Senin, 01 Agustus 2016

Jalan Baru

Sambil berharap-harap cemas, sesekali kupandangi wajah Bimo. Ia jelas tak sabaran untuk segera mengetahui nasibnya tahun ini, tentang lulus tidaknya ia di perguruan tinggi dambaannya. Maka, teringat lagi olehku kejadian setahun lalu. Itu sangat menggugah bagiku. Tapi bagi Bimo, biasa saja. Ia memang tak tahu. 
 
Kala itu, masih subuh-subuh saat ia menyambangi rumahku. Ia bertandang untuk membawakan kemeja putih polosku yang telah selesai dijahitnya. Ukuran baju yang kebesaran bagiku, telah diperkecilnya dengan rapi. Kemeja itulah yang akan kukenakan pada acara penyambutanku sebagai mahasiswa baru di sebuah universitas bergengsi.

Ia bertemu ibuku di halaman rumah.

“Wah, terima kasih ya. Aku memang tak meragukan kualitas jahitanmu. Pokoknya top deh. Apalagi, ini kan baju mahal. Harus dijahit baik-baik,” tutur ibuku, lalu memberikan sejumlah uang. “Kembaliannya ambil saja.”

Diam-diam, aku mendengar suara itu di balik jendela.

“Tak usah Bu. Apalagi Rion kan temanku sendiri,” tolaknya. 

Kulihat, ibuku memaksa. 

“Tapi ini kebanyakan Bu,” keluhnya.

Ibuku tetap berkukuh.

Lalu dengan mimik yang tak enakan, Bimo akhirnya menerima imbalan itu. “Terima kasih kalau begitu Bu.”

“Hitung-hitung, bisa kau tabung juga untuk bekal kuliahmu tahun depan. Mudah-mudahan, kau bia menyusul Rion kuliah di kampus berkualitas,” tutur ibuku, sambil senyum-senyum sendiri. “Aku sarankan sih, tahun ini, kau giat-giat saja belajar agar bisa sepintar Rion. Pesaing masuk universitas itu, kan banyak.”

“Iya Bu. Nanti, aku akan berlatih menjawab soal-soal ujian. Semoga saja tahun depan aku beruntung,” balasnya, kemudian pamit pulang.

Lalu, hari pertama di kampus pun, aku lalui dengan biasa saja. Tak ada yang spesial. Aku tak pernah merasa bangga menjadi salah seorang yang lulus di antara banyak pendaftar. Yang kurasa malah kehampaan. Apalagi kala menyaksikan ibu dan ayahku menggembar-gemborkan kelulusanku kepada setiap orang. Aku tak suka. 

Kurasa, diriku tak berhak mendapatkan satu kursi di kampus idaman itu. Tak ada perjuanganku sendiri yang patut dibanggakan. Semua serba dipaksakan. Meski itu berarti melalui jalan tikus: memanfaatkan lobi-lobi orang dalam, dan tentunya uang. Apa yang tak bisa dengan kedua hal itu? 

Kalau ditimbang-timbang, Bimo tentu lebih layak lulus. Sejak di bangku SMA, kuakui, dia sosok yang cerdas. Nyatanya, nasib berkata lain. Bukan berarti ia tak berdaya menjawab soal-soal. Kuota penerimaan mahasiswa melalui jalur tertulis, memang telah terkuras, dialihkan ke jalur lobi dan uang. Kusadari, dengan bertameng aturan hukum yang cacat, diriku ada di antara orang-orang yang telah mengambil hak orang lain seperti Bimo.

Sungguh, muak kurasa dibanggakan atas kemenangan yang tak kuusahakan sendiri.

Sepanjang setahun, aku pun memutuskan menjadi pembangkang. Tak kujalani kuliah pilihan orang tuaku itu. Aku telah dewasa. Jalan hidup, harus kurintis sendiri. Menjadi orang baru, yang berani berjuang dan bertanggung jawab atas pilihan hidup. 

Dan, tahun ini, bersama dengan Bimo, aku kembali mengikuti seleksi tertulis untuk masuk di perguruan tinggi dengan pilihan jurusanku sendiri. Hasilnya akan diumumkan hari ini. 

Saat ini, di kamar Bimo, kami tengah menunggu waktunya.

“Apa kau tak menyesal memulai semuanya dari awal? Padahal fakultas kedokteran, kurasa memang pantas untukmu. Apalagi, modal orang tuamu juga cukup,” tanya Bimo.

“Ya, tidaklah. Aku merasa lebih cocok di fakultas hukum. Kurasa, ilmu itu akan lebih berguna untuk memperbaiki sistem kehidupan, termasuk di dunia kesehatan, pendidikan, atau apa pun,” balasku.

“Ya, kau benar. Aku cuma berharap, alasanmu bukan supaya kau seruang lagi denganku,” candanya.

“Bisa saja kamu.” Kutepuk punggungnya. “Eh, sekarang sudah jam dua. Saatnya mengecek pengumuman!”

Bimo hanya mengangguk. Mimiknya berubah jadi penuh harap.

Dengan cemas-cemas, kami pun mengecek hasil seleksi di perangkat masing-masing. 
Berselang beberapa detik, ia pun melafalkan tanda kesyukuran. “Aku lulus Yon!” tegasnya. “Bagaimana denganmu?”

Kutampakkan mimik datar. Mengesankan kalau aku tak lulus tahun ini. “Aku lulus Bim!” seruku setelah tak kuasa memandang mimiknya yang kasihan padaku.

Sontak, kami berdua pun larut dalam kebanggaan yang sama. Berseru dan bertingkah tak keruan. Sungguh menyenangkan.

Tanpa ditahu Bimo, sebenarnya, aku sengaja mengorbankan setahun kuliahku karenanya. Aku ingin menjadi pemenang sejati, seperti dirinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar