“Ah… Tidak…!” seru-keluh Bira, berulang-ulang, sambil terisak keras.
Lamat-lamat, seseorang tetangga dekat mendengar raungan Bira. Sang tetangga pun lekas bertandang untuk mengecek apa yang terjadi. Sampai akhirnya, perempuan itu melihat Bira tengah duduk di lantai dapur, sambil memeluk kaki suaminya yang menggantung, dengan leher terikat seutas tali yang tersampul di balok langit-langit.
Keadaan pun gempar.
Satu per satu warga terus berdatangan seiring menyebarnya informasi bahwa Murad, suami Bira yang tua renta, telah mati bunuh diri. Dalam sekejap, warga pun berkerumun untuk menyaksikan ketragisan itu. Beberapa orang lantas menurunkan jasad Murad yang kaku, beberapa yang lain berusaha menenangkan dan menguatkan hati Bira.
Detik demi detik bergulir. Perkiraan-perkiraan tentang sebab Murad mengakhiri hidupnya sendiri, akhirnya menyeruak di tengah warga. Kebanyakan dari mereka mengira bahwa Murad telah kehilangan kesabaran atas penyakit parunya yang akut. Sebagian yang lain menduga bahwa Murad menyalahkan dirinya yang telah membuat Asmi, putri semata wayangnya, pergi meninggalkan rumah sejak dahulu. Beberapa yang lain menganggap faktor fisik dan kejiwaan itu telah berpadu untuk memutuskan asa hidup sang lelaki tua itu.
Tetapi perkiraan para warga, hanyalah prediksi-prediksi saja. Tak ada yang benar-benar tahu sebab pasti kematian Murad selain dirinya sendiri dan Tuhan, ataupun Bira, yang merupakan satu-satunya teman seatap bagi Murad selama ini. Yang pasti, lelaki yang terkenal keras kepala itu telah meninggal dengan kabar penuh misteri yang menyebar di dunia nyata dan dunia maya, sedang para warga akan terus berurusan dengan tanda tanya mereka masing-masing.
Di tengah suasana kelabu yang masih menyelimuti para warga, akhirnya, lepas tengah hari, proses penguburan Murad pun selesai. Perlahan-lahan, orang-orang kemudian meninggalkan Bira di rumah tuanya dengan kepiluan yang mesti ditanggungnya seorang diri, sebab tak ada siapa-siapa lagi yang akan menjadi teman berbagi untuknya.
Akhirnya, di tengah keterasingan dan kekalutan hatinya, Bira semakin terkenang pada Asmi, anak tunggalnya, yang pergi tanpa pamit ke pulau seberang sejak dua puluh tahun yang lalu. Asmi pergi dengan kekesalan saat umurnya masih 16 tahun, setelah Murad berkeras agar ia menikah dengan seorang lelaki pemilik usaha air minum yang terkenal kaya, yang sepantaran ayahnya itu, demi meningkatkan derajat perekonomian keluarga, dan Bira setuju saja. Tetapi Asmi menolak dengan keras pula untuk melakoni pernikahan tanpa dasar cinta.
Sebagai balasan atau gantinya, Asmi pun menuturkan kehendaknya untuk sekolah tinggi-tinggi demi meningkatkan derajat keluarga, yaitu dengan akses yang lebih baik terhadap pekerjaan yang lebih menjamin dan bergengsi, agar kelak keluarga mereka tak lagi dipandang rendah karena faktor pendidikan sebagaimana ibunya yang hanya tamatan sekolah dasar atau ayahnya yang sama sekali tak pernah sekolah, yang membuat keduanya tak bisa apa-apa selain menjadi buruh tani. Tetapi kedua orang tuanya itu, juga balas menolak keinginannya.
Dan akhirnya, terjadilah perpisahan itu.
Tahun demi tahun setelah kepergian Asmi, Bira dan Murad pun disesaki penyesalan. Tetapi penyesalan memang datang terlambat dan tak mampu lagi menggugah perasaan sang anak untuk pulang. Kata-kata maaf yang disuratkan Bira di tahun-tahun awal kepergian sang anak, juga tak mempan memperbaiki hubungan mereka. Sang anak terlanjur pergi dengan amarah, dan perlahan-lahan menghilang.
Tetapi kini, dengan apa yang telah terjadi pada diri Murad, seperti apa yang telah disaksikan orang-orang, sesuai apa yang telah ia rencanakan, Bira memendam harapan kuat semoga Asmi mendapatkan kabar mengenaskan itu, lantas tergugah untuk pulang. Bagaimana pun, di usianya yang sudah senja, ia sangat membutuhkan kehadiran seseorang sebagai pendamping hidup, dan sang anak adalah satu-satunya harapan baginya.
Sampai akhirnya, keadaan pun benar-benar tercipta sesuai keinginan Bira. Ketika hari menjelang malam, tiba-tiba, seorang datang ke rumahnya. Sesosok perempuan yang tampak sangat cantik, yang masih bisa ia baca sebagai putrinya, Asmi.
Sontak, dengan penuh keharuan, Bira dan Asmi pun saling memeluk erat, begitu lama, sambil tersak dan berbagi kata-kata maaf, rindu, dan cinta.
Setelah meluruhkan tumpukan emosi, mereka lantas duduk bersampingan di sebuah sofa untuk menguraikan isi hati masing-masing.
“Maafkan aku atas apa yang telah kami lakukan terhadapmu, Nak,” kata Bira kemudian, sambil menangis penuh keharuan.
Asmi mengangguk tegas. “Aku juga minta maaf, Bu. Tidak seharusnya aku meninggalkan Ayah dan Ibu tanpa kabar dalam waktu yang begitu lama,” balasnya dengan sukacita yang sama. Ia lantas kembali menggenggam tangan ibunya. “Aku mohon, maafkan aku, Bu.”
Bira mengangguk tegas dan melayangkan senyuman di balik tangisnya.
Mereka lantas saling memandangi dan hanya berbagi bahasa kalbu.
Sesaat kemudian, Bira merogoh secarik kertas dari dalam saku dasternya, lalu menyerahkannya kepada sang anak. “Aku dapat ini di dekat jasad Ayahmu,” terangnya.
Asmi menyambut dan menyibak kertas itu, kemudian lekas membaca isinya. Seketika, tangisannya pun kembali pecah, dan ia lekas memeluk ibunya lagi. “Aku janji, aku tak akan meninggalkan Ibu sampai kapan pun.”
Seketika, Bira jadi semakin haru mendengar janji sang anak.
Asmi lalu mengurai pelukan dan menatap sang ibu. “Aku ingin Ibu ikut aku ke kota seberang. Di sana, aku akan menjaga dan merawat Ibu baik-baik. Ibu mau, kan?”
Bira pun mengangguk tegas, lantas kembali memeluk sang anak dengan derai air mata yang semakin deras akibat dua rasa yang berbeda. Ia menangis penuh sukacita atas keinginannya yang telah terwujud sesuai rencana untuk kembali bersatu dengan sang anak, juga menangis penuh dukacita atas ketegaannya yang telah menggantung jasad suaminya yang telah mati karena serangan jantung demi keinginannya itu.
Mereka lalu kembali mengurai pelukan.
Asmi lantas mengeja ulang kalimat di secarik kertas yang dikatakan oleh sang ibu sebagai wasiat dari sang ayah: Maafkan kami, Nak. Aku mohon, jagalah Ibumu baik-baik.
Seketika, Asmi menjadi sangat terenyuh membaca pesan itu, tanpa sempat lagi berpikir bahwa ayahnya adalah seorang buta huruf.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar