bakir yang sangat drastis. Ia mulai mempertanyakan asal-usul uang bonus yang dibawanya pulang ke rumah. Ia mulai menuduh-nuduh kalau sang suami hendak berbuat serong dalam kuasanya sebagai kepala bagian di kantor. Ia tampak tahu rencana besar Bakir tanpa perlu diberi tahu. Dan jelas, Bakir sadar, ia tak bisa diajak kompromi.

“Kalau benteng kejujuranmu telah tertembus untuk pertama kali,” -ia mulai menegur dengan suara berdaulat- “engkau akan menyerah. Terus menyerah pada nafsu-nafsumu dan engkau tidak akan memiliki bentengmu lagi. Cuma tenaga di luar dirimu saja yang bisa menolongmu,” singgung Mariam kepada sang suami (hlm. 48). 

Mau tak mau, tak ada kawan untuk Bakir. Tidak juga istrinya, tidak juga bawahan mudanya di kantor. Tapi itu tak masalah. Lagipula, ia pikir, semakin banyak yang terlibat, semakin berbahaya bagi kerahasiaan aksinya. Dan sendiri, jelas lebih menjamin. Maka, ditilepnyalah barang-barang kantor, lalu dijual untuk mendapatkan modal aksi. Pun, dengan seorang diri, ia berurusan langsung dengan pengusaha pengadaan barang kantor, kemudian meminta jatah dari aksi penggelembungan dana. 

Jadilah Bakir seorang koruptor yang larut dalam kesendirian. Jalan hidup sebagai koruptor, ternyata tak membuat ia dikawani banyak orang. Jangankan berharap orang-orang baru datang mengerubunginya, orang terdekatnya saja malah semakin berjarak. Seakan-akan tak ada penghargaan untuk keputusan besar yang telah ia ambil. Bahkan uang korupsi yang sedari awal ia niatkan untuk menyokong pembelanjaan sang istri, menalangi kebutuhan sekolah empat orang anaknya (Bakri, Bakar, Basir, Basirah), juga menunjang kebutuhan kuliah sang sekretaris pribadinya, ternyata tak dihargai.

Sebagaimana sejatinya, penghargaan diri, tentulah sangat berarti bagi seorang koruptor. Penghargaan bahwa ia memiliki dan bisa memberikan segalanya kepada orang-orang. Tapi karena penghargaan itu tak mungkin datang dari orang terdekat, Bakir pun mengalihkan harapan pada yang lain. Beserta kekalutan yang tiada tara, bak orang terbuang dalam kesendiriannya, ia pun memutuskan untuk memanjakan gadis idamannya, Sutijah, dengan uang hasil korupsi. Dan ia pun berhasil mendapatkan penghargaan yang sepadan.

Akhirnya, atas nama korupsi, Bakir benar-benar memulai kehidupan yang jauh berbeda. Ia meninggalkan lingkungan lamanya, lalu masuk ke dalam lingkup kehidupan baru yang mendukung nafsunya. Hidup di tempat yang jauh, dengan kawan-kawan baru, juga istri yang baru, Sutijah. Ia bahkan bergabung dengan grup koruptor yang gandrung dengan gaya hidup foya-foya dan pergaulan bebas di antara sesama anggota. 

Tapi menumpukan hidup pada uang korupsi, nyatanya tak bisa membuahkan ketenangan. Meski berhasil mengusir rasa sepi dengan membeli riuh-riuh dunia, ketakutan soal akhir kisahnya nanti, semakin menghantui di sepanjang waktu. Semakin bertupuk saja ketakutan itu, seiring bertumpuknya rasa bersalah yang terpendam. Dan untuk menghilangkan rasa ketakutannya, tak ada cara bagi Bakir selain larut dalam foya-foya dunia, meski ia tahu, ujungnya hanya rasa bersalah dalam hati, yang lalu menumpuk ketakutan, lagi.

“Kedamaian dan ketenangan yang dahulu begitu membahagiakan kehidupan berumah tangga bersama anak-anak dan biniku, kini telah hilang, mungkin juga untuk selama-lamanya. Kesederhanaan hati telah terbakar punah. Yang tinggal adalah keriuhan, seperti pernah kuketahui bersarang dalam hari Sutijah sebelum kami kawin. Rupa-rupanya sekali telah melangkahkan  kaki di gelanggang korupsi, orang tak akan melihat jalan kembali,” kenang Bakir (hlm. 108-109).

Momok menakutkan itu, pun, jadi kenyataan juga. Serangkaian aksi Bakir sebagai koruptor, terbongkar sudah. Ia terciduk menyebarkan uang hasil korupsi dari pengusaha yang ternyata uang palsu. Ia dikhianati dalam aksi penghianatan. Dari situlah, semua rahasia terbongkar, tentang semua tindakan kotor yang ia lakukan dengan para pengusaha kotor.

Sampai akhirnya, tak ada yang berubah dari rencana Bakir semula untuk memperbaiki hidup dari hasil korupsi. Bahkan semua tampak semakin memburuk. Uang hasil korupsinya disita. Ia menjadi pesakitan. Hingga Sutijah, istri sampingannya, melahirkan seorang anak bernama Rahmah, yang ternyata bukan anak kandungnya, melainkan anak seseorang lelaki, kawannya dalam grup “koruptor pro pergaulan bebas”.

Di sela-sela akhir cerita hidupnya yang nahas, Bakir menyadari bahwa watak korupsinya terbentuk dari pergulatan sejarah yang panjang. Ia hidup di zaman kolonial, di kala para pejabat seringkali menghamba pada para penjajah, demi mendapatkan kesenangan hidup. Dan ia sadar, bahwa golongan tua sepertinya, tak sedia jika kehidupan yang nyaman di zaman kolonial, berganti begitu saja. 

“Segala kejadian kubiarkan lalu. Namun tambah tua tambah terasa betapa sia-sianya satu angkatan yang aku wakili ini. Tambah tua tambah tolol, tidak punya kemudi, tidak punya keperwiraan –angkatan yang terjadi dari perhubungan yang salah dengan kolonial, yang menyaksikan revolusi dari kejauhan dan pun tanpa keyakinan- satu angkatan khusus yang mengabdi pada kekacauan, dan selama kekacauan ada ia tetap mendapat umpan yang paling banyak,” aku Bakir (hlm (154-155).

Dan di balik sel, terucaplah nasihat Bakir, golongan tua yang masih mewarisi watak kolonial, kepada Sirad, anak muda yang akan memperjuangkan zamannya sendiri dengan penuh kemerdekaan: “Satu-satunya yang akan kuperbuat ialah berdoa agar kalian diberi keperwiraan, diberi keagungan, diberi kekuatan,” ucap Bakir. “Untukku sendiri, aku tidak menunggu hingga diberi. Aku –untukku- semua itu kubuat sendiri, kuciptakan sendiri, kuperjuangkan sendiri,” jawab Sirad. (hlm. 158).

Kini, tinggallah Bakir dengan sejarah kekalahannya di masa tua. Ia telah mencatatkan dirinya dalam sejarah sebagai seorang koruptor. Tapi bukan berarti ia tak meninggalkan amanat yang baik tentang kejuran kepada anaknya. Ia memang bukan teladan sebagai penegak kejujuran, tapi ia telah memberi contoh dengan dirinya sendiri tentang bagaimana akhir dari seorang yang memilih jalan hidupnya sebagai koruptor. 

“Setidak-tidaknya engkau telah memberi contoh yang tepat pada anak-anakmu apa sesungguhnya yang tidak boleh diperbuat,” kata Mariam, sang istri, kepada Bakir (hlm. 151).

Hukum di Alam Maya

Perkembangan teknologi telah menyeret kehidupan manusia ke dalam layar-layar kaca. Mengalihkan kenyataan hidup ke dalam ragam platform media sosial. Membangun rumah-rumah di dalam perangkat lunak, kemudian berhubungan dengan penghuni lain. Senang dan tanpa bosan bersilaturahmi, sambil berbagi apa saja. Saking asyiknya, para penghuni dunia maya itu, kadang lupa waktu untuk memalingkan wajah dari layar.
 
Tentu ada beragam alasan orang-orang untuk bermedia sosial. Ada yang memang untuk bersosialisasi dengan orang baru di tempat yang berbeda. Ada juga yang sekadar untuk mendapatkan informasi terkini, atau menyimpan kenang-kenangan. Tapi alasan yang paling umum terdengar adalah untuk menunjukkan eksistensi diri. Berusaha mempertontonkan kebolehan di akun media sosial, sembari berharap respons yang positif dari penghuni lain. 

Tapi apa pun alasan penghuni media sosial, pada dasarnya, semua hendak mempertunjukkan dirinya. Sebagai ruang satu arah, di mana setiap orang bisa berbagi informasi tanpa diminta, juga tanpa rintangan siapa pun, setiap orang bebas mengungkapkan isi hati dan pikiran untuk jadi konsumsi publik. Paling tidak, itu dapat dilihat kebiasaan orang-orang menulis status tentang dirinya di media sosial atas kehendaknya sendiri.

Dengan demikian, tak salah kemudian kalau disimpulkan bahwa apa yang tersaji di ruang media sosial, pada dasarnya adalah persoalan-persoalan yang bersifat subjektif. Bahkan karena tak ada lawan kominikasi secara langsung yang mungkin menimbulkan keseganan atau keengganan berbagi, unggahan-unggahan di media sosial, bisa jadi merupakan rahasia pribadi yang tak menemukan pelabuhannya di dunia nyata. Perihal yang sangat jujur dari hati.

Kaitan kata hati dengan unggahan di media sosial, jelas menjadi realitas yang dianggap paralel oleh khalayak. Apa yang terunggah, begitulah sebenarnya yang terasa. Bahkan mungkin informasi di media sosial, lebih jujur ketimbang informasi yang diperoleh secara langsung. Karena itu, setiap orang akhirnya saling membaca kepribadian hanya dengan saling mengamati profil pribadi atau unggahan-unggahan di media sosial. Bak membaca diary berisi curahan hati yang tersaji begitu saja di layar-layar kaca. 

Komunisasi tanpa lawan secara langsung di media sosial, akhirnya membuat orang dengan bebas berkeluh-kesah tanpa banyak pikir dan perimbangan. Apa yang senormalnya akan disembunyikan rapat-rapat di hadapan seseorang, kadang kala, malah diungkapkan di media sosial, tanpa rasa segan, takut, atau malu. Seakan-akan setiap orang berhak mengungkapkan isi hatinya, tanpa peduli bagaimana perasaan orang lain.

Akhirnya, media sosial terkesan lebih jujur dan lebih emosional dibanding kehidupan nyata. Jika di kehidupan nyata orang bercakap sambil dibatasi oleh tata karma kesopanan, maka di media sosial, orang boleh berkeluh kesah tanpa menghiraukan sopan santun dan kesusilaan. Yang dipedulikan adalah bagaimana mengungkapkan perasaan diri sendiri secara gamblang, tanpa memedulikan bagaimana perasaan orang lain.

Atas komunikasi tanpa memperimbangan emosi di media sosial, akhirnya, terjadilah ketersinggungan dan kekisruhan antarindividu akibat unggahan yang senantiasa ditimbang dengan rasa-rasa sendiri. Walau tanpa bertatapan langsung, seseorang bisa saja tersinggung atas sebuah unggahan, lalu memperkarakannya di dunia nyata. Bahkan sebuah unggahan yang bersifat subjektif, mungkin saja ditimbang dengan subjektivitas banyak orang, yang kemudian ramai-ramai berperkara.

Imbasnya, terjadilah fanomena yang sebenarnya unik. Orang-orang tampak saling memperkarakan di hadapan hukum akibat komunikasi semu di media sosial. Semu, sebab orang yang terlibat dalam interaksi media sosial, tak berhadapan secara langsung. Tapi meski tak ada satu pun lawan komunikasi, setiap pengunggah, dianggap berkomunikasi dengan semua penghuni media sosial di ruang akunnya, yang juga berhak menafsir, menanggapi, atau mempermasalahkan unggahannya.

Tak pelak, lakulah delik-delik yang bisa memperkarakan orang di media sosial. Yang paling popular adalah UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektornik, yang diistilahkan banyak orang sebagai undang-undang sapu jagat. Alasannya karena klausul pidana dalam undang-undang tersebut, memiliki ruang lingkup yang luas dan pontensial menjerat setiap orang yang terlibat dalam pokok interaksi media sosial yang diperkarakan.

Sungguh, tanpa sadar, orang-orang telah sampai di masa pemidanaan persoalan-persoalan dunia maya yang sebenarnya semu. Tidak nyata. Karena itulah, kedewasaan dan sikap tengang rasa di ruang media sosial, harus menjadi pegangan terbaik setiap orang. Para pengguna media sosial harusnya sadar bahwa ruang maya itu, adalah ruang yang gaduh dan seringkali tak memandang nilai. Karenanya, butuh kesabaran yang kuat dalam bermedia sosial untuk menghindari pancingan emosi.

Dan tentu saja, bagi setiap orang yang merasa tak tahan dengan kegaduhan media sosial, harusnya menempuh cara terbaik untuk meloloskan diri, yaitu berhenti bermedia sosial, atau paling tidak, menghindari perkawanan dengan orang-orang yang tak peduli nilai di layar kaca. Alasannya karana setiap orang yang bermedia sosial, harusnya paham sedari awal bahwa risiko ketersinggunagn secara emosional, sangat mungkin terjadi di ruang maya nan liar itu.

Pada sisi pengunggah, perlu pula adanya kesadaran bahwa media sosial adalah media untuk bersosial. Sebab itu, ketersinggungan pribadi harusnya tak selalu berarti menyalahkan si penanggap, bisa jadi si pengunggah sendiri yang terlalu suka membagi kesan pribadinya pada ruang media sosial yang disesaki khalayak. Karena itu, setiap orang perlu menghindari unggahan yang bersifat pribadi, jikalau tak ingin soal pribadi dan kepribadiannya di media sosial, dipermasalahkan di dunia nyata.

Akhirnya, cara terbaik untuk menghindari ketersinggungan subjektif di media sosial adalah membiasakan diri untuk hanya menguggahlah hal-hal yang bersifat umum saja, yang sekiranya menjadi sesuatu yang berguna bagi orang lain, dan tidak menyinggung ranah personal siapa pun, sebagaimana hakikat media sosial untuk bersosial. Setiap orang harusnya bermedia sosial dengan hati, seakan-akan ia berhadapan langsung dengan khalayak di dunia nyata.

Omong Kosong

Buku-buku menumpuk
Telah terbaca lembar demi lembar
Setelah dikutui setiap waktu
Lusuh tampaknya, juga berdebu
Tercoret dan terlipat beberapa penanda

Telah juga tertulis berjejer halaman
Dalam perangkat lunak yang canggih
Tertulis tanpa rasa beban
Dari kata-kata karangan
Sampai salinan buku-buku

Terpandanglah sebagai pencinta ilmu
Pejuang literasi yang kaya karya
Dielu-elukan di pentas diskusi
Diundang berkhotbah tentang kemanusiaan
Dan semua orang menanti

Sekarang, duduk lagi ia seperti biasa
Pada kursi yang sabar memangku beban
Di sekeliling semut yang bahu-membahu
Di tengah gaduh-gaduh tetangga yang perlu
Atau senyap dan mati diam-diam
Yang tak ia peduli selain kata-kata
Terus saja menghamba pada omong kosong

Rabu, 25 April 2018

Kepala Daerah dan Cita Pembangunan


Keriuhan perihal pemilihan kepala daerah (pilkada), semakin menggema. Obrolan soal pilkada, mengisi ruang-ruang publik. Tidak hanya ramai di layar-layar gawai, tetapi juga di kehidupan nyata. Yang terlibat bukan hanya mereka yang terdidik dan mengerti soal politik secara utuh, tetapi juga masyarakat awam yang memahami politik hanya sekadar pemilihan.
Antusias masyarakat terkait penyelenggaraan pilkada, tentu merupakan situasi yang menggembirakan. Hal itu mengindikasikan bahwa masyarakat mulai menghargai dan memahami arti penting demokrasi dalam rezim otonomi daerah. Yang diharapkan tentu adalah proses pilkada melahirkan pemimpin yang mampu mewujudkan pembangunan.
Namun ekspektasi masyarakat soal korelasi kualitas kepala daerah dan pembangunan daerah, nyatanya terhalang oleh sistem ketatanegaraan. Pada realitasnya, kepala daerah provinsi atau kebupaten/kota, memiliki jarak dengan masyarakat. Gubernur, bupati, dan walikota, tak lain hanyalah peramu dan penerus konsep pembangunan nasional di daerah untuk disarankan kepada pemerintah desa, yang kemudian diimplementasikan di dalam kehidupan masyarakat.
Konsep Otonomi Daerah
Secara  konstitusional, Pasal 18 UUD NRI Tahun 1945 menetapkan bahwa pemerintahan daerah dibagi atas daerah-daerah provinsi, yang kemudian dibagi lagi atas daerah kabupaten/kota. Tiap-tiap pemerintahan daerah itu, mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya berdasarkan konsep otonomi seluas-luasnya, dan tugas pembantuan.
Konstruksi pemerintah daerah, pada dasarnya berakar dari tiga asas, yaitu desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan. Asas desentralisasi, yaitu penyerahan urusan pemerintahan oleh perintah pusat kepada pemerintah daerah otonom. Asas dekonsentrasi, yaitu pelimpahan urusan pemerintahan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Sedang asas tugas pembantuan adalah pelaksanaan urusan pemerintah pusat oleh pemerintah daerah..
Tiga asas pemerintahan daerah di atas, menjadi dasar pengalokasian urusan pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Berdasarkan Pasal 9 dan 10 UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah pusat yaitu politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter-fiskal nasional, dan agama. Namun begitu, serangkaian urusan tersebut, bisa juga dilimpahkan kepada gubernur berdasarkan asas dekonsentrasi.
Di luar daripada urusan pemerintahan yang menjadi urusan pemerintah pusat, pada dasarnya, secara otomatis menjadi urusan pemerintah daerah. Urusan-urusan itu, terjabarkan dalam Pasal 12 ayat (1), (2), dan (3) UU No. 23 Tahun 2014, yaitu pendidikan, kesehatan, pekerjaan umum dan penataan ruang, perumahan rakyat dan kawasan permukiman, tenaga kerja, pangan, lingkungan hidup, dan lain sebagainya.
Urusan pemerintahan daerah di atas, dapat juga menjadi urusan pemerintah pusat. Pengambilalihan oleh permerintah pusat didasarkan pada alasan yang tercantum dalam pasal 13 ayat (2) UU No. 23 Tahun 2014, yaitu urusan pemerintahan berlokasi dan berdampak lintas daerah provinsi atau lintas negara, urusan pemerintahan lebih efisien apabila dilakukan oleh pemerintah pusat, dan urusan pemerintahan bersifat strategis bagi kepentingan nasional.
Adanya sistem pengalokasian urusan pemerintahan berdasarkan konsep otonomi daerah, tak pelak membuat urusan pemerintah daerah menjadi sangat luas. Tapi secara konstitusional, tata pemerintahan memang mengharapkan urusan pemerintahan dititipberatkan pada pemerintah daerah. Pasal 18 ayat (5) UUD NRI Tahun 1945 menyatakan bahwa pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan pemerintah pusat.
Hierarki Pemerintahan
Penyelenggaraan pemerintahan yang bertingkat di era otonomi daerah, akhirnya menimbulkan dampak pada hubungan pemerintahan. Antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, terdapat ruang-ruang yang tak bisa bersinggungan. Secara struktural, pemerintah pusat di tingkat tertinggi memang membawahi pemerintah daerah. Namun secara fungsional, pemerintah pusat tak bisa “merajai” pemerintah daerah dalam soal urusan pemerintahan daerahnya sendiri.
Yang terjadi akhirnya, pemerintah pusat hanya sebagai koordinator dalam menjaga ritme pembangunan nasional. Fungsi utamanya sebagai penengah dalam urusan pemerintahan antardaerah. Paling mungkin, pemerintah pusat hanya bertindak sebagai fasilitator program, pengawas, dan juga evaluator demi menjamin bahwa pembangunan di setiap daerah berjalan secara seimbang dan berkontibusi terhadap citra pembangunan nasional.
Lemahnya kuasa pemerintah pusat di daerah, setidaknya tampak dalam Pasal 7 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2014 yang menyatakan bahwa pemerintah pusat sekadar melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah. Meski memiliki fungsi pengawasan, namun hal itu tak berdampak apa-apa, sebab pemerintah pusat, tidak dapat pemberhentikan kepala pemerintahan daerah sekiranya terdapat masalah pembangunan.
Adanya sekat antara pemerintah pusat dan daerah, akhirnya membuat implementasi kebijakan nasional sangat tergantung pada pemerintah daerah. Untuk pelaksanaan program berasaskan tugas pembantuan, mungkin saja terjadi sinergitas yang baik, sebab daerah diuntungkan dengan pembiayaan pemerintah pusat. Namun pelaksanaan urusan pemerintahan yang tunduk pada asas desentralisasi, misalnya, sangat tergantung pada kebijakan pemerintah daerah.
Pun, di tingkat pemerintah daerah, ada juga sekat antarpemerintah. Pemerintah provinsi sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat di daerah, yang bertugas sebagai penyelaras antara pembangunan nasional dan daerah, juga tak punya kuasa untuk memaksakan urusan pada pemerintah kabupaten/kota. Bagaimana pun juga, pemerintah kabupaten/kota sebagai daerah otonom, memiliki priotitas urusan pemerintahan sendiri.
Akhirnya, implementasi program pembangunan nasional atau provinsi, ditumpukan pada keputusan dan kebijakan pemerintah kabupaten/kota. Karena itulah, kedudukan pemerintahan kabupaten/kota menjadi sangat stategis dalam pembangunan nasional. Pada tataran penyelenggaraan pemerintahan daerah, di pihak pemerintah kabupaten/kotalah, konsep otonomi diharapkan memberi dampak langsung pada perbaikan kehidupan masyarakat.
Kuasa Pemerintahan Desa
Tapi, implementasi program pembangunan di daerah, nyatanya, tak berhenti dan tak bertumpu pada pemerintah kabupaten/kota. Pasca lahirnya UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, terciptalah tingkat pemerintahan bawah yang kokoh, yaitu pemerintahan desa. Posisinya bahkan tak bisa dianggap suboordinasi pemerintah daerah semata. Secara kelembagaan, pemerintah desa punya posisi yang terlepas dari sistem pemerintahan pusat maupun pemerintahan daerah.
Kedudukan pemerintah desa sebagai satu entitas yang “kokoh”, diperkuat oleh kenyataan bahwa kepala desa sebagai pemerintah desa, juga dipilih secara demokratis, sebagaimana bupati/walikota, gubernur, atau presiden. Dengan demikian, tak ada kuasa bagi pemerintah pusat dan daerah untuk memaksakan pelaksanaan urusan pemerintahan tertentu, sebab daulat pemerintah desa adalah daulat rakyat di desa. Tanggung jawab dan legitimasi kedudukan kepala desa pun, ditumpukan pada masyarakat desa.
Atas legitimasinya yang kuat, pemerintah desa pun menjadi satu entitas yang otonom. Paling tidak, pemerintahan desa memiliki kemandirian untuk mengatur dan melaksanakan urusannya sendiri, sebagaimana berlaku pada tingkat pemerintahan pusat dan daerah. Pemerintahan desa berwenang menyusun program pembangunan desa, hingga membuat peraturan desa yang mengikat bagi masyarakat.
Pasal 19 UU No. 6 Tahun 2014 menyatakan bahwa kewenangan desa meliputi kewenangan berdasarkan hak asal usul, kewenangan lokal berskala desa, serta kewenangan yang ditugaskan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah berserta biayanya. Serangkaian kewenangan tersebut tampak mengokohkan pemerintah desa sebagai penyelenggara urusan pemerintahan secara mandiri, pun melaksanakan tugas yang dilimpahkan dari pemerintahan tingkat atas, sebagaimana pada pemerintah daerah yang berdasarkan otonomi seluas-luasnya.
Sepanjang yang terbaca dalam UU No. 6 Tahun 2014, pemerintah pusat ataupun pemerintah daerah, memang memiliki kuasa untuk menata desa secara kelembagaan, misalnya dalam hal pembentukan desa. Secara fungsional, dalam hal pelaksanaan urusan pemerintahan di desa, pemerintah pusat ataupun pemerintah, juga memiliki kewenangan pembinaan dan pengawasan penyelengaraan pemerintahan desa. Namun kewenangan tersebut, lebih ditujukan pada fungsi koordinatif, bukan komando, sebab urusan pemerintahan desa tetap tergantung pada kehendak masyarakat desa.
Pada tata pemerintahan demikian, tampak bahwa kebijakan pemerintahan desa, jadi lebih mempengaruhi kebijakan pemerintah pusat dan daerah, ketimbang sebaliknya. Pemerintah desa menjadi satu anak tangga yang harus dilalui bagi implementasi kebijakan pemerintah pusat dan daerah di desa. Perumusan kebijakan pembangunan desa, beserta implementasinya yang menyentuh langsung pada kehidupan masyarakat, tergantung pada khayalak desa.
Konsep keotomian desa, pun, semakin kokoh dengan lahirnya kebijakan pemerintah pusat untuk menggenjot pembangunan di desa, yaitu dengan pemberian dana desa. Program ini membuat pemerintahan desa semakin berdaya dalam melaksanakan program pembangunan dan pemberdayaan desa. Demi efektifitas dan efisiensi pembangunan desa, program berskala nasional ini bahkan hanya mendudukkan pemerintah daerah sebagai fasilitator atau perantara antara pemerintahan pusat dengan desa.
Atas posisinya yang sangat menentukan bagi pembangunan masyarakat secara nyata, bahkan menyasar hingga ke pelosok terpencil, perhatian masyarakat atas penyelenggaraan pemerintahan negara, patut difokuskan pada pemerintahan desa. Tanpa mengesampingkan keberadaan pemerintah daerah sebagai perantara program pembangunan nasional di desa, masyarakat sudah seharusnya memberikan kepeduliannya pada tata kelola pemerintahan desa.
Akhirnya, segaduh apa pun perhelatan pilkada, tak selayaknya menutup perhatian kita pada perhelatan demokrasi di desa yang benar-benar memiliki dampak pada kehidupan individu per individu. Di desalah, konsep pembangunan dari, oleh, dan untuk rakyat, bisa berlangsung efektif dan berdampak nyata. Oleh karena itulah, percuma larut dan menaruh harapan pada perhelatan demokrasi di tingkat pusat dan daerah, jikalau akhirnya mengabaikan demokrasi di tataran desa.