Sambil
berharap-harap cemas, sesekali kupandangi wajah Bimo. Ia jelas tak sabaran
untuk segera mengetahui nasibnya tahun ini, tentang lulus tidaknya ia di
perguruan tinggi dambaannya. Maka, teringat lagi olehku kejadian setahun lalu. Itu
sangat menggugah bagiku. Tapi bagi Bimo, biasa saja. Ia memang tak tahu.
Kala
itu, masih subuh-subuh saat ia menyambangi rumahku. Ia bertandang untuk
membawakan kemeja putih polosku yang telah selesai dijahitnya. Ukuran baju yang
kebesaran bagiku, telah diperkecilnya dengan rapi. Kemeja itulah yang akan
kukenakan pada acara penyambutanku sebagai mahasiswa baru di sebuah universitas
bergengsi.
Ia
bertemu ibuku di halaman rumah.
“Wah,
terima kasih ya. Aku memang tak meragukan kualitas jahitanmu. Pokoknya top deh.
Apalagi, ini kan baju mahal. Harus dijahit baik-baik,” tutur ibuku, lalu
memberikan sejumlah uang. “Kembaliannya ambil saja.”
Diam-diam,
aku mendengar suara itu di balik jendela.
“Tak
usah Bu. Apalagi Rion kan temanku sendiri,” tolaknya.
Kulihat,
ibuku memaksa.
“Tapi
ini kebanyakan Bu,” keluhnya.
Ibuku tetap berkukuh.
Lalu dengan mimik yang tak enakan, Bimo akhirnya menerima imbalan itu. “Terima kasih kalau begitu Bu.”
Ibuku tetap berkukuh.
Lalu dengan mimik yang tak enakan, Bimo akhirnya menerima imbalan itu. “Terima kasih kalau begitu Bu.”
“Hitung-hitung,
bisa kau tabung juga untuk bekal kuliahmu tahun depan. Mudah-mudahan, kau bia menyusul
Rion kuliah di kampus berkualitas,” tutur ibuku, sambil senyum-senyum sendiri.
“Aku sarankan sih, tahun ini, kau giat-giat saja belajar agar bisa sepintar Rion.
Pesaing masuk universitas itu, kan banyak.”
“Iya
Bu. Nanti, aku akan berlatih menjawab soal-soal ujian. Semoga saja tahun depan
aku beruntung,” balasnya, kemudian pamit pulang.
Lalu,
hari pertama di kampus pun, aku lalui dengan biasa saja. Tak ada yang spesial. Aku
tak pernah merasa bangga menjadi salah seorang yang lulus di antara banyak
pendaftar. Yang kurasa malah kehampaan. Apalagi kala menyaksikan ibu dan ayahku
menggembar-gemborkan kelulusanku kepada setiap orang. Aku tak suka.
Kurasa,
diriku tak berhak mendapatkan satu kursi di kampus idaman itu. Tak ada
perjuanganku sendiri yang patut dibanggakan. Semua serba dipaksakan. Meski itu
berarti melalui jalan tikus: memanfaatkan lobi-lobi orang dalam, dan tentunya
uang. Apa yang tak bisa dengan kedua hal itu?
Kalau
ditimbang-timbang, Bimo tentu lebih layak lulus. Sejak di bangku SMA, kuakui,
dia sosok yang cerdas. Nyatanya, nasib berkata lain. Bukan berarti ia tak
berdaya menjawab soal-soal. Kuota penerimaan mahasiswa melalui jalur tertulis, memang
telah terkuras, dialihkan ke jalur lobi dan uang. Kusadari, dengan bertameng
aturan hukum yang cacat, diriku ada di antara orang-orang yang telah mengambil
hak orang lain seperti Bimo.
Sungguh,
muak kurasa dibanggakan atas kemenangan yang tak kuusahakan sendiri.
Sepanjang
setahun, aku pun memutuskan menjadi pembangkang. Tak kujalani kuliah pilihan
orang tuaku itu. Aku telah dewasa. Jalan hidup, harus kurintis sendiri. Menjadi
orang baru, yang berani berjuang dan bertanggung jawab atas pilihan hidup.
Dan,
tahun ini, bersama dengan Bimo, aku kembali mengikuti seleksi tertulis untuk
masuk di perguruan tinggi dengan pilihan jurusanku sendiri. Hasilnya akan
diumumkan hari ini.
Saat
ini, di kamar Bimo, kami tengah menunggu waktunya.
“Apa
kau tak menyesal memulai semuanya dari awal? Padahal fakultas kedokteran,
kurasa memang pantas untukmu. Apalagi, modal orang tuamu juga cukup,” tanya
Bimo.
“Ya,
tidaklah. Aku merasa lebih cocok di fakultas hukum. Kurasa, ilmu itu akan lebih
berguna untuk memperbaiki sistem kehidupan, termasuk di dunia kesehatan,
pendidikan, atau apa pun,” balasku.
“Ya,
kau benar. Aku cuma berharap, alasanmu bukan supaya kau seruang lagi denganku,”
candanya.
“Bisa
saja kamu.” Kutepuk punggungnya. “Eh, sekarang sudah jam dua. Saatnya mengecek
pengumuman!”
Bimo
hanya mengangguk. Mimiknya berubah jadi penuh harap.
Dengan
cemas-cemas, kami pun mengecek hasil seleksi di perangkat masing-masing.
Berselang
beberapa detik, ia pun melafalkan tanda kesyukuran. “Aku lulus Yon!” tegasnya. “Bagaimana
denganmu?”
Kutampakkan
mimik datar. Mengesankan kalau aku tak lulus tahun ini. “Aku lulus Bim!” seruku
setelah tak kuasa memandang mimiknya yang kasihan padaku.
Sontak,
kami berdua pun larut dalam kebanggaan yang sama. Berseru dan bertingkah tak
keruan. Sungguh menyenangkan.
Tanpa
ditahu Bimo, sebenarnya, aku sengaja mengorbankan setahun kuliahku karenanya. Aku
ingin menjadi pemenang sejati, seperti dirinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar