Sabtu, 13 Juli 2019

Arah Lain

Lona telah tumbuh menjadi seorang gadis besar. Umurnya sudah lebih dari 18 tahun. Karena itu, perasaannya selalu saja dilanda badai asmara. Ia senantiasa haus atas pujian lelaki. Ia ingin juga kalau-kalau ada lelaki yang menganggapnya sebagai perempuan tercantik di antara perempuan-perempuan yang lain. 
 
Tetapi masalahnya, ia bukanlah seorang gadis yang lihai mencari perhatian. Meski memiliki bentuk wajah yang menarik, ia tak punya keahlian untuk menampilkan dirinya secara menawan. Ia seorang perempuan yang pemalu dan tak jago berdandan. Ia bak mutiara yang terkubur di dasar samudera terdalam. 

Hidup dengan penghargaan diri yang rendah, akhirnya membuat Lona kehilangan ketertarikan untuk bergaul. Ia khawatir hanya akan jadi bahan olok-olokan. Karena itu, ia jadi tak berselera untuk bergabung dalam organisasi mahasiswa atau komunitas apa pun. Ia lebih suka menghabiskan waktunya di kamar, sembari menikmati dunia di layar kaca.

Lona yang tak banyak tingkah, akhirnya membuat ayahnya, Rano, menjadi tenteram. Ia merasa telah berhasil mendidik anaknya menjadi seorang gadis baik-baik, yang membatasi pergaulannya, terutama dengan lawan jenis. Sebab itu pula, ia tak pernah menduga atau sekadar menaruh curiga bahwa anaknya akan terjerumus ke dalam pergaulan tanpa batas.

Namun anggapan Rano tidaklah benar. Di masa kini, batas-batas ruang telah sirna. Dinding-dinding kamar hanyalah pembatas semu bagi orang-orang yang bergaul di dunia maya. Tetapi Rano yang kolot, sama sekali tak menyadari kalau anak gadisnya kerap kali membawa orang-orang asing ke dalam kamarnya melalui pintu-pintu media sosial.

Karena kekolotannya pula, Rano meyakini begitu saja bahwa anaknya akan belajar tiap kali berada di dalam kamar, dan ia pun merasa tak perlu mengkhawatirkan apa-apa. Namun pada kanyataannya, Lona malah lebih sering larut di dalam layar kaca. Apalagi saat seorang lelaki berpenampilan menawan di media sosial, mengirimkan pesan-pesan pujian.

Sampai akhirnya, tibalah waktu ketika Lona meminta haknya sebagai perempuan dewasa:

“Ayah…,” sapa Lona, begitu waswas, lalu duduk di samping sang ayah.

Rano yang tengah menonton televisi pun menyahut tanpa menoleh pada sang anak, “Ada apa?” tanyanya, dengan nada suara yang datar.

Seketika, Lona jadi gugup, lalu bertutur kagok, “Aku mau keluar sebentar. Mau ke rumah teman. Boleh kan, Ayah?” tanyanya Lona, sembil berharap-harap cemas.

Rano lantas menoleh pada sang anak dengan raut wajah yang serius. “Ada urusan apa keluar rumah malam-malam begini?”

Nyali Lona pun menciut. Ia lalu menunduk dan menjawab dengan nada suara yang lemah, “Aku ada tugas kuliah, Pak,” jawabnya. “Boleh kan?”

Tiba-tiba, Rano merasa bersalah telah bersikap judes seperti kala ia berbicara dengan bawahannya di kesatuan tentara. “Memangnya kau mau ke rumah siapa?” selidik Rano, dengan nada suara yang melembut.

“Ke rumah Narti, Pak,” jawab Lona kemudian, dengan maksud menunjuk seorang teman dekatnya yang sering bertamu, yang tinggal di blok sebelah rumahnya.

Rano lalu terdiam dan menimbang-nimbang sejenak, hingga ia pun memberikan persetujuan, “Baiklah. Tapi jangan pulang lewat dari jam 10, ya?”

Sontak, Lona mengangguk-angguk senang. “Terima kasih, Ayah,” katanya, lalu mencium tangan sang ayah. “Aku akan pulang sebelum jam 10!”

Sesaat kemudian, Lona pun beranjak keluar rumah. Ia melangkah menuju ke satu titik dengan hati yang berbunga-bunga. Bukan ke rumah Narti, tetapi ke arah sebuah mobil yang terparkir di pinggir jalan. Sebuah mobil yang dikemudikan sorang lelaki yang telah mengirimkannya pesan dan membuatnya merasa sebagai perempuan tercantik di dunia.

Sampai akhirnya, roda-roda pun bergulir menuju ke sebuah titik yang dijanjikan sang lelaki sebagai tempat yang menyenangkan bagi mereka berdua, dan Lona menyetujuinya dengan senang hati.

Sedang pada sisi lain, Rano tiba-tiba menyaksikan berita tentang aksi-aksi kriminal yang sadistis, termasuk kejahatan yang menyasar para gadis muda. Dan seketika, ia mengkhawatirkan keadaan anak gadisnya yang telah meninggalkan rumah. 

Detik demi detik bergulir cepat. Sudah lewat jam 10 malam. Namun Lona belum juga pulang. Rano pun jadi kalang-kabut. Ia lantas mengontak nomor telepon sang anak, tetapi tak juga ada jawaban. Setelah mencoba berulang kali, sambungan malah jadi tak tembus.

Akhirnya, Rano memutuskan untuk berkunjung ke rumah Narti. Di sana, ia pun mendapatkan informasi mengejutkan, bahwa sang anak tak pernah datang bertandang.

Detik-detik lantas terhimpun dalam hitungan jam. Ketika pagi menjelang, Rano pun menyaksikan berita hangat tentang penemuan sesosok jasad perempuan tanpa identitas, tanpa busana, di semak-semak, di sebuah turunan, di samping jalan, di tengah persimpangan yang panjang.

Masa

Anak-anak menertawakan masa kini
Mempermainkan nasib dengan gagah berani
Menangis saja ketika terjatuh
Demi maaf atas setiap salah

Orang dewasa mencemaskan masa depan
Mencari takdir sepenuh perjuangan
Membalut luka dan terus melawan
Demi tanggung jawab atas kehidupan

Orang tua merenungkan masa lalu
Memaknai garis tangan yang berliku-liku
Mengikhlaskan suka duka di dalam kenangan
Demi kedamaian atas hari kemudian

Arus Deras

Sejak aku tinggal di kota atas restumu sendiri, aku merasa kesulitan menjadi seperti anakmu yang dahulu. Aku merasa telah menjadi anak metropolitan, dan tak selayaknya menjadi anak empang lagi. Aku semestinya berkutat dengan modernitas kehidupan, sembari meninggalkan urusan ikan dan sebangsanya.
 
Namun hari ini, sampai satu setengah bulan ke depan, aku harus menjalani takdir sebagai anakmu. Aku akan melewati masa liburku untuk mengurus petak-petak empang yang menjadi sumber penghidupan kita sekeluarga. Aku akan kembali merelakan kulit putih-mulusku terpapar sinar matahari, hingga aku tampak lagi seperti anak empang.

Kalau kupikir-pikir, betapa aku bisa mengarang banyak alasan tentang urusan perkuliahan untuk tidak pulang, dan kau hanya akan menerima sebagai seorang tamatan sekolah dasar yang tak tahu apa-apa soal itu. Namun saat penggilan teleponmu masuk sehari yang lalu untuk memintaku pulang membantumu mengurus empang, aku jadi tak kuasa berbohong.

Dan akhirnya, kembalilah aku di tempat ini, di rumah panggung kita yang berdinding bambu dan beratap daun sagu. Aku kembali di sebuah rumah yang berada di tengah-tengah petak empang, dan menjauh dari rumah-rumah warga yang lain. Aku kembali di tengah medan yang terik kala siang, dan sangat dingin kala malam. 

Kini, aku pun memandang hamparan empang kita yang terpapar terik matahari. Lantas, pikiranku terbayang akan derita di telapak kaki yang mulus esok hari, kala menapak debu-debu panas di pematang atau lumpur beranjau di dasar empang. Sontak, bayangan-bayangan itu benar-benar membuatku ogah memulai langkah sebagai anak empang.

Namun di tengah kedongkolan, aku sedikit beruntung memiliki seorang ayah yang penuh perhatian sepertimu. Di hari kedatanganku ini, kau tak seketika memerintahkan agar aku mengecek tanggul yang barangkali bocor dikorek kepiting, memeriksa dan mengangkat pukat-pukat ikan, atau sekadar menaburkan pakan untuk ikan yang masih muda.

Malah, setelah mengobrol beberapa saat, kau menyuruhku beristirahat, seolah-olah kau sadar bahwa aku memang membutuhkan waktu untuk menyesuaikan diri dengan keadaan. Atau tepatnya, setelah menetap di kota selama empat bulan setengah, aku butuh kesiapan mental untuk kembali berurusan dengan terik matahari, air asin, serta tusukan dan gigitan makhluk-makhluk empang.

Sampai akhirnya, malam pun tiba. Setelah menyantap empat ekor ikan bakar sebagai bentuk perayaanmu atas kedatanganku, kita pun  mengobrol panjang lebar tentang keadaanmu di sini dan keadaanku di sana. Lalu, ketika kau mulai menguap-uap, kau lantas menutup obrolan dengan sebuah pemberitahuan:

“Ikan di petak sebelah sudah waktunya panen. Besok pagi, kita sudah bisa menguras airnya,” katamu, kemudian menggelar tikar dan berbaring.

Aku pun menganggut saja. “Baik, Ayah,” balasku, sembari membayangkan setahap demi setahap proses berat yang akan kulalui pagi nanti: Sebuah jaring berbentuk kerucut akan dipasang di muara empang yang mengarah ke sungai. Kemudian, perlahan-lahan, susunan papan penutup air empang akan diangkat satu per satu dengan sangat hati-hati agar tak celaka, sampai air mengalir deras melewati muara empang dan jaring kerucut. Seiring keluarnya air, seseorang akan bergerak dari ujung petak empang untuk mengarahkan ikan agar keluar lewat muara, hingga terkumpul di jaring kerucut. Lalu, ikan-ikan yang terperangkap jaring kemudian diangkat.

Aku tak tahu tugas mana yang akan kuemban esok pagi. Namun yang pasti, aku merasa enggan melakukannya.

Di tengah perasaanku yang kalut atas perkerjaan berat esok pagi, aku pun terjaga di tengah keremangan pelita dalam waktu yang lama, sebagaimana kebiasaanku di kota yang baru pasrah tertidur ketika waktu sudah lewat tengah malam.

Lantas, tiba-tiba saja, malam berlalu begitu cepat. 

Embusan angin laut yang dingin, akhirnya membuatku enggan membantumu mengurus prosesi panen. Aku hanya terus berbaring dan membalut tubuhku dengan selimut, sementara kau beranjak tanpa berniat untuk mengganggu tidurku.

Sampai akhirnya, aku mendengar desiran air, dan aku menduga kau tengah membuka papan penutup air empang ke muara, satu per satu. Sesaat kemudian, kudengarlah suara teriakan yang singkat, disusul dentuman yang lekas lenyap ditelan suara desiran.

Seketika, aku pun bangkit dari pembaringan, lantas berlari ke sisi muara. Hingga kulihatlah dirimu yang meringkuk kaku di dalam jaring kerucut, di sekeliling ikan yang menggelepar-gelepar.

Sontak, aku pun menangis dengan penuh penyesalan atas sikap abaiku terhadap dirimu.

“Hai, Nak, kenapa menangis?” sapa seseorang dengan suara yang persis seperti suaramu.

Aku pun terjaga, dan seketika melihat wajahmu di tengah keremangan.

“Kenapa menangis?” tanyamu lagi.

“Tidak apa-apa,” jawabku, setengah sadar. “Aku hanya bermimpi kalau,…” Aku menelan ludah yang tertahan di tenggorokanku, dan aku tak sanggup melanjutkan cerita.

“Sadarlah! Tenangkan dirimu!”

Perlahan-lahan, aku pun berusaha menenangkan perasaanku yang terguncang, sembari meniatkan untuk melawan kebiasaanku menyambung tidur di pagi hari, seperti yang selalu kulakukan di kota, demi membantumu sedari awal.

Lampau

Pernah di hari-hari yang cerah
Kita bertemu tanpa saling mencari
Demi kabar beribu masalah
Di satu atap para pengabadi

Lalu senja perlahan memudar
Menjadi pemisah dua nuansa
Ketika ragamu perlahan menyamar
Sedang jiwaku seketika nelangsa

Akhirnya malam menjadi gulita
Menyelimuti dirimu yang betah bersembunyi
Menutup rapat ruang cerita
Bagi diriku yang tersiksa sunyi

Sulap Kota

Setelah Ibunya, Sutijah, menyampaikan kerinduan melalui telepon, Maimun akhirnya mengambil cuti kerjanya sebagai penata rias di sebuah salon kecantikan. Ia lantas pulang ke kampung keesokan harinya. Namun sesampainya di rumah, ia paham kalau bukan rindu yang membuat sang ibu memintanya pulang, tetapi sepi. Ia menyaksikan sendiri kalau Sudirman, ayahnya, tak lagi bercengkerama sehangat dahulu dengan sang ibu. 
 
Ketika Maimun meminta penjelasan, Ibunya pun menerangkan kalau sang ayah telah berubah perangai tanpa alasan yang jelas. Sang ayah seolah-olah telah kehilangan ketertarikan terhadap sang Ibu yang semakin menua dan tak terawat. Sang ibu bahkan mengatakan kalau barangkali sang ayah telah terpikat dengan wanita lain yang lebih muda dan menawan, dan menganggap sang ibu hanya sebagai penghalang bagi hasratnya untuk menikah lagi.

Khawatir orang tuanya bercerai, Maimun pun memboyong Ibunya ke kota. Ia lantas memanjakan sang ibu dengan segala jenis perawatan kecantikan. Ia menyemir rambut sang ibu, melulur kulitnya, serta membersihkan kuku dan giginya, sampai tampak beberapa tahun lebih muda. Ia berharap, sepulang kampung, sang ibu akan tampak menawan lagi di mata sang ayah. Ia menaksir, kalau begitu, sang ibu akan kembali hidup secara harmonis dengan sang ayah.

Akhirnya, hari ini, pulanglah sang ibu ke kampung halaman seorang diri setelah seminggu menetap di kota. Dan sesampainya di rumah, ia pun langsung bersitatap dengan sang suami:

“Bapak apa kabar?” tanya Sutijah kepada sang suami, sembari berjalan berlenggak-lenggok.

Sudiman yang terperang, menjawab dengan terbata-bata. “Baik-baik. Baik sekali!”

“Kenapa Bapak jadi bengong begitu?” tanya Sutijah lagi, terdengar manja.

Sudiman jadi kelimpungan, lantas menjawab kikuk, “Tak apa-apa.”

“Benarkah?” selidik Sutijah, kemudian mendekat ke arah suaminya dengan sikap penuh gairah.

Seketika, Sudirman menjauh. “Maaf, Bu, aku sudah punya istri. Jangan mendekat-dekat!” titahnya, sambil melangkah perlahan-lahan ke arah pintu.

Sutijah jadi bingung.

“Pergilah. Aku tak ingin mengkhianati istriku!” tegas Sudirman.

Sutijah pun tersentak. Ada keharuan dan keheranan yang beraduk di dalam hatinya. “Aku ini istrimu, Pak! Aku Sutijah!”

“Bohong! Jangan coba-coba menipuku! Pergi!” tegas Sudirman, lantas keluar pintu, kemudian melangkah menuju ke rumah kepala desa.

Pembakar Rumah

Seorang junjungan berpindah ke tanah surga
Setelah menyulut api neraka di rumahnya sendiri
Demi suara-suara untuk kuasa dunia
Sampai mengobarkan suara-suara caci-maki

Berbulan-bulan kemudian ia terusir paksa
Pahalanya habis untuk membeli ketenangan
Sedang tanah pelarian bukan untuk hidup selamanya
Sekadar persinggahan bagi kampung halaman

Ia pun ingin pulang ke tanah lahirnya sendiri
Memulai hidup baru untuk menebus dosa-dosanya
Ketika rumah baginya telah menjadi ibu tiri
Dan ia telah dicap sebagai anak durhaka

Jerat

Jauh sebelum malam ini, aku telah membayangkan tentang kita di malam-malam yang panjang. Aku membayangkan bahwa kita akan bersama sebagai sepasang kekasih. Namun aku tak pernah benar-benar yakin, sebab di antara banyak lelaki yang mengharapkanmu, barangkali, akulah yang paling tidak pantas kau harapkan. Karena itulah, aku akhirnya menyampaikan isi hatiku sebagai yang ke sekian kalinya untuk hatimu.
 
Aku tahu, sepanjang masa tunda kebersamaan kita, kau telah jatuh ke dalam jeratan cinta beberapa lelaki yang kurasa memang lebih pantas untukmu. Mereka adalah sosok lelaki yang tampan, hartawan, keturunan penguasa atau pengusaha, atau bahkan sosok lelaki yang mengombinasikan kriteria itu. Dan sebagai lelaki yang bukan siapa-siapa, aku harus menjadi yang terakhir, sebab aku butuh waktu untuk memantaskan diri.

Namun kini, kita bersatu juga demi masa depan, sembari membawa perkara masa lalu masing-masing. Kau hidup dengan masa lalu bersama banyak tokoh yang pernah menjerat ragamu, dan aku hidup dengan masa lalu tentang perasaanku padamu saja. 

Dan akhirnya, di tengah obrolan kita tentang masa depan pada sebuah sofa di satu kamar hotel, kau pun menanyakan perihal masa lalu, “Apa kau tak akan menyesal menikah denganku?” tanyamu, dengan raut wajah yang sendu.

Aku lantas memegang punggung tanganmu, kemudian menyelakan jari-jariku di antara jari-jarimu. “Tentu saja aku tak akan menyesal. Bagaimana mungkin aku menyesal setelah mendapatkan seseorang yang sedari dulu kuidam-idamkan,” kataku, sembari menatap wajah cantikmu.

“Tapi kau bukan yang pertama bagiku!” sanggahmu seketika, lalu mengembuskan napas yang panjang, kemudian menatapku sekilas. “Kau tahu sendiri, aku telah dengan lelaki lain sebelum denganmu. Tidakkah kau kecewa karena itu?”

“Aku tak pernah kecewa atas kenyataan itu. Aku memang bukan yang pertama bagimu, tapi aku berjanji akan menjadi yang terakhir,” balasku, seketika pula, lantas menyerongkan badan ke arahmu.

Kau pun terdiam.

“Berhentilah menyalahkan dirimu atas masa lalu itu. Barangkali, akulah yang salah, yang tak secepat mungkin menyatakan perasaan padamu. Atau takdirlah yang salah, yang tak mempertemukan kita di hari pertama kita merasakan cinta dalam keadaan diri yang pantas dan siap untuk mempertautkan cinta,” kataku lagi, demi menenangkan kekalutanmu.

Kau bergeming saja, sembari menatap kosong pada gemerlap lampu-lampu kota di balik jendela.

Aku pun kembali mengulang inti pesanku, “Yakinlah, aku sama sekali tak mempermasalahkan masa lalumu. Aku malah khawatir kalau aku tak bisa membahagiakanmu lebih dari laki-laki yang pernah bersamamu di masa lalu.”

Kau merenung sejenak, kemudian menanggapi, “Bagaimana jika kau tak akan pernah bisa membahagiakan aku lebih dari mereka, bukan karena kau tak berusaha semaksimal mungkin, tapi karena aku terjerat momen-momen yang lebih membahagiakan di masa laluku?” sergahmu, tampak gusar dengan dirimu sendiri. “Tidakkah kau mengkhawatirkan itu?”

Aku pun jadi kelimpungan. Aku lantas membelai rambutmu, kemudian berpesan, “Sudahlah, Sayang, kita bersama untuk masa depan, dan seharusnya kita tak lagi mempermasalahkan masa lalu kita. Kau harusnya berdamai dengan masa lalumu sendiri, demi kita, begitu pun aku.” Perlahan, aku pun merangkulmu, erat. “Yang pasti, untuk saat ini, kita telah bersama, dan seharusnya tak ada lagi siapa-siapa di antara kita.”

Kau tak membalas. Tenang saja di dalam dekapaanku.

Sesaat kemudian, kau lalu menarik tanganmu dari genggamanku, lantas beranjak ke pembaringan.

Aku lekas menyusul, hingga kita terlelap dengan mimpi masing-masing.

Sampai akhirnya, ketika pagi menjelang, aku tak lagi menemukan dirimu di sampingku. Kau pergi sembari meninggalkan secarik kertas berisi pesan: Maaf, aku harus pergi. Aku butuh berdamai dengan kenanganku sendiri, demi kau yang baik.

Lingkaran Iblis

Kapal rampokan berjalan teratur
Sebelum perompak merebut kendali
Menenggelamkan para pembangkang
Merangkul erat para penghamba

Tatanan hidup baru pun dimulai
Para berandal menjadi penguasa
Memelihara baik para kacung
Menindas kejam para jelata

Penderitaan lalu melahirkan cita-cita
Hendak berontak atas nama derita
Menindas kembali para penindas
Merebut kembali yang telah direbut

Senin, 08 Juli 2019

Pengakuan

Aku masih sebodoh kemarin. Hanya menatap senyummu tanpa berani memuji. Terus saja melontarkan kata-kata yang bisa menyamarkan suara hatiku yang merintih. Padahal seharusnya, di detik-detik terakhir kebersamaan kita sebelum terpisah lagi untuk waktu yang lama, aku semestinya meluruhkan segala rasa yang kupendam selama ini.

Untuk ke sekian kalinya, aku tak bisa memahami diriku sendiri. Setiap kali berhadapan denganmu, aku seketika menjadi seorang pembohong besar yang lihai menyembunyikan perasaan. Sedang pada saat yang sama, kau akan menjadi seorang gadis kecil yang lugu dan tak sadar sedang berbicara dengan sebuah benda mati yang tak berperasaan. 

Waktu pun bergulir cepat, sedang kita hanya mengulas kisah masa lalu sebagai dua orang sahabat baik. Hanya berlomba mengungkapkan penggalan cerita yang patut kita tertawakan, tanpa ada kekhidmatan untuk membicarakan hal-hal yang serius. Sampai tengah malam lewat, kita tak sedikit pun menyinggung rencana tentang kita di masa depan. 

Sampai akhirnya, dingin malam melemahkan dirimu. Kau tak bersemangat lagi membalas celotehan dariku, dan jadi lebih suka terdiam. Kau bahkan telah kehabisan daya untuk sekadar melayangkan senyuman. Hingga aku pun sadar, memang sudah waktunya untuk berhenti menahanmu demi memenuhi hasratku merekam wajahmu sebagai bekalku nanti. 

Jadi dengan berat hati, aku pun menawarkan padamu untuk mengakhiri kebersamaan kita, dan kau segera menyetujuinya dengan anggukan yang lemah. Tanpa basa-basi lagi, kita pun berjalan keluar dari sebuah kafe yang kembali mengarsipkan kisah kita sebelum aku kembali ke pulau seberang, dan kau tetap tinggal di kota ini.

Sesaat kemudian, kita pun berdiri-bersampingan di tepi jalan, sembari menunggu taksi yang akan membawa kita ke arah yang berlawanan.

“Jangan khawatir. Aku akan baik-baik saja,” tukasku, bermaksud menuduhkankan perasaanku padamu. 

Seperti biasa, kau sigap melontarkan elakan, “Siapa juga yang khawatir? Aku hanya mengantuk!” balasmu, sambil mengusap-usap kelopak mata.

Aku mendengus dan tak lekas membalas, sedang kau tampak enggan berkata-kata lagi.

Selang beberapa detik, aku pun memberanikan diri untuk melontarkan kecemasanku dengan sikap yang biasa, “Tapi kau akan baik-baik saja kan?”

Kau lantas menyiku lenganku. “Hai, aku bukan anak kecil lagi! Aku bisa menjaga diriku sendiri!” katamu, dengan wajah yang tampak kesal.

Aku mengangguk-angguk dengan pikiran yang tiba-tiba kehilangan insting bercanda.

Tak lama kemudian, kau pun menyambung penuturanmu sendiri, “Jangan mengkhawatirkan aku. Tak semestinya kau pergi dengan berat hati hanya karena sesuatu yang memang harus kau tinggalkan,” tuturmu, sambil menetap jalan yang lengang, kemudian menoleh padaku sepintas lalu.

Lagi-lagi, aku hanya mengangguk bodoh.

Tanpa kuminta, kau lantas menahan sebuah taksi untukku, seolah-olah kau tak ingin lagi mengulur detik-detik terakhir kebersamaan kita. “Kau sebaiknya pulang lebih dahulu. Kau butuh istirahat yang cukup sebelum penerbanganmu subuh nanti.”

Karena bingung merangkai alasan untuk mengelak, aku pasrah saja untuk memasuki kabin depan taksi dengan kegalauan yang sangat. Sampai akhirnya, ucapan selamat jalan yang berbalas dengan selamat tinggal mengantarkan kita pada jarak yang jauh.

Untuk rasa-rasa yang tak juga terucap, seiring roda-roda yang berputar, aku pun kembali merenungkan dirimu. Bahkan ketika aku telah sampai di hotel dan berbaring di kasur empuk, pikiranku masih saja disesaki bayang-bayang tentangmu. 

Hingga tanpa terasa, aku kembali melewatkan waktu hampir dua jam untuk sekadar mengulas kenangan kita di balik kepalaku sendiri. Sebuah pengulangan yang lagi-lagi mengantarkan aku pada pertanyan: Apakah kau mengkhawatirkan diriku atas cintamu padaku sebagaimana aku mengkhawatirkan dirimu atas cintaku padamu?

Sampai akhirnya, setelah energiku habis untuk berurusan dengan kenanganku sendiri, aku pun terjatuh ke dalam lelap. Sangat pulas, hingga aku terbangun kala pagi menjelang, ketika aku semestinya berada di tengah penerbangan.

Aku pun mengutuki diriku sendiri.

Kini, atas kegalauan tentangmu, juga atas kegalauan untuk biaya pesawat yang harus kutalangi sendiri, aku pun menghempaskan diri pada sebuah kursi. Dengan perasaan yang karut-marut, aku lantas menyaksikan siaran televisi yang secara serentak menyiarkan berita hangat tentang sebuah pesawat yang kehilangan kontak. Dan tanpa kuragukan lagi, pesawat itu adalah pesawat yang harusnya kutumpangi subuh tadi.

Seketika, ada rasa syukur yang timbul di dalam hatiku. Aku merasa kalau obrolan kita yang melarut malam tadi, juga kenangan-kenangan tentang kita yang membuatku begadang sampai melewatkan penerbangan, barangkali telah telah menghindarkan diriku dari petaka.

Tiba-tiba, telepon genggamku bergetar. Namamu tampak di layar. Aku pun segera menjawab.

“Halo, ini kamu kan?” sergahmu seketika, terdengar sambil terisak.

“Iya. Ada apa?” tanyaku, penasaran.

Kau malah balas bertanya, “Kau baik-baik saja kan?”

“Iya. Aku baik-baik saja,” jawabku, “Ada apa?”

Kau pun terdengar mengembuskan napas yang panjang. “Aku mengkhawatirkan dirimu!” 


Titik Jatuh

Napas perjuanganmu terus menderu
Seiring waktu yang perlahan melemahkan tubuhmu
Hingga darah, keringat, dan air mata berpadu
Menghidupi tanah yang menghidupi tubuhku

Sedang ketakutanku masih saja meraja
Memperbudak diriku yang takut pada dunia
Lalu jatuh ke dalam diam, tidur, dan manja
Pada dirimu yang lupa pada kata kecewa

Sudah setengah dari setengah abad untukku
Hanya belajar mengepakkan sayap seperti harapmu
Agar aku bisa terbang menaklukkan kelemahanku
Sampai aku terjatuh lagi ke dalam pelukanmu

Tentang Laki-Laki

Barangkali, Tuhan menciptakan dirimu bukan untuk dirimu sendiri, tetapi untuk diriku saja. Selama ini, kau hidup bukan untuk mendapatkan segala yang kau inginkan, tetapi memberikan segala yang aku butuhkan. Kau bahkan rela mengorbankan kebaikan yang harusnya menjadi hakmu, dan merasa berkewajiban untuk melimpahkannya kepadaku.
 
Kita memang lahir dari rahim yang sama. Namun kenyataan itu tidak seharusnya membuatmu lebih peduli padaku ketimbang dirimu sendiri. Bagaimana pun, kita adalah dua sosok lelaki yang punya kepentingan masing-masing, dan sesekali malah bertentangan. Karena itu, kau semestinya memperjuangkan cita-cita untuk dirimu sendiri, begitu pun aku.

Sampai saat ini, aku sendiri tak memahami pandanganmu tentang kita. Apalagi kita tidak pernah membahas arti persaudaraan secara terbuka. Secara alamiah, kita menerima takdir sebagai kakak-adik begitu saja, meskipun kau terkesan menyayangiku secara berlebihan, sedang aku menghormatimu dengan biasa saja, dan itulah yang membuatku bertanya-tanya.

Mungkin karena aku adalah bungsu terhadap kau yang sulung, aku jadi tak mengerti bagaimana rasanya bertanggung jawab atas seorang adik. Aku pun jadi tak mengerti bagaimana perasaan cinta seorang kakak kepada adiknya. Namun aku memahami bahwa seorang adik tak terlalu memedulikan kakaknya yang ia rasa lebih dewasa dan lebih bisa menjaga diri. Entahlah.

Yang pasti, aku menilai pengorbananmu sudah berlebihan untukku, dan aku tak tahu bagaimana cara membalasnya. Paling tidak, kau telah mengorbankan masa depanmu untukku. Kau rela menguburkan impianmu untuk menjadi seorang arsitek seperti yang kau idam-idamkan, lalu mengupayakan agar aku menjadi seorang dokter seperti yang kuidam-idamkan.

Atas niat baikmu itu, kau pun rela untuk tidak melanjutkan pendidikan ke bangku sekolah menengah atas, dan tetap tinggal di kampung untuk membantu ayah mengurus kebun kakao. Kau rela memeras peluh untuk mencari biaya penghidupanku di kota, sembari menjaga ayah dan ibu supaya aku tak perlu merisaukan apa-apa selain fokus mengejar cita-citaku sendiri.

Perekonomian keluarga kita memang sangat pas-pasan, dan kau ingin agar aku tak terperangkap dalam kemiskinan yang menyedihkan. Aku yakin, kau pun masih mengingat peristiwa dahulu, ketika setengah karung biji kakao kering hilang di bawah kolong rumah, dan kau lantas mendapatkan hardikan yang keras dari ayah, meski itu bukan salahmu.

Sedang di sisi lain, sebagai bungu, aku malah lebih sering dimanja dan dibela. Aku tentu masih menginggat peristiwa-peristiwa kecil ketika kau mengizinkan aku beristirahat setiap kali aku gusar mengurus kebun. Juga ketika Ayah marah atas kenakalanku yang terlalu, kau selalu menjadi tameng yang ampuh.

Untuk segenap kebaikan yang telah kau lakukan untukku, sampai saat ini, aku tak pernah sekali pun mengucapkan terima kasih kepadamu. Bukan berarti aku tak hendak mengucapkannya, tetapi aku yakin, sebagai sesama lelaki, kau tak pernah mengharapkan ucapan formal semacam itu dariku, sebagaimana kau yang tak pernah mengucapkan kata sayang untukku.

Namun kurasa, kepulanganku kali ini, sudah sedikit melunasi utang terima kasihku padamu dalam bentuk tindakan. Setidaknya, aku telah menghabiskan waktu liburku selama dua minggu untuk membantumu mengurus kebun kakao peninggalan ayah. Aku telah sedikit membantumu mencari biaya untuk urusan pendidikanku sendiri.

Dan hari ini, aku akan kembali meninggalkanmu di sini. Aku akan kembali ke kota untuk melanjutkan pendidikanku di bangku kuliah, sebagaimana yang kau inginkan. Katamu, aku harus sekolah tinggi-tinggi demi dirimu yang hanya tamatan sekolah menengah pertama. Katamu, keberhasilanku adalah keberhasilanmu juga.

“Ini hasil panen kakao. Ambillah untuk bekalmu di kota,” pintamu, dengan sikap yang tenang.

Diam-diam, perasaanku terenyuh. “Kurasa ini terlalu banyak. Ambillah separuhnya untuk kepentingan Kakak sendiri,” balasku, sembari menyodorkan kembali sejumlah uang yang kau berikan untukku.

Kau lantas menggenggam kepalan tanganku, seolah memaksa agar aku menerima seluruh uang pemberianmu. “Jangan mengkhawatirkan aku. Tanah kampung sudah cukup menghidupi untukku,” katamu, lalu tersenyum singkat. “Kau lebih membutuhkan ini. Terimalah!”

Dengan rasa haru di dalam hati, akhirnya, kuterimalah uang hasil kerja kerasmu, sembari bertekad untuk membalas kebaikanmu suatu saat nanti, juga berdoa agar Tuhan senantiasa melimpahkan kebaikan untukmu. 

Sesaat kemudian, aku pun beranjak meninggalkanmu di bawah kolong rumah panggung kita yang sederhana dan penuh kenangan. Aku meninggalkanmu tanpa pelukan dan tangisan. Hanya ada salam dan jabat tangan sebagaimana kebiasaan kita selama ini. Sebuah prosesi sederhana yang ampuh membuat perasaan kita lebih sanggup untuk saling berpisah.

Namun akhirnya, di atas roda-roda yang terus menjauh darimu, aku tak kuasa juga membendung air mataku. Seketika, aku pun menangis haru atas semua kebaikanmu padaku, juga atas semua kesalahanku padamu, termasuk soal setengah karung biji kakao kering yang hilang di bawah kolong rumah kita dahulu.

Seseorang yang Memeluk Dirinya Sendiri

Kau memeluk dingin
Di dalam ruang perkara
Tanya-tanya beterbangan
Jawab-jawab mengudara

Aku mendekap hangat
Di dalam ruang aksara
Kata-kata tergurat
Rasa-rasa terluka

Aku puisi yang tersesat
Dan kau seorang yang buta
Ketika waktu telah terlambat
Kita masih tanpa kata kerja

Seorang Bisu

Sungguh malang nasib Rinto. Ia hidup dalam kondisi luar biasa. Ia seorang yang tuli dan bisu. Menurut cerita, ia terjatuh dari loteng rumah panggungnya saat berumur lima tahun. Bokongnya mendarat dari ketinggian sekitar delapan meter. Seketika, ia kehilangan kemampuan mendengar dan berbicara. 
 
Atas ketunaannya, Rinto akhirnya menjalani kehidupan yang keras. Ia harus menanggung beban atas ketidaknormalan yang tak pernah juga ia inginkan. Tidak tanggung-tanggung, orang tuanya pun memperlakukan dirinya secara buruk. Ia diperlakukan bukan sebagaimana anggota keluarga. Ia diperlakukan sebagai pesuruh kala kedua adiknya diperlakukan sebagai pangeran. 

Betapa kehidupan memang tak berpihak pada Rinto. Ia sengsara kerena keadaan dirinya yang tidak biasa. Padahal, jika saja ia memiliki kondisi diri yang normal, dan ia memiliki orang tua yang peduli, aku yakin ia akan menjadi orang yang hebat, semacam arsitek atau kartunis. Setidaknya, itu karena ia punya bakat menggambar yang sangat luar biasa sedari kecil.

Masih teringat ketika aku duduk di bangku sekolah dasar. Setiap kali jam istirahat, aku dan anak-anak yang lain akan menghampiri Rinto yang mengurus seekor sapi di belakang sekolah. Kami lantas memintanya menggambar apa saja. Lalu, dalam waktu yang singkat, ia akan menyelesaikan gambar pesanan kami dalam bentuk yang kasar.

Namun akhirnya, karena keadaan, bakat luar biasa tak membuat Rinto memiliki cita-cita seperti orang yang lain. Ia tak pernah sekolah, dan mungkin tak penah tahu tentang cita-cita. Usia sekolahnya berlalu hanya untuk mengurus ternak dan kebun, dan barangkali ia hanya peduli soal urusan perut dan perintah kerja dari ayahnya.

Demi mewujudkan kesenangannya sendiri di tengah kehidupan yang menyengsarakan, Rinto akhirnya terbentuk menjadi pribadi yang licik. Untuk mendapatkan perihal sekunder yang ia batuhkan dan tak mungkin bisa ia peroleh dari orang tuanya, akan ia usahakan dengan jalan mencuri, khususnya di rumah-rumah kosong.

Namun uniknya, ia bukanlah seorang pencuri yang serakah. Setiap kali beraksi, ia hanya akan mengambil barang bernilai sederhana yang seolah-olah ia dapatkan sebagai pemberian orang lain atau sebagai barang tak bertuan, semisal alat tulis, korek, rokok, dan baterai. Ia sama sekali tak tertarik mencuri barang bernilai dan berukuran besar semacam televisi atau motor, juga hasil tani seperti cokelat, cengkeh, atau merica, sebab asal usulnya akan dipertanyakan para warga.

Atas perilaku Rinto, segenap warga pun jadi kehilangan simpati kepadanya. Jika dahulu Rinto sesekali mendapatkan belas kasih dari para warga, sembari sesekali menjadikannya bahan olok-olokan –karena mereka yakin Rinto tak tahu dan tak mengerti-, maka saat ini, Rinto menjadi bahan pergunjingan yang memancing kekesalan dan kemarahan warga. 

Namun dilematiknya, Rinto bukanlah anak polos yang mudah mengakui kejahatannya. Setiap kali diinterogasi para warga, ia akan menggeleng yakin, meskipun segenap warga tahu dan yakin bahwa Rinto adalah pelaku dari hilangnya barang-barang kecil milik warga. Sampai akhirnya, para warga pasrah dan lebih memilih memperbaiki kuncian rumahnya ketimbang memperkarakan Rinto.

Meski Rinto tak juga jera dan tetap bertingkah biasa di tengah kampung, tetapi yang pasti, ia telah menjadi seseorang yang paling tidak dipercaya para warga. Setiap kali ada kasus penucurian, maka pikiran warga otomatis akan tertuju kepadanya sebagai pelaku, seolah-olah ia adalah satu-satunya pencuri di muka bumi.

Hingga akhirnya, terjadilah peritiwa pencurian dengan nilai kehilangan yang terbilang besar. Rumah seorang warga yang kosong disatroni maling, dan ia kehilangan sekarung cengkeh, sejumlah uang, dan juga beberapa gram emas. Maka tanpa perlu pikir panjang, warga desa pun menuding Rinto sebagai pelaku, dan ia pun kembali diinterogasi, lebih keras dari sebelumnya.

Namun lagi-lagi, Rinto menggeleng yakin menangggapi tudingan para warga dengan bahasa isyarat yang berbeda-beda. Ia mengelak keras kalau dituduh sebagai pembobol sebuah rumah warga yang menyendiri di tengah tanjakan. Bahkan ketika Ayahnya bertanya garang sembari sesekali menepak kepalanya, Rinto masih saja menyangkal.

Setelah para warga kelelahan dan kehabisan cara, Rinto pun menguraikan kesaksiannya. Dengan bahasa isyarat, ia mengaku tahu siapa pelakunya. Ia mengaku melihat dua orang pelaku dengan ciri-ciri yang berusaha ia gambarkan sedetail mungkin. Namun para warga yang tetap meyakininya sebagai pelaku, hanya menganggap Rinto sedang mengarang-ngarang.

Sampai akhinya, seorang warga berinisiatif memberikan kertas dan alat tulis kepada Rinto, sembari memerintahkan agar ia menggambar kedua pelaku menurut versinya. Tanpa keraguan, Rinto pun menyanggupi. Maka untuk sementara, para warga yang sedari tadi menuding Rinto sebagai pelaku, terpaksa menahan kekesalan, sembari menunggu Rinto menyelesaikan gambarnya. 

Tak sampai satu jam, Rinto akhirnya berhasil melukis gambaran kedua terduga pelaku yang ia maksud. Para warga pun serentak berkerumun dan menebak-nebak siapa sosok yang mirip dengan hasil lukisan Rinto. Namun akhirnya, tak ada seorang pun warga yang mengaku memiliki bayangan pasti tentang siapa pemilik rupa yang berhasil digambarkan Rinto.

Peradilan kampung akhirnya ditempuh. Para tetua mengambil keputusan. Demi keamanan warga, Rinto pun diminta untuk keluar dari kampung. Atas keputusan itu, semua warga yang hadir, tampak menerima. Bahkan orang tua dan saudara Rinto pun tak mengucapkan kata-kata penolakan. Mereka menerima begitu saja.

Setelah persiapan diri yang berlangsung cepat, Rinto akhirnya beranjak ke kampung neneknya.

Sesaat kemudian, aku pun teringat kejadian pagi tadi. Saat itu, aku berpapasan dengan Rinto yang tengah menapaki tanjakan perkebunan untuk mencari pakan kambing. Kemudian setelahnya, aku pun sempat melihat dua orang lelaki yang juga sedang menanjak dengan menyimpang dari jalan setapak.

Kini, aku pun jadi berpikir-pikir, barangkali Rinto benar, atau ia malah sudah berani menuduh orang lain. Entahlah.

Narapidana

Tiga kali empat ruang penjara
Untuk seorang lelaki pembenci sang surya
Cukup lapang bagi kekosongan hatinya
Bersama buku-buku yang tak bersuara
Di kanan-kiri sebuah gitar merah tua
Yang bersandar di dinding kusam bernoda
Di hulu kasur yang lelah ditimpa
Atau cermin lemari yang bosan melihat wajahnya
Atau kursi yang letih menopang tubuhnya
Setiap kali sikunya menindih meja
Kala bergulat dengan kertas bekas lamaran kerja
Sampai coret-coretan bersilang menguras tinta
Untuk sekadar mengukir kisah-kisah penuh cita
Untuk sekadar menyamarkan kepahitan hidupnya

Penggenggam Rahasia

Aku hidup dengan rahasia yang mungkin akan kusimpan sepanjang hidupku. Sebuah rahasia tentang seorang sahabat baikku sendiri. Rahasia tentang rahasia hatinya yang terdalam. Sebuah kepercayaan yang hanya diketahui olehku sebagai teman baiknya, dan aku punya tanggung jawab untuk tidak mengungkapkannya kepada orang yang lain.
 
Rahasia yang kugenggam tentang dirinya bukanlah perihal yang memalukan, tetapi perihal yang mengharukan. Satu rahasia tentang kata hatinya yang tak sampai kepada sang gadis pujaan, kepadamu, hingga akhirnya ia meninggal saat masih di tengah perjuangan untuk mewujudkan cintanya. Sebuah rahasia yang menyentuh hati setiap perjuang dan pencinta rahasia, termasuk diriku sendiri.

Aku tahu jelas, lima tahun yang lalu, ia pergi ke kota seberang untuk mencari penghidupan yang menjamin. Aku tahu ia mempertaruhkan segalanya demi menyongsong kehidupan masa depan bersamamu. Aku tahu, ia berusaha menjadi orang berada demi menyatakan mimpinya untuk menikah denganmu, sebab ia paham kalau dalam kehidupan yang sangat materialistis ini, tak ada artinya cinta tanpa harta-benda.

Pemahamannya soal perwujudan cinta yang mensyaratkan ini-itu, tidaklah lahir dari ketakutannya saja, tetapi lahir dari sebuah pengalaman yang memilukan. Seminggu sebelum perantauannya ke pulau seberang, aku dan dia sempat menemui ayahmu untuk menyampaikan maksud hatinya, tetapi ia malah mendapatkan penolakan mentah-mentah, layaknya pengemis. Dan sejak saat itu, ia memutuskan pergi untuk kembali sebagai konglomerat.

Hingga saat ini, kau yang menjadi cinta rahasianya, kuyakin, sama sekali tidak tahu-menahu tentang rahasia yang kugenggam tentangnya. Bahkan bisa kupastikan bahwa kau tak sedikit pun menduga bahwa ia menyimpan rahasia hatinya terhadapmu. Itu karena ia sungguh seorang lelaki yang teguh menjaga kesucian cintanya, sebagaimana teguhnya aku menjaga kesucian cintaku sendiri.

Sampai akhirnya, datanglah hari ketika kau mempertanyakan rahasia yang kupendam di dalam hatiku. Kau ingin mengetahui rahasia hatiku sendiri, bukan rahasia yang kupendam atas rahasia hatinya:

“Apa yang kau cari dariku?” tanyamu, sambil menatap hamparan danau, lalu menunduk dan memain-mainkan jari.

Aku lekas menelisik tanpa dugaan apa-apa, “Maksudmu?”

“Aku hanya bertanya-tanya tentang alasanmu sampai betah menghabiskan waktu-waktu bersamaku di antara banyak perempuan yang barangkali lebih menyenangkan untukmu.” Kau lantas menjeda sejenak, lalu menelan ludah yang tertahan di tenggorokanmu. “Aku ingin mengetahui perasaanmu padaku.”

Seketika, aku jadi kelimpungan, tetapi lekas menuturkan jawaban yang bermakna biasa, “Tentu saja aku senang bersamamu. Kau perempuan yang menyenangkan.”

“Apa sekadar begitu?”

“Ya, apa lagi?”

Kau pun menunduk, lantas bertanya pelan, “Tak maukah kau menikah denganku?”

Sontak, aku terkesiap. Aku seolah-olah baru saja dibenamkan di dalam salju, lantas dibuang ke dalam api yang berkobar.

Hening beberapa saat.

Kau lalu menatapku sayup, seolah menagih jawaban.

Atas kebimbanganku sendiri, kuputuskanlah untuk balik bertanya, “Apa yang kau harapkan dari seorang lelaki sepertiku?”

“Aku tak mengharapkan apa-apa selain dirimu.”

“Tapi kita bicara soal pernikahan. Kita bicara soal masa depan. Dan kau tahu, aku belum memiliki apa-apa untuk membahagiakan dirimu.”

“Kita bisa mengurusnya bersama setelah kita menikah.”

“Tapi bagaimana dengan orang tuamu?”

Seketika, mulutmu tersekat.

Hening lagi beberapa saat. Kita seolah sama-sama kebingungan meramu pertanyaan dan jawaban lebih lanjut.

“Aku tak pernah menyalahkan dirimu karena telah mengatakan itu. Kau pun tak semestinya menyalahkan dirimu sendiri. Aku hanya menyalahkan diriku yang belum pantas untukmu, dan aku butuh waktu untuk memantaskan diri,” pungkasku kemudian, sebelum akhirnya pergi meninggalkanmu tanpa kepastian dan janji apa-apa.

Setelah saat itu, aku pun beranjak ke kota perjuangan sahabat baikku yang meninggal sembari menggenggam rahasia hatinya untukmu. Aku beranjak beserta niat besar untuk kembali dan menemui ayahmu jika takdir mautku tak mendahului takdir jodohku, sebagaimana tekadnya. Aku beranjak dengan kesadaran sebagai lelaki kedua yang menjadi pejuang cinta rahasia untukmu, dan aku ingin berjuang sesemangat perjuangan sang pejuang pertama.