Bagian ke-9 dari cerita bersambung Setapak Berliku
Aku dan Fatih akhirnya tiba di rumah menjelang sore. Aku masuk terlebih dahulu dengan perasaan galau, sedang Fatih menyusul sambil membanting pintu.
“Sialan!” celetuk Luny yang tengah duduk di sofa sambil menonton televisi.
Aku lalu menghenyakkan diri di samping kirinya, kemudian merenungi kembali keadaan kakek-nenekku.
“Apa yang terjadi? Apa kalian mendapatkan informasi yang penting?” tanya Luny, sambil menoleh ke arahku.
Aku melirik Fatih dengan lesu, dan ia balik melirikku.
Fatih lalu menghempaskan badan di samping kanannya. “Kami tak mendapatkan informasi apa-apa,” jawabnya, seolah-olah mengerti bahwa aku ingin menenangkan diri dan tak ingin berkutat dengan bagian informasi yang pahit. “Kami malah menemukan kenyataan bahwa masyarakat masih mengimani tafsir rezim otoriter dan menganggap orang-orang seperti Rumi sebagai anak iblis.”
“Zaman telah berganti, tetapi isi kepala sebagian anak bangsa memang tak berubah,” timpal Luny dengan raut kesal. Ia lalu menghela-embuskan napas yang panjang. “Bersabarlah! Semoga yang terbaik untuk Kakek-Nenekmu.”
Aku mengangguk-angguk lemas. “Semoga!”
Tiba-tiba, televisi menayangkan ulasan sejarah tentang peristiwa pembantaian di awal tegaknya rezim otoriter.
“Penguasa rezim otoriter memang biadab. Mereka telah menebar virus kebencian yang menginfeksi alam bawah sadar anak bangsa,” tuding Luny, gusar. “Puluhan tahun mereka melakukan praktik cuci otak untuk menegakkan kebenaran tunggal tentang sejarah. Mereka mengesahkan diri mereka sebagai pahlawan dengan mencap para oposan sebagai pengkhianat.”
Fatih mendengkus, kemudian menimpali, “Dan karena itu, butuh waktu puluhan tahun juga untuk mengembalikan kesadaran anak bangsa pada kebenaran sejati. Atau mungkin harus menunggu sampai semua orang tua berpikiran kolot mati bersama kesadaran buatan rezim otoriter.”
“Kita bisa mewujudkannya lebih cepat,” sergah Luny, dengan ekspresi yang penuh keyakinan. “Kita semestinya tidak berpasrah pada waktu.”
“Bagaimana maksudmu?”
“Kita harus melakukan gerakan perlawanan!”
Fatih mendengus dan melepas tawa yang pendek. “Bagaimana caranya?”
“Segala macam cara bisa kita lakukan, sebagaimana cara yang dilakukan penguasa rezim otoriter di masa dahulu.”
“Kau ingin membantai juga?”
“Gila! Aku tak akan menjadi dajal-dajal baru!” solot Luny. “Yang kumaksud adalah menggunakan cara-cara propaganda mereka dengan menyebarluaskan gagasan pencerahan melalui segala macam media untuk menggalang massa.
Fatih mengangguk-angguk saja dengan bibir yang manyun.
“Tetapi kita juga mesti melakukan unjuk rasa, karena kita yang punya pemahaman berbeda dan benar, tidak semestinya bersembunyi karena teror dominasi massa orang-orang yang berpahaman salah. Jika kita terus bersembunyi, maka selamanya kita akan kalah, sebanyak apa pun orang-orang yang telah sepahaman dengan kita,” sambung Luny.
Fatih lalu menyerongkan badan ke sisi kekasihnya. “Idemu sangat menarik, Sayang! Tetapi sayang, dalam soal penerapan, aku selalu meragukanmu,” tanggapnya, dengan sikap meledek. “Menulis? Tidak! Membaca? Malas! Demonstrasi? Takut!”
“Apa?” Luny tampak jengkel. “Kau lebih tidak ada apa-apanya. Kau hanya peduli soal buku, data, wawancara, dan segala hal yang kau butuhkan agar penelitianmu cepat berakhir. Malah, kukira, kau hanya memanfaatkan kami untuk penelitian sejarahmu demi mendapatkan gelar master.”
Seketika, aku jadi khawatir akan terjadi pertengkaran hebat di antara mereka.
Namun Fatih malah tertawa terbahak-bahak. “Kau jangan sok-sok peduli!”
Luny geram. “Akan aku buktikan bahwa kaulah yang pengecut dan tak berguna! Kau lihat saja, Sialan!”
Fatih malah menyambung tawa, kemudian bengkit dan beranjak ke ruang belakang.
Aku meliriknya sambil menggeleng-gelengkan kepala, tetapi ia malah tersenyum senang.
Luny kembali fokus menatap layar televisi dengan sikap dongkol. “Sialan memang!”
“Jangan ambil hati. Dia hanya bercanda,” kataku.
Kami lantas menyaksikan berita yang lagi-lagi menayangkan percekcokan politikus soal isu kebangkitan komunis di negeri ini. Seorang politikus, perwakilan calon presiden opisisi, menegaskan bahwa kebangkitan komunis adalah ancaman yang nyata dengan berdasar pada merebaknya buku-buku bertema komunisme, ditemukannya penggunaan lambang partai terlarang, dan masuknya imigran dari negara beriodelogi komunisme. Tetapi lawan bicaranya, perwakilan calon presiden petahana yang dituding berkawan dengan komunis, bersikeras membantah dan menyatakan bahwa isu kebangkitan komunis sengaja disebarluaskan oleh pihak tertentu untuk kepentingan politik praktis.
“Selama sejarah masih kabur, dan sentimen negatif terhadap komunisme masih sangat kuat di tengah masyarakat, selama itu pula orang-orang sepertimu akan menjadi bahan dan korban perdebatan menjelang pesta demokrasi,” komentar Luny.
“Ya. Saat ini, aku menyaksikan dan merasakan kenyataan itu secara langsung,” balasku. “Karena itu, aku pikir, menjelang pemilu ini, kita harus mengambil peran. Kita harus berpihak kepada kelompok politik yang pro terhadap proses penyelesaian kasus kejahatan HAM di masa lalu.”
“Benar,” tanggap Luny. “Dan kita harus berusaha agar politikus yang ada kaitannya dengan sejarah pelanggaran HAM itu, tidak menjadi penguasa di negeri ini. Kita harus berjuang agar para pewaris rezim otoriter itu tidak memegang kendali pemerintahan dan mengulang kekejaman masa lalu.”
“Demi kemanusiaan, kita tahu harus berpihak ke mana,” kataku, dengan kesepahaman penuh. “Sudah cukup kami yang jadi korban di awal berdirinya dan di ujung berakhirnya rezim otoriter. Jangan sampai terulang lagi.”
Ia mengangguk setuju.
Sesaat kemudian, Fatih datang membawa sebuah nampan berisi tiga gelas kopi susu, “Silakan,” katanya.
Aku pun mengambil segelas dan meletakkannya di atas meja.
“Tuan Putri tidak mau?” canda Fatih.
Luny bergeming.
“Aku tahu sisi keperempuananmu tersinggung sebab kaulah yang seharusnya menyuguhkan kopi, kan?” ledek Fatih lagi. “Maafkanlah aku.”
“Jujur, aku tak pernah menyukai kopi buatanmu. Sama sekali tidak enak,” balas Luny. “Kau mesti sering-sering menyeduh kopi agar kau terlatih meracik kopi. Jangan selalu berharap padaku. Perempuan tidak diciptakan untuk menjadi penyeduh kopi.”
Fatih tertawa. “Itulah sebabnya aku melakukannya lagi, Sayang. Jadi, hargailah usahaku untuk belajar menjadi lelaki seperti yang kau mau,” katanya, lalu mengedip-ngedipkan sebelah matanya kepadaku. “Cobalah! Yang kali ini pasti enak!”
Aku paham maksudnya. Aku lalu menyesap kopi seduhannya, kemudian menuturkan kalimat-kalimat pujian, “Kopi buatanmu enak juga. Rasanya pas. Kau sepertinya punya bakat menjadi peracik kopi yang andal.”
“Sebuah persekongkolan yang sangat terbaca,” singgung Luny, lalu mengambil segelas kopi yang tersisa. Ia lalu menyeruput kopi itu tanpa memberikan respons apa-apa.
“Kau tak perlu mengungkapkan kata-kata pujian. Aku bisa membacanya dari wajah manismu,” kata Fatih.
Luny tampak menahan senyumannya.
Seketika, aku jadi iri menyaksikan adegan mereka.
Tiba-tiba, nada pesan ponselku berbunyi. Ada sebuah pesan singkat dari Naya: Kalau kau tak ada kesibukan, datanglah ke Kafe Niro. Aku di sini sekarang.
Gairah hidupku sontak membara. Kesepian sendiriku seakan menumukan penawarrnya.
Dengan perasaan yang menggebu-gebu, aku pun meneguk jatah kopiku selekas mungkin, sampai tandas. Setelah itu, aku permisi dengan alasan hendak ke warung makan di tepi jalan poros. Dan syukurnya, mereka percaya begitu saja, tanpa bertanya curiga.
Tetapi aku menghadapi rintangan yang lain. Di teras depan rumah, aku berpapasan dengan Rano dan Kira yang baru saja tiba sambil membawa nasi goreng untuk kami berlima. Akhirnya, aku pun mengarang alasan yang lain, bahwa aku hendak ke toko buku yang tak jauh dari rumah.
Kira kembali menawarkan diri untuk mengantarku, tetapi aku berkeras menolak. Tawar-tolak terjadi, hingga akhirnya ia mengalah.
Aku lalu berjalan beberapa meter dari rumah, kemudian menumpang ojek daring pesananku.
Tiba-tiba, aku bertanya-tanya pada diriku sendiri. Bertanya, mengapa nalarku seketika merahasiakan rencana pertemuanku dengan Naya? Mengapa aku tak jujur saja seperti kemarin-kemarin? Mengapa aku harus menjebak diriku di dalam lingkaran pertanyaan yang akan menjeratku sepulang nanti? Aku sendiri tak mengerti.
Kini, kurasa-rasa lagi kesepianku. Kesepian yang tak akan lenyap meski bersama orang-orang di tengah hura-hura. Kesepian yang menginginkan keintiman dengan seseorang di dalam suasana yang hening. Sebuah kesepian yang bertuan.
Sampai akhirnya, aku tiba di Kafe Niro. Aku pun bergegas melangkah ke satu meja di pojok kiri ruangan, tempat kami bercengkerama di waktu sebelumnya. Dan tepat saja, aku mendapatinya sedang menyendiri dengan tatapan dan senyuman yang hangat ke arahku.
“Ada masalah apa sampai kau mengajakku bertemu?” tanyaku, lalu duduk berhadapan depannya.
Ia pun tertawa kecil. “Apa harus ada masalah untuk mengajakmu bertemu?”
“Seharusnya begitu,” kataku, sambil memandangnya lekat-lekat. “Aku bukan orang yang lihai mencari bahan pembicaraan. Kalau tak ada masalah yang sedari awal hendak kita bicarakan, aku takut kebingungan meramu kata, dan akhirnya kita hanya saling memandang, seperti sekarang.”
Ia pun tergelak dan memalingkan pandangannya.
Pelayan kemudian datang. Kami sama-sama memesan kopi susu dan roti bakar.
Hening beberapa saat.
Ia kemudian bertanya, “Bagaimana hasil penelusuranmu hari ini? Apa kau mendapatkan informasi atau petunjuk tentang peristiwa kematian Ibumu?”
Perasaanku kembali sendu. “Aku telah bertemu dan berbincang dengan seorang lelaki, ayah teman masa kecilku, pemilik gedung pertokoan kami dahulu. Darinya, aku mendapatkan informasi tentang perkiraan keberadaan seorang lelaki yang kuyakini terlibat dalam peristiwa kematian Ibuku.”
“Dari mana kau tahu kalau lelaki itu terlibat?
“Aku melihat tato di pergelangan tangan kanan seorang pelaku bermasker saat peristiwa itu. Satu tato yang mirip dengan tato seorang pemuda yang sering nongkrong di kompleks pertokoan kami itu.”
“Lalu di mana keberadaannya sekarang?
“Kabarnya, dahulu, ia sempat ikut dan penjadi pesuruh salah seorang pemilik usaha di kompleks pertokoan itu. Sekarang, entah. Aku harus mencari tahu lagi.”
Ia mengangguk-angguk. “Semoga kau segera menemukan titik terang.”
“Semoga.”
Pesanan kami pun datang.
Ia menyesap kopinya beberapa kali, kemudian menanyakan perihal yang lain, “Bagaimana dengan kabar keberadaan Kakek dan Nenekmu?
Perasaanku semakin sendu. Kekalutan menyesaki ruang hatiku. “Aku dan seorang temanku telah mengunjungi tempat tinggal mereka dahulu. Tetapi di sana, kami tak menemukan keterangan yang berarti selain kata-kata benci terhadap komunis dari orang-orang yang kami tanyai.”
“Kalian bertengkar?”
Aku menggeleng. “Aku menyamarkan identitasku dengan alasan yang baik.”
“Kau memang pandai bersilat lidah.”
Kami kembali menjeda untuk menikmati roti bakar kami.
Sesaat kemudian, ia melanjutkan pertanyaannya, “Oh, iya, bagaimana dengan orang gila yang rencana kau temui? Apa kau mendapat keterangan darinya?”
Aku kembali menggeleng. “Ia malah ketakutan dan mengusir kami.”
Ia sontak mendengkus. “Mungkin caramu kurang tepat.”
“Entahlah. Aku telah mengupayakannya sebaik mungkin. Aku telah mendekatinya dengan sikap ramah dan akrab, kemudian mulai bertanya tentang keterlibatannya dalam peristiwa kelam itu, tetapi ia malah curiga kalau kami hendak membunuhnya.”
Ia pun berdecak-decak. “Caramu jelas kurang tepat. Orang kehilangan kewarasan karena mereka mengalami peristiwa kelam yang berusaha mereka lupakan. Namun karena melupakan adalah upaya yang tak mungkin berhasil, mereka lalu merekayasa ingatan mereka sendiri, sampai akhirnya mereka larut dalam kesadaran buatan dan berjarak dengan realitas. Nah, dengan pertanyaan yang lugas, kau telah sekonyong-konyong membangkitkan ingatan yang coba ia tutupi di balik kesadarannnya, dan itu membuatnya bersikap reaktif.”
“Lalu bagaimana cara pendekatan yang baik?”
“Kau harus melakukannya secara perlahan. Kau mulailah dengan menarasikan keadaan kaos yang membuatnya tak bebas mengambil tindakan. Itu akan membuatnya terpancing untuk menuturkan sendiri perannya dalam peristiwa. Nah, tugasmu setelahnya adalah membuat ia merasa benar atas tindakan yang telah ia lakukan, agar ia terus berkisah.”
“Saranmu kedengarannya tepat. Patut dicoba!”
Ia pun tersenyum.
“Orang gila memang paham betul soal kegilaaan,” candaku
Ia merengut. “Jika kau masih waras, taktik semacam itu seharusnya terpikirkan olehmu.”
Aku tertawa.
Lalu, aku jadi penasaran tentang dirinya. “Sekarang giliranmu. Ceritakanlah tentang aktivitasmu hari ini.”
Ia pun tersenyum lepas. “Seperti biasa. Selain mengoreksi muatan berita, aku juga harus menyeleksi sejumlah tulisan opini yang masuk.”
“Sepertinya menyenangkan.”
“Tidak juga,” katanya. “Ada begitu banyak tulisan opini dengan tema yang berbeda-beda. Itu membuatku pusing menentukan yang terbaik.”
“Kau akan mudah memilih jika kau punya tolok ukur yang tetap.”
“Tetapi tolok ukurnya memang tidak bisa dibakukan. Selain soal kualitas tulisan, aku harus mempertimbangkan variabel lain yang senantias berubah. Kehangatan isu dan minat pembaca, misalnya,” Ia lalu meneguk kopi susunya sekali. “Sialnya, belakangan ini, aku sulit mendapatkan tulisan opini yang baik dan tepat.”
“Barangkali itu karena kau terlalu cenderung pada minatmu sendiri.”
“Barangkali juga karena para penulis hanya menulis berdasarkan minatnya sendiri dan tak mempertimbangkan situasi,” tuturnya, dengan raut lesu. “Sudah saatnya kau kembali membantuku.”
“Maksudmu?”
“Menulislah lagi untuk mediaku,” pintanya, dengan ekspresi yang menyiratkan permohonan.
“Aku memang terpikir untuk kembali melakukannya. Tetapi aku khawatir kalau tulisanku tidak lagi masuk di dalam radar pertimbanganmu.”
Ia pun tergelak. “Isu-isu yang kau ulas selama ini, tentang sejarah pembantaian, nasib orang-orang pelarian, ideologi dan kekuasaan, adalah isu yang hangat dan diminati para pembaca. Aku tak pernah meragukan kualitas tulisanmu tentang soal-soal itu.”
“Kalau begitu, tunggulah malam ini.”
“Ya. Dan kau pasti menyaksikannya besok pagi.”
Kami pun berbalas senyuman, lantas menjeda untuk menandaskan hidangan.
Berselang beberapa saat, kami pun berbenah, lalu beranjak pulang. Seperti kemarin, kami kembali berpisah menuju ke arah yang berlawanan.
Setibanya di rumah, aku pun menjumpai Fatih dan Rano, yang seketika menatapku penuh curiga.
“Kenapa lama sekali untuk sekadar makan di warung? Apa semua warung yang dekat dari sini, tutup secara tiba-tiba?” singgung Fatih.
“Bukannya kau hendak membeli buku?” timpal Rano, tampak meledek. “Bukunya mana?”
Aku cuek saja.
“Waduh!” seru Fatih. Meledek. “Aku jadi curiga, jangan-jangan semua toko buku dan warung makan telah berpindah tempat.”
“Pindah ke Kafe Niro, mungkin?” pungkas Rano.
“Terserah kalian,” balasku.
Mereka pun tergelak.
Aku lantas bergegas ke ruang markas untuk kembali melanjutkan tulisan opini yang telah kumulai di hari kemarin, tentang nasib orang-orang pelarian di tengah pusaran politik. Aku menggelutinya sampai rampung, kemudian mengirimkannya pada Naya melalui saluran surat elektronik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar